Di kitab “Ta‘lîm al-Muta‘allim”terdapat syair tentang kerendahan hati yang berbunyi :
إِنَّ التَّوَاضُعَ مِنْ خِصَالِ الْمُتَّقِي * وَبِهِ التَّقِيُّ إِلىَ الْمَعَـالِي يَرْتَقِي
Sesungguhnya rendah hati adalah salah satu ciri orang yang bertakwa
Dengannya, orang yang bertakwa mencapai derajat kemuliaan
Nabi Muhammad saw. juga telah memerintahkan kita untuk selalu bersikap rendah hati. Dalam sebuah hadits beliau bersabda :
إِنَّ اللهَ أَوْحَى ِإلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغَى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku agar kalian
bertawadhu‘, sehingga tak seorang pun menyombongkan diri kepada yang
lain, atau seseorang tiada menganiaya kepada yang lainnya. (HR Muslim)
Di hadits lain, Rasulullah saw. mengingatkan akan jaminan bahwa orang yang rendah hati akan diangkat derajatnya oleh Allah.
مَازَادَ اللهُ عَبْـدًا ِبعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ
Allah tidak menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali
kemuliaan, dan tidaklah seorang hamba bersikap tawadhu‘ kecuali Allah
pasti mengangkat (derajatnya). (HR Muslim)
مَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَبَّرَ وَضَعَهُ اللهُ
Siapa rendah hati karena Allah, maka Allah mengangkat (derajat)-nya; dan
siapa sombong, maka Allah menyia-nyiakannya.(HR Abu Nu‘aim)
الْكَرَمُ التَّقْوَى، وَالشَّرَفُ التَّوَاضُعُ، وَالْيَقِيْنُ الْغِنَى
Kedermawanan adalah ketakwaan, kemuliaan adalah tawadhu‘ dan keyakinan adalah kekayaan. (HR Ibnu Abi Dunya dan Hakim)
Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang
lebih dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai
lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Orang yang tawadhu’
adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya
bersumber dari Allah SWT. Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak
pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih
baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi
yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan
niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap
menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.
Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi
perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain
amal kebaikan kita.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah
selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu
merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat
islam.
Tasawuf merupakan salah satu aspek Islam, sebagai perwujudan dari ihsan,
yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang
hamba dengan Tuhan-Nya.
Dalam dunia tasawuf, seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya, harus
melakukan perjalanan dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara
dirinya dengan Tuhan-Nya. Dalam tasawuf sikap ini disebut tawadhu’.
Dalam agama Islam, orang yang pertama kali memperkenalkan sifat tawadhu’
adalah Nabi Muhammad SAW. Dengan ketinggian akhlak beliau, maka
mula-mula para shahabat mencontoh perilaku serta sifat-sifat beliau yang
salah satu sifatnya adalah sifat tawadhu’. Dalam dunia sufi pun, sifat
tawadhu’adalah salah satu cara untuk membersihkan jiwa. Karena lawan
dari sombong/ tinggi hati adalah tawadhu’/ rendah hati.
Sikap tawadhu’ sangat erat kaitannya dengan sifat ikhlas. Rangkuman
keikhlasan seorang hamba ada pada ketawadhu’annya. Orang yang mampu
bersikaptawadhu’ berarti keikhlasan telah bersarang di hatinya. Bedanya,
ketawadhu’an lebih bersifat horizontal.
Tawadhu’ banyak berhubungan dengan manusia secara sosial. Sedangkan
Ikhlas, lebih bersifat vertikal, langsung kepada Allah, tawadhu’ bukan
berarti menghinakan diri. Tapi tawadhu’ adalah bentuk penghambaan kepada
Tuhan yang sesungguhnya. Tawadhu’ juga sering disebut sebagai obat dari
sifat sombong. Karena dengan mencabut sifat sombong, maka akan timbul
sifat rendah hati/tawadhu’.
Dalil naqli takabbur diambil dari surah Luqman
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور
"Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia dan berjalan di
muka bumi in dengan angkuh. Sesungguhnya Alloh SWT tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri"
(QS. Luqman:18)
Sifat takabbur atau sombong sendiri mempunya kebalikan atau lawan dari
sifat sombong yaitu sifat tawaddlu' (rendah hati ) ingat bukan berarti
rendah hati itu rendah diri. Sedangkan pengertian tawaddlu' menurut
istilah adalah mengaggap orang lain itu lebih baik lebih segalanya lebih
superior dibandingkan dirinya .
Allah Ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan
(yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Qashash:
83)
Allah Ta’ala berfirman:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, dari kalangan orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara`: 215)
Dari Iyadh bin Himar radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Dan Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar
tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak
seorang pun berlaku zhalim pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi
maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan
tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan
mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Dari Al-Aswad rahimahullah dia berkata: Aku pernah bertanya kepada
‘Aisyah tentang apa yang dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
ketika berada di rumah. Maka ‘Aisyah menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu
shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Al-Bukhari
no. 6939)
Penjelasan ringkas:
Tawadhu’ dan rendah diri kepada kaum mukminin merupakan sifat terpuji
yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Karenanya barangsiapa yang
tawadhu niscaya Allah akan mengangkat kedudukannya di mata manusia di
dunia dan di akhirat dalam surga. Karenanya tidak akan masuk surga orang
yang di dalam hatinya ada kesombongan sekecil apapun, karena negeri
akhirat beserta semua kenikmatannya hanya Allah peruntukkan bagi orang
yang tidak tinggi hati dan orang yang tawadhu’ kepada-Nya.
Dan dalam hal ini -sebagaimana dalam sifat terpuji lainnya-, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam merupakan suri tauladan terbaik. Bagaimana
tidak sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan beliau untuk merendah
kepada kaum mukminin. Karenanya beliau senantiasa tawadhu’ dan bergaul
dengan kaum mukminin dari seluruh lapisan, dari yang kaya sampai yang
miskin, dari orang kota sampai arab badui. Beliau duduk berbaur bersama
mereka, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka agar juga bersifat
tawadhu’. Kedudukan beliau yang tinggi tidak mencegah beliau untuk
melakukan amalan yang merupakan kewajibannya sebagai kepala rumah
tangga. Karenanya sesibuk apapun beliau, beliau tetap menyempatkan untuk
mengerjakan pekerjaan keluarganya di rumah.
Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab:
21)
Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih memberi salam pada
anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas
berkata,
أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يزور الأنصار ويسلم على صبيانهم ويمسح رؤوسهم
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkunjung ke
orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka
dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no.
459. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat
ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang
lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih
mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.
Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
di rumahnya. Beliau membantu istrinya. Bahkan jika sendalnya putus atau
bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau
lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.
عَنْ عُرْوَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي
شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَ
عِنْدَكِ؟ قَالَتْ: “مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ
يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ”
Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang
dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersamamu
(di rumahmu)?” Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang
dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya.
Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di
ember.” (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no.
5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu istri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa rasa malu membantu
pekerjaan istrinya. ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah
menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu
shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no.
676).
Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak,
menemani anak ketika istri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci
pakaian.
Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’
قال الحسن رحمه الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك فلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك فضلاً .
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’?
Tawadhu’adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu
seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”
يقول الشافعي: « أرفع الناس قدرا : من لا يرى قدره ، وأكبر الناس فضلا : من لا يرى فضله »
Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah
orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling
mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.” (Syu’abul
Iman, Al Baihaqi, 6: 304)
يقول بشر بن الحارث: “ما رأيتُ أحسنَ من غنيّ جالسٍ بين يدَي فقير”.
Basyr bin Al Harits berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang kaya
yang duduk di tengah-tengah orang fakir.” Yang bisa melakukan demikian
tentu yang memiliki sifat tawadhu’.
قال عبد الله بن المبارك: “رأسُ التواضعِ أن تضَع نفسَك عند من هو دونك في
نعمةِ الله حتى تعلِمَه أن ليس لك بدنياك عليه فضل [أخرجه البيهقي في الشعب
(6/298)].
‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau
meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat
Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah
semulia dirinya.” (Syu’abul Iman, Al Baihaqi, 6: 298)
قال سفيان بن عيينة: من كانت معصيته في شهوة فارج له التوبة فإن آدم عليه
السلام عصى مشتهياً فاستغفر فغفر له، فإذا كانت معصيته من كبر فاخش عليه
اللعنة. فإن إبليس عصى مستكبراً فلعن.
Sufyan bin ‘Uyainah berkata, “Siapa yang maksiatnya karena syahwat, maka
taubat akan membebaskan dirinya. Buktinya saja Nabi Adam ‘alaihis salam
bermaksiat karena nafsu syahwatnya, lalu ia bersitighfar (memohon ampun
pada Allah), Allah pun akhirnya mengampuninya. Namun, jika siapa yang
maksiatnya karena sifat sombong (lawan dari tawadhu’), khawatirlah
karena laknat Allah akan menimpanya. Ingatlah bahwa Iblis itu bermaksiat
karena sombong (takabbur), lantas Allah pun melaknatnya.”
قال أبو بكر الصديق: وجدنا الكرم في التقوى ، والغنى في اليقين ، والشرف في التواضع.
Abu Bakr Ash Shiddiq berkata, “Kami dapati kemuliaan itu datang dari
sifattakwa, qona’ah (merasa cukup) muncul karena yakin (pada apa yang
ada di sisi Allah), kedudukan mulia didapati dari sifat tawadhu’.”
قال عروة بن الورد :التواضع أحد مصائد الشرف، وكل نعمة محسود عليها إلا التواضع.
‘Urwah bin Al Warid berkata, “Tawadhu’ adalah salah satu jalan menuju
kemuliaan. Setiap nikmat pasti ada yang merasa iri kecuali pada sifat
tawadhu’.”
قال يحيى بن معين :ما رأيت مثل أحمد بن حنبل!! صحبناه خمسين سنة ما افتخر علينا بشيء مما كان عليه من الصلاح والخير
Yahya bin Ma’in berkata, “Aku tidaklah pernah melihat orang semisal Imam
Ahmad! Aku telah bersahabat dengan beliau selama 50 tahun, namun beliau
sama sekali tidak pernah menyombongkan diri terhadap kebaikan yang ia
miliki.”
قال زياد النمري :الزاهد بغير تواضع .. كالشجرة التي لا تثمر
Ziyad An Numari berkata, “Orang yang zuhud namun tidak memiliki sifat tawadhu adalah seperti pohon yang tidak berbuah.
Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.
اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta
(Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat
menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no.
771).
Ketika ditanya mengenai arti tawadhu‘ (rendah hati), al-Fudhail
menjawab, “Kamu tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya. Walaupun
engkau mendengarnya dari anak kecil, engkau tetap menerimanya. Bahkan,
meskipun engkau mendengarnya dari orang terbodoh, engkau tetap
menerimanya.”
Rendah hati adalah syarat pertama jika kita ingin mencapai derajat sebagai insan yang bertakwa.
Rendah hati merupakan puncak dari akhlak seorang mukmin, yaitu rendah hati kepada Allah, Sang Pemilik kehidupan.
Rendah hati tidak mungkin diraih hanya dengan ilmu, harus diiringi dengan amal perbuatan.
Rendah hati dari segi ilmu memang mudah dipelajari, namun dalam
implementasinya membutuhkan waktu yang tidak singkat, bisa
bertahun-tahun
Rendah hati bertahap belajarnya. Seiring perjalanan usia, ilmu dan pengalaman seharusnya semakin rendah hati.
Rendah hati dapat diteladani dari diri Rasulullah saw., karena beliaulah
orang paling bertakwa di seluruh alam semesta. Bahkan, malaikat pun
hormat kepada beliau karena derajat beliau yang begitu mulia di sisi
Allah SWT. Nabi Muhammad saw. dipuji oleh Allah sebagai makhluk dengan
akhlak sangat terpuji dan mendapat anugerah sebagai kekasih Allah
(habîbullâh).
Di sebuah puisi, ‘Aidh al-Qarni mengungkapkan sanjungannya kepada Rasulullah saw. :
Siapa yang menghampiri pintu rumahmu, tak berhenti raga
bertutur tentang anugerah yang kau berikan
Mata bercerita tentang suka cita, tangan tentang persaudaraan,
hati tentang kelembutan, telinga tentang kebajikan
Demi Tuhan, kata-katamu mengalir bagai madu
Ataukah engkau benar-benar telah menuangkan madu pada mulut kami
Ataukah untaian makna yang kau ungkapkan
Aku melihat permata dan batu zamrud tersampaikan
Jika dirasakan oleh yang sekarat, akan tertahan ruhnya
Dan jika dipandang oleh yang di rantau, akan terobati kerinduannya
Para ulama menjelaskan bahwa rendah hati harus dimiliki dalam setiap
kondisi dan tingkat atau kedudukan. Ketika kita masih belum menjadi
apa-apa (tahap belajar), kita ibarat sebuah biji tanaman. Tanamlah biji
itu di dalam tanah. Apabila diletakkan di atas tanah, dikuatirkan mudah
dimakan binatang atau hilang disapu angin.
Saat kita berusaha mencapai puncak, hal ini laksana mendaki gunung. Agar
lebih mudah mendakinya, maka badan kita harus condong ke depan dan
pandangan mata ke arah bawah. Pernahkah kita melihat seorang pendaki
gunung berjalan sambil menegakkan badan, mendongakkan kepala dan
membusungkan dada? Semakin curam jalan yang kita daki, kita pun semakin
merunduk, bahkan merayap. Bukankah pada dasarnya panjat tebing dilakukan
dengan merayap?
Tatkala sudah di puncak, rendah hati tetap harus menghiasi diri. Angin
pasti berhembus lebih kencang ketika kondisi kita di puncak. Agar bisa
bertahan bahkan maju terus walaupun terpaan angin begitu besar, maka
kita harus berjalan sambil membungkuk. Semakin kencang anginnya, berarti
badan kita semakin membungkuk bahkan merayap.
Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan:
“Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah:
Tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya.
Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.
Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya.
Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama.
Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin
dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai
kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan,
“Dan tanda kebinasaan yaitu:
Tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya.
Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia
semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya
sendiri.
Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya.
Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama.
Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya.
Ini semua adalah ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji
hamba-hamba-Nya. Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan
sebagian kelompok yang lain akan binasa.
Begitu pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti
kekuasaan, pemerintahan, dan harta benda. Allah ta’ala menceritakan
ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di
sisinya,“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah
aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml : 40).”
Kembali beliau memaparkan,
“Maka pada hakekatnya berbagai kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian
dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang
pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka
mengingkari nikmat.
Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang
ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan
berbagai bentuk kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia
dengan berbagai musibah yang menimpanya.
Allah ta’ala berfirman,“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya
dengan memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya
maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakan diriku.’ Dan apabila
Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku
telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr :
15-17).
Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezkinya) dan Aku
muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi)
kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di sisi-Ku.
Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan
musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” [Al Fawa’id,
hal. 149].
Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku
pernah mendengar Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada suatu ketika
di masa kekhalifahan Abu Bakar ada seorang lelaki yang bermimpi bahwa
ketika itu hari kiamat telah terjadi dan seluruh umat manusia
dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan
ketinggian dan kemuliaan derajat yang lebih di antara manusia yang lain.
Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena faktor
apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?”
Dia berkata: Lantas ada yang berujar kepadaku, ‘Dengan sebab
kedudukannya sebagai khalifah dan orang yang mati syahid, dan dia juga
tidak pernah merasa takut kepada celaan siapapun selama dirinya tegak
berada di atas jalan Allah.’
Pada keesokan harinya, laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu
Bakar dan Umar sedang duduk bersama. Maka dia pun mengisahkan isi
mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika dia selesai bercerita maka
Umar pun menghardik orang itu seraya berkata kepadanya,“Pergilah kamu,
itu hanyalah mimpi orang tidur!”
Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat tersebut. Ketika Abu Bakar
telah wafat dan Umar memegang urusan pemerintahan, maka beliau pun
mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar berkata
kepadanya,“Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.”
Lelaki itu menjawab,“Bukankah anda telah menolak cerita saya dahulu?!”
Umar mengatakan,“Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan keutamaan diriku
di tengah-tengah majelis Abu Bakar sementara pada saat itu dia sedang
duduk di tempat itu?!”
Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan,“Umar radhiyallahu ‘anhu tidak
merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan sementara di saat itu Ash
Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama
dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya dia tidak
perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi
inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.”
Sudahkah Kita Meneladani Akhlak Salafus Shalih?
Tauhid dan keimanan yang benar pasti akan membuahkan amal nyata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ
الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
”Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang
tertinggi adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terrendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu juga termasuk cabang
keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairairah radhiyallahu’anhu
ini lafaz Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
”Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Dan ikutilah
perbuatan dosa dengan perbuatan baik niscaya akan menghapuskannya. Dan
pergaulilah orang dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi dari Abu Dzar
radhiyallahu’anhu, hadits hasan sahih).
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan,”Rasulullah menyebutkan
perintah berakhlak secara terpisah (padahal ia termasuk bagian dari
takwa, pen) dikarenakan kebanyakan orang mengira bahwa ketakwaan itu
hanya berkutat dengan masalah pemenuhan hak-hak Allah dan tidak
berurusan dengan pemenuhan hak hamba-hamba-Nya…”. “Dan orang yang
menunaikan hak-hak Allah sekaligus hak-hak sesama hamba dengan baik
adalah sesuatu yang sangat jarang ditemukan, kecuali pada diri para nabi
dan orang-orang yang shidiq/benar…” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal.
237).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab
paling banyak yang mengakibatkan orang masuk surga? Beliau
menjawab,“Takwa kepada Allah dan akhlaq mulia”. Beliau juga ditanya
tentang sebab paling banyak yang mengakibatkan orang masuk neraka, maka
beliau menjawab, “Mulut dan kemaluan” (HR. Tirmidzi, dia berkata :
‘Hadits hasan shahih).
Dua Macam Akhlak Mulia
Imam an-Nawawi rahimahullah membuat sebuah bab khusus di dalam kitab
Riyadhush shalihin yang berjudul : Bab Husnul khuluq (Akhlak mulia).
Maksud penyusunan bab ini oleh beliau ialah dalam rangka memotivasi agar
kita memiliki akhlak yang mulia. Di dalam bab ini beliau juga hendak
menerangkan keutamaan-keutamaannya serta siapa sajakah di antara
hamba-hamba Allah yang memiliki sifat-sifat mulia itu. Husnul khuluq
meliputi berakhlaq mulia kepada Allah dan berakhlaq mulia kepada
hamba-hamba Allah.
Berakhlaq mulia kepada Allah
yaitu : senantiasa ridha terhadap ketetapan hukum-Nya, baik yang berupa
aturan syari’at maupun ketetapan takdir, menerimanya dengan dada yang
lapang tanpa keluh kesah, tidak berputus asa ataupun bersedih. Apabila
Allah menakdirkan sesuatu yang tidak disukai menimpa seorang muslim maka
hendaknya dia ridha terhadapnya, pasrah dan sabar dalam menghadapinya.
Dia ucapkan dengan lisan dan hatinya, Radhiitu billaahi rabban ‘Aku
ridha Allah sebagai Rabb’. Apabila Allah menetapkan keputusan hukum
syar’i kepadanya maka dia menerimanya dengan ridha dan pasrah, tunduk
patuh melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa Jalla dengan dada yang lapang
dan hati yang tenang, inilah makna berakhlak mulia terhadap Allah ‘Azza
wa Jalla.
Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba
Ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, yaitu yang tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini :
1. Kafful adza (menahan diri dari mengganggu)
2. Badzlu nada (memberikan kebaikan yang dipunyai)
3. Thalaqatul wajhi (bermuka berseri-seri, ramah).
Kafful adza : yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya.
Badzlu nada : yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya.
Thalaqatul wajhi adalah : dengan cara memasang wajah berseri apabila
berjumpa dengan sesama, tidak bermuka masam atau memalingkan pipi,
inilah husnul khuluq.
Orang yang dapat melakukan ketiga hal ini niscaya dia juga akan bisa
bersabar menghadapi gangguan yang ditimpakan manusia kepadanya, sebab
bersabar menghadapi gangguan mereka termasuk husnul khuluq juga. Bahkan
jika dia mengharapkan pahala dari Allah atas kesabarannya tentulah itu
akan membuahkan kebaikan di sisi Allah Ta’al.
(semua paragraf di atas disarikan dari Syarah Riyadhush Shalihin, II/387)
Bagaimana berakhlak mulia kepada sesama ?
Di dalam sebuah ayat Allah telah menghimpun beberapa kunci pokok untuk
bisa meraih akhlak yang mulia kepada sesama. Barangsiapa
mempraktekkannya niscaya akan merasakan kenikmatan buahnya. Allah Ta’ala
berfirman,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (QS. al-A’raaf :
199)
Ayat yang mulia ini telah merangkum kandungan makna-makna husnul khuluq
kepada sesama serta apa saja yang sepantasnya dilakukan oleh seorang
hamba dalam hal mu’amalah dan pergaulan hidup mereka. Allah Ta’ala
memerintahkan kita untuk melakukan tiga hal :
1. Menjadi pema’af
2. Menyuruh orang agar mengerjakan yang ma’ruf
3. Berpaling dari orang-orang yang bodoh
Pengertian pema’af di sini luas. Ia mencakup segala bentuk perbuatan dan
akhlak yang dapat membuat hati mereka lapang dan memberikan kemudahan
untuk orang lain. Sehingga dia tidak membebankan perkara-perkara sulit
yang tidak sesuai dengan tabi’at mereka. Bahkan dia mampu mensyukuri
(berterima kasih) terhadap apa saja yang mereka berikan baik berwujud
ucapan maupun perbuatan yang santun atau bahkan yang lebih rendah
darinya. Hal itu juga disertai dengan sikap memaklumi kekurangan dan
kelemahan yang ada pada diri orang lain. Dia tidak menyombongkan diri di
hadapan yang kecil dan yang lemah akalnya karena kelemahan-kelemahan
mereka.
Begitu pula, dia tidak sombong kepada orang yang miskin disebabkan
kemiskinannya. Bahkan dia mampu berinteraksi dengan semuanya dengan
lemah lembut dan melapangkan dada-dada mereka. Ia memilih sikap yang
tepat menurut situasi dan kondisi yang ada.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ
إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada
seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya.
Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena
Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588).
Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia
maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun
akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya
akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya
pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia
(Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142)
Pengertian mengerjakan yang ma’ruf adalah : segala ucapan dan perbuatan
yang baik, budi pekerti yang sempurna, terhadap orang yang memiliki
hubungan dekat maupun jauh. Hendaknya kamu bersikap baik kepada mereka
dengan mengajarkan ilmu yang kamu miliki, menganjurkan kebaikan,
menyambung tali silaturahim, berbakti kepada kedua orang tua,
mendamaikan persengketaan yang terjadi di antara sesama, atau
menyumbangkan nasihat yang bermanfaat, pendapat yang jitu, memberikan
bantuan demi kebaikan dan takwa, menghalangi terjadinya suatu keburukan
atau dengan memberikan arahan untuk meraih kebaikan diniyah (agama)
maupun duniawiyah (dunia).
Berpaling dari orang-orang yang bodohartinya tidak melayani atau ikut
larut dalam kebodohan mereka. Jika mereka mengusik anda dengan kata-kata
atau dengan tindakan bodoh maka menyingkirlah. Anda tidak perlu
membalas dendam dengan mengganggu mereka pula. Barangsiapa yang
memutuskan hubungan dengan anda maka sambunglah hubungan dengannya. Dan
barangsiapa yang menzhalimi anda maka berbuat adillah kepadanya. Dengan
cara itulah anda akan memperoleh limpahan pahala dari Allah, hati
menjadi tentram dan tenang, bebas dari ulah orang-orang bodoh, bahkan
dengan cara itu dapat merubah orang yang semula musuh menjadi teman.
(diramu dari Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 313 dan Taisir Lathif al-Mannan hal.83-84)
Orang yang paling dekat dengan Nabi di hari kiamat
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ
وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ
وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا
الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang
paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang
yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh
dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan
mutafaihiqun”. Sahabat berkata : “Ya Rasulullah…kami sudah tahu arti
tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiquun?” Beliau
menjawab, “Orang yang sombong” (HR. Tirmidzi, ia berkata ‘hadits ini
hasan gharib’. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Shahih
Sunan Tirmidzi)
Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
bahwa orang yang paling dekat dengan beliau adalah orang-orang yang
paling baik akhlaknya. Maka apabila akhlak anda semakin mulia niscaya
kedudukan anda di hari kiamat kelak akan semakin dekat dengan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan selain anda. Sedangkan orang
yang terjauh posisinya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari
kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun. (Syarh
Riyadhush Shalihin, hal. 396-397).
Makna mutasyaddiqun adalah orang yang suka berbicara dengan gaya bicara
yang meremehkan orang lain seolah-olah dia adalah orang paling fasih,
itu dilakukannya karena kesombongan dan bangga diri yang berlebihan.
Seperti contohnya berbicara dengan menggunakan bahasa Arab di hadapan
orang-orang awam, sebab kebanyakan orang awam tidak paham bahasa Arab.
Seandainya anda mengajak bicara mereka dengan bahasa Arab maka tentulah
hal itu terhitung sikap berlebihan dan memaksa-maksakan dalam
pembicaraan. Adapun jika anda sedang mengajar di hadapan para penuntut
ilmu maka biasakanlah berbicara dengan bahasa Arab dalam rangka mendidik
dan melatih mereka agar sanggup berbicara dengan bahasa Arab. Adapun
terhadap orang awam maka tidak selayaknya anda berbicara dengan mereka
dengan bahasa Arab, tetapi bicaralah dengan mereka dengan bahasa yang
mereka pahami dan jangan banyak memakai istilah-istilah asing, artinya
janganlah anda menggunakan kata-kata asing yang sulit mereka mengerti,
karena hal itu termasuk berlebihan dan angkuh dalam pembicaraan. (lihat
Syarh Riyadhush Shalihin, hal. 397).
Makna mutafaihiqun : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkannya yaitu orang-orang yang sombong. Orang sombong ini
bersikap angkuh di hadapan orang-orang. Jika berdiri untuk berjalan
seolah-olah dia berjalan di atas helaian daun (dengan langkah kaki yang
dibuat-buat –pent) karena adanya kesombongan di dalam dirinya.
Perilaku ini tak diragukan lagi termasuk akhlak yang sangat tercela,
wajib bagi setiap orang untuk menghindarinya. Karena yang namanya orang
tetap saja manusia biasa, maka hendaklah dia mengerti ukuran dirinya
sendiri. Meskipun dia telah dikaruniai sekian banyak harta, kedalaman
ilmu atau kedudukan yang tinggi oleh Allah, seyogyanya dia merendahkan
diri (tawadhu’).
Sikap tawadhu’ orang-orang yang telah mendapat anugerah harta, ilmu,
atau kedudukan tentu lebih utama nilainya daripada tawadhu’nya
orang-orang yang tidak seperti mereka. Oleh sebab itu terdapat dalam
sebuah hadits yang memberitakan orang-orang yang tidak akan diajak
bicara oleh Allah dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat, diantara
mereka adalah : “Orang miskin yang sombong” Sebab orang miskin tidak
mempunyai faktor pendorong (modal) untuk sombong. … Sudah semestinya
orang-orang yang diberi anugerah nikmat oleh Allah semakin meningkatkan
syukurnya kepada Allah serta semakin tambah tawadhu’ kepada sesama,
Semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan seluruh umat Islam untuk
memiliki akhlak yang mulia dan amal yang baik, dan semoga Allah
menjauhkan kita dari akhlak-akhlak yang buruk dan amal-amal yang jelek,
sesungguhnya Dia Maha dermawan lagi Maha mulia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar