حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ
عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Telah menceritakan kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik
dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "ketahuilah Setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat
banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya,
setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia
dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin
terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan
dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga
pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban
terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas
yang dipimpinnya."(Sahih Bukhari)
Manusia adalah makhluk yang paling mulia di sis Allah SWT. Manusia
memiliki keistimewaan yang menyebabkannya berbeda dengan makhluk yang
lain, karena padanya terdapat, akal, daya berpikir, kalbu, dan nafsu.
Oleh karena itu, ia menjadi makhluk yang menerima taklif, memiliki
ikhtiar dan iradah.
Manusia sebagai makhluk individual artinya manusia harus bertanggung
jawab terhadap dirinya (baik jasmani maupun rohani). Sedangkan dalam
konteks sosial manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak dapat
memisahkan diri dari lingkungannya, karena dirinya terikat dan butuh
terhadap masyarakat. Selain makhuk individual dan sosial, juga merupakan
makhluk Tuhan. Dengan demikian, manusia harus mempertanggung jawabkan
dirinya dihadapan Tuhan, baik secara individual, sosial, maupun sebagai
makhluk Tuhan.
Tanggung jawab manusia terhadap dirinya muncul sebagai akibat keyakinan
terhadap suatu nilai. Demikian pula tanggung jawab manusia terhadap
Tuhannya, kesadaran atas keyakinan dan ajaran-Nya, larangan dan
perintah-Nya. Rasa tanggung jawab inilah yang akan memanusiakan manusia,
dan mengantarkan manusia pada Tuhannya. Namun, jika tanggung jawab ini
diabaikan, maka akan semakin terperosok dalam kebinatangannya hingga
tidak lagi mengenal lagi nilai-nilai manusia.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ
مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ (93)
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan
ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan. (QS An-Naml: 93)
Ayat tersebut memaparkan sebuah landasan dan kaidah umum yang menyangkut
hubungan Allah Swt dengan manusia lewat firman-Nya, Allah Swt tidak
berkehendak memaksa manusia untuk beriman kepadanya, tapi Allah
menginginkan manusia memilih akidah dan ajaran atas kehendak dan pilihan
mereka sendiri. Tapi karena manusia tidak memilih agama dan akidah yang
satu, mereka memiliki beragam agama dan kepercayaan. Meski demikian,
Allah Swt telah memberikan sarana yang dapat menjadi petunjuk bagi
manusia, yaitu petunjuk fitrah dan akal yang berasal dari dalam diri
manusia dan para nabi dan kitab suci. Manusia dapat memilah antara
kebenaran dan kebatilan lewat sarana tersebut.
Allah Swt tidak akan menghalangi orang-orang yang memilih jalan
kesesatan dan berpaling dari jalan kebenaran. Demikian juga, orang-orang
yang memilih jalan kebenaran, Allah akan membantu mereka meniti jalan
yang benar ini. Perlu diketahui bahwa kehendak dan kebebasan untuk
memilih ini bukan berarti bentuk penistaan atas tanggung jawab. Manusia
harus bertanggung jawab atas apa yang mereka pilih. Manusia tidak
dipaksa untuk memilih sesuatu. Setiap orang berhak menentukan
pilihannya; baik itu jalan kebenaran atau kesesatan. Tapi tanggung
jawab, pahala dan siksa tetap pada posisinya.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di antara Sunnah Ilahi adalah memberikan kebebasan kepada manusia
untuk menentukan pilihan dan mereka juga bebas memilih jalan hidupnya
masing-masing.
2. Semua perbuatan dan tingkah laku manusia baik itu kecil atau besar akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat.
Firman Alloh Ta'ala
وَلَا تَتَّخِذُوا أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ فَتَزِلَّ قَدَمٌ
بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَتَذُوقُوا السُّوءَ بِمَا صَدَدْتُمْ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ وَلَكُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (94) وَلَا تَشْتَرُوا بِعَهْدِ اللَّهِ
ثَمَنًا قَلِيلًا إِنَّمَا عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (95)
Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di
antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya,
dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi
(manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. (QS An-Naml: 94)
Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang
sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, itulah yang
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS An-Naml: 95)
Ayat ini menjelaskan tentang haram dan pentingnya sumpah dan janji.
Allah Swt berfirman, penyalah gunaan ajaran-ajaran sakral agama seperti
sumpah untuk kepentingan dunia akan berdampak pada melemahnya keyakinan
dan kepercayaan masyarakat terhadap agama dan akan menyebabkan mereka
menyimpang dari jalan kebenaran. Orang-orang yang telah menghalangi
manusia dari jalan kebenaran akan mendapat kesulitan dan masalah pertama
mereka di dunia. Mereka juga akan mendapat siksa yang pedih di Hari
Kiamat. Oleh sebab itu, jangan menjual nama Allah sebagai sumpah untuk
memperoleh kepentingan dunia dan materi di dunia.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagian dosa dapat menjadi pendorong untuk melakukan dosa-dosa lain.
Kita harus mengenal dosa-dosa tersebut guna mencegah merebaknya
perbuatan dosa itu di tengah masyarakat.
2. Setiap perbuatan yang bertujuan melemahkan pondasi agama harus kita cegah, meski perbuatan itu tergolong kecil.
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ
الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (96)
Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah
kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang
yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.(QS An-Naml: 93)
Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang runtuh imannya karena
godaan harta dan dunia. Mereka juga mempermainkan nilai-nilai suci agama
dan menjual akhirat yang kekal dengan dunia yang bersifat sementara.
Allah berfirman, mungkin saja perbuatan tersebut akan memenuhi keinginan
duniawi mereka, tapi bukankah kalian mengetahui bahkan kalian tidak
hidup kekal di dunia ini. Dan apa yang telah kalian peroleh juga akan
hilang begitu cepat. Padahal, jika kalian melakukan transaksi dengan
Allah, perbuatan baik kalian akan terjaga dan kekal di sisi-Nya.
Namun semua mengetahui bahwa meninggalkan perbuatan haram dan merasa
cukup dengan hal-hal yang halal dibutuhkan kesabaran dan kemampuan
menahan diri. Orang-orang yang mampu menahan diri dari perbutan haram,
mereka tidak diberikan balasan biasa, tapi Allah akan memberikan balasan
terbaik untuk mereka.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ketabahan untuk menjaga janji-janji dengan Allah Swt dan menjauhi
perbuatan haram, merupakan perbuatan yang sulit dan harus siap melawan
hawa nafsu. Namun ketabahan dan kesulitan ini akan mendatangankan
kebahagiaan dan kesuksesan di akhirat.
2. Allah Swt adalah sebaik-baik pembeli manusia. Dia akan membeli barang
yagn sedikit dengan harga yang sangat tinggi dan menjadikan manusia
sukses.
Ada sebuah hadits yang selalu menjadi alas perbincangan dalam masalah
kepemimpinan. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin
Umar sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ
عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Telah menceritakan kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik
dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "ketahuilah Setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat
banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya,
setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia
dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin
terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan
dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga
pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban
terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas
yang dipimpinnya." (HR al-Bukhari, Shahîh al-Bukhâriy,IV/6, hadits no.
2751 dan HR Muslim, Shahîh Muslim, VI/7, hadits no. 4828)
Salah satu syarah (penjelasan atas hadits tersebut menyatakan bahwa
sejak penghujung abad yang lalu hingga sekarang, diskursus mengenai
pemimpin atau kepemimpinan mencuat ke permukaan. Sebagian sosiolog
menyatakan bahwa terjadinya gejala semacam itu memiliki beberapa sebab.
Menurut pendapat mereka, ada dua penyebabnya utamanya. Pertama, banyak
pemimpin dalam berbagai bidang terlibat pelanggaran moral (Moral
Hazard). Kedua, mungkin karena usianya yang makin menua, dunia kita
sekarang tidak ber-‘kuasa’ lagi melahirkan pemimpin-pemimpin besar
(Great Leader) seperti pada masa-masa silam.
Kenyataan ini dikeluhkan – misalnya — oleh seorang sosiolog Barat,
Jeremie Kubicek (2011) dalam bukunya yang sangat kontroversial,
“Leadershipis Dead: How Influence is Riviving it” (Kepemimpinan Telah
Mati: Bagaimana Pengaruh yang Merupakan Inti Kepemimpinan Bisa
Dihidupkan Kembali). Dikatakan olehnya, bahwa para pemimpin di masa
sekarang ini lebih banyak menuntut, bukan memberi, menikmati, bukan
melayani, dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti.
Dalam Fikih Politik Islam, prinsip akhlak terpuji (mabda’ al-akhlâq
al-karîmah) yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan para pemimpin
adalah “kemaslahatan umat”. Dikatakan dalam kaedah fikih: tasharruf
al-imâm`alâ al-ra`iyyah manûthun bi al-mashlahah(tindakan pemimpin atas
rakyat seharusnya selalu terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan
umum). Jadi, pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan rakyat yang
dipimpinnya, bukan – justeru — untuk kebaikan diri dan kelompoknya.
Kaedah ini diturunkan dari prinsip akhlak kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w., seperti yang disebutkan di dalam al-Quran.
Ada tiga karakteristik (panduan akhlak) kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. berdasarkan Firman Allah,
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (QS al-Taubah [9]: 128).
Pertama, azîzun ‘alaihi mâ ‘anittum (berat dirasakan oleh Nabi s.a.w. –
sebagai pemimpin — penderitan orang lain yang dipimpinnya). Dalam bahasa
modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu kepekaan atas
kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan kemampuan berempati dan simpati
kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.
Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan untuk memahami dan merasakan
kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya mendorong simpati, yaitu
dukungan, baik moral maupun material, untuk mengurangi penderitaan orang
yang tengah mengalami kesulitan.
Kedua, harîshun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar orang lain
merasa tenang, aman, nyaman, nikmat dan sentosa). Dalam bahasa modern,
sifat ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang
mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa yang dipimpinnya meraih
kemajuan.
Tugas pemimpin, antara lain — memang sudah seharusnya — menumbuhkan
harapan dan membuat peta jalan politik menuju cita-cita dan harapan itu.
Ketiga, raûfun rahîm (pengasih dan penyayang). Allah SWT adalah Tuhan
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Nabi Muhammad s.a.w. adalah juga
pengasih dan penyayang.
Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih sayang Allah dan Rasulullah
s.a.w. itu dengan mencintai dan mengasihi umat manusia. Kasih sayang
(rahmah) adalah pangkal kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan
seseorang bisa berbuat baik.
Sabda Rasulullah s.a.w.,
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ.
“Orang yang tak memiliki kasih sayang, tak bisa diharap (kebaikan)
kasih-sayang darinya.” (Hadits Riwayat al-Bukhari dari Jarir bin
Abdullah, Shahîh al-Bukhâriy, juz VIII, halaman 12, hadits nomor 6013)
Dalam sejarah kehidupan manusia, telah muncul istilah kepemimpinan
sejak Nabi Adam di turunkan kemuka bumi ini.pemimpin adalah seorang
pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/
kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang
lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi
pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi
yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di
satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian
satu beberapa tujuan.
Begitu juga sejak awal agama islam berkembang, Nabi Muhammad selain
sebagai seorang utusan Rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran agama
islam tetapi juga seorang kepala negara dan kepala rumah tangga. paling
tidak dalam catatan sejarah kenabian yang terdokumentasi dalam
hadits-hadits yang tetap terjaga dan masih bisa digunakan sampai saat
ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan
persoalan-persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan
musyawarah untuk tercapainya kemaslahatan.
“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannnya” .Meskipun yang di pimpin hanyalah diri sendiri tetap
akan di minta pertanggung jawaban nantinya dan setiap pemimpin itu
adalah pelayan masyarakat karena ia harus memenuhi segalanya apa yang di
inginkan rakyat dalam hal kebaikan bersama dan rakyatpun mempunyai
keterbatasan dalam hal mematuhi pemimpin.
Tanggung Jawab Kepada Allah SWT.
Pertanyaan yang selalu membayangi kehidupan manusia ialah dari mana
asala kita? untuk apa kita diciptakan? siapa pencipta alam semesta ini?
apa yang diinginkan sang pencipta dari ciptaannya?. Mungkin saja
sebagian orang dikarenakan kelalaian, ketidak tahuan, pembangkangan, dan
pemberontakan mengabaikan panggilan fitrahnya hingga tidak mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Namun sudah selayaknya sebagai
rasa terima kasih, manusia mimiliki tanggung jawab mencari dan mengenal
penciptanya. Atas dasar ini, ada beberapa tanggung jawab yang dipikul
manusia, diantaranya adalah;
a. Makrifatullah (Mengenal Allah).
Makrifah adalah mengenal hakekat atau menemukan jalan menuju hakekat.
Dan puncak hakekat itu sendiri adalah Dzat Allah SWT. Sebagaimana imam
Ali as berkata;
معرفة الله سبحانه اعلى المعارف
“Pengetahuan tentang Allah adalah pengetahuan yang paling tinggi”
Pengetahuan semacam ini akan mensucikan dan memberiskan diri manusia,
bahkan sampai pada pengesahan Allah SWT. Sebagaimana imam Ali as
mengatakan;
من عرف الله توحّد
“Barangsiapa yang mengenal Allah, ia akan men-tauhidkan-Nya”.
من عرف كفّ
“Barangsiapa yang mengenal Allah, dirinya akan terjaga”.
Rasulullah Saw juga mengatakan;
من عرف الله و عظّمه منع فاه من الكلام و بطنه من الطعام و عنّى نفسه بالصيام و القيام
“Barangsiapa yang mengenal Allah dan mengagungkan-Nya, mulutnya akan
tercegah (dari perkataan keji) dan perutnya akan tercegah dari makanan
(haram), serta memberatkan dirinya dengan puasa dan sholat malam”.
Sebaliknya al-Quran mengecam orang-orang yang taklid buta, tanpa punya dasar pengetahuan yang benar. Sebagaimana firman-Nya;
و من الناس من يجادل في الله بغير علم و يتبع كل شيطان مريد كتب عليه انه من تولّاه فانه يضلّه و يهديه الى عذاب السعير
“Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu dan
hanya mengikuti para setan yang sangat jahat. Telah ditetapkan bahwa
siapa yang berkawan dengan dia, maka dia akan menyesatkannya, dan
membawahnya ke azab neraka”.
b. Taat dan Penghambaan Pada Allah.
Manusia makhluk ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan Tuhan manusia wajib taat
dan menghambakan dirinya pada Tuhan. Penghambaan berati penyerahan diri
sepenuhnya pada Allah, dan itu merupakan perwujudan tanggung jawab Allah
SWT. Akan tetapi penghambaan tanpa makrifat mustahil terealisasi,
karena penghambaan buah dari makhrifat.
Sebagaimana Quran membagi manusia pada mukmin dan kafir, hidayat dan
dhalal, taat dan membangkang, muwahid dan musyrik, alim dan jahil,
mukmin dan fasiq, muslih dan mufsid berdasarkan penghambaan pada Allah
SWT. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman;
و من يطع الله و رسوله و يخش الله و يتّقه فأولئك هم الفائزون
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut
kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan”.
Dalam hadits mi’raj, Allah juga menjelaskan kepada Rasulullah tentang hakekat penghambaan dengan menyebutkan 7 sifat, yakni;
يا احمد! ها تدري متى يكون (لي) العبد عابدا قال لا يا ربّ قال اذا اجتمع
فيه سبع خصال: ورع يحجزه عن المحارم، و صمت يكفّه عمّا لا يعنيه، و خوف
يزداد في كل يوم من بكائه، و حياء يستحى مني في الخلاء، و اكل ما لابدّ منه
و يبغض الدنيا لبغضى لها، و يحب الاخيار لحبى لهم
“Ya Ahmad! Apakah kamu tahu kapan seorang hamba menjadi seorang ‘abid’,
Rasul menjawab, ‘tidak ya Allah’. Lalu Allah SWT berkata ketika 7 sifat
ada padanya; Sifat wara’ yang mencegahnya dari hal-hal yng diharamkan,
Sifat diam yang tidak berbicara hal yang tidak penting, Sifat takut yang
setiap harinya membuat ia bertambah menangis, Sifat malu padaku
meskipun dalam kesendirian, makan yang tidak ada jalan lain, membenci
dunia dikarenakan Aku membencinya, mencintai orang-orang baik
dikarenakan Aku menyukainya”.
c. Cinta Ilahi
Cinta dalam bahasa Arab, antara lain, disebut hubb atau mahabbah. Kedua
kata ini mengandung arti cinta sepenuh hati, tulus, penuh komitmen dan
ketaatan. Orang yang mencintai Allah berarti selalu menghadirkan Allah
dalam hati, pikiran dan amal perbuatannya. Buah dari makrifat dan
penghambaan diri adalah kecintaan yang tulus pada Allah SWT.
Energi cinta Ilahi melahirkan rasa ikhlas dan tidak berat hati dalam
beribadah, komitmen kuat untuk berbuat yang terbaik semata-mata
mengharapkan ridha-Nya. Mahabbah yang sejati hanya menomorsatukan
cintanya kepada Allah, tidak kepada diri sendiri, orang tua, atau orang
lain. Sebagaimana imam Ja’far Shodiq as berkata;
لا يمحض رجل الايمان بالله احب اليه من نفسه و ابيه و امّه و ولده و اهله و ماله و من الناس كلهم
“Tidak ada seorang yang tulus keimanannya kecuali Allah SWT lebih ia
cintai dari dirinya, ayahnya, ibunya, anaknya, keluarganya, dan hartanya
serta seluruh manusia”.
Sebagaimana dalam surat at-Taubah ayat 24 Allah SWT menjelaskan dengan
gamblang hasil dari cinta ilahi. Bahwa mencintai Allah akan menafikan
selain-Nya.
d. Berprasangka Baik Kepada Allah.
Berprasangka baik kepada Allah merupakan ibadah hati yang mulia. Sikap
ini tidak hanya berpengaruh secara lahiriah saja, bahkan berpengaruh
besar pada hati, akal dan pikiran manusia. Seorang mukmin tidak akan
berprasangka buruk kepada Allah SWT. Ia selalu memanggil-Nya dengan
penuh cinta dalam keadaan apapun. Sebagaimana al-Quran menggambarkan
getaran cinta seorang mukmin ketika mendengar nama-Nya;
انما المؤمنون الذين اذا ذكر الله وجلت قلوبهم
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya”.
Sebaliknya Allah SWT mengecam orang-orang yang berprasangka buruk
kepada-Nya, dan memanggilnya dengan sebutan nifaq dan syirk, sebagaimana
firman-Nya;
ويعذّب المنافقين و المنافقات و المشركين و المشركات الظانين بالله ظنّ السوء
“Dan ia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, dan juga
orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk
terhadap Allah SWT”.
Baik sangka kepada Allah dan terhadap janji kasih sayang, kemurahan,
rahmat, dan inayah-Nya adalah salah satu tanda keimanan, sekaligus
perantara keselamatan dan kebahagiaan. Rasulullah Saw berkata, “Tiada
seorang hamba bersangka baik terhadap Allah, melainkan Allah akan
berlaku terhadapnya sebagaimana yang ia sangkakan”.
Dalam hadits lain imam Ali bin Musa as berkata, “Berbaik sangkalah
terhadap Allah! karena Allah SWT (dalam hadis qudsi) berfirman, “Aku ada
dalam sangka baik hamba-ku yang beriman! jika ia berbaik sangka
terhadap-Ku, aku berlaku baik terhadapnya. Jika ia berburuk sangka
terhadap-Ku, Aku berlaku buruk terhadapnya”.
Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri
Setiap manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap
perbuatan dan tindakan memiliki resiko yang harus dipertanggung
jawabkan. Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama
setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk
menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya
dibatasi oleh yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian
dari komunitas. Dengan demikian, setiap orang islam harus berusaha untuk
menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa di
dasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Maka dari
itu setiap manusia memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri.
Tanggung jawab terhadap diri sendiri yaitu menentukan kesadaran setiap
orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan
kepribadian sebagai manusia pribadi. Sehingga dapat memecahkan
masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri. Menurut sifat
dasarnya manusia adalah mahluk yang memiliki rmoral, tetapi manusia juga
merupakan makhluk yang pribadi. Makhluk pribadi adalah manusia
mempunyai pendapat sendiri, perasaan sendiri, cita-cita sendiri, dan
sebagai perwujudan dari pendapat, perasaan dan angan-angan itu manusia
berbuat dan bertindak. Dalam hal ini manusia tidak luput dari kesalahan,
kekeliruan, baik yang sengaja maupun yang tidak. Tanggung jawab
terhadap diri sendiri di antaranya, jujur terhadap diri sendiri, menjaga
kesehatan dan kesejahtraan mental dan fisik, menjaga keseimbangan
hidup, mengenali kekuatan dan kelemahan diri, menilai diri secara
rutin, tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak diri sendiri, menjaga
seluruh yang terdapat dalam diri, serta menggunkan anggota tubuh sesuai
dengan kegunaannya.
Tanggung Jawab Pemimpin Negara
Seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah untuk
memimpin rakyat dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat,
maka ia harus bisa menjaga dan melaksanakan amanat tersebut, jika tidak
ia tidak akan merasakan harumnya surga, apalagi merasakan kenikmatan
menjadi penghuni surga.
حـديث معقـل بن يسـار عن الحسـن أنّ عبيد الله بن زيـاد عـاد معقل بن يستار
في مـرضه الّذي مـات فيه ,فقـال له معقل : اني محـدّثك حـديثـا سمعته من
رسـول الله صـلي الله عليه وسـلّم . سمعت رسـول الله صـلي الله عليه وسـلّم
يقول : مـامن عبد استرعـاه الله رعـيّة فـلم يحـطّهـا بنصيحة الاّ لم يجـد
رائحة الجـنّة ( أخرجه البـخـاري في كتب الأحـكـام, بـاب من استرعي رعـيّة
فـلم ينصـح )
"Al-hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma'qal ibn Yasar R.A
ketika ia sakit yang menyebabkan kematianya, maka Ma'qal berkata kepada
Ubaidilah Ibn Ziyad "aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadith yang
telah aku dengar dari Rasulullah SAW, aku mendengar nabi bersabda: tiada
seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah lalu ia tidak
memeliharanya dengan baik maka Allah tidak akan merasakan kepadanya
harumnya surga". (dikeluarkan oleh imam Bukhori dalam kitab Hukum bab
orang yang diberi amanat kepemimpinan).
Seorang pemimpin bukanlah manusia yang bebas berbuat dan memaksakan
kehendaknya dan kemauanya terhadap masyarakat, tetapi seorang pemimpin
adalah orang yang bisa mengayomi masyarakat, bisa memposisikan dirinya
sebagai pelayan masyarakat sebagaimana Firman Allah SWT:
واحـفض جنـاحك لمن اتبعـك من المؤمنين (الشعـراء :215)
Artinya : Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dan kaum mukminin (Al-Syuara' : 215).
Seorang pemimpin wajib memiliki hati yang melayani atau akuntabilitas
(accountable). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab
dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan
tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan kepada Allah
kelak di akhirat nanti. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau
mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari
mereka yang dipimpin. Oleh karena itu pemimpin mempunyi tanggung jawab
yang sangat besar bagi bangsa ataupun organisasi yang dipimpin, baik itu
di dunia ataupun di akhirat nanti.
Tanggung Jawab Terhadap Keluarga
Setiap muslim wajib bertanggung jawab terhadap keluarganya, suami
memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak istri dan anak-anaknya,
begitupun sebaliknya seorang istri mempunya keharusan untuk memelihara
suami dan anak-anaknya. Islam memberikan tanggung jawab yang begitu
agung kepada keluarga baik dia seorang ayah maupun ibu untuk memberikan
pendidikan, pengetahuan, dakwah dan bimbingan kepada anggota keluarga.
Pembinaan yang demikian inilah yang akan menyelamatkan dan memberikan
penjagaan kepada diri dan keluarga sebagaimana perintah Allah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”( Q.S.at-Tahrim/66:6).
Seorang suami wajib melindungi, memelihara dan menjaga keluarganya
dengan pendidikan dan akhlak yang mulia serta memberi nafkah. Nafkah
yaitu harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya
berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti
ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Quran.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا
مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath
Tholaq: 7).
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban
dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk
pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah
dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap
berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah
sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan
dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Seorang istri juga mempunyai keharusan untuk menjaga suami dan
anak-anaknya dari hal-hal yang melanggar syariat islam, serta memelihara
harta dan kehormatan keluarga sebagaimana yang di ajarkan oleh agama
islam.
Q.S.Luqman/31:12-19
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ
يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12) وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا
عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ
سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ
حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ
فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16)
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي
الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18)
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ
الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)
Artinya: ”Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman,
yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur
(kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.”(12) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar.”(13) Dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(14) Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (15) Luqman berkata): “Hai
anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.(16) Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar
dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).(17) Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(18) Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.(19)”.(Q.S.Luqman/31:12-19).
Pengertian Anak dan Hakikatnya Bagi Orangtua
Secara etimologi dapat diartikan anak yang sudah berumur enam
tahun.Secara terminologi anak adalah masa kanak-kanak dimulai setelah
melewati masa bayi yang penuh ketergantungan yakni kira-kira usia dua
tahun sampai saat anak matang secara seksual.
Sedangkan hakikat anak bagi orangtua adalah:
1) Anak adalah Amanah.
Anak merupakan amanah dari Allah Swt yang diberikan kepada setiap
orangtua,anak juga buah hati,anak juga cahaya mata,tumpuan harapan serta
kebanggaan keluarga.Anak adalah generasi mendatang yang mewarnai masa
kini dan diharapkan dapat membawa kemajuan dimasa mendatang.Anak juga
merupakan ujian bagi setiap orangtua sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an surah al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :
وَاعْلَمُواأَنَّمَاأَمْوَالُكُمْ أَوْلَادُكُمْوَفِتْنَةأَنَّوَهُعِندَ اللَّهَ أَجْرٌعَظِيمٌ
Artinya :”Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah
sebagai cobaan dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala yang besar.” (QS.al-Anfal ayat 28).
Ayat tersebut diatas,menjelaskan salah satu ujian yang diberikan Allah
kepada orang tua adalah anak-anak mereka.Itulah sebabnya setiap orangtua
hendaklah benar-benar bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan
Allah Swt sekaligus menjadi batu ujian yang harus dijalankan.Jika anak
yang di didik mengikuti ajaran Islam maka orangtua akan memperoleh
ganjaran pahala yang besar dari hasil ketaatan mereka.
Namun,fenomena yang ada menunjukkan masih banyak orangtua yang tidak
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya.Masih banyak anak-anak yang
tidak memperoleh haknya dari orangtua mereka seperti;hak mendapatkan
perawatan dengan penuh kasih sayang,hak memperoleh pendidikan yang baik
dan benar,hak menerima nafkah yang halal dan baik,dan sebagainya.
Surah Al-Anfal/8:27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman,janganlah kalian mengkhianati
(amanat) Allah dan Amanat Rasul,dan janganlah kalian mengkhianati
amanat-amanat yang diamanatkan kepada kalian,sedangkan kamu mengetahui”.
(Q.S. al-Anfal/8:27)
Surah An-Nisa/4:09
Artinya:”Dan hendaklah takut (kepada Allah daripada melakukan aniaya
kepada anak-anak yatim) oleh orang-orang (yang menjadi penjaganya), yang
jika ditakdirkan mereka pula meninggalkan anak-anak yang daif (yatim)
di belakang mereka, (tentulah) mereka akan merasa bimbang terhadap (masa
depan dan keselamatan) anak-anak mereka; oleh itu hendaklah mereka
bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang
betul (menepati kebenaran)”. (Q.S.an-Nisa/4:09)
2) Anak adalah Batu Ujian Keimanan Orangtua.
Anak adalah sumber kebahagiaan keluarga.Tetapi disisi lain ia pula
merupakan batu ujian keimanan.Sebagaimana dijelaskan dalam Surah
al-Anfal/8:28:
عَظِيمٌ جْرٌأَ عِندَ اللَّهَ فِتْنَةٌ وَاعْلَمُواأَنَّمَاأَمْوَالُكُمْأَوْلَادُكُمْوَأَنَّوَهُ
Artinya:”Dan ketahuilah,bahwa harta kalian dan anak-anak kalian adalah
fitnah (batu ujian keimanan) dan sesungguhnya disisi Allahlah pahala
yang besar.”(QS. al-Anfal/8:28)26
3) Anak adalah Makhluk Independen.
Yang dimaksud dengan makhluk independen dalam hal ini adalah ciptan
Allah yang berdiri sendiri,memiliki takdir tersendiri dan merupakan
individu tersendiri yang terlepas dari individu lain termasuk kedua
orangtuanya sekalipun.
Orangtua memang berkewajiban merawat,mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Namun perlu disadari bahwa mereka adalah makhluk independen,dimana para
orangtua tidak berhak memaksakan kehendak kepada anak-anak
mereka.Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an Surah
al-Mu’minun/23:12-14:
* مّكِينٍ قَرَارٍ فِي نُطْفَةً جَعَلْنَاهُ ثُمّ * طِينٍ مّن سُلاَلَةٍ مِن الإِنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْوَ
فَكَسَوْنَا عِظَاماً الْمُضْغَةَ فَخَلَقْنَا مُضْغَةً لْعَلَقَةَ ا فَخَلَقْنَا عَلَقَةً لنّطْفَةَ ا خَلَقْنَا ثُمّ
الْخَالِقِينَ أَحْسَنُ اللّهُ فَتَبَارَكَ آخَرَ خَلْقاً أَنشَأْنَاهُ ثُمّ لَحْماً الْعِظَامَ
Artinya:”Dan sesungguhnya kami (Allah) telah menciptakan manusia (Adam)
dari saripatih tanah.Kemudian kami jadikan manusia (berikutnya) dari air
mani yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim ibu).Kemudian air
mani itu kami ciptakan menjadi segumpal darah,dari segumpal darah kami
ciptakan menjadi segumpal daging,dari segumpal daging kami ciptakan
menjadi tulang-belulang,lalu kami jadikan tulang-belulang yang
terbungkus daging itu sebagai makhluk tersendiri. Maka Maha Sucilah
Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (al-Mu’minun/23:12-14)
Kata Khalqun Akhar dalam ayat di atas maksudnya sekalipun anak
dilahirkan orangtua,namun pada hakikatnya dia merupakan individu yang
berbeda dengan siapapun, termasuk kedua orangtuanya.Bahkan dia juga
memiliki takdir tersendiri yang belum tentu sama dengan kedua
orangtuanya.
4) Anak Sebagai Sumber Kasih Sayang.
Surah Al-Furqan/25:74
إِمَامًا لِلْمُتَّقِينَ وَاجْعَلْنَا أَعْيُ قُرَّةَ وَذُرِّيَّاتِنَا
أَزْوَاجِنَا مِنْ لَنَا هَبْ رَبَّنَ يَقُولُونَ وَالَّذِينَ
”Dan orang-orang yang berkata,”ya Tuhan kami,anugerakanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS.
Al-Furqan/25:74)
5) Anak Sebagai Pelestari Pahala
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga
perkara (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak
yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar