Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi
Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya
berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru,
sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).
Sabda Rosululloh Shollallahu 'Alaihi Wasallam
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيْعٍِ أخْبَرَنَا أبِيْ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ
عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ عَنْ سَالِمٍِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ
أنَّهُ اِسْتَأ ْذَنَ النَّبِيَّ صلعم فِى الْعُمْرَةِ فَقَالَ أَيْ
أُخَيَّ اَشْرِكْنَا فِى دُعَائِكَ وَلاَ تَنْسَنَا
Menceritakan kepada kami Sofian bin Waki’, mengabarkan kepada kami
Bapakku dari Sofian, dari `Ashim bin Ubaidillah, dari Salim, dari Ibnu
Umar, dari Umar bin Khattab, bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab pada
waktu minta ljin kepada Nabi SAW untuk melaksanakan ibadat Umrah, maka
Nabi bersabda : “Wahai saudaraku Umar, ikut sertakan aku/hadirkan
aku,pada waktu engkau berdo’a nanti, dan jangan engkau lupakan aku”.
(Hadits ini adalah hadits Hasan Sahih). (HR. Abu Daud dan Turmuzi).
Demikian pula menurut riwayat Saidina Abu Bakar r.a. dan Saidina Ali
r.a. menyampaikan kepada Rasulullah SAW bahwa mereka tidak pernah lupa,
tetapi selalu teringat kepada Rasulullah pada setiap melaksanakan ibadat
bahkan sampai pada waktu di kamar kecil. Rasulullah membenarkan apa
yang telah mereka alami itu.
Pengertian Kedudukan mursyid atau pemimpin peramalan dalam suatu tarikat
menempati posisi penting dan menentukan. Seorang mursyid bukan hanya
memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah
dan pergaulan sehari-hari supaya tidak menyimpang dari ajaran-ajaran
Islam dan terjerumus kedalam maksiat seperti berbuat dosa besar atau
dosa kecil, tetapi juga memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya
melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ dan melaksanakan
amal-amal sunnah untuk bertaqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Disamping memimpin yang bersifat lahiriah tersebut, seorang mursyid
adalah juga pemimpin kerohanian bagi murid-muridnya, menuntun dan
membawa murid-muridnya kepada tujuan tarikat guna mendapatkan ridla
Allah SWT. Oleh sebab itu seorang mursyid pada hakikatnya adalah sahabat
rohani yang sangat akrab sekali dengan rohani muridnya yang
bersama-sama tak bercerai-cerai, beriring- iringan, berimam-imaman
melaksanakan zikrullah dan ibadat lainnya menuju ke hadirat Allah SWT.
Persahabatan itu tidak saja semasa hidup di dunia, tetapi persahabatan
rohaniah ini tetap berlanjut sampai ke akhirat, walaupun salah seorang
telah mendahului berpulang ke rahmatullah, dan telah sederetan duduknya
dengan para wali Allah yang saleh.
As Syekh Muhammad Amin Al Kurdi dalam bukunya yang terkenal “Tanwirul
Qulub” menjelaskan bahwa seorang murid/salik dalam usahanya menuju ke
hadirat Allah SWT yang didahului dengan tobat, membersihkan diri rohani,
kemudian mengisinya dengan amal-amal saleh haruslah mempunyai Syekh
yang sempurna pada zamannya, yang melaksanakan ketentuan syariat
berdasarkan Al Qur’an dan Al Hadis, dan mengikuti peramalan yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW secara berkesinambungan yang diteruskan
oleh para ahli silsilah sampai pada zamannya.
Seorang mursyid yang silsilahnya berkesinambungan sampai dengan Nabi
Muhammad SAW, haruslah mendapatkan izin atau statuta dari mursyid
sebelumnya. Dengan demikian seorang mursyid haruslah telah mendapatkan
pendidikan yang sempurna, sudah arif billah, seorang wali yang mendapat
izin atau statuta dari mursyid sebelumnya. Seorang murid/salik yang
bertarikat tanpa Syekh maka mursyidnya adalah syetan. (Amin Al Kurdi,
1994 : 353). Artinya : “Orang yang tidak mempunyai Syekh Mursyid, maka
syekh mursyidnya adalah syetan.” Mursyid itu bukan wasilah, tapi Mursyid
itu adalah pembawa wasilah atau hamilul wasilahatau wasilah
carrier,menggabungkan wasilah itu kepada wasilah yang telah ada pada
rohaniah Rasulullah SAW.
Sebagai pemimpin rohani mursyid mempunyai sifat-sifat kerohanian yang
sempurna, bersih dan kehidupan batin yang murni. Mursyid adalah orang
yang kuat sekali jiwanya, memiliki segala keutamaan, dan mempunyai
kemampuan makrifat. Mursyid merupakan kekasih Tuhan. Secara khusus
mendapat berkah daripada-Nya, dan sekaligus menjadi pembawa wasilah dari
hamba kepada Tuhannya. Pada dirinya terkumpul makrifat sempurna tentang
syariat Tuhan, mengetahui berbagai penyakit rohani dan tahu cara
pengobatannya. Sebagai kekasih Allah, Mursyid mendapat anugerah
kemampuan untuk mendatangkan maunah-maunah atau karamah-karamah. Syekh
Mursyid dalam melaksanakan tugasnya mempunyai predikat-predikat sesuai
dengan tingkat dan bentuk pengajaran yang diberikan kepada
murid-muridnya.
Predikat-predikat itu dapat saja terkumpul dalam diri satu orang atau ada pada beberapa orang. Predikat itu antara lain :
(1) Syaikh al-Iradah, yaitu tingkat tertinggi dalam tarikat yang
iradahnya (kehendaknya) telah bercampur dan bergabung dengan hukum
Tuhan, sehingga dari syekh itu atau atas pengaruhnya orang yang meminta
petunjuk menyerahkan jiwa dan raganya secara total.
(2) Syaikh al-Iqtida’, yaitu guru yang tindak tanduknya sebaiknya ditiru
oleh murid, demikian pula perkataan dan perbuatannya seyogyanya
diikuti.
(3) Syaikh at-Tabarruk, yaitu guru yang selalu dikunjungi oleh
orang-orang yang meminta petunjuk, sehingga berkahnya melimpah kepada
mereka.
(4) Syaikh al-Intisab, ialah guru yang atas campur tangan dan sifat
kebapakannya, maka orang yang meminta petunjuknya akan beruntung,
lantaran bergantung kepadanya. Dalam hubungan ini orang itu akan menjadi
khadamnya (pembantunya) yang setia, serta rela menerima berbagai
perintahnya yang berkaitan dengan tugas-tugas keduniaan.
(5) Syaikh at- Talqin, adalah guru kerohanian yang membantu setiap
individu anggota tarikat dengan berbagai do’a atau wirid yang selalu
harus diulang-ulang.
(6) Syaikh at-Tarbiyah, adalah guru yang melaksanakan urusan-urusan para
pemula dalam suatu lembaga tarikat. Tempat tinggal syekh biasanya
disebut Zawiyah, dan di tempat itu dia dibantu oleh para khadam dalam
menjalankan tugasnya.
Dalam pandangan ilmu tasawwuf guru mursyid mempunyai peranan besar dalam
membentuk manusia ketingkat realisasi tertinggi dalam menempuh
perjalanan spiritual, karena dimensi Al-quran telah tertanam dalam
dirinya. Hanya saja persoalan ini jarang dikupas dan diteliti karena
guru mursyid hanya dimengerti oleh hati yang terbuka dan jiwa yang telah
disucikan.
Guru Mursyid sebagai Keharusan Rasional
Ia adalah seorang guru yang mendapatkan Nur Ilahi sehingga ia dapat
dikatakan sebagai guru mursyid, dan kata mursyid tersebut dapat
diartikan sebagai nur ilahi.
نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ
Cahaya diatas cahaya. Tuhan akan menuntun cahaya-Nya. Siapa yang dikehendaki-Nya (Qs. An-Nur; 35)
Jadi hakikatnya mursyid itu tidak berwujud, akan tetapi setelah masuk
kedalam rumah wujud barulah ia memiliki wujud. Dan mursyid itu tidaklah
banyak, yang banyak adalah badan ragawi yang disinggahi, ibarat pancaran
sinar matahari yang masuk ke berbagai lubang sehingga kelihatannya
banyak namun pada hakikatnya hanya satu. Dan untuk dapat bermanfaat
dalam mendekatkan diri dengan Allah maka nur tersebut harus dimasukkan
kedalam jiwa (bukan kedalam akal dan pikiran).
Memasukkan Nur Ilahi kedalam diri tentu tidaklah mudah, harus ada
metodologinya, dan metodologi tersebut ada dalam tarekatullah yang hak
dan harus melalui petunjuk seorang guru yang mursyid, (setelah itu
barulah manusia dapat ber-tajalli dengan Tuhan) karena guru mursyid
adalah kholifah rosul yang mampu mengajarkan segala sesuatu yang telah
diwariskan oleh Rasul yang secara historis dan dalam konteks ilmiah
mewarisi Nur Ilahi secara langsung dari Rasulullah saw.
Rasulullah SAW bersabda :
كن مع الله فإن لم تكن مع الله كن مع من مع الله فإنه يصيلك الى الله
“Jadikanlah dirimu beserta dengan Allah, jika kamu belum bisa menjadikan
dirimu beserta dengan Allah maka jadikanlah dirimu beserta dengan orang
yang telah beserta dengan Allah, maka sesungguhnya orang itulah yang
menghubungkan engkau (rohanimu) kepada Allah” (H.R. Abu Daud).
Keutamaan Berguru
Salah satu fungsi dan sifat guru adalah menyebarluaskan bimbingan batin
kepada manusia. Ini bukanlah sekedar bimbingan lahir dalam
persoalan-persoalan hukum dan syariat, ini adalah posisi (maqom) yang
agung dan mulia, yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada orang-orang
pilihan diantara makhluk-Nya, orang-orang pilihan ini dapat mempengaruhi
pemikiran dan kehidupan batin manusia. Mereka menerangi ummat dengan
pengetahuan batin dan membantu mereka untuk memperhalus jiwa dan
perjalanan batinnya, maka menjadi kewajiban manusia untuk mengikuti dan
menyatukan dirinya dengan mereka melalui bimbingan yang disediakannya,
sehingga mencegah manusia agar tidak terjerumus kedalam lubang
keinginan-keinginan intuitif dan kecenderungan terhadap
penyelewengan-penyelewengan batin.
Mursyid adalah orang yang menduduki posisi tertinggi dalam kehidupan
spiritual, dan dipercaya untuk mengemban tugas pembimbingan spiritual,
ia adalah saluran kasih sayang Allah yang mengalir kepadanya berkat
pancaran suprasensible (diatas jangkauan indera). Al-quran mengkhususkan
kondisi jabatan imam dengan pernyataan;
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. dan adalah mereka
meyakini ayat-ayat kami. (As-Sajdah; 24)
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ
فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ
وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka
mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan
hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,(Al Anbiya; 73)
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ
بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ
فَتِيلًا
(ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan
pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan
kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak
dianiaya sedikitpun. (Al-Isra ; 71)
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ
إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا
يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat
(perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim
berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman:
"Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Al Baqarah; 124)
Kesimpulannya ayat-ayat tersebut mengidentifikasikan bahwa
imamah/khalifah adalah ikatan ilahiyah yang hanya diberikan kepada
orang-orang yang dikehendaki oleh Allah yang dalam hal ini keturunan
Ibrahim as. Tidak diragukan lagi bahwa hamba Allah yang paling sempurna
diantara keturunan Ibrahim as. adalah Nabi Muhammad saw., dan para imam
yang ma’sum/mahfudz, sehingga mereka dianggap sebagai imam yang diberi
kepercayaan dengan tugas bimbingan batin dan pengetahuan Ladunny.
Syaikh Abu Yazid Al-Bustomi memberikan pandangannya tentang kewajiban berguru
قَالَ أَبُو يَزِيْدِ البُسْطَامِى مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ
فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ (وَقَالَ) أَبُو سَعِيْدٍ مُحَمَّدٍ الْخَادَمِى
مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْخٌ فَيَكُوْنُ مُسَخَّرَةً لِلشَّيْطَانِ(خزينة
الأسرار ص 189)
"Abu Yazid Al Bustomi berkata: barang siapa yang tidak memiliki guru,
maka gurunya adalah syetan. Dan berkata Abu Sa'id Muhammad Al Khodami:
barang siapa yang tidak memiliki guru maka ia akan di tundukkan oleh
syetan."
Didalam Al-quran pun diceritakan bahwa Nabi Musa berguru kepada Nabi
Hidir As., hal ini memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya
berguru dengan patuh dan taat atas apa yang diperintahkan oleh guru,
sabar dan istiqamah dalam mengikutinya.
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu?"(Al-Kahfi 66).
WASILAH dan ROBITOH
Sebagaimana halnya masalah mursyid, masalah wasilah dan robitoh dalam
suatu tarekat pada waktu melaksanakan zikir dan ibadah menempati posisi
penting dan menentukan. Seluruh sufi yang bertarekat pasti bermursyid,
berwasilah dan merobitohkan rohaniahnya dalam beramal dan beribadah,
Allah SWT. Berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ
الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan
yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya,
supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maa-idah 35)
Dalam Kamus al Munjid dikatakan :
اَلْوَسِيْلَةُ مَا يَتَقَرَّبُ إلىَ الْغَيْرِ
“Wasilah adalah sesuatu yang mendekatkan kepada yang lain.”
Ibnu Abbas menegaskan :
اَلْوَسِيْلَةُ هِيَ الْقَرَابَةُ
“Wasilah adalah suatu pendekatan “
Dalam Tafsir Ibnu Katsir II :52-53 pada waktu menafsirkan QS Al Maidah :35 , menyatakan :
اَلْوَسِيْلَة هِيَ الَّتِى يُتَوَصَّلُ بِهَا إلَى تَحْصِيْلِ الْمَقْصُوْدِ
“Wasilah itu ialah sesuatu yang menyampaikan kepada maksud”
Syekh Sulaiman Zuhdi pada waktu menafsirkan QS.Al Maidah:35 menyatakan :
اَلْوَسِيْلَةُ عَامٌُ لِكُلِّ مَا يَتَوَصَلُ بِهِ إلَ الْمَقْصُوْدِ
وَالنَّبِيُّ صلعم اَقْرَبُ الْوَسَا ئِلِ إلىَ اللهِ تَعَالىَ ثُمَّ
تَوَائِبُهُ صلعم مِنَ الْمُسْتَكْمِلِيْنَ الْوَاصِلِيْنَ إلىَ اللهِ
تَعَالىَ فِيْ كُلِّ قَرْنٍِ
“Pengertian umum dari wasilah adalah sesuatu yang dapat menyampaikan
kita kepada suatu maksud atau tujuan. Nabi Muhammad SAW adalah wasilah
yang paling dekat untuk sampai kepada Allah SWT, kemudian kepada
penerusnya-penerusnya yang Kamil Mukammil yang telah sampai kepada Allah
SWT yang ada pada tiap-tiap abad atau tiap-tiap masa”
Dalam ilmu balaghah dikenal istilah “Majaz Mursal :
مِنْ إطْلاَقِ الْمَحَلِّ وَإرَادَةِ الْحَال
artinya menyebut wadah, sedangkan sebenarnya yang dimaksud adalah
isinya. Disebutkan pula Nabi Muhammad sebagai wasilah, tetapi yang
dimaksud sebenarnya adalah Nuurun ala nuurin yang ada pada rohani
Rasulullah SAW.
Wasilah itu ialah :
نُوْرٌُ عَلىَ نُوْرٍِ يَهْدِاللهُ لِنُوْرِهِ مَنْ يَشَآءُ
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki “(QS An-Nur :35).
Wasilah itu telah ditanamkan ke dalam diri rohani Arwahul Muqaddasah
Rasulullah SAW yang merupakan sentral penghubung antara Rasulullah SAW
dan ummatnya menuju kehaderat Allah SWT.
Para Sahabat dan ummat Rasulllah SAW harus mendapatkan wasilah ini di samping menerima Alquran dan As-Sunah.
Bahwa Adam pun sebagai bapak manusia berwasilah kepada Nabi Muhammad Saw
sebelum lahir, untuk diterima taubatnya, karena ia telah melanggar
perintah Allah yaitu supaya tidak memakan buah khuldi sewaktu ia dengan
istrinya berada di surga. Karena melanggar larangan itulah mereka
dikeluarkan dari surga. Ia mengakui segala kesalahannya di hadapan
Allah.
لَمَّا اقْتَرَفَ اَدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ يَا رَبِّ أَسْئَلُكَ بِحَقِّ
مُحَمَّدٍ اِلاَّ غَفَرْتَ لِى فَقَالَ الله ُتَعَالَى يَا اَدَمَ كَيْفَ
عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ اَخْلُقْهُ قَالَ يَا رَبِّ لَمَّا خَلَقْتَنِى
رَفَعْتُ رَأْسِى فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْباً لاَ
اِلَهَ اِلاَّ الله ُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ فَعْلِمْتُ اَنَّكَ لَمْ
تَضِفْ اِلَى اَسْمَائِكَ اِلاَّ اَحَبُّ الْخَلْقِ اِلَيْكَ فَقَالَ الله
ُتَعَالَى صَدَقْتَ يَا اَدَمَ اِنَّهُ َلاَحَبُّ الْخَلْقِ اِلَيَّ
وَاِذَا سَئَلْتَنِى بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ
مَا خَلَقْتَكَ فَهُوَ اَخِرُ اْلاَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِيَتِكَ
Tatkala nabi Adam mengakui kesalahannya, dia berkata “Wahai Tuhan, saya
mohon kepada-Mu bihaqqi (dengan kebenaran) Muhammad Saw, ampunilah
dosaku!.” Allah berfirman, “Adam, bagaimana mungkin anda mengenal
Muhammad, padahal ia belum Ku-jadikan?” Adam menjawab, “Wahai Tuhan,
sesungguhnya tatkala Engkau menciptakan aku, kuangkat kepalaku, maka
kulihat di atas tiang-tiang Arasy bertulis لا اله الا الله محمد رسول
اللهmengertilah aku bahwa Engkau tidak menyandarkan sesuatu kepada
nama-Mu, melainkan orang yang paling dikasihi makhluk.” Allah pun
berfirman pula, “Benar anda Adam, sesungguhnya Muhammad Saw itu paling
kasih sayang kepada-Ku. Apabila anda memohon dengan berkat kebenarannya,
maka sesungguhnya Ku-ampuni dosamu. Dan kalaulah tidak karena Muhammad,
tidaklah Ku-jadikan anda dan dia adalah nabi yang terakhir dari
keturunanmu.” (HR. al Baihaqi, al Hakim dan at Thabrani)
Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui
paman Rasul, Abbas bin Abdul Muththalib. Dalam bertawassul, khalifah
Umar mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا،
وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا ، قَالَ:
فَيُسْقَوْنَ
Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas
Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui
paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka
diberi hujan. (HR. Bukhari 2/27)
Suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman
bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Utsman tidak menanggapi
kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Lalu lelaki itu
pergi dan ditengah jalan bertemu Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal
yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif
mengatakan kepadanya:Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah
ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:
اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu
dengan (perantaraan) Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa Rahmat. Wahai
Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada
Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku …. [HR. Ahmad ( 4/138), at-Tirmidzi
(5/569), Ibnu Majah (1/441), Al Hakim dalam Al Mustadrak (1/313) dia
mengatakan hadis ini sanadnya sahih, dan disepakati oleh adz Dzahaby)
Mayoritas Ahli Fiqh (Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanafiyyah yang akhir, dan
Hanabilah) membolehkan tawassul dg nabi saw, baik saat beliau hidup
maupun sesudah beliau wafat. Al Qashtalani meriwayatkan bahwa Imam
Malik membolehkan juga, ketika ditanya kemana menghadap saat berdo’a, ke
kiblat atau ke kubur Rasulullah SAW? Maka Imam Malik menjawab:
وَلِمَ تَصْرِفْ وَجْهَك عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُك وَوَسِيلَةُ أَبِيك
آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟
بَل اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيُشَفِّعُهُ اللَّهُ
Mengapa (harus) engkau palingkan wajahmu darinya, sedangkan dia adalah
wasilahmu dan wasilah Adam bapakmu kepada Allah SWT pada hari kiamat?
Akan tetapi menghadaplah kepadanya (kubur Nabi), dan mintalah dengannya
(wasilah nabi saw, yakni wasilah kecintaan kepada nabi saw) maka Allah
akan menolong engkau. Dan Imam Nawawi juga berpandangan seperti ini.
Tawassul Kepada Allah Subhanahu Wa ta’ala Dengan Doa Orang yang Shalih Yang Masih Hidup.
Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar,
namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya dihadapan Allah
subhanahu wa ta’ala, sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada
Allah, lalu ia pergi kepada orang yang diyakinim keshalihan dan
ketakwaannya, atau memiliki keutamaan dan penmgetahuan tentang al-Qur’an
serta as-Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar
mendoakan dirinya kepada Allah supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan
kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan,
seperti :
P e r t a m a , hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radlyallhu’anhu :
صحيح البخاري ٩٥٨: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ
حَدَّثَنَاإِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ جُمُعَةٍ مِنْ بَابٍ كَانَ نَحْوَ
دَارِالْقَضَاءِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَائِمٌ يَخْطُبُفَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَائِمًا ثُمَّ قَالَ يَارَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُ
وَانْقَطَعْتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَيُغِيثُنَا فَرَفَعَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَاللَّهُمَّ
أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا قَالَ أَنَسٌ وَلَا
وَاللَّهِ مَانَرَى فِي السَّمَاءِ مِنْ سَحَابٍ وَلَا قَزَعَةً وَمَا
بَيْنَنَا وَبَيْنَ سَلْعٍمِنْ بَيْتٍ وَلَا دَارٍ قَالَ فَطَلَعَتْ مِنْ
وَرَائِهِ سَحَابَةٌ مِثْلُالتُّرْسِ فَلَمَّا تَوَسَّطَتْ السَّمَاءَ
انْتَشَرَتْ ثُمَّ أَمْطَرَتْ فَلَاوَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا الشَّمْسَ
سِتًّا ثُمَّ دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ ذَلِكَ الْبَابِفِي الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ
يَخْطُبُفَاسْتَقْبَلَهُ قَائِمًا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ
الْأَمْوَالُوَانْقَطَعَتْ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ يُمْسِكْهَا عَنَّا
قَالَ فَرَفَعَ رَسُولُاللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ
ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَاعَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى
الْآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِالشَّجَرِ
قَالَ فَأَقْلَعَتْ وَخَرَجْنَا نَمْشِي فِي الشَّمْسِ
قَالَ شَرِيكٌ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَهُوَ الرَّجُلُ الْأَوَّلُ فَقَالَ مَاأَدْرِي
Shahih Bukhari 958: dari Anas bin Malik bahwa ada seorang memasuki
masjid pada hari Jum'at dari pintu yang menghadap Darul Qadla' (rumah
'Umar bin Al Khaththab). Saat itu Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sedang berdiri menyampaikan khutbah, orang itu lalu berdiri
menghadap Rasulullah seraya berkata, "Wahai Rasulullah, harta benda
telah habis dan jalan-jalan terputus. Maka mintalah kepada Allah agar
menurunkan hujan buat kami!" Anas bin Malik berkata, "Maka Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya seraya berdoa:
"Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah berilah kami hujan, Ya Allah
berilah kami hujan." Anas bin Malik melanjutkan, "Demi Allah, sebelum
itu kami tidak melihat sedikitpun awan baik yang tebal maupun yang
tipis. Juga tidak ada antara tempat kami dan bukit itu rumah atau
bangunan satupun. Tiba-tiba dari bukit itu tampaklah awan bagaikan
perisai. Ketika sudah membumbung sampai ke tengah langit, awan itupun
menyebar lalu turunlah hujan." Anas bin Malik berkata, "Demi Allah,
sungguh kami tidak melihat matahari selama enam hari. Kemudian pada
Jum'at berikutnya, ada seorang laki-laki masuk kembali dari pintu yang
sama sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang beridiri
menyampaikan khutbahnya. Orang itu lalu berdiri menghadap beliau seraya
berkata, "Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan pun
terputus. Maka mintalah kepada Allah agar menahan hujan dari kami!"
Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengangkat kedua
tangannya seraya berdoa: "Ya Allah turunkanlah hujan di sekitar kami
saja dan jangan membahayakan kami. Ya Allah turunkanlah di atas
bukit-bukit, dataran tinggi, jurang-jurang yang dalam serta pada
tempat-tempat tumbuhnya pepohonan." Anas bin Malik berkata, "Maka hujan
pun berhenti. Lalu kami keluar berjalan-jalan di bawah sinar matahari."
Syarik berkata, "Aku bertanya kepada Anas bin Malik, 'Apakah laki-laki
tadi juga laki-laki yang pertama? ' Dia menjawab, 'Aku tak tahu'."
K e d u a , hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radlyallahu’anhu:
صحيح البخاري ٩٥٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ
حَدَّثَنَامُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي
أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُالْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
فَقَالَاللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا
فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَبِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Shahih Bukhari 954: dari Anas bin Malik bahwa 'Umar bin Al Khaththab
radliallahu 'anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta
hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya
berdo'a, "Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi
kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami
memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami,, maka turunkanlah
hujan untuk kami." Anas berkata, "Mereka pun kemudian mendapatkan
hujan."
Seorang mukmin dapat pula minta didoakan oleh saudaranya untuknya
seperti ucapannya, “ Berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan
kesemalatan bagiku atau memenuhi permintaanku “. Dan yang serupa dengan
itu . Sebagaimana Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam meminta kepada
seluruh umatnya untuk mendoakan beliau, seperti bershalawat kepada
beliau setelah azan atau memohon kepada Allah agar beliau diberikan
wasilah, keutamaan dan kedudukan yang terpuji yang telah dijanjikan
oleh-Nya. Sebagaimana hadits sebagai berikut :
سنن أبي داوود ٤٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا
ابْنُوَهْبٍ عَنْ ابْنِ لَهِيعَةَ وَحَيْوَةَ وَسَعِيدِ بْنِ أَبِي
أَيُّوبَ عَنْكَعْبِ بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
جُبَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِبْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
إِذَا سَمِعْتُمْالْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا
عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّىعَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ عَزَّوَجَلَّ لِي الْوَسِيلَةَ
فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍمِنْ
عِبَادِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ
اللَّهَلِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ الشَّفَاعَةُ
Sunan Abu Daud 439: dari Abdullah bin Amru bin Al-'Ash, bahwasanya dia
pernah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila
kalian mendengar muadzin mengumandangkan adzan, maka ucapkanlah seperti
apa yang diucapkannya kemudian bacalah shalawat untukku, karena
sesungguhnya orang yang membaca shalawat sekali untukku, maka Allah akan
menganugerahkan sepuluh shalawat (rahmat) kepadanya, lalu mohonlah
kepada Allah Azza wa Jalla Washilah (kedudukan yang tinggi) untukku.
Karena washilah itu suatu kedudukan yang tinggi dalam surga, yang tidak
pantas kecuali bagi seseorang di antara hamba hamba Allah Ta'ala, dan
saya berharap semoga sayalah yang akan menempatinya. Barangsiapa yang
memohonkan wasilah kepada Allah untukku, niscaya dia akan mendapat
syafaat.
Doa yang dimaksud adalah doa sesudah azan yang diajarkan oleh Nabi
صحيح البخاري ٥٧٩: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ
حَدَّثَنَاشُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ
عَنْ جَابِرِ بْنِعَبْدِ اللَّهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ
حِينَيَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ
التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِآتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ
وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِيوَعَدْتَهُ حَلَّتْ
لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Shahih Bukhari 579: dari Jabir bin 'Abdullah, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berdo'a setelah
mendengar adzan: ALLAHUMMA RABBA HAADZIHID DA'WATIT TAMMAH WASHSHALAATIL
QAA'IMAH. AATI MUHAMMADANIL WASIILATA WALFADLIILAH WAB'ATSHU MAQAAMAM
MAHMUUDANIL LADZII WA'ADTAH (Ya Allah. Rabb Pemilik seruan yang sempurna
ini, dan Pemilik shalat yang akan didirikan ini, berikanlah wasilah
(perantara) dan keutamaan kepada Muhammad. Bangkitkanlah ia pada
kedudukan yang terpuji sebagaimana Engkau telah jannjikan) '. Maka ia
berhak mendapatkan syafa'atku pada hari kiamat."
Sesungguhnya masih banyak lagi dalil-dalil al Qur’an maupun al Hadits
ataupun perbuatan para sahabat yang melaksanakan amalan, do’a dengan
berwasilah. Kiranya kuranglah bijaksana kalau kita paparkan satu demi
satu karena amat banyak dan panjangnya dalam buku yang amat terbatas
ini. Kiranya cukup jelas dan gamblang sekali dalil-dalil, alasan-alasan
tersebut untuk membatalkan anggapan kalangan orang-orang yang melarang
berwasilah secara mutlak, baik berwasilah kepada orang hidup maupun
berwasilah kepada orang yang sudah mati. Dengan demikian batal pulalah
anggapan kalangan orang-orang yang melarang berwasilah kepada selain
Rasulullah Saw.
Perbuatan dan ucapan para sahabat, khulafaurrosyidin menjadi hujjah
dalam masalah hukum agama dan keagamaan. Sabda Rasulullah Saw:
اِقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
فَاِنَّهُمَا حَبْلُ اللهِ الْمَمْدُوْدُ مَنْ تَمَسَّكَ بِهِمَا فَقَدْ
تَمَسَّكَ بِالْعَرْوَةِ الْوثْقَى لانْفِصَامَ لَهَا
Ikutilah oleh kamu dua orang sesudahku Abu Bakar dan Umar. Sesungguhnya
kedua orang tersebut adalah tali Allah yang dipanjangkan. Barang siapa
yang berpegang teguh kepada keduanya, niscaya dia berpegang teguh kepada
tali yang kuat yang tidak akan terputus. (HR. Thabrani)
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ
Hendaklah kamu ikuti sunahku dan sunah khulafaurrosyidin yang selalu mendapat hidayah dari Allah. (al Hadits)
Berwasilah (Tawassul) yang dilarang
Tawassul dengan hak makhluk
Tawassul ini pun tidak dibolehkan, karena dua alasan :
P e r t a m a , bahwa Allah subhanahu wa ta’ala, tidak wajib memenuhi
hak atas seseorang, tetapi justeru sebaliknya Allah lah yang
menganugerahi hak tersebut kepada makhluk-Nya. Sebagaimana firmannya :
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ
يُحْيِيكُمْ هَلْ مِنشُرَكَائِكُم مَّن يَفْعَلُ مِن ذَلِكُم مِّن شَيْءٍ
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّايُشْرِكُونَ
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang
kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang
demikian itu? Maha Sucilah Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
persekutukan. ( QS. Ar Ruum : 40)
Orang yang ta’at berhak mendapatkan balasan kebaikan dari Allah karena
anugerahdab nikmat bukan karenab alasan setara sebagaimana makhluk
dengan makhluk yang lain.
K e d u a , hak yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah hak
khusus bagi diri hamba tersebut dan ada tidak kaitannya dengan orang
lain dalam hak tersebut. Jika ada yang bertawassul dengannya, padahal
dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara yang
asing yang tidak ada kaitannya anta dirinya denganhal tersebut dan itu
tidak bermanfaat untuknya samasekali.
Adapun hadits yang berbunyi : “ Aku memohon kepada-Mu dengan hak
orang-orang yang memohon… “hadits ini dha’if sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Ahmad.
TAWASSUL SYIRIK
Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal
sebagai perantara dalam ibadah seperti berdoa kepada mereka, meminta
hajat atau memohon pertolongan sesuatu kepada mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ
أَوْلِيَاء مَانَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيمَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di
antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar (
QS.Az-Zumar : 3 )
Tawassul dengan meminta doa kepada orang mati tidak diperbolehkan bahkan
perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayity sudah tidak bisa
berdoa seperti ketika ia masih hidup. Demikian juga meminta syafa’at
kepada orang mati, karena Umar bin Khattab radlyallahu’anhu, Mu’awiyah
bin Abi Sufyan radlyallahu’anhu dan para sahabat yang bersama mereka,
juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, ketika ditimpa
kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan, bertwassul dan meminta
syafaat kepada orang yang masih hidup, seperti kepada Abbas bin Abdul
Muthalib dan Yasid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul,meminta
diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam,
baik di kuburan beliau ataupun dikuburan orang lain, tetapi mereka
mencari pengganti dengan orang masih hidup.
صحيح البخاري ٩٥٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ
حَدَّثَنَامُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي
أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُالْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
فَقَالَاللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا
فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَبِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Shahih Bukhari 954: dari Anas bin Malik bahwa 'Umar bin Al Khaththab
radliallahu 'anhu ketika kaum muslimin tertimpa musibah, ia meminta
hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya
berdo'a, "Ya Allah, kami meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi
kami, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami
memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami,, maka turunkanlah
hujan untuk kami." Anas berkata, "Mereka pun kemudian mendapatkan
hujan."
Mereka menjadikan al-‘Abbas radlyallahu’anhu sebagai pengganti dalam
bertawassul ketika mereka tidak lagi bertwassul kepada Nabi Muhammad
shalallahu’alaihi wa sallam sesuai dengan yang disyari’atkan sebagaimana
yang telah mereka lakukan sebelumnya. Padahal sangat mungkin bagi
mereka untuk datang ke kubur Nabi shalallahu’alahi wa sallam dan
bertwassul melalui beliau, jika itu memang hal itu dibolehkan. Mereka
(para sahabat) meninggalkan praktek-praktek tersebut merupakan bukti
tidak diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati, baik meminta doa
maupun syafa’at kepada mereka . Seandainya meminta doa atau syafa’at,
baik kepada orang mati atau maupun yang masih hidup itu sama saja, tentu
mereka tidak berpaling dari Nabi shalallahu’alaihi wa sallam kepada
orang yang lebi rendah derajatnya ( dalam hal ini al-‘Abbas bin
Muthalib.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاء وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاءوَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُورِ
Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang ma ti.
Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang
didalam kubur dapat mendengar ( QS.Faathir : 22 )
Bai'at
Bai’at adalah pelantikan, peresmian, penobatan (tahbis) seorang yang
memiliki keseriusan dalam menempuh jalan pengetahuan (makrifat) Allah
melalui seorang Mursyid yang diyakini memiliki hubungan khusus secara
jasmani dan ruhani kepada Rasulullah Saw. Bai’at, talqin, pemberian
ijazah atau inisiasi spiritual dikaitkan dengan peristiwa Bai’atur
Ridwan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat.
Ketika itu para sahabat menyatakan janji setia dalam kondisi apapun
untuk mengabdi kepada Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa ini dilukiskan
dalam Al-Quran:
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ
الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ
عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا ﴿الفتح:١٨
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka
berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang
ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).
Di zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak
masuk agama Islam serta bagi yang berkeinginan menunaikan
pekerjaan-pekerjaan (perintah) agama. Di antara bai’at yang ada waktu
itu adalah bai’at untuk taat dan patuh kepada Rasulullah Saw.
Berbai’at untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan Sunnah
Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at
merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan
beragama.
Ada yang memiliki persepsi keliru bahwa bai’at hanya dilakukan di saat
peperangan sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para
sahabatnya ketika menghadapi kaum kafir Mekah. Padahal asbabun nuzul
(sebab turunnya) kedua ayat tersebut menunjukkan disyari’atkannya bai’at
dan tidak ada penjelasan bahwa bai’at hanya dilakukan pada saat
peperangan saja. Kebijakan syari’at bai’at dilakukan pada setiap zaman
untuk membangun kepemimpinan.
Makna Bai’at
Secara etimologi Bai’at adalah Isim mashdar dari
baa-ya’a-yubaaya’a-bay’atun [بايع – يبايع - بيعة]. Asalnya sama dengan
baayi’un (transaksi). Makna bai’at itu sendiri adalah sumpah setia
dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat
antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at
terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggung jawab
kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban
ini merupakan hasil dari bai’at.
Bai’at lebih merupakan pernyataan komitmen spiritual secara formal di
depan mursyid untuk menjalani hidup yang benar dan lurus. Bai’at dapat
menjadi terapi kaget (shock theraphy) menuju untuk hijrah kepada
susasana batin yang baru dan memberikan motivasi berkomitmen dalam
kehidupan yang benar. Dari akar kata tersebut diketahui bahwa kata
bai’at pada mulanya dimaksudkan sebagai pertanda kesepakatan atas suatu
transaksi jual beli antara dua pihak. Kesepakatan itu biasanya
dilakukan dengan berjabatan tangan. Istilah ini kemudian berkembang
sebagai ungkapan bagi kesepakatan terhadap suatu perjanjian antara dua
pihak secara umum.
Bai’at di dunia tarekat bisa diperbarui seandainya seseorang memerlukan
pengisian kembali (recharging ) energi spiritual dari mursyid. Namun
perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mursyid bukan santo atau lembaga
pastoral yang dapat atas nama Tuhan memberikan pengampunan dosa terhadap
jamaah. Fungsi mursyid sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hanya
berfungsi sebagai motivator dan tutor yang dipercayai salik.
Hak dan Kewajiban
Hak Imam (Mursyid) adalah ditaati. Kewajibannya membimbing pengikutnya
kepada jalan yang lurus. Jalan yang lurus merupakan anugerah besar yang
hanya dibawa oleh orang-orang pilihan-Nya. Dan anugerah tersebut bukan
berasal dari manusia atau makhluk-Nya.
Anugerah atas manusia pilihan Allah tersebut adalah Kenabian dan
Kerasulan, di dalamnya terdapat kepemimpinan. Termasuk di dalamnya
adalah Al-’Ulama, pewaris Nabi yang melanjutkan tongkat estafet
kepemimpinan selanjutnya.
Orang-orang pilihan Allah tersebut membawa panji-panji Ilahiyyah yang
berisi kebijakan yang lurus dalam menggapai Keridhaan Allah SWT.
Hak Murid adalah dipimpin, dibimbing, diberi petunjuk kepada jalan yang
lurus. Posisi Mursyid adalah sebagai konsultan yang menampung persoalan
atau problematika muridnya. Banyak cara orang untuk memperoleh
ketenangan dan sekaligus motivasi untuk menggapai rasa kedekatan diri
dengan Allah. Salah satu di antaranya ialah menyatakan komitmen
spiritual kepada Allah di depan atau melalui mursyid yang dipilih. Jika
pada suatu saat mengalami krisis spiritual, ia merasa sangat terbantu
oleh kehadiran sahabat spiritual yang berfungsi sebagai konsultan
spiritualnya. Murid memiliki hak untuk bertanya terhadap persoalan yang
belum (tidak mampu) dipecahkannya.
Kewajiban murid adalah Sami’na wa Atho’na. Tidak ada pilihan melainkan
bersikap taat dan turut perintah. Hal ini disebabkan karena telah
terbangun keimanannya kepada Mursyid yang telah dipilih Allah dan
diyakini mendapatkan mandat Ilahiyyah yang membawa kebijakan Allah SWT.
Modal itulah yang melandasi sikap Sami’na wa Atho’na. Sikap ini bukan
taqlid yang dilakukan tanpa dilandasi ilmu pengetahuan, tapi didasarkan
atas kesadaran dan keimanan.
Adanya hak dan kewajiban ini membuktikan konsep keadilan kepemimpinan
dalam Islam. Keadilan inilah yang mendekatkan diri kepada nilai
ketaqwaan.
Kelak akan ada pengikut yang melaknat pemimpinnya, sebagaimana yang diinformasikan dalam Al-Quran:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿الأحزاب: ٦٧﴾
Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati
pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan (yang benar).
Istilah Bai’at disebut juga dengan talqin. Talqin dipakai oleh para Ahli
Tarekat, sedangkanBai’at sering digunakan dalam Fiqh Siyasah (Politik
Islam).
Bagian pengabdian seorang Utusan baik kalangan Nabi atau penerusnya
adalah sebagai pendidik (mu’allim) umatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Quran:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ ﴿الجمعة:
٢﴾
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Bai’at juga disebut juga dengan Ijazah. Ijazah mengandung arti
memberikan suatu amalan atau wirid (kepada murid). Dalam kebijakan
Al-Idrisiyyah Al-Islamiyyah, ketiga istilah ini (Bai’at– Talqin dan
Ijazah) dipadukan dalam satu kesatuan. Bai’at mengandung kesepakatan
terhadap kepemimpinan yang di dalamnya mengandung pendidikan atau
pengajaran sekaligus adanya pemberian amalan (wirid).
Wiridan dalam Ijazah mesti dilakukan oleh setiap murid untuk mengikat
batin, agar tercipta kelangsungan bimbingan dari seorang Guru kepada
murid-muridnya. Karena bimbingan Islam tidak dibatasi waktu dan tempat.
Kapanpun dan di manapun bimbingan (tarbiyyah) ruhiyyah bisa dirasakan.
Seorang murid mesti memiliki daya juang (mujahadah) untuk mendapatkan
hubungan tarbiyyah berjalan dengan baik, salah satunya dengan
melaksanakan awrad (formula dzikir) yang diterimanya.
Apabila seorang Mursyid dengan tanggungjawabnya senantiasa memperhatikan
keselamatan dan kebahagiaan murid-muridnya di dunia dan akhirat, dan
Allah memberikan kekuatan berupa Nur Ilahi-Nya, kemudian muridnya
melakukan mujahadah dalam awrad ijazahnya maka akan tersambunglah
hubungan tersebut.
Firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ
اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ
نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ
أَجْرًا عَظِيمًا ﴿الفتح: ١٠﴾
Bahwasanya orang-orang yang bersumpah setia kepada kamu sesungguhnya
mereka bersumpah setia kepada Allah. Kekuasaan Allah di atas kekuasaan
mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa
menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang
besar.
Terjemah bebas: Barang siapa yang membatalkan janji (tidak komitmen)
atas sumpah setianya maka sesungguhnya dia telah membatalkan perjanjian
pada dirinya sendiri, tidak pada Allah, Rasul dan para Khalifahnya.
Alias yang rugi di pihak dirinya sendiri. Sebaliknya barang siapa yang
sungguh-sungguh pasca bai’at, ijazah dan talqin dengan mencurahkan
seluruh pikiran, ingin memperbaiki diri, masuk ke dalam bimbingan yang
paripurna maka Allah berjaniji akan memberikan kepadanya pahala yang
agung.
Inilah ajaran syari’at yang sangat penting untuk membangun kecerdasan
umat, tapi sayang sekali sebagian besar umat Islam tidak memahami makna
syari’at ini. Sehingga kebanyakan mereka tidak dalam kapasitas
terbimbing. Orang yang berbai’at akan mendapatkan kekuasaan dari Allah
SWT berdasarkan ungkapan Yadullaaha fawqo aydiihim. Karena orang yang
berbai’at kepada Petugas Allah berarti berbai’at kepada Allah. Allah
secara langsung membimbing, memberikan kekuatan, meneguhkan atasnya.
Kekuasan dan Kekuatan Allah di atas kekuasaan dan kekuatan manusia.
Ketika berbai’at, seseorang akan mendapatkan keridhaan-Nya, dosa-dosanya
ditolerir sejalan dengan ungkapan laqod rodhiyallaahu [sungguh Allah
telah meridhai]. Seorang yang sering membuat jengkel orang tua dengan
berbagai kelakuan buruknya, ketika mendapatkan ridha dari orang tuanya,
maka orang tuanya akan melupakan segala apa yang telah dilakukan oleh
anaknya itu. Sebaliknya jika seseorang sedang merasa benci seseorang,
maka ia lupa akan segala kebaikannya. Yang dilihat adalah sisi buruknya
saja. Jika ia seorang suami yang sedang dibenci, akan berubahlah wajah
suaminya yang sebelumnya kelihatan ganteng menjadi buruk rupa.
Seorang Mursyid bertugas (ibadah) melakukan bimbingan, mencurahkan
pikiran dan strategi, membuat berbagai metodologi dan inovasi, supaya
kebijakan yang dibawanya bisa direspon dan diamalkan oleh murid pada
khususnya dan umat pada umumnya. Tanggung jawab seorang Mursyid itu
begitu besar, karena berupa Risalah Al-Islamiyyah yang pernah ditawarkan
kepada seluruh makhluk lain sebelum manusia, mereka tidak sanggup
memikulnya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿الأحزاب: ٧٢﴾
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
Tanggung jawab seorang Mursyid bersifat internal dan eksternal. Skalanya
sangat luas. Sedangkan seorang murid minimal mempertanggungjawabkan
dirinya masing-masing. Kewajiban yang diistiqamahkan akan menghasilkan
kualitas diri yang baik. Bahkan diharapkan menjadi hamba pilihan.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ... إلخ ﴿آلعمران: ١١٠﴾
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
Supaya menjadi suri tauladan bagi manusia, sebagai kewajiban internal
dan eksternal. Murid yang telah berbai’at, mendapatkan bimbingan lahir
batin, wawasan keislaman yang luas, pendalaman dan penghayatan tentang
agama, akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berkualitas, serta menjadi
contoh di hadapan umat manusia.
Pada umumnya manusia memiliki cita-cita yang pendek, sedangkan pribadi
yang berkualitas (khoyro ummah) memiliki visi jauh ke depan, cita-cita
yang tinggi, harapan jangka panjang hingga kepada kebahagiaan di
kehidupan yang kekal.
Ijazah adalah proses pembentukan diri. Formula dzikir yang diberikan
saat menerima Ijazah, bai’at atau talqin bisa berubah (mengalami
inovasi) sesuai kondisi zamannya. Perubahan tersebut adalah bagian dari
kebijakan Allah yang dinamis. Allah senantiasa melakukan Perbuatan-Nya
(Fa’-’aalul limaa yuriid). Sebagai murid mesti memanfaatkan waktu dalam
mewujudkan penghambaan diri kepada-Nya. Waktu menurut filsafat ibarat
air mengalir yang tidak pernah berhenti. Waktu terus bergulir seiring
pergerakan matahari dan bulan. Waktu tidak akan berhenti apalagi mundur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar