Menengok Sahabat Nabi
“Pada pembahasan sebelumnya, telah kita
singgung posisi sahabat Nabi saaw. Sekali lagi ingin kami sebutkan,
bahwa, mengetahui sahabat secara jelas, akan sangat membantu kita dalam
kritik selanjutnya. Tidak diragunakan lagi, bahwa sahabat adalah
orang-orang yang senantiasa memiliki maqam istimewa dalam agama Islam.
Mereka adalah orang-orang awal yang menjadi pembela Islam, orang-orang
yang hadir dalam peperangan sepanjang sejarah penegakan fondasi islam.
Orang-orang yang berdiri di samping Rasul dengan segenap harta, daya dan
mempertaruhkan nyawa mereka. Yang menjadi perbincangan antar golongan
selanjutnya adalah, apakah sahabat seluruhnya adalah jauh dari dosa,
tidak berbuat ma’siat yang besar ataupun yang kecil, yang mulia dan yang
tidak sepanjang umurnya? Atau seluruh sahabat otomatis karena kedekatan
jarak dan pergaulan dengan rasul, telah menjadi manifestasi Rasul.
Ataukah itu semua tergantung wi’ah, qabuliyyat dan isti’dadiyat mereka
terhadap pengajaran, dan hikmah kenabian Rasulullah saaw.”
Pada pembahasan sebelumnya, telah kita
singgung posisi sahabat Nabi saaw. Sekali lagi ingin kami sebutkan,
bahwa, mengetahui sahabat secara jelas, akan sangat membantu kita dalam
kritik selanjutnya. Tidak diragunakan lagi, bahwa sahabat adalah
orang-orang yang senantiasa memiliki maqam istimewa dalam agama Islam.
Mereka adalah orang-orang awal yang menjadi pembela Islam, orang-orang
yang hadir dalam peperangan sepanjang sejarah penegakan fondasi islam.
Orang-orang yang berdiri di samping Rasul dengan segenap harta, daya dan
mempertaruhkan nyawa mereka.
Yang menjadi perbincangan antar golongan
selanjutnya adalah, apakah sahabat seluruhnya adalah jauh dari dosa,
tidak berbuat ma’siat yang besar ataupun yang kecil, yang mulia dan yang
tidak sepanjang umurnya? Atau seluruh sahabat otomatis karena kedekatan
jarak dan pergaulan dengan rasul, telah menjadi manifestasi Rasul.
Ataukah itu semua tergantung wi’ah, qabuliyyat dan isti’dadiyat mereka
terhadap pengajaran, dan hikmah kenabian Rasulullah saaw.
Ada dua komentar untuk pandangan di atas,
Pertama: seluruh sahabat karena kedekatan dan tenggelamnya mereka dalam
cinta dan perkhidmatan kepada Rasulullah saaw. maka secara otomatis
rahmat dan kasih sayang Allah swt. menjadikan mereka seluruhnya adil.
Penganut pandangan ini mengatakan bahwa para sahabat adalah hukum syar’i
sebagaimana Rasulullah saaw. Pandangan kedua: penerimaan sahabat atas
didikan dan pengajaran sekaligus menyerap hikmah-hikmah kenabian, sangat
tergantung pada potensidan kemampuan penerimaan sahabat.
Sahabat terbagai dalam kelompok besar
menurut penganut pandangan ini. Sebagian ada yang sampai kepada
penerimaan yang sempurna, ada yang hanya sebagian, dan ada yang tidak
menerima kecuali sangat sedikit dari hikmah-hikmah kenabian. Golongan
ini mengatakan bahwa, sahabat harus dipilah dan pilih, tidak bisa
dikategorikan sama. Dan karenanya, mereka dengan Rasul tidak boleh
disamakan dalam posisi syar’i.
Siapakah sahabat Nabi?
Menurut Kamus
Al-Ashhab, ash-Shahabah, Shahaba,
Yashhubu, Shuhbatan, Shahabatan, Shahibun, artinya: teman bergaul,
sahabat, teman duduk, penolong pengikut. As-Shahib artinya kawan
bergaul, pemberi kritik, teman duduk, pengikut, teman atau orang yang
melakukan atau menjaga sesuatu. Kata ini juga bisa diartikan sebagai
orang yang mengikuti suatu paham atau mazhab tertentu. Misalnya, kita
bisa bisa mengatakan: pengikut Imam Ja’far, pengikut Imam Syafi’I,
pengikut Imam Malik dan lain-lain. Dapat juga kita menyatakannya seperti
dalam frasa ishthahaba al-qaum, yang artinya, mereka saling bersahabat
satu sama lain, atau ishthahaba al-bar, artinya, menyelamatkan unta
(lih. Lisan-al-Arab Ibn Manzhur 1/915).
Menurut Peristilahan al-Qur’an
Kata as-Shuhbah – persahabatan- dapat
diterapkan pada hubungan: antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain
(Kahfi ayat 6), antara seorang anak dengan kedua orang tuanya yang
berbada keyakinan(Lukman ayat 15), antara dua orang yang sama-sama
melakukan perjalanan(an-Nisa ayat 36), antara tabi (pengikut) dengan
matbu’ (yang mengikuti) (at-Taubah ayat 40), antara orang mukmin dengan
orang kafir (al-Kahfi ayat 34 dan 37), antara orang kafir dengan orang
kafir lainnya (al-Qamar ayat 29), antara seorang Nabi dengan kaumnya
yang kafir yang berusaha menghalangi dari kebaikan dan mengembalikannya
pada kesesatan (an-Najm ayat 2, Saba ayat 41) lihat juga Tafsir Ibn
Katsir untuk masing-masing ayat di atas.
Ahlul Sunnah wal Jam’ah (selanjutnya kita
sebut; Sunni) bersepakat dalam mendefenisikan sahabat dengan keadilan
mereka (sahabat). Pendapat mereka antara lain:
- Sa’id Bin Musayyab : Sahabat, adalah
mereka yang berjuang bersaama Rasulullah selama setahun atau dua tahun
dan berperang bersama Rasul sekalil atau dua kali.
- Al-Waqidi : Kami melihat, para ulama
mengatakan, mereka (sahabat Rasulullah) adalah siapa saja yang melihat
Rasul, mengenal dan beriman kepada beliau, menerima dan ridha terhadap
urusan-urusan agama walaupun sebentar.
- Ahmad bin Hanbal : Siapa saja yang
bersama dengan Rasul selama sebulan, atau sehari, atau satu jam atau
hanya melihat beliau saja, maka mereka adalah sahabat Rasulullah saaw.
- Bukhari : barang siapa yang bersama
Rasulullah atau belihat beliau dan dia dalam keadaan Islam, maka dia
adalah Rahabat Rasulullah saaw.
Al-Qawali menambahkan, kebersamaan itu
walaupun sejam saja, tapi secara umum kebersamaan itu mempersyaratkan
waktu yang lama.Al-Jaziri berkata, mereka adalah yang hadir dalam perang
Hunain yang berjumlah dua belas ribu orang, yang ikut dalam perang
Tabuk, dan ikut bersama Rasul dalam haji wada’. Demikianlah
pendefenisian sahabat menurut Sunni, walaupun secara Lughawai dan
al-’Uruf al-’Am memliki perbedaan yang jauh. Di mana persahabatan itu
mempersyaratkan kebersamaan dalam waktu yang lama. Jadi tidak bisa
dimasukkan dalam defenisi ini, bagi mereka yang bertemu hanya dalam
waktu singkat, atau hanya mendengar perkataan atau hanya dengan
bercakap-cakap singkat, atau tinggal bersama dalaml waktu yang singkat.
Yang mengherankan adalah, bahwa Sunni sudah sampai kepada kesepakatan
tentang keadilan sahabat sedangkan mereka masih saling ikhtilaf dalam
pendefinisian sahabat?
Apakah Tujuan dari Tinjauan Kehidupan Sahabat?
Sebagian besar ulama Sunni memasukan
sahabat Nabi ke dalam wilayah profane sangat holistic, sehingga sering
kali kita mendengar pengkafiran, Zindiq, munafik dan pembuat bid’ah bagi
mereka yang melanggar secret zona-line ini. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
al-Ishabah jilid 1 hal. 17 mengatakan: Ahlu Sunnah bersepakat bahwa
seluruh sahabat adalah ‘adil, kecuali dan barang siapa yang menentang
ini adalah ahli bid’ah. Al-Khatib berkata: keadilan sahabat dengan
legitimasi Allah swt. adalah sesuatu yang tetap dan telah diketahui.
Allah telah memilih mereka (sahabat) dan mengabari tentang kesucian
mereka. Kemudian Ibnu Hajar berkata: al-Khatib meriwayatkan dari Abi
Zar’ah al-Razi: Kalau kamu melihat seseorang berkata tentang kekurangan
(baca:kejelekan) sahabat Rasul, maka ketahuilah bahwa orang itu adalah
zindiq. Karena Rasulullah adalah haq, al-Qur’an dan apa yang datang
bersamanya adalah haq. Dan sahabat telah menyampaikan itu semua kepada
kita. Orang-orang yang ingin mencemari keyakinan kita tentang itu,
adalah mereka yang ingin menolak kebenaran al-Qur’an dan Sunnah. Maka
menolak mereka adalah lebih utama sebab mereka adalah kaum zindiq.
Jawaban atas pernyataan di atas akan kita
bahas dalam bab-bab berikutnya. Tapi, terlepas dari itu semua, kritik
terhadap akidah dan sepak terjang sahabat bertujuan bukan untuk
membatalkan kebenaran al-Qur’an dan Sunnah, atau ingin menghilangkan
keyakinan kaum muslim. Tapi bila ingin mengetahui dan menguji keadilan
para sahabat, maka kita harus menguji secara naqidi, untuk mengetahui
yang shaleh dan thaleh, untuk kemudian kita ambil dari mereka yang
shaleh, agama bima huwa yang diajarkan Rasul dan menolak sebaliknya.
Kesulitan Kritik Objektif
In any case , kritik akan sampai kepada
hasil yang diharapkan bila saja, kita mampu melihat secara objektif
objek yang kita kritik. Salah satunya adalah melepaskan nilai-nilai yang
sudah dari dulu diletakkan para pendahulu kita. Tentu saja harus segera
digaris bawahi, bahwa tidak setiap yang old itu begitu saja kita tolak,
tapi yang ingin kita lakukan hanya ingin bersikap ilmiah dengan
mengolah dan menguji kembali apa-apa yang sudah dianggap paten oleh para
pendahulu kita.
Sebagai contoh: Imam Hanbal (lih. Kitab
as-Sunnah Ahmad Bin Hanbal hal.50) dan sebaik-baik ummat setelah
Rasulullah adalah Abu Bakar. Kemudian secara berurut, Umar, kemudian
Ustman, kemudian Ali -radiyallahu ‘anhum- kemudian para sahabat Muhammad
saaw. setelah empat Khulafa ar-Rasyidin. Dia melanjutkan, tak seorang
pun boleh membanding-bandingkan mereka, atau mencukupkan satu dari yang
lain…..
Imam Asy’ari juga berpendapat bahwa, kita
percaya kepada sepuluh ahli surga sebagaimana yang disabdakan Rasul,
kita mengikuti mereka dan seluruh sahabat Nabi saaw. dan menerima segala
tentang mereka….(lih.al-Ibana hal.40/Maqalat, hal.294).
Cukupkah kita terhadap pernyataan di
atas? Sementara sedemikian jelasnya sejarah panjang perjalanan sahabat
Rasul yang saling berikhtilaf dan bertentangan dari permasalahan ritual
ibadah sampai akidah! Tidakkah para ulama di atas membaca sejarah bahwa
sahabat berbeda sampai dengan Rasul sendiri? Tidakkah mereka membaca
bahwa sesama sahabat saling menumpahkan darah! Bagaimana mungkin kita
bisa menerima seluruhnya, dan tidak boleh menolak seluruhnya sekaligus
zindiq-kafir bila mengambil segolongan dari mereka! Ini sangat
bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah an-Nabawiyah sekaligus akal
sehat!
Al-Qur’an telah mensifatkan sebagian
sahabat dengan fasiq sebagaimana firman-Nya: “Wahai orang-orang beriman,
apabila datang padamu seorang fasiq…..(al-Hujurat:6) dalam hadits,
mensifati golongan yang membunuh ‘Ammar Bin Yasir sebagai golongan yang
al-Baghiyah. Rasul bersabda: Engkau (‘Ammar) akan dibunuh golongan
Baghyah, engkau memanggil mereka ke surga, sedangkan mereka memanggilmu
ke neraka (al-Jam’ bain as-Shahihain 2/461). Sedangkan untuk
orang-orang khawarij Rasul menyebut mereka orang-orang yang membunuh
golongan yang paling utama dalam kebenaran.
Hadits-hadits seperti ini banyak termuat
dalam kitab Shahih dan Masanid. Apabila berpegang kepada sahabat adalah
sebuah kewajiban sedangkan mempertanyakan ihwal mereka adalah haram,
kenapa al-Qur’an dan Rasulullah saaw. mengabarkan kepada kita
sifat-sifat seperti di atas. Akal sehat tidak menerima penutupan
kebenaran dengan kesalahan, menutupi kebenaran, dan memposisikan sama
antara yang benar dan yang salah.
Al-Qur’an dan Keadilan Sahabat
Dalam perang Uhud, ketika mendengar kabar
bahwa Rasulullah terbunuh, banyak di antara sahabat yang kembali lemah
imannya, bahkan mengarah ke arah kemurtadan, sehingga turunlah Ayat 144
surah al-Imran “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika Dia wafat
atau terbunuh, kalian akan berbalik kebelakang (murtad)?……
Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini
turun untuk peristiwa perang Uhud, untuk sahabat setelah mendengar
Rasululllah telah terbunuh (lih. Tafsir Ibnu Katsir 1/409). (lihat juga
Zadul Ma’ad Ibnu al-Qayyum al-Jauzi hal.253). Ayat di atas menjelaskan
tentang kemungkinan berpaling dan goyahnya keimanan sahabat (hanya
setelah mendengar berita bohong terbunuhnya Rasul). Mungkinlah kita
menyifati mereka dengan ‘adil mutlak’ kepada yang berpotensi untuk
murtad?
Ibnu Katsir menulis tentang sahabat yang
meninggalkan Rasul yang sedang khutbah Jum’at hanya karena perdagangan.
Dia berkata bahwa Imam Ahmad berkata: Berkata kepada Ibnu Idris dari
Hushain bin Salim dari Jabir, ia berkata: Aku sering masuk ke Madinah
dan ketika Rasulullah saaw. sedang berkhutbah orang-orang meninggalkan
beliau dan tersisa hanya dua belas orang saja,kemudian turunlah ayat
“Dan apabila mereka melihat perdagangan (yang menguntungkan)
ataupermainan (yang menyenangkan) mereka bubar dan pergi ke sana
meninggalkan engkau berdiri (berkutbah)(al-Jumu’ah ayat 11). Kejadian
ini juga termuat dalam Shahihain. (lih. Tafsir Ibnu Katsir 4/378,
ad-Durrul Mantsur Suyuthi hal.220-223, Shahih Bukhari 1/316, Shahih
Muslim, 2/590)
Untuk penelitian dan eksplorasi yang mendalam tentang naqd al-Qur’an terhadap sahabat, silahkan anda buka kitab-kitab berikut:
- Tafsir Ibn Katsir 1/421 dan Tafsir at-Tabari 4/155, tafsir surah al-Imran ayat 161.
- Tafsir Ibn katsir 4/209 tafsir surah al-Hujurat ayat 6 dan 2/283-285 tafsir surah al-Anfal ayat 1
Lihat juga tafsir surah al-Imran ayat
103, al-Ahzab ayat 12-13. at-Taubah 101-102, al-Hujurat 14, at-Taubah
ayat 60. dan lain-lain yang tidak memungkinkan kita urai dan tulis satu
persatu pada tempat ini.
Al-Sunnah an-Nabawiyah dan Keadilan Sahabat
Al-Qur’an, sebagaimana telah kita urai,
melihat sahabat sebagaimana tabi’in, yang di antara mereka ada yang adil
dan yang fasiq, yang shaleh dan thaleh dan lain-lain. Sekarang merilah
kita menengok sahabat dalam hadits-hadits Nabi saaw.
Al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan
bahwa Rasulullah melarang sahabat-sahabat beliau untuk menyalati mayat
seorang sahabat yang lain (lih.Mustadrak al-Hakim 2/127, lihat juga
Musnad Ahmad kitab al-jihad 4/114).
Rasulullah berlepas tangan dari Khalid
Bin Walid, karena membunuhi Bani Juzaimah yang telah menerima Islam,
sebagian yang hidup lalu ditawan, tapi kemudian para tawanan itu pun
dibunuh juga. Rasul mengangkat tangan ke langit “Ya Allah, aku berlepas
tangan dari yang diperbuat Khalid” beliau mengatakannya dua kali
(lih.Shahih Bukhari, Kitab Maghazi bab Ba’atsa an-Nabi Khalid Bin
al-Walid, hadits 4339).
Rasulullah saaw. melaknat Hakam bin Ash
Umayyah bin Abdus-Salam – paman Ustman bin Affan dan ayah Marwan bin
Hakam – dan melaknat apa yang terdapat dalam tulang rusuknya
(keturunannya). Rasulullah bersabda, “celaka bagi umatku dari apa yang
terdapat pada tulang rusuk orang ini (keturunan Hakam bin Ash).” Dalam
hadits, Aisyah berkata kepada Marwan Bin Hakam, “Aku bersaksi bahwa
Rasulullah melaknat ayahmu, sedangkan engkau ketika itu berada pada
tulang rusuknya.”
Bukhari dan Muslim meriwayatkan banyak
sahabat Nabi dimasukkan ke dalam neraka dan tertolak dari kelompok Nabi
saaw. Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi telah bersabda,
“Takkala aku sedang berdiri, muncullah segerombolan orang yang kukenal
dan muncul pula seorang lelaki di antara diriku dan rombongan itu.
Lelaki itu berkata, “Ayo ” Aku bertanya, “Kemana?” Ia menjawab, “Ke
neraka, demi Allah!!” Aku bertanya; “Ada apa dengan mereka?” Ia
menjawab; “Mereka berbalik setelah engkau wafat.” Dan yang lain dari
Asma’ binti Abi Bakar yang berkata: Nabi bersabda; “Takkala berada di
al-Haudh, aku tiba-tiba melihat ada di antara kamu yang mengingkariku,
yang mengikuti selain diriku. AKu berkata; Ya Rabbi, dari diriku dan
umatku? Dan terdengar suara seseorang: Apakah engkau mengetahui apa yang
mereka lakukan sesudahmu? Demi Allah mereka terus mengingkarimu.” Dari
bab yang sama yang berasal dari Sa’id bin Musayyib yang berasal dari
para sahabat Nabi bahwa Nabi bersabda “Di al-Haudh sejumlah sahabat
berbalik dan aku bertanya: “Ya Rabbi mereka adalah sahabatku!”. Dan Nabi
mendapat jawaban; “Sesungguhnya engkau tidak tahu apa yang telah mereka
lakukan sesudahmu. Mereka telah berbalik mengingkarimu!” Riwayat ini
juga disampaikan oleh Sahl bin Sa’d. Bukhari juga meriwayatkan yang
berasal dari Ibnu Abbas, Nabi saaw. Bersabda; “Dan sejumlah sahabat
mengambil jalan kiri dan aku berseru “Sahabatku, sahabatku!” dan
terdengar jawaban: “Mereka tak pernah berhenti berbalik ingkar sejak
berpisah denganmu.” (lih.Shahih Bukhari jilid 4 bab al-Haudh, akhir bab
ar-Ruqab, hal.94 dan jilid 3/30 bab Ghazwah Hudaibiyah).
Muslim juga meriwayatkan, Nabi bersabda;
“Sebagian orang menjadikan aku sebagai sahabat akan berbalik dariku di
telaga Haudh, yaitu takkala dengan tiba-tiba aku melihat mereka dan
mereka melihat kepadaku, kemudian meninggalkanku dan aku benar-benar
akan bertanya: “Wahai Rabbi, para sahabatku. Dan akan terdengar: “Engkau
tidak tahu apa yang mereka lakukan sesudahmu” (lih.Shahih Muslim kitab
Fadhail hadits 40, lihat juga Musnad Ahmad 1/453, jilid 2/28 dan jilid
5/48).
Sejarah dan Keadilan Sahabat
Dua uraian sumber hukum terpenting agama
Islam, telah kita jelajahi dalam membaca kembali sahabat. Sekarang
marilah kita journey ke petak-petak sejarah sahabat Nabi setelah beliau
wafat. Mukhtashar Tarikh Dimasyk 8/19, Sirah I’lam an-Nubala’ 3/235,
Tarikh at-Thabari 2/272, Usudul Ghabah 2/95, dan al-Ishabah 5/755.
Kita ambil dari at-Thabari, Malik Bin
Nawairah Bin Hamzah al-Ya’rubi sudah Islam dan saudaranya, Rasul
menunjuknya sebagai petugas pengumpul shadaqah bani Yarbu’. Setelah
Rasul saaw. wafat, meluas kemurtadan di antara kabilah-kabilah. Abu
Bakar, mengutus Khalid Bin Walid untuk memandamkan fitnah tersebut, tapi
Khalid sangat berlebihan. Khalid membunuh sahabat-sahabat Nabi saaw.
termasuk Malik Bin Nawairah, tidak sampai di situ, Khalid kemudian
menzinahi istri Malik Bin Nawairah (yakni tanpa menunggu iddahnya).
Abu Bakar dan Umar berbeda keras dalam
kasus ini, Umar bersikeras agar Khalid Bin Walid dihukum berat. Umar
berkata kepada Khalid “Kamu telah membunuh seorang muslim, lali engkau
memperkosa istrinya! Demi Allah, akan kurajam engkau! (lih.Tarikh Ibn
Atsir, dan Wafayat al-’A'yan Ibn Khalikan Abu Bakar alih-alih menghukum
Khalid, Khalid dia malah diberi gelar saif Allah al-madzlul. Umar,
setelah menjabat sebagai khalifah, memecat Khalid dan melantik Abu
Ubaidah untuk menggantikan Khalid (lih. Sirah a’lam an-Nubala 3/236).
Sa’ad Bin Ubadah, Hubab bin al-Mundzir
bin al-Jamuh al-Anshari, tidak membaiat Abu Bakar sebagai khalifah.
Amirul Mukminin Ali as, al-Abbas, ‘Uthbah bin Abi Lahab (juga anggota
Bani Hasyim lainnya), Abu Dzar, Salman al-Farisi, al-Miqdad, ‘Ammar bin
Yasir, Zubair, Khuzaimah bin Tsabit, ‘Amr bin Waqadah, Ubay bin Ka’ab,
al-Bara’ bib ‘Azib. Semuanya pada mulanya menolak membaiat kepada Abu
Bakar. Sejarah mencatat, malah sebagian dari mereka, seperti Sa’d bin
Ubadah dan Hubab al-Munzdir, malah terbunuh secara rahasia. (lih.Shahih
Bukhari dan Muslim, Tarikh at-Tabari, al-’Iqd al-Farid dan al-Kamil Ibn
Katsir).
Lihat juga pertengkaran Sayyidah Fathimah
az-Zahra, penghulu para wanita seluruh alam, putri belahan jiwa
Rasulullah, dengan Abu Bakar. Semua mengetahui pertengkaran
tersebut.(lih.Shahih Bukhari 3/36 – 4/105, Muslim 2/72, Musnad Ahmad bin
Hanbal 1/6, al-Imamah wa as-Siyasah Ibn Qutaibah, dan Syahr Nahjul
Balaghah Ibn Abil Hadid al-Mu’tazili).
Sebenarnya masih sangat banyak yang telah
tercatat dalam sejarah tentang prilaku sahabat, sebagaimana yang
dilaporkan Muslim tentang sahabat pada masa Umar Bin Khattab yang
menjual Khamar (lih.Shahih Muslim 5/41 bab Tahrim al-Khamer) tidak hanya
sebatas itu, sahabat tersebut juga, suka menumpahkan darah orang-orang
yang tak berdosa dan para pengumpul Qur’an (lih.Tarikh at-Thabari
3/176).
Aisyah Binti Abi Bakar melaknat Utsman
(lih. Tarikh at-Thabari 4/459, an-Nihayah Ibn Atsir 5/80), Mu’awiyah
melaknat dan memerintahkan setiap khatib jum’at dan imam shalat untuk
melaknat Ali bin Abi Thalib, dan kedua cucu Rasulullah saaw, al-Hasan
dan al-Husain di atas minbar dan dalam qunut shalat. Umar dan Abu Bakar
melaknat Sa’id Bin Ubadah ketika ia masih hidup. Dan masih banyak lagi
dalam sejarah, para sahabat melaknat sebagian sahabat yang lain dan
berlepas diri dari yang lain.
Kesimpulan Bahasan
To make long story short, Sebagaimana
yang telah al-Qur’an dan Sunnah telah wajibkan, menghormati sahabat dan
memposisikan mereka pada derajat yang tinggi merupakan suatu kelaziman.
Tapi selain itu, kedua sumber hukum Islam ini juga memerintahkan kepada
kita untuk menilai sesuai dengan kapasitas mereka.
Orang-orang yang dicela al-Qur’an sudah
pasti bukan orang adil, orang-orang yang disebut fasiq pasti tidak adil.
Orang-orang yang menyepelekan Nabi pasti bukan adil, orang-orang yang
dilaknat Nabi saaw. pasti tidak adil, orang-orang yang dicela Nabi saaw.
pasti tidak adil. Mereka sebagaimana kamu muslim yang lain, bisa jadi
berbuat salah dan benar, di antara mereka ada yang adil sebagimana ada
yang tidak. Menghukumi mereka adil secara keseluruhan adalah sangat
berseberangan dengan sikap ilmiah dan bertentangan dengan sejarah, dan
secara tidak langsung meragukan kebenaran nas. Bahkan syi’ar tersebut
terbukti benar-benar bertentangan dengan nas-nas dan hadits Rasulullah
saaw. yang jelas. Al-Qur’an mengajarkan kita, wa la tus-alu ‘amma ka nu ya’malun –kalian tidak akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang mereka lakukan- bukan, wa la tas-alu ‘amma kanu ya’malun –janganlah kalian bertanya terhadap apa yang mereka lakukan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar