Allah mengutus Rasulullah SAW bukan untuk menyusahkan dan mempersulit
manusia. Ia membawa syariah yang sesuai dengan karakter manusia dengan
segala kemudahan dan kemurahan sebagai wujud kasih sayang Allah kepada
hambanya. Adanya rukhsah dalam syariah merupakan anugerah Allah yang
patut kita syukuri dan mencerminkan universalitas dan kemudahan dalam
Islam. Allah berfirman :
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
"Allah menghendaki untuk memberikan keringanan bagimu. Dan Dia menciptakan manusia sebagai makhluk yang lemah".
Banyak ayat-ayat al Quran dan hadits-hadits Rasulullah yang menjelakan
tentang banyaknya kemudahan dalam Islam, yang semua itu menjadi bukti
bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh penghuni alam (rahmatan lil
`alamin).
Tiada yang patut kita lakukan kecuali hanya bersyukur atas semua rahmat
Allah dalam berbagai sendi kehidupan dengan menggerakkan anggota badan
sesuai dengan tujuan penciptaan.
Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
"Sesungguhnya Allah senang untuk memberi rukhshah (kemudahan), sebagaimana Dia benci untuk memberikan maksiatNya".
Menurut Al Imam Al-Ghazali, secara istilah, rukhsah ialah sebuah
ungkapan untuk perkara yang dimudahkan dan dilapangkan bagi seorang
mukallaf dalam melakukannya, sebab udzur dan tidak mampu melakukannya,
disertai adanya penyebab yang menghalangi.
Rukhsah mempunyai keterkaitan makna dengan `azimah yang secara lughat
berarti niat, kehendak yang kuat. Secara istilah azimah ialah ungkapan
untuk sesuatu yang wajib bagi para hamba berdasar pewajiban dari Allah
SAW.
Rukhsah dan `azimah sebagai pembanding selalu berdampingan dan
dinisbatkan pada hukum syar'i berdasar kesepakatan ulama. Kedua-duanya
termasuk hukum wadl'i menurut pendapat yang rajih. Sedang menurut
pendapat marjuh, keduanya termasuk hukum taklifi. Dengan demikian,
taklif selalu ada dalam `azimah seperti keberadaannya dalam rukhshah.
Tetapi taklif dalam `azimah bersifat pokok (ashli), global
(kulli),berlaku umum dan jelas. Taklif dalam rukhsah bersifat
insidensial (thori'),spesifik (juz'i), tidak berlaku umum, dan samar.
`Azimah juga merupakan gambaran hak Allah atas hambaNya, sedang rukhsah
adalah gambaran dari kasih sayang Allah untuk hambanya.
Rukhshah secara bahasa, berarti izin pengurangan atau keringanan. Sedangkan menurut ulama ushul diartikan dengan:
الْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلاَفِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ
Hukum yang berlaku berdasarkan dalil yang menyalahi dalil yang ada karena adanya udzur.
Dari pengertian di atas dipahami tiga syarat dari rukhshah yaitu:
1. Rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan
Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi)
atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.
2. Kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti
wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di
dalamnya.
3. Adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
HIKMAH ADANYA RUKHSHAH.
Adanya rukhshah (keringanan) merupakan bagian dari kasih sayang Allah
Subhanahu wa Ta'ala pada hamba-Nya dan bukti bahwa Islam adalah agama
yang mudah dan tidak memberatkan sebagaimana firman -Nya:
{ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ }
Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al Baqarah/ 2:185]
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
{ يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا }
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [an Nisaa/4:28].
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
{ إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ }
Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada orang yang berlebih-lebihan
dalam agama ini kecuali akan mengalahkannya (tidak mampu
melakukannya)”.[HR. Bukhari]
PEMBAGIAN RUKHSHAH.
Ditinjau dari segi bentuknya rukhshah dibagi menjadi tujuh macam yaitu:
1. Rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan
perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau
membahayakan dirinya apabila melakukan perbuatan tersebut, misalnya
orang sakit atau dalam perjalanan boleh meninggalkan puasa Ramadhan,
sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Jika di antara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain". [al-Baqarah/2:184].
Rukhshah juga diberikan kepada wanita untuk meninggalkan shalat ketika
sedang haid atau nifas, tidak berpuasa ketika hamil atau menyusui. Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : Diberikan rukhshah kepada orang tua
jompo untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan memberi makan orang
miskin setiap hari dan tidak wajib qadha (mengulangi) puasanya, begitu
juga kepada wanita hamil dan menyusui kalau dia khawatir akan dirinya
maka boleh tidak berpuasa dan memberikan makan seorang miskin setiap
hari selama tidak berpuasa. Ibnu Abbas juga berkata: Apabila perempuan
hamil khawatir atas kesehatan dirinya atau ibu menyusui yang khawatir
atas anaknya maka mereka berdua boleh berbuka (tidak berpuasa) dan
memberi makan setiap hari seorang miskin dan tidak mengqadha’ puasanya.
Disebutkan riwayat Nafi’ bahwa puteri Abdullah bin Umar Radhiyallahu
'anhu menikah dengan seorang dari Qurays. Dalam keadaan hamil ia puasa
Ramadhan dan mengalami kehausan. Abdullah bin Umar memerintahkan untuk
berbuka dan menyuruhnya untuk memberi makan seorang miskin.
Contoh rukhshah yang lain seperti bolehnya meninggalkan shalat jumat
karena uzur musafir atau sakit tetapi menggantinya dengan shalat zuhur.
Dari Thariq bin Syihab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا
أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat Jumat wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali empat
orang: hamba sahaya, perempuan, anak-anak dan orang sakit. [HR.Abu Daud,
Baihaqi-Shahih].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
Tidak wajib shalat jumat bagi orang yang musafir”
Rukhshah tidak shalat jumat juga diberikan kepada orang yang sedang
menjaga sesuatu yang sangat vital. Salah seorang yang bertugas di bagian
sentral imformasi yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan kebutuhan
orang banyak pernah bertanya apakah dia boleh tidak ikut shalat
berjamaah atau shalat jumat?. Hukum asal melakukan shalat Jum’at bagi
setiap orang muslim yang berakal dan muqim adalah wajib, berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : “Wahai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka
bersegerahlah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
[al-Jum’ah/62:9]
Dan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Muslim dari Ibn Mas’ud
Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
terhadap kaum yang tidak melakukan shalat Jum’at:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ
Sesungguhnya aku ingin menyuruh seseorang menggantikanku menjadi imam
shalat bersama orang-orang, kemudian aku akan membakar rumah-rumah
orang-orang yang tertinggal shalat Jum’at.”
Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dan Ibn Umar keduanya
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas
mimbar:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ
لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ
الْغَافِلِينَ
Hendaknya kaum-kaum itu berhenti meninggalkan shalat Jum’at atau Allah
benar-benar akan mengunci hati mereka kemudian mereka benar-benar
termasuk golongan orang-orang yang lengah.
Dan ulama sepakat bahwa jika teradapat udzur syar’i bagi orang yang
wajib Jum’at, misalnya sebagai penanggungjawab langsung pekerjaan yang
berhubungan dengan keamanan umat dan menjaga kesejahteraan mereka yang
diharuskan untuk tetap dilaksanakan pada waktu shalat Jum’at juga
seperti petugas lalu lintas atau petugas sentral keamanan dan
semacamnya, maka mereka boleh meninggalkan shalat Jum’at dan jama’ah
berdasarkan keumuman firman Allah “Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu.” [at-Thaghabun/64: 16]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa yang aku larang untukmu melakukannya maka tinggalkanlah, dan apa
yang aku perintahkan melakukannya maka lakukanlah sesuai kesanggupan
kamu.”
Hanya saja hal itu tidak menggugurkan kewajiban shalat dhuhur dan harus melakukannya pada waktunya.
2. Rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban, seperti mengurangi
jumlah rakaat shalat yang empat pada waktu qashar atau mengurangi
waktunya pada shalat jama’ karena musafir, Allah Subahnahu wa Ta'ala,
berfirman : "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu mengqashar shalatmu [an-Nisaa/4:101].
Rukhshah menjama’ shalat juga diberikan karena ada uzur mendesak
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zuhur
dan Ashar di Madinah bukan karena takut atau musafir. Abu Zubair bekata;
saya bertanya kepada Said kenapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berbuat demikian?. Said menjawab; saya pernah bertanya kepada
Ibnu Abbas sebagaimana yang anda tanyakan dan beliau menjawab :
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin agar tidak memberatkan
umatnya". Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam
mengomentari hadits ini mengatakan : “Mayoritas ulama membolehkan
menjamak shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang
sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai
tradisi (kebiasaan)". Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin,
Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu
Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin
memberatkan umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjamak
shalatnya, apakah karena sakit atau musafir”.
3. Rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang
lebih ringan seperti mengganti wudhu’ dan mandi dengan tayamum karena
tidak ada air atau tidak bisa atau tidak boleh menggunakan air karena
sakit dan lainnya, mengganti shalat berdiri dengan duduk, berbaring atau
isyarat, mengganti puasa wajib dengan memberikan makan kepada fakir
miskin bagi orang tua yang tidak bisa berpuasa atau orang sakit yang
tidak ada harapan sembuhnya.
4. Rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya kewajiban seperti
penangguhan shalat Zuhur ke shalat Ashar ketika jama’ ta’khir atau
menangguhkan pelaksanaan puasa ke luar bulan Ramadhan bagi orang yang
sakit atau musafir.
5. Rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban seperti
membayar zakat fithrah beberapa hari sebelum hari raya padahal wajibnya
adalah pada akhir Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nafi’
bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu mengeluarkan zakat sehari
atau dua hari sebelum hari raya [HR.Bukhari].
Atau seperti mendahulukan pelaksanaan shalat Ashar di waktu Zuhur ketika jama’ taqdim.
6. Rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara
melaksasnakan shalat ketika sakit atau dalam keadaan perang, Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةُُ
مِّنْهُم مَّعَكَ وَلِيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا
فَلْيَكُونُوا مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ
يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ
وَأَسْلِحَتَهُمْ
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian
apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan
seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersalat,lalu bersalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap
siaga dan menyandang senjata….. [an-Nisaa/4: 102].
7. Rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan
meninggalkan perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar'i seperti
bolehnya memakan memakan bangkai, darah, dan daging babi pada asalnya
haram, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ
وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ
عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[al-Baqarah/4: 173].
Melakukan jual beli selama dengan memberikan harga (pembayaran) terlebih
dahulu dan barangnya menyusul dengan syarat ditentukan jumlah, sifat,
dan tempat penerimaannya juga termasuk rukhshah, misalnya seorang petani
menerima uang harga gabahnya yang belum dia panen karena dia butuh
kepada uang, hal ini pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas
Radhiyallahu 'anhu.
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ
يُسْلِفُونَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ
أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ
إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Rasulullah tiba di Madinah dan mereka sedang melakukan jual beli salam
pada buah-buahan setahun atau dua tahun, beliau bersabda,” Barangsiapa
yang melakukan jual beli salam pada buah-buahan maka hendaknya
melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu
yang jelas”. [HR Bukhari dan Muslim].
Padahal hukum asal dalam jual beli adalah al-taqabudh yaitu serah terima barang dan harganya dan tidak boleh ada yang ditunda.
Ada juga rukhshah yang diberikan karena adanya uzur ketererpaksaan
misalnya bolehnya mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan dengan syarat
hatinya masih tetap beriman, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
:"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orangyang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar”. [an-Nahl/16: 106].
Macam-macam Rukhsah
Ulama syafi'iyah membagi rukhsah menjadi empat macam dengan memandang
hukumnya. Yaitu rukhsah wajib, rukhsah sunah, rukhsah mubah dan rukhsah
khilaful awla.
Contoh rukhsah wajib adalah diperbolehkannya mengkonsumsi barang yang
diharamkan bagi orang yang terdesak. Ada yang mengatakan hukum masalah
ini adalah jaiz (boleh) berdasarkan alasan bahwa hukum wajib
bertentangan rukhsah. Dengan demikian, seorang ulama mengatakan bahwa
masalah ini bukan dalam kategori rukhsah, tetapi bisa disebut sebagai
`azimah, sama halnya dengan berhenti berpuasa (ifthar) dalam bulan
ramadlan bagi orang yang sakit.
Rukhsah sunah seperti shalat qashar bagi musafir dengan tujuan sejauh
tiga marhalah atau lebih sekira dapat menimbukan kesulitan dalam
perjalanan, melihat kepada wanita yang di-khithbah dan mencampur harta
anak yatim dengan harta milik sendiri sebatas ada keperluan
Rukhsah mubah seperti diperbolehkannya akad bertentanga dengan qiyas,
seperti aqad salam, `ariyah, masaqah, ijarah dan contoh-contoh lain yang
diperbolehan karena ada keperluan.
Yang ke empat adalah rukhsah yang berhukum khilaf al awla. Seperti
ifthar puasa bagi orang yang berpergian, padahal ia sebenarnya mampu dan
kuat untuk melanjutkan puasa.
Melakukan rukhsah secara berturut-turut.
Rukhsah-rukhsah syar'iyah yang berdasarkan al-Quran dan hadits boleh
dilakukan secara berturut-turut. Tetapi melakukan rukhsah yang timbul
berdasar pendapat ulama yang bersifat ijtihadi dianggap sebagai
perbuatan lari dari jaring-jaring taklif, lari dari tanggung jawab,
merobohkan pilar-pilar perintah dan larangan, mengingkari hak-hak Allah
atas hambanya, dan bertentangan dengan tujuan diberlakulannya syariah.
Para ulama menyebut pelaku perbuatan ini sebagai orang yang fasiq,
bahkan Ibnu Hazm menyatakan hal ini sudah menjadi consensus (ijma') para
ulama. Beliau berkata: "Jika kamu melakukan setiap rukhsah ulama, maka
akan berkumpul dalam dirimu semua keburukan".
Rukhsah Bersifat Idlafiyah
Rukhsah dengan banyaknya dalil yang mendukungnya, serta dorongan syariah
untuk senang melakukannya adalah bersifat idlafi. Artinya setiap
seorang mukallaf mengetahui kondisi dirinya untuk tidak atau melakukan
rukhsah. Untuk penjelasan masalah ini, cukup dengan memahami bahwa
masyaqah (kesulitan) yang menjadi penyebab terpenting timbulnya rukhsah,
berbeda-beda kuat dan lemahnya sesuai dengan keadaan manusia. Hukum
rukhsah bagi musafir pun bermacam-macam sesuai dengan keadaan musafir
itu sendiri, waktu saat melakukan perjalanan, jauh tidaknya,
sarana-sarananya dan hal-hal lain yang sulit untuk didefinisakan. Jadi,
hukum rukhsah tidak tergantung pada masyaqah itu sendiri tetapi
disandarkan pada perkara lain yang secara umum menunjukkan nilai
masyaqah. Dalam contoh musafir, yang secara umum menunjukkan nilai
masyaqah ialah safar itu sendiri, sebab safar diketauai sebagai tempat
timbulnya masyaqah.
HUKUM MENGGUNAKAN RUKHSHAH.
Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti di atas wajib
melakukan rukhsah tersebut atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau
meninggalkannya)?. Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para
ulama. Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat
menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh
dilakukan atau tidak. Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu
hanyalah keringanan agar tidak menyulitkan dan memberatkan, maka
seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak
tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang
musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar
shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada
uzurnya. Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib
maupun sunnah maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang
harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.
Pendapat dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama
yang mengatakan bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali
kepada hukum asalnya apakah ia wajib atau sunat, misalnya menjaga jiwa
agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang
terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah. Karena
kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan
atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan.
Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh
Abdul Adzim al-Khulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk
melakukannya. Ini artinya orang yang musafir wajib melakukan qashar
shalat sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan kesulitan
atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna. Beliau memberikan
beberapa dalil di antaranya:
Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata:
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ
وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat,
ketika dalam perjalanan dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu
rakaat” [HR Muslim].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata:
صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ
وَالْفِطْرُ وَالْأَضْحَى رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul
fithri dan idul adha dua rakaat, secara sempurna bukan dikurangi
menurut perintah Rasulullah. [HR. Ibnu Majah dan Nasa’i].
Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
Pertama kali shalat difardhukan dua rakaat, kemudian ditetapkan demikian
pada shalat musafir dan mengenapkan (empat rakaat) ketika tidak
musafir. [HR.Bukhari dan Muslim].
Rukhshoh Bagi Orang Yang Sakit
Orang yang menderita penyakit diberikan begitu banyak keringanan dalam
hukum-hukum syariah. Nash-nash yang kita miliki, baik dari Al-Quran
maupun As-Sunnah, banyak sekali mengandung penjelasan yang meringankan
beban taklif bagi mereka yang sakit.
A. Dalam Masalah Thaharah
Dalam masalah thaharah yang menjadi syarat dari menjalankan shalat dan
ibadah lainnya, ada keringanan khusus bagi mereka yang sedang sakit.
1. Sakit Membolehkan Tayammum
Salah satu penyebab dibolehkannya tayammum sebagai pengganti dari wudhu
adalah tatkala seseorang dalam keadaan sakit. Sehingga walaupun terdapat
air, tetapi manakala seseorang sedang dalam keadaan tidak mungkin
terkena air, dia boleh bertayammum.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ جَابِرٍ قَالَ : خَرَجْنَا فيِ سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَر
فَشَجَّهُ فيِ رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ هَلْ
تَجِدُونَ ليِ رُخْصَةً فيِ التَّيَمُّم ؟ فَقَالُوا : مَا نَجِدُ لَكَ
رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلى المَاء فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا
قَدِمْنَا عَلىَ رَسُولِ اللهِ أَخْبَرَ بِذَلِكَ فَقَالَ : قَتَلُوهُ
قَتَلَهُمُ الله أَلاَ سَأَلُوا إِذَا لَم يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شِفَاءُ
العَيِّ السُّؤَال إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ
عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ
جَسَدِهِ رواه أبو داود والدارقطني
Dari Jabir radhiyallahu anhu berkata"Kami dalam perjalanan tiba-tiba
salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika
tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya"Apakah kalian
membolehkan aku bertayammum ?". Teman-temannya menjawab"Kami tidak
menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa
mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat
mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal
itu bersabdalah beliau"Mereka telah membunuhnya semoga Allah memerangi
mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat
kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ...(HR.
Abu Daud, Ad-Daruquthuny).
2. Mengusap Perban
Selain dibolehkan tayammum, orang yang sedang menderita luka pada kulit
dan diperban, maka dia boleh tidak membasahi perbannya itu dengan air,
tetapi cukup dengan mengusapkan tangannya yang basah. Artinya, lukanya
tetap kering tidak kena air wudhu'.
Hal itu dibenarkan bagi mereka yang sedang sakit, dengan dasar hadits Ali bin Abi Thalib berikut ini.
كُسِرَ زَنْدِي يَوْمَ أُحُدٍ فَسَقَطَ اللِّوَاءُ مِنْ يَدِي فَقَال
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اجْعَلُوهَا فِي يَسَارِهِ
فَإِنَّهُ صَاحِبُ لِوَائِي فِي الدُّنْيَا وَالآْخِرَةِ ، فَقُلْتُ : يَا
رَسُول اللَّهِ مَا أَصْنَعُ بِالْجَبَائِرِ ؟ فَقَال : امْسَحْ عَلَيْهَا
Ali bin Abi Thalib berkata,"Lenganku patah pada perang Uhud sehingga
terjatuhlah bendera dari tanganku. Lalu Nabi SAW memerintahkan,"Pegang
dengan tangan kiri, karena sesungguhnya dia (Ali) akan jadi pemegang
bendera di dunia dan akhirat". Lalu Aku bertaka,"Apa yang aku kerjakan
bila ada perbannya?". Beliau SAW bersabda,"Cukup diusap di atasnya".
(HR. Ibnu Majah).
B. Keringanan Dalam Shalat
Keringanan dalam mengerjakan shalat pun diberikan kepada orang sakit. Di
antaranya dibolehkannya shalat sambil duduk, tidak terlalu menghadap
kiblat, tidak ikut shalat Jumat dan Id, menjama' shalat dan lainnya.
1. Tidak Bisa Berdiri
Berdiri adalah rukun shalat, sehingga orang yang shalatnya tidak berdiri maka shalatnya tidak sah.
Namun khusus buat orang yang sakit dan tidak mampu berdiri dengan benar
kecuali dengan bersandar, dibolehkan berdiri dengan bersandar.
Bila tidak mampu juga, maka dibolehkan shalat dengan tanpa berdiri,
sehingga posisinya cukup dengan duduk saja. Dan bila tidak mampu duduk
sendiri, dibolehkan duduk sambil bersandar.
Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ فَقَال : صَل قَائِمًا
فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya
kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau
tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di
atas lambungmu. (HR. Bukhari)
2. Tidak Bisa Ruku'
Bagaimana bila seorang yang sakit tidak mampu melakukan gerakan dan posisi ruku?
Dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu pendapat jumhur ulama dan pendapt Al-Hanafiyah.
a. Jumhur Ulama
Menurut jumhur ulama, orang yang tidak bisa melakukan gerakan atau
berposisi ruku’, dia harus berdiri tegak, lalu mengangguk kepala, namun
masih tetap berdiri.
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Berdirilah untuk Allah dengan Khusyu’
Maksudnya, bila orang sakit tidak mampu melakukan gerakan ruku, maka dia
mengambil posisi dasar yaitu berdiri. Ruku’nya hanya dengan mengangguk
saja.
b. Mazhab Al-Hanafiyah
Namun menurut pendapat Al-Hanafiyah, orang yang tidak mampu melakukan
gerakan ruku’, secara otomatis tidak lagi wajib melakukan posisi
berdiri. Sehingga dia shalat sambil duduk saja, rukunnya dengan cara
mengangguk dalam posisi duduk, bukan dari posisi berdiri.
3. Tidak Bisa Sujud
Posisi sujud adalah bagian dari rukun shalat yang apabila ditinggalkan
akan membuat shalat itu menjadi tidak sah. Sebagaimana ruku’ yang juga
merupakan rukun shalat, sujud juga diperintahkan di dalam Al-Quran.
ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
Ruku’ lah dan sujudlah (QS. Al-Hajj : 77)
Namun orang yang sakit dan tidak mampu untuk melakukan gerakan sujud,
tentu tidak bisa dipaksa. Dia mendapatkan keringanan dari Allah SWT
untuk sebisa-bisanya melakukan sujud, meski tidak sempurna.
Orang yang bisa berdiri tapi tidak bisa sujud, dia cukup membungkuk
sedikit saja dengan badan masih dalam keadaan berdiri. Dia tidak boleh
berbaring, sambil menganggukkan kepala untuk sujud. Bila hal itu
dilakukannya malah akan membatalkan shalatnya.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَسْجُدَ عَلَى الأَْرْضِ وَإِلاَّ فَأَوْمِئْ إِيمَاءً وَاجْعَل سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ
Bila kamu mampu untuk sujud di atas tanah, maka lakukanlah. Namun bila
tidak, maka anggukan kepala. Jadikan sujudmu lebih rendah dari ruku’mu.
(HR. Ath-Thabrani)
4. Tidak Bisa Menghadap Kiblat
Seseorang yang sedang menderita sakit tertentu sehingga tidak mampu
berdiri atau duduk, maka dia tetap wajib shlat dengan menghadap kiblat.
Namun caranya memang agak berbeda-beda di antara para ulama.
Sebagian mengatakan bahwa caranya dengan berbaring miring, posisi bagian
kanan tubuhnya ada di bawah dan bagian kiri tubuhnya di atas. Mirip
dengan posisi mayat yang masuk ke liang lahat.
Dalilnya karena dalam pandangan mereka, yang dimaksud dengan menghadap
kiblat harus dada dan bukan wajah. Maka intinya adalah bagaimana dada
itu bisa menghadap kiblat. Dan caranya dengan shalat dengan posisi
miring.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW sendiri yang memerintahkan untuk shalat di atas lambung.
Dasarnya adalah hadits nabawi berikut ini :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ رَسُول اللَّهِ فَقَال : صَل قَائِمًا
فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبِكَ
Dari Imran bin Hushain berkata,”Aku menderita wasir, maka aku bertanya
kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda,”Shalatlah sambil berdiri, kalau
tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk. Kalau tidak bisa, shalatlah di
atas lambungmu. (HR. Bukhari)
Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang menjadi ukuran
dalam menghadap kiblat adalah kaki, bukan dada. Asalkan kakinya sudah
menghadap kiblat, maka dianggap posisi badannya sudah memenuhi syarat.
Maka orang yang sakit itu dalam posisi telentang dan kakinya membujur ke arah kiblat.
Namun akan jauh lebih baik bila badannya bisa sedikit dinaikkan dan
bersender di bantal, karena baik dada mau pun kaki sama-sama bisa
menghadap kiblat. Umumnya ranjang di rumah sakit bisa ditinggikan di
bagian kepala, maka ranjang seperti ini tentu akan lebih baik lagi.
Adapun seseorang yang sakitnya amat parah sehingga tidak bisa lagi
menggerakkan badan atau menggeser posisinya agar menghadap ke kiblat,
dan juga tidak ada yang membantunya untuk menggeserkan posisi shalat
menghadap ke kiblat, maka dia boleh menghadap ke arah mana saja.
5. Tidak Wajib Ikut Shalat Jumat
Kewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat menjadi gugur manakala seseorang punya udzur sakit.
Dalilnya antara lain adalah hadits berikut ini :
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِي فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا : وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَال : خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ
Orang yang mendengar panggilan, tidak ada yang bisa mencegahnya kecuali
udzur. Seseorang bertanya,"Udzur itu apa saja?". Beliau SAW
menjawab,"Rasa takut atau sakit". (HR. Abu Daud).
6. Kebolehan Menjama' Shalat
Dalam hal kebolehan menjama' shalat bagi orang sakit, ada sebagian ulama
yang tidak memperbolehkannya. Namun ada sebagian yang lain membolehkan
adanya shalat jama’ bagi orang yang sedang sakit.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan orang yang sedang sakit
untuk menjama’ shalatnya. Sebagian ulama tidak memperbolehkannya, namun
sebagian yang lain membolehkan adanya shalat jama’ bagi orang yang
sedang sakit.
a. Tidak Membolehkan
Mereka yang tidak membolehkan orang sakit untuk menjama’ shalat di
antaranya adalah mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi’iyah, serta sebagian
dari ulama dari mazhab Al-Malikiyah.
Dasarnya karena sama sekali tidak ada dalil apa pun dari Rasulullah SAW
yang membolehkan hal itu. Dan selama tidak ada dalil, maka kita tidak
boleh mengarang sendiri sebuah aturan tentang shalat.
Sehingga setiap orang yang sakit wajib menjalankan shalat sesuai dengan
waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan, dan tidak ada istilah untuk
dijama’.
b. Membolehkan
Mazhab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah
berpendapat bahwa seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk
menjama’ dua shalat, baik jama’ taqdim atau pun jama’ ta’khir.
Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan jama' karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi'iyyah.
Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab
Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama'
shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi'iyyah menyebutkan
bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama' shalat saat mukim
(tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari
kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari
Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi'iyyah.
Begitu juga dengan Ibnul Munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya
jama' ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin
memberatkan ummatnya”.
Allah SWT berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan. (QS. Al-Hajj : 78)
لَيْسَ عَلَى الأعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak bagi orang pincang, tidak bagi orang sakit. (QS. Annur : 61)
Mazhab Al-Hanabilah dan sebagian ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah
berpendapat bahwa seorang yang sedang sakit diberi keringanan untuk
menjama’ dua shalat, baik jama’ taqdim atau pun jama’ ta’khir.
Dalil lainnya adalah asumsi bahwa Nabi SAW pernah menjamak shalat di
Madinah, yang mana alasannya bukan karena safar, takut, hujan atau haji.
Maka asumsinya adalah karena sakit.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menjama' zhuhur,
Ashar, Maghrib dan Isya' di Madinah meski tidak dalam keadaan takut
maupun hujan.” (HR. Muslim)
Rukhsah Bagi Musafir
A. Pengertian
1. Bahasa
Secara bahasa, musafir itu adalah ism fa'il (pelaku) dari safar atau
perjalanan. Secara etimologis, kata safar dalam bahasa Arab bermakna :
قَطْعُ الْمَسَافَةِ
Perjalanan menempuh suatu jarak
Lawan kata safar adalah hadhar, yaitu berada di suatu tempat, tidak bepergian menempuh jarak tertentu dengan tujuan tertentu.
2. Istilah
Namun dalam istilah para fuqaha (ahli fiqih) yang dimaksud dengan safar
bukan sekedar seseorang pergi dari satu titik ke titik yang lain. Namun
makna safar dalam istilah para fuqaha adalah :
أَنْ يَخْرُجَ الإنْسَانُ مِنْ وَطَنِهِ قَاصِدًا مَكَانًا يَسْتَغْرِقُ الْمَسِيرُ إِلَيْهِ مَسَافَةً مُقَدَّرَةً عِنْدَهُمْ
Seseorang keluar dari negerinya untuk menuju ke satu tempat tertentu,
yang perjalanan itu menempuh jarak tertentu dalam pandangan mereka (ahli
fiqih).
B. Syarat Musafir
Kalau kita cermati definisi yang dibuat oleh para ulama di atas, maka
istilah safar itu menyangkut tiga syarat utama, yaitu : keluar dari
wathan, punya tujuan tertentu, dan ada jarak minimal dari tempat yang
dituju.
1. Keluar Dari Wathan
Kriteria safar yang pertama adalah keluar dari wathan, atau dari tempat
tinggal. Sehingga seseorang tidak disebut sebagai musafir manakala dia
tidak keluar dariwathan atau daerah tempat tinggalnya.
Contohnya adalah seorang yang naik treadmill, salah satu alat kebugaran.
Meski dia melangkahkan kaki menempuh hitungan 100 Km, tidak dikatakan
telah menjadi musafir, mengingat secara fisik dirinya tidak kemana-mana
dan tetap berada di suatu tempat.
Contoh lainnya adalah seseorang yang mengemudikan mobil dan masuk jalan
tol dalam kota Jakarta. Meski alat pengukur jarak pada spedometer
menyebutkan bahwa dia telah menempuh jarak lebih dari 100 km, namun
kalau hanya berputar-putar saja di dalam Kota Jakarta, meski telah
beberapa putaran, lalu pulang ke rumah, tidak disebut musafir.
Contoh lainnya adalah warga Jakarta dan sekitarnya yang duduk berjam-jam
dalam sehari di dalam kendaraan sambil menikmati kemacetan parah. Meski
waktu yang dipakai untuk bermacet-macet itu lebih dari tiga jam, namun
tidak disebut sebagai perjalanan atau safar.
Kenapa?
Karena belum keluar dari wathan atau wilayah tempat tinggal. Macet itu
masih di dalam wilayah tempat tinggal. Sehingga berbagai fasilitas dan
keringanan buat musafir, belum diperoleh manakala seseorang masih berada
di dalam rumahnya sendiri atau berada di daerah tempat tinggalnya.
Karena status seseorang belum dikatakan telah menjadi musafir, manakala
dia belum keluar dari tempat tinggalnya.
Dan demikian juga sebaliknya, semua fasilitas itu tidak berlaku lagi,
manakala seseorang sudah kembali berada di tempat tinggalnya.
Tentang pengertian wathan sebagaimana yang disebutkan dalam definisi ini, nanti akan kita bahas secara tersendiri.
2. Punya Tujuan Tertentu
Kriteria kedua adalah bahwa perjalanan yang dilakuan harus punya tujuan
tertentu yang pasti secara spesifik dan pasti, bukan sekedar berjalan
tak tentu arah dan tujuan.
Misalnya, orang yang melakukan perburuan hewan atau mengejar hewan yang
lepas, dimana dia tidak tahu mau pergi kemana tujuan perjalanannya.
Kalau ada orang masuk tol dalam kota Jakarta, lalu memutari Jakarta dua
putaran, maka dia sudah menempuh jarak kurang lebih 90 Km. Namun orang
ini tidak disebut sebagai musafir. Alasannya karena apa yang
dilakukannya itu tidak punya tujuan yang pasti.
Demikian juga dengan pembalap di sirkuit. Meski jarak yang ditempuhnya
ratusan kilmometer, tetapi kalau lokasi hanya berputar-putar di sirkuit
itu saja, juga bukan termasuk musafir. Alasannya, karena tidak ada
tujuannya kecuali hanya berputar-putar belaka.
Maka orang yang menempuh jarak jauh tetapi tidak ada tujuan tertentu, tidak disebut sebagai musafir.
3. Jarak Tertentu
Kriteria yang ketiga dari sebuah safar adalah adanya jarak minimal yang
harus ditempuh dari wilayah tempat tinggalnya hingga ke tempat
tujuannya.
Tidak semua safar membolehkan kita untuk mengqashar shalat. Hanya safar
dengan kriteria tertentu saja yang membolehkan kita mengqasharnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama' shalat dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan.
a. Jumhur Ulama
Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan
Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat burud.
Dasar ketentuan minimal empat burud ini ada banyak, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai
penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4
burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny)
Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4 burud adalah apa
yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat,
yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. Mereka berdua tidak
pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4
burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang
lain.
Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya,
"Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"Empat
burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari
penuh?". Beliau menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu
sejauh perjalanan dua hari".
Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4
mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu
sama dengan 88,704 km.
Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik pesawat
terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang
dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh.
Dua Hari Perjalanan.
Dan semua ulama sepakat bahwa meski pun disebut masa perjalanan dua
hari, namun yang dijadikan hitungan sama sekali bukan masa tempuh.
Tetapi yang dijadikan hitungan adalah jarak yang bisa ditempuh di masa
itu selama dua hari perjalanan.
Pertanyannya, kalau memang yang dimaksud dengan jarak disini bukan waktu
tempuh dua hari, lalu mengapa dalilnya malah menyebutkan waktu dan
bukan jarak.
Jawabnya karena di masa Rasulullah SAW dan beberapa tahun sesudahnya,
orang-orang terbiasa menyebutkan jarak antar satu negeri dengan negeri
lainnya dengan hitungan waktu tempuh, bukan dengan skala kilometer atau
mil.
Di masa sekarang ini, kita masih menemukan masyarakat yang menyebut
jarak antar kota dengan hitungan waktu. Salah satunya di Jepang yang
sangat maju teknologi perkereta-apiannya. Disana orang-oran terbiasa
menyebut jarak satu kota dengan kota lainnya dengan hitungan jam.
Maksudnya tentu bukan dengan jalan kaki melainkan dengan naik kereta
cepat Sinkansen.
Sedangkan perjalanan dua hari di masa Rasulullah SAW tentunya dihitung
dengan berjalan kaki dengan langkah yang biasanya. Meski pun naik kuda
atau unta, sebenarnya relatif masa tempuhnya kurang lebih sama. Karena
kuda atau unta bila berjalan di padang pasir tentu tidak berlari, sebab
tenaganya akan cepat habis.
Perjalanan antar negeri di masa itu yang dihitung hanya perjalanan siang
saja, sedangkan malam hari tidak dihitung, karena biasanya malam hari
para khafilah yang melintasi padang pasir beristirahat.
Masa tempuh seperti ini kalau dikonversikan dengan jarah temput
sebanding dengan jarak 24 mil. Dan sebanding pula dengan jarak 4 burud,
juga sebanding dengan 16 farsakh. Jarak ini juga sama dengan 48 mil
hasyimi.
b. Jarak 3 Hari Perjalanan
Abu Hanifah dan para ulama Kufah mengatakan minimal jarak safar yang
membolehkan qashar itu adalah bila jaraknya minimal sejauh perjalanan
tiga hari, baik perjalanan itu ditempuh dengan menunggang unta atau
berjalan kaki, keduanya relatif sama. Dan tidak disyaratkan perjalanan
itu siang dan malam, tetapi cukup sejak pagi hingga zawal di siang hari.
Safar selama tiga hari ini kira-kira sebanding dengan safar sejauh 3
marhalah. Karena kebiasaannya seseorang melakukan safar sehari menempuh
satu marhalah.
Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW,
dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan
masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu,
disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3
hari.
يَمْسَحُ المُقِيْمُ كَمَالَ يَوْمِ وَلَيْلَةٍ وَالمَسَافِرُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهَا
Orang yang muqim mengusap sepatu dalam jangka waktu sehari semalam,
sedangkan orang yang safar mengusap sepatu dalam jangka waktu tiga hari
tiga malam. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Demikian juga ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang larangan wanita
bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan
selama 3 hari.
لاَ يَحِل لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ أَنْ
تُسَافِرَ مَسِيرَةَ ثَلاَثِ لَيَالٍ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
Dari Ibnu Umar radhiyallhuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidak
halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian
sejauh 3 malam kecuali bersama mahram". (HR. Muslim)
Menurut mazhab Al-Hanafiyah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada
maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang
membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.
Kalau kita konversikan jarak perjalanan tiga hari, maka hitungannya adalah sekitar 135 Km.
c. Beberapa Rute Jalan Berbeda Jarak
Lepas dari perbedaan para fuqaha tentang jarak safar, muncul kemudian
permasalahan baru, yaitu bagaimana bila untuk mencapai tujuan ternyata
ada beberapa jalan yang ukuran jaraknya berbeda.
Manakah yang kita gunakan, apakah menggunakan jarak terpendek ataukah jarak terjauh?
Dalam hal ini umumnya para ulama mengatakan bahwa yang digunakan bukan
jarak terdekat atau jarak terjauh. Yang digunakan adalah rute yang
dipilih. Maksudnya, bila seseorang berjalan menggunakan rute pertama,
yang jaraknya telah memenuhi batas jarak minimal, maka dia terhitung
musafir dan mendapatkan fasilitas seperti kebolehan berbuka puasa,
menqashar shalat dan sebagainya.
Sebaliknya, bila rute yang dia tempuh ternyata tidak mencukupi jarak
minimal safar, maka dia tidak atau belum lagi berstatus musafir.
Sehingga tidak mendapatkan fasilitas keringan dalam hukum syariah.
Abu Hanifah mengatakan yang digunakan adalah jarak terjauh. Misalnya ada
dua rute, rute pertama membutuhkan waktu 3 hari perjalanan, sedangkan
rute kedua membutuhkan hanya 1 hari perjalanan, maka yang dianggap
adalah yang terjauh. Maka dalam urusan qashar shalat, jarak itu sudah
membolehkan qashar.
4. Safar Yang Mubah
Kriteria yang keempat adalah kehalalan safar yang dilakukan. Halal
disini maksudnya adalah bahwa perjalanan itu tujuannya bukan untuk
melakukan maksiat atau kemungkaran yang dilarang Allah SWT.
Perjalanan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencuri, merampok,
membunuh nyawa tanpa hak, meminum khamar, berjudi, berpraktek riba,
menjadi dukun, tukang ramal, mengerjakan sihir atau untuk berzina dan
sejenisnya, adalah perjalanan yang tidak dibenarkan, sekaligus juga
tidak memberikan fasilitas dan keringanan bagi pelakukan untuk melakukan
shalat dengan jama' atau qashar.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah syarat ini berlaku atau tidak.
a. Safar Yang Tidak Maksiat
Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan
Al-Hanabilah menyebutkan tidak semua safar membolehkan keringanan,
seperti kebolehan jama' dan qashar shalat. Mereka mensyaratkan bahwa
safar itu minimal hukumnya mubah, bukan safar maksiat atau safar yang
terlarang.
Alasan yang mereka kemukakan
Kalau kita pakai pendapat yang pertama, maka seorang yang melakukan
safar dengan tujuan akan menjalani profesinya sebagai maling atau
perampok, tidak mendapat fasilitas dan keringanan untuk menjama' atau
mengqashar shalat.
b. Safar Haji, Umrah dan Jihad
Sementara ada sebagian ulama yang menyebutkan bahwa keringanan hukum
bagi musafir hanya berlaku dalam safar yang tujuannya haji atau umrah
saja.
Kalau kita menggunakan pendapat ini, perjalanan untuk bisnis, tamasya,
atau menghadiri undangan pernikahan, bukan perjalanan yang membolehkan
kita untuk menjama' dan mengqashar shalat.
c. Semua Safar Termasuk Yang Maksiat
Dan lawan dari pendapat pertama dan kedua di atas, adalah pandangan
sebagian ulama yang membolehkan safar apa saja, baik halal atau haram
tidak menjadi masalah.
Di antara mazhab yang mengatakan hal ini adalah mazhab Al-Hanafiyah.
Dalam pandangan mereka, ketika Allah SWT memberikan kemudahan untuk
menjama' atau mengqashar shalat buat musafir, dalil yang digunakan
adalah dalil yang umum dan mutlak, tanpa menyebutkan syarat-syarat
tertentu, seperti tidak boleh dalam rangka kemaksiatan dan sebagainya.
Kalau menggunakan pendapat yang ketiga, maling dan perampok kalau dalam
perjalanan boleh melakukan shalat dengan menjama' atau mengqashar.
Begitu juga dengan pembunuh, pezina, penjudi, peminum khamar dan
seterusnya.
C. Tempat Tinggal dan Wathan
Pembahasan tentang safar tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan tentang
lawannya, yaitu orang yang bermukim di sebuah tempat, atau yang lebih
dikenal dengan istilah al-wathan.
Kita tidak bisa memberi definisi yang tepat tentang status musafir, bila
kita belum memberi definisi yang tepat juga tentang bermukim di dalam
suatu wathan. Karena keduanya berbatasan langsung. Artinya, seorang
musafir adalah orang yang tidak bermukim di suatu wathan, dan orang yang
bermukim di suatu wathan bukan seorang musafir.
1. Pengertian dan Batas Wathan
Di dalam kitab-kitab fiqih klasik, kita mengenal ada istilah wathan
(الوطن). Dalam kamus bahasa Arab, kata wathan sering diartikan sebagai
negeri. Sehingga ada ungkapan, hubbul wathani minal iman, cinta negeri
termasuk bagian dari iman.
Namun kalau kita lihat konteks penggunaan istilah wathan di masa Nabi
SAW dan di masa sekarang, agaknya kurang tepat kalau wathan kita
terjemahkan sebagai negeri, dan juga kurang pas kalau diterjemahkan
menjadi negara.
Mengapa?
Karena di masa itu, Nabi SAW dianggap telah menjadi musafir ketika
meninggalkan kota Madinah menuju ke Mekkah. Artinya, kita bisa
menyimpulkan bahwa Madinah adalah sebuah wathan tersendiri, dan Mekkah
adalah juga sebuah wathan tersendiri. Padahal di masa sekarang ini,
kedua kota itu berada di dalam sebuah wilayah kedaulatan sebuah negara,
yaitu Kerajaan Saudi Arabia.
Barangkali kata wathan bisa juga kita terjemahkan sebagai kota, meski
pun belum juga tepat 100%. Alasannya karena luas kota Madinah di masa
Nabi SAW jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas kota itu di masa
sekarang ini. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa luas kota Madinah
di masa itu hanya seluas Masjid An-Nabawi sekarang ini saja.
Dan kalau dihitung dari jumlah penduduk, ada catatan sejarah yang
dirilis olehMarkaz Buhuts wa Dirasat Al-Madinah, bahwa sebelum
Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, jumlah penduduknya diperkirakan antara
12 ribu hingga 15 ribuan orang. Dengan kedatangan Nabi SAW ke Madinah,
maka perlahan tapi pasti, jumlah penduduk Madinah pun semakin banyak,
karena beliau memang menjadikan Madinah sebagai Darul-Hijrah, atau kota
tujuan hijrah.
Hasil penelitian Markaz Buhuts ini menyebutkan bahwa ketika beliau SAW
wafat, kota Madinah sudah berpenduduk kurang lebih sekitar 30 ribuan
orang.
Luas Masjid An-Nabawi saat ini adalah 98.500 meter persegi. Dengan luas
itu, masjid ini dapat menampung hingga 600 ribu orang yang shalat.
Bahkan di musim haji, jamaah bisa meluap ke luar gedung dan mencapai
satu juta orang.
Maka bila dibandingkan dengan masa sekarang ini, kira-kira yang dimaksud
dengan wathan itu adalah desa atau kampung. Dan sayangnya, agak sulit
menetapkan batas-batasnya kalau kita tinggal di kota besar semacam
Jakarta ini. Meski Jakarta tidak lain hanyalah kampung, namun
batas-batas antara satu kampung dengan kampung yang lain nyaris sudah
sangat tersamar, mengingat kota Jakarta adalah gabungan dari beribu
kampung yang menyatu.
2. Jenis Wathan
Dalam ilmu fiqih, para ulama membagi wathan ini menjadi tiga macam,
yaitu al-wathan al-ashli, wathan al-iqamah dan wathan as-sukna. Berikut
adalah rinciannya masing-masing :
a. Al-Wathan Al-Ashli
Istilah al-wathan al-ashli (الوطن الأصلي) bisa kita terjemahkan secara
bebas sebagai tempat bermukim yang tetap dan sifatnya berlaku untuk
seterusnya.
Maksudnya adalah suatu tempat yang dijadikan oleh seseorang sebagai
tempat untuk menetap bagi dirinya dan istri atau keluarganya. Tempat itu
tidak harus merupakan tanah kelahirannya. Bisa saja tempat itu adalah
negeri rantauan, namun dia telah berniat untuk tinggal dan menetap
disitu untuk seterusnya.
Secara hukum, tempat tinggal asli bagi seseorang menjadi tempat iqamah
atau bermukim, sebagai lawan dari musafir. Artinya, bila seseorang
berada di tempat aslinya, maka status yang disandangnya adalah sebagai
orang yang bermukim dan bukan musafir.
Dan status ini sangat berpengaruh pada hukum-hukum peribadatan, seperti
kebolehan mengqashar shalat serta menjama'nya, kebolehan tidak puasa
Ramadhan, masa kebolehan untuk mengusap sepatu, haramnya wanita
bepergian (musafir) sendirian, serta masalah perwalian.
Maksudnya, seseorang yang statusnya bermukim tidak punya hak untuk
mengqashar dan menjama' shalat, juga tidak punya hak untuk meninggalkan
puasa Ramadhan. Masa dibolehkan bagi orang yang bermukim untuk mengusap
sepatu hanya sehari semalam saja. Dan seterusnya.
Tempat tinggal asli ini bagi seseorang dimungkin bukan hanya satu saja.
Bisa saja seseorang punya tempat tinggal asli lebih dari satu, bisa dua
atau lebih. Yang penting di masing-masing tempat itu ada keluarganya
yang menetap untuk seterusnya.
Dan yang dimaksud keluarga disini adalah istri dan anak-anaknya, bukan
orang tua, paman, bibi, sepupu dan kakek. Misalnya seorang beristri dua.
Istri pertama dan anaknya tinggal di Bandung, sedangkan istri kedua
dengan anak-anaknya tinggal di Jakarta.
b. Wathan Iqamah
Yang dimaksud dengan wathan iqamah (وطن الإقامة) adalah suatu tempat,
dimana seseorang untuk sementara waktu yang pendek dan terbatas, berniat
untuk singgah dan bermukim sementara.
Istilah lain yang sering dipakai untuk menamainya adalah wathan
al-musta'ar (وطن المستعار), dan kadang juga bisa disebut dengan wathan
al-hadits. (وطن الحديث)
Contohnya adalah orang yang sedang bertugas ke luar kota dalam beberapa
hari, seperti seminggu atau dua minggu. Sejak sebelum berangkat, dirinya
sudah berniat akan menetapkan di suatu kota tertentu, untuk masa waktu
tertentu.
Contoh lainnya adalah apa yang dilakukan oleh para jamaah haji
Indonesia, yang bermukim kurang lebih sebulan sampai 40 hari di Mekkah
dan Madinah. Status para jamaah haji di kedua kota itu adalah orang yang
mukim sementara saja. Maka kedua kota itu menjadi wathan iqamah.
c. Wathan Sukna
Yang dimaksud dengan wathan sukna (الوطن السكنى) adalah suatu tempat
yang disinggahi oleh seorang mufasir tanpa berniat untuk menetap atau
bermukim disitu.
Perbedaan antara wathan iqamah dan wathan sukna adalah bahwa pada wathan
iqamah seseorang memang berniat untuk bermukim walau pun tidak untuk
seterusnya. Sedangkan pada wathan sukna, seseorang hanya berhenti untuk
berisirahat sejenak, tanpa ada niat untuk tinggal atau bermukim, baik
untuk waktu tertentu atau pun untuk selamanya.
Contoh yang paling mudah adalah apa yang dialami oleh para penumpang
pesawat terbang ketika mereka transit di suatu bandara pada sebuah kota.
Boleh jadi transit itu hanya satu atau dua jam, tetapi kadang bisa
sampai beberapa hari.
3. Keringanan Berlaku Sejak Keluar Dari Wathan
Berbagai keringanan bagi musafir seperti mengqashar dan menjama' shalat
sudah boleh dilakukan meski belum mencapai jarak yang telah ditetapkan.
Asalkan sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak sejauh itu.
Shalat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari
kota atau wilayah tempat tinggal, tetapi belum boleh dilakukan ketika
masih di rumahnya.
Rasulullah SAW tidak mulai mengqashar shalatnya kecuali setelah beliau meninggalkan Madinah.
صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي
الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,"Aku shalat Dzuhur bersama
Rasulullah SAW di Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di
Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR. Bukhari dan Muslim)
D. Berakhirnya Safar
Ada beberapa hal yang menyebabkan status kemusafiran seseorang berakhir. Di antaranya adalah hal-hal berikut ini :
1. Niat Untuk Menetap
Bila seseorang dalam safarnya tiba-tiba berubah niat untuk mukim di tempat tersebut, maka status kemusafirannya telah berakhir.
Tidak selamanya seorang yang pergi meninggalkan rumah atau negerinya
dianggap sebagai musafir. Boleh jadi meski tidak ada di rumah atau
negerinya, seseorang telah menetap di kota atau negeri lain.
Meski secara fisik dia belum sampai di rumah, tetapi kalau di hatinya
ada niat bahwa dia akan menetap di suatu tempat itu, maka status
safarnya berubah.
2. Pulang dan Sampai di Rumah
Ketika seseorang mengadakan perjalanan jauh, selama itu pula dia disebut
sebagai musafir. Tetapi ketika sang musafir memutuskan pulang dan
secara fisik dirinya sudah tiba di rumah, maka saat itu statusnya
sebagai musafir pun berakhir.
Sehingga segala hal yang terkait dengan hukum-hukum musafir dengan sendirinya sudah tidak berlaku lagi.
a. Punya Rumah Di Tempat Tujuan
Agak sedikit menjadi masalah apabila seorang melakukan safar ke suatu
tempat, namun ternyata di tempat itu dia punya rumah juga. Dalam hal ini
apakah juga dianggap pulang ke rumah, sehingga status kemusafirannya
terhenti, ataukah dia tetap musafir?
Para ulama umumnya menyebutkan bahwa bila seseorang punya dua rumah di
dua kota yang berbeda, maka ketika dia berada di salah satunya, maka
statusnya bukan musafir. Namun syarat ini berlaku bila di dalam rumah
itu ada keluarganya, yaitu istri dan anak-anaknya.
Sedangkan bila hanya sekedar status kepemilikkan rumah, sementara dia
tidak menghuninya, maka ketika berada di rumahnya sendiri, tanpa berniat
untuk tinggal atau menetap, statusnya tetap musafir.
3. Melebihi Batas Waktu Menetap
Ketika dia terus bergerak dalam safarnya itu, memang dia masih tetap
diperbolehkan mengqashar shalat. Tetapi ketika seorang musafir berhenti
di satu titik dalam waktu yang cukup lama, apakah masih melekat pada
dirinya status musafir?
Berapa lama waktu yang ditolelir buat seorang agar masih dianggap musafir padahal dia diam di suatu tempat?
Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama' dan mengqashar
shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqaha.
Tetapi ketika seorang musafir berhenti di satu titik dalam waktu yang
cukup lama, apakah masih melekat pada dirinya status musafir? Berapa
lama waktu yang ditolelir buat seorang masioh dianggap musafir padahal
dia diam di suatu tempat?
Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama' dan mengqashar
shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqaha.
Imam Malik dan Imam As-Syafi'i berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari.
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa
berlakunya jama' dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari.
Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya
jama' dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka
selesailah masa jama' dan qasharnya.
Adapun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.
Ibnul Qayyim berkata,
Rasulullah SAW tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.
Ibnu Abbas berkata :
Rasulullah SAW melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat
dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika
lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari)
E. Keringanan Syariat Buat Musafir
Syariat Islam memberikan banyak keringanan buat musafir dalam praktek
ritual syariah Islam. Di antaranya keringanan bersuci dengan mengusap
khuff selama tiga hari, shlat qashar dan jama', gugurnya kewajiban
shalat Jumat, bolehnya shalat di atas kendaraan dan bolehnya tidak
berpuasa Ramadhan.
1. Keringanan Dalam Bersuci
Di antara keringanan dalam bersuci dalam dibolehkannya orang yang sedang
dalam keadaan safar untuk mengusap khufnya saat berwudhu selama masa
waktu tiga hari.
Pensyariatan mengusap khuff didasari oleh beberapa dalil antara lain hadis Ali r.a
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ : لَوْ كَانَ الدِّينُ
بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ
وَقَدْ رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ sيَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Dari Ali bin Abi Thalib berkata :’Seandainya agama itu semata-mata
menggunakan akal maka seharusnya yang diusap adalah bagian bawah sepatu
ketimbang bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah mengusap
bagian atas kedua sepatunya.(HR. Abu Daud dan Daru Qudni dengan sanad
yang hasan dan disahihkan oleh Ibn Hajar)
Selain itu ada juga hadis lainnya
جَعَلَ النَّبِيُّ s ثلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهنَّ لِلْمُسَافِرِ
وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ - يَعْنِي فِي الْمَسْحِ عَلَى
الْخُفَّيْنِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Rasulullah menetapkan tiga hari untuk musafir dan sehari semalam untuk
orang mukim (untuk boleh mengusap khuff). (HR. Muslim Abu Daud Tirmizi
dan Ibn Majah.)
2. Keringanan Mengqashar Shalat dan Menjama'
Seorang yang berstatus musafir diberikan keringanan oleh Allah SWT untuk
mengqashar shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن
تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ
كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS.
An-Nisa : 110)
Satu-satunya penyebab dibolehkannya kita mengqashar shalat hanya karena sebab perjalanan sebagai musafir.
Sedangkan keringanan menjama' shalat bukan terbatas hanya karena sebagai
musafir saja, tetapi juga ada sebab-sebab lain yang membolehkan
seseorang menjama' shalatnya. Di antaranya karena sakit, hujan, haji,
atau kejadian luar biasa yang tidak terkendali.
3. Gugurnya Kewajiban Shalat Jumat
Seorang laki-laki yang menjadi musafir secara syar'i, maka gugur kewajibannya untuk mengerjakan shalat Jumat.
Di antara dalil-dalil yang dijadikan sandaran atas hal ini adalah hadits-hadits berikut ini :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الآْخِرِ فَعَلَيْهِ
الْجُمُعَةُ إِلاَّ مَرِيضٌ أَوْ مُسَافِرٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ
أَوْ مَمْلُوكٌ
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka wajiblah atas
mereka shalat Jumat, kecuali orang sakit, musafir, wanita, anak-anak dan
hamba sahaya. (HR. Ad-Daruqutny)
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُل مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ
أَرْبَعَةً : عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan
berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas empat orang, yaitu budak,
wanita, anak-anak dan orang sakit." (HR. Abu Daud)
Dalam hal ini seorang musafir boleh memilih salah satu dari dua pilihan.
Pertama, mengerjakan shalat Dzhuhur saja dan tidak mengerjakan shalat
Jumat. Kedua, mengerjakan shalat Jumat saja dan tidak perlu lagi
mengerjakan shalat Dzuhur.
4. Bolehnya Shalat Sunnah di Atas Kendaraan
Seorang yang sedang dalam perjalanan, dibolehkan atasnya untuk melakukan
shalat sunnah di atas kendaraannya. Dia boleh shalat tanpa berdiri,
ruku', sujud atau tidak menghadap kiblat.
Dasarnya karena dahulu Rasulullah SAW pernah melakukan shalat sunnah
nafilah di atas punggung unta ketika dalam safar yang beliau SAW
lakukan.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ t أَنَّ النَّبِيَّ r كَانَ يُصَلِّي
عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ
الْمَكْتُوبَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas
kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib,
beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)
Hadits ini adalah hadits shahih yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW
bukan hanya membolehkan untuk melakukan shalat di atas punggung unta,
tetapi juga langsung menegaskan bahwa beliau SAW sendiri juga
melakukannya.
عَنْ جَابِرٍ t كَانَ رَسُول اللَّهِ r يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ
تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW shalat di
atas kendaraannya, menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap.
Namun bila shalat yang fardhu, beliau turun dan shalat menghadap kiblat.
(HR. Bukhari)
Hadits ini juga shahih, namun dengan tambahan penjelasan bahwa beliau
SAW ketika shalat di atas punggung unta, tidak menghadap ke arah kiblat,
tetapi menghadap kemana saja arah unta itu berjalan.
Dan yang paling penting, hadits ini juga menegaskan bahwa beliau SAW
tidak melakukan shalat fardhu yang lima waktu di atas punggung unta.
5. Keringanan Tidak Berpuasa
Keringanan bagi musafir lainnya adalah dibolehkan untuk tidak
mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, namun ada kewajiban untuk
menggantinya di hari yang lain.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
فَمَنْ كاَنَ مِنْكُمْ مَرِيْضاً أَوْ عَلىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر
Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain (QS Al-Baqarah: 85)
Selain itu juga ada hadits Nabi SAW yang lebih menegaskan hal itu dalam contoh kasus.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ t أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ rوَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى
مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ أَفْطَرَ
فَأَفْطَرَ النَّاسُ
Dari Ibnu 'Abbas radliallahuanhuma bahwa Rasulullah SAW pergi menuju
Makkah dalam bulan Ramadhan dan Beliau berpuasa. Ketika sampai di daerah
Kadid, Beliau berbuka yang kemudian orang-orang turut pula berbuka.
(HR. Bukhari)
قَدْ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ r وَأَفْطَرَ فَمَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Ibnu Abbas radliallahuanhuma berkata bahwa Rasulullah SAW pada saat
safar terkadang berpuasa dan kadang berbuka. Maka siapa yang ingin tetap
berpuasa, dipersilahkan. Dan siapa yang ingin berbuka juga
dipersilahkan. (HR. Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar