Ketenangan hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi
betapa banyak manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah
gulana, kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan
keadaan lainnya yang tidak diinginkannya. Di antara hal terbesar untuk
mendapatkan ketenangan hidup adalah ketika kita hidup di tengah-tengah
manusia dalam keadaan dicintai Allah dan juga dicintai manusia.
Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita
suatu amalan yang akan mendatangkan kecintaan Allah dan juga kecintaan
manusia kepada kita.
Dari Abul 'Abbas Sahl bin Sa'd As-Sa'idiy radhiyallahu 'anhu berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ
إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ:
اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ
النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ
"Datang seseorang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu dia
berkata, 'Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang
apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai
manusia?' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
'Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap
apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu'."
(Shahih, HR. Ibnu Majah)
Al-wara’ menurut bahasa berasal dari kata "wara'a yara'u war'an wa
wara'an wa wari'atan", artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang
diharamkan dan perbuatan menahan diri dari hal halal yang mubah.
Pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un. lafazh wari'a yaura'u wa
yauri'u artinya menjadi orang yang wara'. tawarra'a minal-amri artinya
menjauhinya. al-wara' dapat menggerakkan ketakwaan.
Menurut pengertian terminologis, al-wara' artinya menahan diri dari
hal-hal yang dapat menimbulka mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal
yang haram dan syubhat, karena syubhat ini dapat menimbulkan mudharat.
Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِيْنَ
مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا
وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا
بِاللهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu
ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nyata
permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu selama-lamanya, sampai
kamu mau beriman kepada Allah semata’.” (Al-Mumtahanah: 4)
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ
وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ
النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ
وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ،
كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ
وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ
أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ
الْقَلْبُ
[رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata: Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya
terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui
oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia
telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus
dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang
diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan
gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka
lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki
larangan dan larangan Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah
bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka
baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh
tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah
kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak
adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa
kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا
أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ
اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
"Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara
keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak
mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat
maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya." (HR. al-Bukhari,
kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107.)
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan,
niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat:
"Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani
(kepada yang diharamkan)." (Sunan Abu Daud, kitab buyu' (jual beli),
bab ke-3 no. 3329.)
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” [Hasan : Sunan Tirmidzi]
Makna hadits ini mencakup setiap yang tidak bermanfaat dari ucapan,
penglihatan, pendengaran, ayunan tangan, berjalan, berpikir dan seluruh
gerak yang tampak ataupun yang tidak (batin). Hadits ini telah mencakup
semua makna yang terkandung dalam lafazh wara’.
Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع
“Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan
sebaik-baik agama kalian adalah sifat wara’” (HR. Ath Thobroni dalam Al
Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat berharga pada Abu Hurairah,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ وَكُنْ
قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ
لِنَفْسِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا وَأَحَسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ تَكُنْ
مُسْلِمًا وَأَقِلَّ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ
الْقَلْبَ
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi
sebaik-baiknya ahli ibadah. Jadilah orang yang qona’ah (selalu merasa
cukup dengan pemberian Allah), maka engkau akan menjadi orang yang
benar-benar bersyukur. Sukailah sesuatu pada manusia sebagaimana engkau
suka jika ia ada pada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi seorang
mukmin yang baik. Berbuat baiklah pada tetanggamu, maka engkau akan
menjadi muslim sejati. Kurangilah banyak tertawa karena banyak tertawa
dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah no. 4217).
Sangat sederhana sekali apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah mengenai pengertian wara’, beliau cukup mengartikan dengan
dalil dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah Rohimahulloh menjelaskan,
وقد جمع النبي الورع كله في كلمة واحدة فقال : من حسن إسلام المرء تركه ما
لا يعنيه فهذا يعم الترك لما لا يعني : من الكلام والنظر والاستماع والبطش
والمشي والفكر وسائر الحركات الظاهرة والباطنة فهذه الكلمة كافية شافية في
الورع
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun makna wara’ dalam
satu kalimat yaitu dalam sabda beliau, “Di antara tanda kebaikan Islam
seseorang yaitu meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” Hadits ini
dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat yaitu mencakup
perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan, berpikir,
dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sudah
mencukupi untuk memahami arti wara’.” (Madarijus Salikin, 2: 21).
Dinukil dari Madarijus Salikin (di halaman yang sama), Ibrahim bin Adham berkata,
الورع ترك كل شبهة وترك ما لا يعنيك هو ترك الفضلات
“Wara’ adalah meninggalkan setiap perkara syubhat (yang masih samar),
termasuk pula meninggalkan hal yang tidak bermanfaat untukmu, yang
dimaksud adalah meninggalkan perkara mubah yang berlebihan.”
Sahl At Tursturiy berkata, “Seseorang tidaklah dapat mencapai hakikat
iman hingga ia memiliki empat sifat: (1) menunaikan amalan wajib dengan
disempurnakan amalan sunnah, (2) makan makanan halal dengan sifat wara’,
(3) menjauhi larangan secara lahir dan batin, (4) sabar dalam hal-hal
tadi hingga maut menjemput.”
Sahl juga berkata, “Siapa yang makan makanan haram dalam keadaan ingin
atau tidak, baik ia tahu atau tidak, maka bermaksiatlah anggota
badannya. Namun jika makanan yang ia konsumsi adalah halal, maka
patuhlah anggota badannya dan akan diberi taufik melakukan kebaikan.”
(Dinukil dari Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Wara’ adalah keluar dari syubhat (perkara
yang samar) dan setiap saat selalu mengintrospeksi diri.” (Dinukil dari
Sholahul Ummah fii ‘Uluwwil Himmah, 4: 326)
Ibnu Rajab mengutarakan pengertian wara’ dengan mengemukakan hadits,
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Tinggalkan hal yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu.” (HR. An Nasai dan Tirmidzi)
Ibnu Rajab berkata bahwa sebagian tabi’in berkata,
تركت الذنوب حياء أربعين سنة ، ثم أدركني الورع
“Aku meninggalkan dosa selama 40 tahun lamanya. Akhrinya, aku mendapati
sifat wara’.” (Fathul Bari, Ibnu Rajab, Asy Syamilah, 1: 51).
Lihatlah bagaimana sikap Imam Nawawi rahimahullah dalam menyikapi
apabila ada keragu-raguan dalam masalah suatu hukum, halal ataukah
haram. Beliau berkata,
فَإِذَا تَرَدَّدَ الشَّيْء بَيْن الْحِلّ وَالْحُرْمَة ، وَلَمْ يَكُنْ
فِيهِ نَصّ وَلَا إِجْمَاع ، اِجْتَهَدَ فِيهِ الْمُجْتَهِد ، فَأَلْحَقهُ
بِأَحَدِهِمَا بِالدَّلِيلِ الشَّرْعِيّ فَإِذَا أَلْحَقَهُ بِهِ صَارَ
حَلَالًا ، وَقَدْ يَكُون غَيْر خَال عَنْ الِاحْتِمَال الْبَيِّن ،
فَيَكُون الْوَرَع تَرْكه ، وَيَكُون دَاخِلًا فِي قَوْله صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( فَمَنْ اِتَّقَى الشُّبُهَات فَقَدْ اِسْتَبْرَأَ
لِدِينِهِ وَعِرْضه )
“Jika muncul keragu-raguan akan halal dan haramnya sesuatu, sedangkan
tidak ada dalil tegas, tidak ada ijma’ (konsensus ulama); lalu yang
punya kemampuan berijtihad, ia berijtihad dengan menggandengkan hukum
pada dalil, lalu jadinya ada yang halal, namun ada yang masih tidak
jelas hukumnya, maka sikap wara’ adalah meninggalkan yang masih
meragukan tersebut. Sikap wara’ seperti ini termasuk dalam sabda Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Barangsiapa yang selamat dari perkara
syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya.” (Syarh
Muslim, 11: 28).
Wara' harus dengan Ilmu
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Dari kesempurnaan wara’ adalah hendaknya seseorang mengetahui yang
terbaik dari dua kebaikan dan yang terburuk dari dua keburukan,
mengetahui bahwa landasan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan dan
menyempurnakan nya, serta mengeliminasi kerusakan dan meminimalkan nya.
Maka barangsiapa yang tidak menyeimbangkan antara mengerjakan dan
meninggalkan maslahat dan mudharat, mungkin saja dia meninggalkan yang
wajib dan melakukan yang haram, dan memandang sikap tersebut sebagai
sikap wara’, seperti orang yang tidak ikut serta berjihad bersama
pemimpin yang zhalim, lalu melihat hal tersebut sebagai sikap wara’.
Misalnya, datang pasukkan tentara Islam kepada pemimpin yang belum bisa
diganti, pada diri pemimpin tersebut terdapat sifat kefasikan namun dia
berjihad melawan orang-orang kafir. Salah seorang dari mereka berkata :
“Saya menahan diri (wara’) untuk tidak berjihad dibelakang orang fasik
ini.” Maka apa yang akan terjadi? Pasti musuh akan dapat membinasakan
negeri kaum muslimin dan kaum muslimin akan terjerumus dalam kekalahan.
Salah seorang dari mereka bapaknya meninggal dunia, bapaknya itu
memiliki harta yang termasar kehalalan nya dan dia memiliki hutang.
Ketika orang-orang datang untuk menagih hak mereka, salah seorang
anaknya berkata : “Kami menahan diri (wara’) untuk melunasi hutang bapak
kami dengan harta yang syubhat ini.” Ini adalah sikap wara’ yang batil
dan pelakunya adalah orang yang bodoh.
Jadi kebodohan membuat sebagian orang meninggalkan kewajiban dengan
anggapan bahwa dia bersikap wara’, meninggalkan shalat Jumat dan shalat
berjamaah dibelakang imam ahli bid’ah atau pelaku dosa dan menganggap
bahwa tindakan tersebut sebagai sikap wara’, menolak untuk menerima
persaksian hamba, tidak mau menerima ilmu seorang alim karena pada diri
orang tersebut terdapat bid’ah yang tersembunyi, lalu memandang bahwa
tidak mau menerima kebenaran yang wajib didengarnya sebagai sikap
wara’.”
Tingkatan wara’
Sebagian Ulama membagi wara’ kepada tiga tingkatan :
Pertama : Wajib, yaitu meninggalkan yang haram. Dan ini umum untuk seluruh manusia.
Kedua : Menahan diri dari yang syubhat, ini dilakukan oleh sebagian kecil manusia.
Ketiga : Meninggalkan kebanyakan perkara yang mubah, dengan mengambil
yang benar-benar penting saja, ini dilakukan oleh para Nabi, orang-orang
yang benar (shiddiqin), para syuhada’ dan orang-orang shalih.
Wara’ dari perkara yang mubah maksud nya wara’ dari perkara mubah yang
dapat mengantarkan nya kepada yang haram. Bukan didalam hal yang
jelas-jelas kemubahan nya. Bahkan perkara mubah bisa menjadi ibadah
apabila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala. Misalnya, seseorang makan dengan niat untuk mendapatkan tenaga
agar bisa beribadah kepada Allah, atau tidur agar bisa melaksanakan
shalat malam, menikah dengan niat memberikan nafkah kepada isteri dan
mengikuti sunnah Rasulullah dan semisalnya.
Potret sikap wara’ orang-orang shaleh
Wara’nya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersikap wara’ terhadap buah
kurma yang didapatkan dirumahnya. Hasan bin Ali mengambil kurma zakat
dan memasukkan kedalam mulutnya, maka Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda : “Kuhk, Kuhk..” yakni agar memuntahkan nya, kemudian beliau
bersabda : “Tidakkah kamu menyadari bahwa kita tidak makan dari harta
zakat.” [Shahih Bukhari dan Muslim]
Wara’nya Abu Bakar Radhiyallahu’anahu
Beliau memiliki seorang budak yang membayar upeti kepadanya. Abu Bakar
makan dari upeti tersebut. Suatu hari budak itu membawa makanan, maka
Abu Bakr menahan nya. Setelah itu budak tersebut berkata : “Tahukah apa
yang telah kamu makan?” Abu Bakar bertanya : “Apa itu?” Dia berkata :
“Dulu aku pernah menjadi dukun untuk seseorang dimasa jahiliyah.
Sesungguhnya aku tidak pandai berdukun, tetapi aku mau menipunya. Dia
menemuiku dan memberikan sesuatu kepadaku dan itulah yang engkau makan.”
Maka Abu Bakar memasukkan tangan nya kedalam mulutnya dan memuntahkan
seluruh yang ada dalam perutnya.” [Shahih bukhari]
Wara’ nya Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu
Umar bin Khaththab membagikan pakaian kepada para wanita Madinah, maka
tersisa pakaian yang bagus. Sebagian orang yang ada disisinya bertanya :
“Wahai Amirul Mukminin, berikan ini kepada puteri Rasulullah yang ada
disisimu.” Yang mereka maksud adalah Ummu Kaltsum yakni Puteri Ali yang
dinikahi Umar, dia adalah cucu Rasulullah, maka Umar berkata : “Ummu
Salith lebih berhak.” Ummu Salith adalah wanita Anshar yang berbai’at
kepada Nabi karena dia menjahit bagi kami tempat air pada waktu perang
Uhud.” [Shahih Bukhari]
Perjalana spiritual yang dilakukan seorang sufi dalam menemukan hakikat
dan ma’rifat tersebut kadang-kadang mempunyai kecenderungan yang
berbeda-beda. Sebagian orang yang menekuni dunia kema’rifatan ia
meninggalkan hal yang diragukan halalnya karena khawatir terjerumus
kedalam dosa. Ia meninggalkan hal yang bersifat subhat karena khawatir
terjerumus kedalam maksiat. Itulah sifat wara’, penghati-hati, sifat
yang positif penuh mawas diri. Menjaga diri dari perbuatan dosa terhadap
hal yang diragukan halal-haramnya.
Sebagian gejala orang yang ma’rifat ia hidup zuhud, tidak rakus terhadap
dunia, tidak terkelabuhi oleh gemerlap mayapada. Apa pun yang
mengganggu ibadahnya ia singkiri, ia hindari sejauh-jauhnya. Zuhud bukan
berarti “nyingkor kadonyan”, menjauhi dunia, hidup menderita. Bukan!
Zuhud berarti “hidup prihatin” mengabdi Tuhan. Pola cara hidupnya
sederhana, demi Ar-Rahman.
Gejala orang yang ma’rifat juga termasuk faqr,. Tidak meminta lebih dari
pada yang menjadi haknya, tidak banyak memohon rezeki, kecuali hanya
menjalankan kewajiban-kewajibannya dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar