Rabu, 29 Juni 2016

Penjelasan Tentang Godaan Dalam Sholat Dan Hukum Meludah Dalam Sholat

Sebagai seorang muslim, penting kiranya saya menginterospeksi diri saya sendiri. Terutama dalam melakukan kegiatan ibadah sebagai media bagi saya untuk berkontak dengan Sang Maha Pencipta. Salah satu hal utama yang saya jadikan instropeksi adalah ketika saya melakukan shalat, baik itu shalat wajib maupun shalat sunnah. Saya merasa belum bisa begitu khusyuk ketika melakukan ibadah yang merupakan kebutuhan bagi saya, yaitu shalat. Ya, shalat bagi saya itu adalah sebuah kebutuhan sebagaimana saya butuh udara untuk bernapas setiap harinya. Bukan lagi saya anggap sebagai kewajiban, karena kata ‘kewajiban’ bagi saya lebih kepada seseorang yang ingin menuntut hak dari-Nya. Padahal Allah telah memberikan hak-hakNya untuk semua manusia, baik untuk orang muslim maupun non-muslim. Kata 'kebutuhan’ lebih mendalam bagi saya, karena dengan begitu kita dapat bersyukur atas karunia Allah setiap harinya.
Kembali kepada kekurang khusyuk-an yang saya alami, saya mencoba mencari penyebab kekurang khusyuk-an tersebut. Saya menyadari bahwa setan dan iblis selalu berada di dekat manusia dan telah bersumpah bahwa dia akan mengganggu manusia dari segala arah. Ketika iblis di usir oleh Allah, dia bersumpah akan menggoda manusia dari segala arah.
 
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ( ) ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
 
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. Al-A’raf: 16 – 17)
Sungguh kerasnya tekad setan dan iblis untuk menyesatkan manusia. Hal ini juga dilakukan setan dan iblis untuk berusaha membuat shalat seorang muslim menjadi tidak khusyuk. Tanpa saya sadari, penyebab-penyebab kekurang khusyuk-an yang saya alami adalah hal-hal yang biasanya saya anggap sepele. Akan tetapi, ternyata hal sepele itulah yang dimanfaatkan setan dan iblis untuk mengganggu kekhusukan dalam shalat. 
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan memakai baju bergaris. Di tengah shalat, beliau melihat corak garis itu. Setelah salam, beliau bersabda,
اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي
“Berikan bajuku ini ke Abu Jahm, dan bawakan aku baju Ambijaniyah. Karena barusan, baju ini telah mengganggu kekhusyuanku ketika shalat.” (HR. Bukhari 373 & Muslim 556).
Dari Uqbah bin al-Harits radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Saya pernah menjadi makmum di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat shalat asar. Ketika beliau salam, beliau langsung berdiri dan masuk ke rumah salah satu istrinya. Kemudian beliau keluar, dan terlihat di wajah para sahabat suasana keheranan karena beliau buru-buru. Beliau bersabda,
ذَكَرْتُ وَأَنَا فِي الصَّلاَةِ تِبْرًا عِنْدَنَا، فَكَرِهْتُ أَنْ يَبِيتَ عِنْدَنَا فَأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ
“Ketika saya shalat, saya teringat seonggok emas yang kami miliki. Saya tidak ingin emas itu menetap di rumah kami malam ini, sehingga aku perintahkan agar dibagikan.” (HR. Ahmad 16151 & Bukhari 1221)
Hadis ini menjadi dalil bahwa bisikan hati tidak membatalkan shalat. Karena shalat 100% khusyu, hampir tidak mungkin dilakukan manusia.
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا نِصْفُهَا
”Sesungguhnya seseorang selesai shalat, sementara pahala yang dia dapatkan hanya sepersepuluh shalatnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, dan setengahnya.” (HR. Ahmad 18894, Abu Daud 796, dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).
Bagaimana Jika yang Terlintas adalah Pikiran Kotor?
An-Nawawi (w. 676 H) mengatakan,

يستحب الخشوع في الصلاة والخضوع وتدبر قراءتها وأذكارها وما يتعلق بها والإعراض عن الفكر فيما لا يتعلق بها، فإن فكر في غيرها وأكثر من الفكر لم تبطل صلاته لكن يكره سواء كان فكره في مباح أو حرام كشرب الخمر، … وقد نقل الإجماع على أنها لا تبطل، وأما الكراهة فمتفق عليها
Dianjurkan untuk khusyu, tunduk, dan merenungi bacaan al-Quran serta dzikir yang dibaca ketika shalat. Dan berusaha berpaling dari lintasan pikiran yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Memikirkan yang lain ketika shalat dan banyak lintasan pikiran, tidak membatalkan shalat, namun statusnya makruh. Baik yang dipikirkan masalah yang mubah atau masalah yang haram, seperti minum khamr…. dan terdapat keterangan adanya ijma’ ulama bahwa lintasan semacam ini tidak membatalkan shalat. Sedangkan hukum makruh, ini disepakati ulama. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/102)
Cara Mengobati Lintasan Pikiran ketika Shalat
Dalam hadis dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhu, Beliau mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan gangguan yang dia alami ketika shalat. Kemudian, beliau ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً
“Itu adalah setan. Namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah perlindungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga kali.”
Kata Utsman, “Aku pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku.” (HR. Muslim 2203)
Hukum Meludah dalam Shalat
Ada beberapa hadits yang berkaitan dalam permasalahan ini, yaitu :
Hadits Pertama
 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى بُصَاقًا فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ فَحَكَّهُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقُ قِبَلَ وَجْهِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ إِذَا صَلَّى "
 
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ludah di dinding kiblat (masjid), lalu beliau menggosoknya (agar hilang). Kemudian menghadap ke orang-orang dan bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, janganlah meludah ke arah depan karena Allah berada di hadapannya ketika seseorang sedang shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 406, Muslim no. 547, An-Nasaa’iy no. 724, dan yang lainnya].
Hadits Kedua
عَنْ حُذَيْفَةَ أَظُنُّهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَفْلُهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ....... "
Dari Hudzaifah – aku menyangkanya – dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang meludah ke arah kiblat, maka ia akan datang di hari kiamat dengan membawa ludah di antara dua matanya….” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3824, Ibnu Khuzaimah no. 925 & 1314 & 1663, Ibnu Hibbaan no. 1639, dan yang lainnya; dishahihkan sanadnya oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij-nya terhadap Shahiih Ibni Hibbaan 4/518].
Hadits Ketiga
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ، وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Meludah di masjid adalah kesalahan, dan kaffaratnya adalah menimbunnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 415, Muslim no. 552, Abu Daawud no. 475, At-Tirmidziy no. 572, dan yang lainnya].
Hadits Keempat
عَنْ أَنَسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ، فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ، فَقَالَ: " إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ، فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ، وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ، ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ، فَقَالَ: أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا "
Dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di kiblat (dinding masjid). Beliau merasa terganggu akan hal tersebut hingga terlihat di wajah beliau. Lalu beliau berdiri dan menggosoknya dengan tangan beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila berdiri dalam shalatnya, maka ia sedang bermunajat kapada Rabbnya – atau Rabbnya berada antara dia dan kiblat - . Maka, janganlah salah seorang di antara kalian meludah ke arah kiblat. Akan tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya”. Lalu beliau memegang ujung selendangnya dan meludah padanya, kemudian menggosok-gosokkan kainnya tersebut. Setelah itu beliau bersabda : “Atau melakukan yang seperti ini” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 405, Muslim no. 551, dan yang lainnya].
Hadits Kelima
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي جِدَارِ الْمَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَ حَصَاةً فَحَكَّهَا، فَقَالَ: " إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ، فَلَا يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ، وَلَا عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى "
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’iid : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di dinding masjid. Lalu beliau mengambil kerikil dan membersihkannya (dengannya). Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian ingin membuang dahak, janganlah membuangnya ke arah depan (kiblat). Dan hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kaki kirinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 409 & 411].
Hadits Keenam
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " عُرِضَتْ عَلَيَّ، أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا، فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا، الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِي أَعْمَالِهَا، النُّخَاعَةَ، تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ، لَا تُدْفَنُ "
Dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Diperlihatkan kepadaku amal-amal umatku yang baik dan yang buruk. Lantas aku dapati di antara amal-amal yang baik tersebut adalah menghilangkan gangguan dari jalan. Dan aku dapati di antara amal-amal yang buruk tersebut adalah meludah di masjid tanpa menguburnya (membersihkannya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 553, Ibnu Maajah no. 3683, dan yang lainnya].
Hadits Ketujuh
عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيُغَيِّبْ نُخَامَتَهُ، أَنْ تُصِيبَ جِلْدَ مُؤْمِنٍ أَوْ ثَوْبَهُ فَتُؤْذِيَهُ "
Dari Sa’d, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berdahak di masjid, hendaklah ia hilangkan dahaknya itu agar tidak mengenai kulit atau pakain orang lain sehingga menyakitinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/179, Ibnu Khuzaimah no. 1311, dan yang lainnya; hasan].
BEBERAPA FAEDAH :
1.     Haram hukumnya meludah ke arah kiblatketika shalat, baik di dalam masjid atau di luar masjid sesuai keumuman hadits no. 1,2, 4, dan 5. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini.
2.     Haram hukumnya meludah di masjid tanpa menimbunnya atau membersihkannya berdasarkan hadits no. 3, 6, dan 7.
3.     Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meludah ke sebelah kiri atau di bawah kaki di dalam masjid dengan niat membersihkannya. Ibnu Hajar r‎ahimahullah menukil :
قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : إِنَّمَا يَكُون خَطِيئَة إِذَا لَمْ يَدْفِنهُ ، وَأَمَّا مَنْ أَرَادَ دَفْنه فَلَا . وَرَدَّهُ النَّوَوِيُّ فَقَالَ : هُوَ خِلَافُ صَرِيحَ الْحَدِيثَ
Al-Qaadliy ‘Iyaadl berkata : ‘Perbuatan tersebut hanyalah menjadi kekeliruan apabila tidak ditimbun. Adapun orang yang berniat menimbunnya (membersihkannya), maka tidak mengapa’. An-Nawawiy membantahnya denga perkataannya : ‘Pendapat itu menyelisihi kejelasan hadits (yang menyatakan bahwa meludah di masjid adalah satu kekeliruan meski ia berniat untuk membersihkannya)” [Fathul-Baariy, 1/511].
Kemudian Ibnu Hajar memberikan penjelasan dasar perbedaan keduanya tentang keumuman dalil yang dipakai beserta pengkhususannya. An-Nawawiy mengambil hadits no. 3 sebagai dalil yang umum (tentang larangan meludah di masjid); dan mengambil hadits no. 5 sebagai pengkhususan jika terjadi di luar masjid‎. 
Yaitu sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَاره أَوْ تَحْت قَدَمه
“Dan hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kaki kirinya”.
Hadits ini – menurut An-Nawawiy – berlaku di luar masjid, dan ini kurang tepat karena hadits tersebut diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat melihat dahak/ludah yang ada di dinding masjid.
Faedah :
Tidak boleh meludah ke sebelah kanan dalam shalat karena di sebelah kanannya ada malaikat, sebagaimana riwayat lain dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَلَا يَبْصُقْ أَمَامَهُ، فَإِنَّمَا يُنَاجِي اللَّهَ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ، فَإِنَّ عَنْ يَمِينِهِ مَلَكًا، وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ فَيَدْفِنُهَا "
“Apabila salah seorang di antara kalian berdiri melaksanakan shalat, janganlah meludah ke arah depannya, karena ia sedang bermunajat Allah selama ia mengerjakan shalat. Jangan pula meludah ke samping kanan, karena di samping kanannya ada malaikat. Hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kaki, lalu (setelah selesai shalat) menimbunnya (membersihkannya)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 416].
Adapun Al-Qaadliy ‘Iyaadl menjadikan hadits no. 5 sebagai dalil yang umum (yaitu boleh meludah di sebelah kiri atau di bawah kaki); dan hadits no. 3 sebagai pengkhususan bagi orang yang tidak menimbun/membersihkannya (setelah meludah). Pendapat Al-Qaadliy tersebut disepakati sekelompok ulama diantaranya Ibnu makkiy dalam At-Tanqiib, Al-Qurthubiy dalam Al-Mufhim, dan yang lainnya. Pendapat mereka (Al-Qaadliy, Ibnu Makkiy, Al-Qurthubiy, dan yang lainnya) dikuatkan oleh hadits no. 7 dari Sa’d bin Abi Waqqaash dan hadits Abu Umaamah secara marfuu’ :
مَنْ تَنَخَّعَ فِي الْمَسْجِدِ فَلَمْ يَدْفِنْهُ فَسَيِّئَةٌ، وَإِنْ دَفَنَهُ حَسَنَةٌ
“Barangsiapa yang mengeluarkan dahak di masjid tanpa menimbun/membersihkannya, maka itu adalah kekeliruan. Dan apabila ia menimbunnya, maka itu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalamAl-Kabiir no. 8092 – dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Baariy, 1/512].
Kejelekan dalam hadits di atas di-taqyid jika tidak menimbun/ membersihkannya. Dikuatkan lagi penunjukkan maksud tersebut dalam hadits no. 6 dari Abu Dzarr r‎adliyallaahu ‘anhu.
[silakan lihat selengkapnya dalam Fathul-Baariy, 1/511-512].
Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah. Akan tetapi, keluar dari khillaf dengan tidak meludah di (lantai) masjid adalah lebih utama.
4.     Ludah atau ingus, meskipun suci , dapat menyakiti orang lain jika mengenai badan atau baju mereka sebagaimana dalam hadits no. 7; dan menyakiti orang lain itu terlarang. Sebagaimana riwayat :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ: أَمِطْهُ عَنْكَ، قَالَ أَحَدُهُمَا: بِعُودٍ، أَوْ إِذْخِرَةٍ، وَإِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ، أَوِ الْمُخَاطِ.
Dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia pernah berkata tentang mani yang mengenai pakaian : “Hilangkan ia darimu, dengan kayu atau idzkhir. Air mani itu hanyalah seperti kedudukan ludah atau ingus” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/69; sanadnya shahih].
5.     Jika ingin meludah ke sebelah kiri, harus dipastikan tidak ada orang di sebelah kirinya agar tidak mengenainya sehingga menyakitinya. Menyakiti orang lain dengan langsung meludahinya lebih besar dosanya daripada menyakitinya karena terkena ludah atau dahak secara tidak langsung.

Penjelasan Hukum Tahlilan

Tahlilan bukanlah sebuah kewajiban, jika ditinggalkan berdosa atau bukanlah perkara yang diwajibkanNya atau ditetapkanNya atau bukanlah perkara syariat, syarat sebagai hamba Allah.
Jika berkeyakinan bahwa tahlilan adalah sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa maka keyakinan seperti itu termasuk bid’ah dholalah karena yang mengetahui atau menetapkan sesuatu perkara atau perbuatan ditinggalkan berdosa (kewajiban) atau dikerjakan / dilanggar berdosa (larangan/pengharaman) hanyalah Allah ta’ala
Firman Allah Azza wa Jalla;
 
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (32)قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنزلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (33)
 
“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Tahlilan adalah amal kebaikan, perkara diluar apa yang diwajibkanNya dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Tahlilan adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselenggarakan oleh keluarga ahli kubur sedangkan peserta tahlilan bersedekah diniatkan untuk ahli kubur dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil, pembacaan surah Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa
Menurut pendapat ahli sunnah pahala, doa dan sodaqoh bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal dan dapat bermanfaat bagi mereka.
Kalangan Ahlusunnah berhujjah dengan beberapa firman Allah Swt dan beberapa hadits shohih diantaranya :
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعْهُمْ ذُرِّيَّتَهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا اَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْئٍ كُلُّ إمْرِئٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنٌ (تاطور ٣١)
Dan orang – orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangisedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap – tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya.
Allah juga berfirman :
 
أَبَائُكُمْ وَأَبْنَائُكُمْ لَاتَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا (النساء :١١)
Tentang orang tuamu dan anak –anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Tahlilan hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.
Membaca Surat Yasin
Hadis-hadis dan amaliyah sahabat dalam membaca Yasin diulas lengkap oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
قال الإمام أحمد: حدثنا عارم، حدثنا ابن المبارك، حدثنا سليمان التيمي، عن أبي عثمان –وليس بالنهدي-عن أبيه، عن مَعْقِل بن يَسَار قال: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اِقْرَؤُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ" –يَعْنِي: يس. ورواه أبو داود، والنسائي في "اليوم والليلة" وابن ماجه من حديث عبد الله بن المبارك، به إلا أن في رواية النسائي: عن أبي عثمان، عن معقل بن يسار. وَلِهَذَا قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: مِنْ خَصَائِصِ هَذِهِ السُّوْرَةِ: أَنَّهَا لاَ تُقْرَأُ عِنْدَ أَمْرٍ عَسِيْرٍ إِلاَّ يَسَّرَهُ اللهُ. وَكَأَنَّ قِرَاءَتَهَا عِنْدَ الْمَيِّتِ لِتُنْزَلَ الرَّحْمَةُ وَالْبَرَكَةُ، وَلِيَسْهُلَ عَلَيْهِ خُرُوْجُ الرُّوْحِ، وَاللهُ أَعْلَمُ. قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللهُ: حَدَّثَنَا أَبُوْ الْمُغِيْرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ قَالَ: كَانَ الْمَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ: إِذَا قُرِئَتْ –يَعْنِي يس-عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا (تفسير ابن كثير / دار طيبة –6 / 562)
"Imam Ahmad berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal (HR Abu Dawud dan al-Nasai). Oleh karenanya sebagian ulama berkata: diantara keistimewaan surat yasin jika dibacakan dalam hal-hal yang sulit maka Allah akan memudahkannya, dan pembacaan Yasin di dekat orang yang meninggal adalah agar turun rahmat dan berkah dari Allah serta memudahkan keluarnya ruh. Imam Ahmad berkata: Para guru berkata: Jika Yasin dibacakan di dekat mayit maka ia akan diringankan (keluarnya ruh)" (Ibnu Katsir V/342-343)
Membacakan Surat al-Fatihah
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)
"(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri melakukan hal tersebut" (Tafsir al-Razi 18/233-234)
 Tahlil 7 Hari
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ مَالِكِ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلَ ثَنَا أَبِي ثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ (الثَّوْرِيّ) قَالَ قَالَ طَاوُوْسٌ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أْنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ (المطالب العلية للحافظ ابن حجر 5 / 330 وحلية الأولياء لابي نعيم الاصبهاني ج 4 / 11 وصفة الصفوة لأبي الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20 والبداية والنهاية لابن كثير 9 / 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271 وعمدة القاري شرح صحيح البخارى للعيني 12 / 277)
"Imam Ahmad mengutip pernyataan Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut" (Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah V/330, Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya' IV/11, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah I/20, Ibnu Katsir (murid Ibnu Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah IX/270, Ibnu Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini dalam Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XII/277)‎
Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit. Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’.
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام 
Artinya: “Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M):
Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول ِ
Artinya: “Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.
Tahlilan sampai tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para tabi’in Siapa bilang budaya berssedekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino (tujuh hari) atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ? Di Indonesia ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat. Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo, duduk-duduk di rumah duka dan lainnya.
Akan tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan oleh seorang muslim.
Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri mengadopsi tradisi puasa ‘Asyura yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari kemenangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat dengan perilaku yang baik “, maka beliau menjawab: “Yang dimaksud perkara yang baik dalam hadits tersebut adalah :
 هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي “
Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain maksyiat “. Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan amaliah syare’at atau hukum Islam. Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini? Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.‎
Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :
------------------------------------------
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام “ Thowus berkata:
“Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “. Sementara dalam riwayat lain :
 عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا “
 
Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “. Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih. Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw). 
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;‎
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.
 Sedekah Keluarga Kepada Pelayat
Sayyidina Umar berwasiat agar memberi hidangan makanan untuk para pelayat:
عَنِ اْلأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْقُرَيْشٍ فيِ بَابٍ إِلاَّ دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِي مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ فَأَمَرَ صُهَيْبًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا وَمَاتَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا . أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ فَأَكَلُوْا فَعَرَفْتُ تَأْوِيْلَ قَوْلِهِ (رواه الطبراني وقال الهيثمي وفيه علي بن زيد وحديثه حسن وبقية رجاله رجال الصحيح مجمع الزوائد ومنبع الفوائد 5 / 354 والمطالب العالية بزوائد المسانيد للحافظ ابن حجر ج 1 / ص 286 واتحاف الخيرة المهرة بزوائد المسانيد العشرة للحافظ البوصيري 2 / 153 وتاريخ بغداد للخطيب البغدادي 12 / 3574 ومناقب لابن الجوزي 233 بدون إسناد)
"Dari Ahnaf bin Qais, ia berkata: Saya mendengar Umar berkata: 'Tidak ada seorang pun dari suku Quraisy yang masuk melalui satu pintu kecuali akan diikuti oleh orang-orang yang lain'. Saya tidak mengerti apa maksud ucapan beliau hingga ketika Umar ditusuk, maka beliau memerintahkan kepada Shuhaib agar disalatkan sebanyak tiga kali, dan memerintahkan agar pelayat dibuatkan makanan. Maka ketika para sahabat pulang dari pemakaman, mereka telah disiapkan hidangan, namun mereka terdiam karena mereka merasa sedih. Kemudian Abbas bin Abdul Muthallib datang dan berkata: Wahai manusia, sungguh Rasulullah telah wafat, maka kita makan dan minum. Abu Bakar telah wafat, maka kita makan dan minum. Wahai manusia makanlah hidangan ini! Kemudian Abbas menggapai makanan dengan tangannya, dan orang-orang juga turut memakannya. (Ahnaf berkata) Maka saya tahu apa maksud perkataan Umar" (Diriwayatkan oleh al-Thabrani, al-Hatsami berkata: Dalam riwayat tersebut terdapat perawi Ali bin Zaid (bin Judz'an) ia hadisnya berstatus Hasan, dan perawi lainnya adalah perawi Sahih. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah I/286, al-Bushiri dalam Ithaf al-Khiyarah II/153, Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad XII/357 dan Ibnu al-Jauzi dalam al-Manaqib 233, tanpa mencantumkan sanad)
Aisyah, Istri Rasulullah membuat hidangan untuk orang-orang yang bertakziyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : التَّلْبِينَةُ مَجَمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ (رواه البخاري 10 / 123 و 124 في الطب ، باب التلبينة للمريض ، وفي الأطعمة ، باب التلبينة ، ومسلم رقم (2216) في السلام ، باب التلبينة مجمة لفؤاد المريض)
"Diriwayatkan bahwa ketika keluarga Aisyah ada yang wafat maka wanita-wanita berkumpul, kemudian mereka pulang kecuali keluarga dan orang-orang tertentu saja. Aisyah memerintahkan untuk memasak semacam makanan adonan yang disebut Talbinah. Aisyah berkata: Makanlah! Karena saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Talbinah dapat memperteguh hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian kesusahannya" (HR al-Bukhari dan Muslim)
Mengiringi Janazah Dengan Tahlil
أَخْرَجَ ابْنُ عَدِيٍّ فِي "الْكَامِلِ" عَنْ إبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي حُمَيْدٍ ثَنَا أَبُو بَكْرَةَ عَبْدُ الْعَظِيمِ بْنُ حَبِيبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجِنَازَةِ، إلَّا قَوْلُ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، مُبْدِيًا، وَرَاجِعًا، انْتَهَى. وَضَعَّفَ إبْرَاهِيمَ هَذَا، وَجَعَلَهُ مِنْ مُنْكَرَاتِهِ. وَأَعَادَهُ فِي "تَرْجَمَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ"، وَضَعَّفَهُ تَضْعِيفًا يَسِيرًا.(نصب الراية 2 / 292)
"Ibnu Umar berkata: Tidak terdengar dari Rasulullah ketika mengiringi janazah dari belakang kecuali kalimat tahlil, baik ketika mengantar atau pulangnya" (HR Ibnu Adi dalam al-Kamil dengan sedikit dlaif)
Mengirim Pahala Tahlil Kepada Mayit
Meski tidak ada keterangan secara jelas bahwa Ibnu Taimiyah adalah pengamal tahlilan, tapi setidaknya ia setuju dan tidak menyalahkan orang-orang yang tahlilan. Inilah fatwa Ibnu Taimiyah:
وَسُئِلَ : عَمَّنْ " هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ " حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ(مجموع الفتاوى –24 / 165)
"Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang yang membaca tahlil tujuh puluh ribu kali dan dihadiahkan kepada mayit sebagai pembebas dari api neraka, apakah ini hadis sahih atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Jika seseorang membaca tahlil sebanyak tujuh puluh ribu, atau kurang, atau lebih banyak, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka Allah akan menyampaikannya. Hal ini bukan hadis sahih atau dlaif" (Majmu' al-Fatawa 24/165)
Di bagian lain Ibnu Taimiyah juga mengeluarkan fatwa yang seharusnya juga dijadikan pedoman bagi pengikutnya untuk turut mengamalkan tahlilan:
وَسُئِلَ : عَنْ قِرَاءَةِ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَصِلُ إلَيْهِ ؟ وَالتَّسْبِيحُ وَالتَّحْمِيدُ وَالتَّهْلِيلُ وَالتَّكْبِيرُ إذَا أَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهَا أَمْ لَا ؟ فَأَجَابَ : يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ قِرَاءَةُ أَهْلِهِ وَتَسْبِيحُهُمْ وَتَكْبِيرُهُمْ وَسَائِرُ ذِكْرِهِمْ لِلَّهِ تَعَالَى إذَا أَهْدَوْهُ إلَى الْمَيِّتِ وَصَلَ إلَيْهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ(مجموع الفتاوى –24 / 165)
"Ibnu Taimiyah ditanya mengenai bacaan keluarga mayit yang terdiri dari tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila mereka menghadiahkan kepada mayit apakah pahalanya bisa sampai atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Bacaan kelurga mayit bisa sampai, baik tasbihnya, takbirnya dan semua dzikirnya, karena Allah Ta'ala. Apabila mereka menghadiahkan kepada mayit, maka akan sampai kepadanya" (Majmu' al-Fatawa 24/165)
Bahkan, Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahhabi, di dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut hal. 74 mencantumkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan yang lain dari Ibnu Abbas secara Marfu':
" مَا الْمَيِّتُ فِي قَبْرِهِ إِلاَّ كَالْغَرِيْقِ الْمُتَغَوِّثِ يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ أَبٍ أَوْ مِنْ أَخٍ أَوْ صَدِيْقٍ فَإِذَا لَحِقَتْهُ كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا وَاِنَّ اللهَ لَيُدْخِلُ عَلَى اَهْلِ اْلقُبُوْرِ مِنْ دُعَاءِ اَهْلِ اْلاَرْضِ اَمْثَالَ الْجِبَالِ وَإِنَّ هَدَايَا اْلأَحْيَاءِ لِلْأَمْوَاتِ اْلاِسْتِغْفَارُ لَهُمْ"
"Keadaan mayit di dalam kuburnya tak lain seperti orang tenggelam yang meminta pertolongan. Ia menunggu doa dari bapaknya, saudaranya dan temannya. Jika doa telah sampai kepadanya, maka baginya lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Sesungguhnya Allah memasukkan doa dari orang hidup ke dalam alam kubur laksana sebesar gunung-gunung. Dan sesungguhnya hadiah dari orang yang hidup kepada orang yang mati adalah istighfar (minta ampunan bagi mereka)"
Susunan Dzikir dalam Tahlil
وَسُئِلَ : عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُنْكِرُ يُعْمِلُ السَّمَاعَ مَرَّاتٍ بِالتَّصْفِيقِ وَيُبْطِلُ الذِّكْرَ فِي وَقْتِ عَمَلِ السَّمَاعِ " فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللَّهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { إنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ } وَذَكَرَ الْحَدِيثَ (مجموع الفتاوى –22 / 302)
"Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang yang ingkar terhadap kelompok ahli dzikir. Ia berkata bahwa dzikir ini bid'ah, suara keras dalam dzikir juga bid'ah. Kelompok ahli dzikir ini memulai dengan bacaan al-Quran dan mengkhatamkannya, kemudian berdoa untuk umat Islam baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Mereka mengumpulkan bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah dan bershalawat kepada Rasulullah Saw….? Ibnu Taimiyah menjawab: Berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, mendengarkan bacaan al-Quran dan doa, adalah amal shaleh dan bentuk pendekatan diri atau ibadah yang paling utama dalam beberapa waktu. Dalam hadis sahih Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berpatroli di bumi. Apabila mereka berjumpa dengan kaum yang berdzikir kepada Allah, maka malaikat tersebut berseru: Kemarilah untuk memenuhi hajat kalian…" (Majmu' al-Fatawa 22/302)
Baca al-Quran di Kuburan
Membaca al-Quran di kuburan berdasarkan dalil hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ(رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
"Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya" (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Maid 4/449)
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184)
"HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)
Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di kuburan:
وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)
"Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi'i dan disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (al-Nawawi, al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab V/311)
قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ : يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ ، قَالُوْا : فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا  (الأذكار النووية -1 / 162)
"Imam Syafii dan para sahabatnya berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus" (al-Adzkar dan al-Majmu' karya Imam al-Nawawi)
وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا (الروح لابن القيم –1 / 11)
Al-Za'farani bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشُّعْبِي قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ (الروح لابن القيم - 1 / 11)
"Al-Khallah mengutip dari al-Syu'bi bahwa jika salah seorang dari sahabat Anshar meninggal, maka mereka bergiliran membaca al-Quran di kuburannya" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِى عَلِىُّ بْنُ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقًا قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ وَمُحَمَّدٍ بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِى فِي جَنَازَةٍِ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ اْلقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ ِلأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِي مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا ؟ قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ اْلعَلاَءِ اللَّجَّاجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِي بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ (الروح لابن القيم - 1 / 10)
"Ali bin Musa al-Haddad (orang yang sangat jujur) berkata: Saya bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad Ibnu Qudamah al-Jauhari menghadiri pemakaman janazah. Setelah dimakamkan, ada orang laki-laki buta membaca al-Quran di dekat kubur tersebut. Ahmad berkata kepadanya: Wahai saudara! Membaca di dekat kubur adalah bid'ah. Setelah kami keluar dari kuburan, Muhammad ibnu Qudamah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: Wahai Abu Abdillah. Apa penilaianmu tentang Mubasysyir al-Halabi? Ahmad menjawab: Ia orang terpercaya. Ibnu Qudamah bertanya lagi: Apakah engkau meriwayatkan hadis dari Mubasysyir? Ahmad bin Hanbal menjawab: Ya. Saya mendapatkan riwayat dari Mubasysyir bin Abdirrahman dari ayahnya, bahwa ayahnya berpesan agar setelah dimakamkan dibacakan di dekat kepalanya dengan pembukaan al-Baqarah dan ayat akhirnya. Ayahnya berkata bahwa ia mendengar Ibnu Umar berwasiat seperti itu juga. Kemudian Imam Ahmad berkata kepada Ibnu Qudamah: Kembalilah, dan katakan pada lelaki tadi agar membacanya!" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)
Imam Syafi’i ra , ulama yang telah diakui oleh jumhur ulama dari dahulu sampai sekarang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Ulama yang paling baik dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dan Beliau masih bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh, sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus” (Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai seandainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Begitupula Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’
قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله الحافظ قال حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا العباس بن محمد قال سألت يحي بن معين عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن أسماعيل الحلبي عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى قبرى وقولوا بسم الله وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند رأسى أول سوره البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك ,قال الحافظ بعد تخريجه هذا موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya dengan sanadnya kepada al-Baihaqi, ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas bin Ya’qub, ia berkata, telah menceritakan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang pembacaan al-Qur’an disamping qubur, maka ia berkata ; telah menceritakan kepadaku Mubasysyir bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata kepada putranya, apabila aku telah wafat, letakkanlah aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati Rasulillah”, kemudian gusurkan tanah diatasku dengan perlahan, selanjutnya bacalah oleh kalian disini kepalaku awal surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya, karena sesungguhnya aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurkan hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang hasan, Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur.‎
Ia berkata : kami shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkanlah bacaaanmu”.
Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman
Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut :
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), 
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit 
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
Hal yang perlu kita ingat selalu adalah yang dapat memahami dan menjelaskan perkataan Imam Mazhab yang empat adalah pengikut Imam Mazhab yang empat bukan pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, pengikut ulama Ibnu Taimiyyah ataupun pengikut ulama Al Albani dan lain-lainnya.Pengikut Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.‎
Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.
Hal ini dijelaskan contohnya oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).‎
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].) Anjuran sedekah untuk yang telah wafat
Dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat.
Kaiatnnya dengan firman Alloh dalam Sura an-Najm ayat 39 yang sering dijadikan sebagai dalail bagi orang yang mengatakanbahwa do’a atau pahala yang tidak sampai kepada mayit yaitu:
 
وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى (النجم: ٣٩)
“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS,an-Najm:39)
Berikut ini beberapa penafsiran para ulama ahli tafsir mengenai ayat di atas:
1. Syekh Sulaiman bin Umar Al-‘Ajili menjelaskan
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِي هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ أَيْ وَإِنَّمَا هُوَ فِي صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ بِقَوْلِهِ“وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ” فَأُدْخِلَ اْلأَبْنَاءُ فِي اْلجَنَّةِ بِصَلَاحِ اْللأَبَاءِ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ إِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَأَمَّا هَذِهِ اْلأُمَّةُ فَلَهُمْ مَا سَعَوْا وَمَا سَعَى لَهُمُ غَيْرُهُمْ (الفتوحات الإلهية,٤.٢٣٦)
“Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. Al-Najm 39 tersebut dihapus dengan firman Allah SWT وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain” (Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, Juz IV, hal 236)
2. Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :

وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَلَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى فَهُوَ مُقَيًدٌ بِمَا إِذَالَمْ يَهَبِ الْعَامِلُ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ وَمَعْنىَ ألْاَيَةِ أَنًهُ لَيْسَ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي الْأَخِرَةِ إِلًا مَا عَمِلَهُ فِي الدُّنْيَا مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ غَيْرُهُ عَمَلًا وَيَهَبَهُلَه فَاِّنَهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٢٣-٢٤ )
“Firman Allah SWT وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى perlu diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arbai’n, 23-24)
3. Menurut Syekh Muhammad Al-Arabi:
أُرِيْدُ اْلِإنْسَانُ اْلكَافِرُ وَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَلَهُ مَاسَعَى أَخُوْهُ (اسعاف المسلمين والمسامات,٤٧)
“Yang dimaksud dengan kata “al-insan” ialah orang kafir. Sedangkan manusia yang beriman, dia dapat menerima usaha orang lain. (Is’af Al-Muslimin wa Al-Muslimat, 47).
Di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39 yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Baghdadi Al-Hanbali (431-531 H) sebagai berikut:
اَلْجَوَابُ الْجَيِّدُ عِنْدِيْ أَنْ يُقَالَ أَلْإِنْسَانُ بِسَعْيِهِ وَحُسْنِ عُشْرَتِهِإِكْتَسَبَ اَلْأَصْدِقَاءَ وَأَوْلَدَ اْلأَوْلَادَ وَنَكَحَ اْلأَزْوَاجَ وَأَسْدَى اْلخَيْرَوَتَوَدَّدَ إِلَى النَّاسِ فَتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَأَهْدَوْا لَهُ اْلعِبَادَاتِ وَكَانَ ذَلِكَ أَثَرُسَعْيِهِ (الروح, صحيفه: ١٤٥)
“Jawaban yang paling baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperolehbanyak teman, melahirkan keturunan,menikahi perempuan, berbuat baik, serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnyamerupakan hasil usahanya sendiri.” (Al-Ruh, 145).
Dr. Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqh kontemporer dari Mesir menjelaskan:
وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّمَاسَعَى فَإِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ بَارًا بِهِمْ فِى حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّمُوْا عَلَيْهَ وَلَاتَطَوَّعُوْا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَإِحْسَانِهِ (الفقه الوضح,ج: ١,ص: ٤٤٩)
“Menghadiah pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan ayat وان ليس للإنسا الإماسعى karena pada hakikatnya pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (Al-Fiqh Al-Wadlih, juz I, hal 449).
Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas jelaslah bahwa QS. Al-Najm ayat 39 bukanlah dalil yang menjelaskan tentang tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah meninggal, QS. Al-Najm ayat 39 tersebut bukanlah ayat yang melarang kita untuk mengirim pahala, do’a, shodaqoh kepada orang yang telah meninggal.
Adapun hadits Abu Hurairoh RA yang sering dijadikan dalil untuk melarang orang yang tahlilan, berdo’a, dan bersodaqoh untuk orang yang sudah meninggal yaitu hadits yang berbunyi:
عَنْ أَبِِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ, إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (صحيح مسلم,ص:٣٠٨٤ )
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua orang tuanya” (Shahih Muslim, 3084).
Yang dimaksud dengan ‘terputus’ dalam hadits di atas adalah amalnya sendiri, sedangkan amal orang lain tidak terputus.
Mengenai hadits tersebut Ibnu Al-Qayyim berpendapat:
فَإِنَّهُ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَقُلْ اِنْتِفَاعُهُ, وَإِنَّمَا أَخْبَرَ عَنِ انْقِطَاعِعَمَلِهِ وَأَمَّا عَمَلُ غَيْرِهِ فَهُوَلِعَامِلِهِ فَإِنْ وَهَبَهُ لَهُ وَصَلَ إِليْهِ ثَوَابُ عَمَلِ الْعَامِلِ (الروح : ١٤٦)
“Dari hadits tersebut Rasulullah SAW tidak bersabda “ … akan terputus manfaatnya …”. Beliau hanya menjelaskan bahwa amalnya akan terputus. Amal orang lain adalah tetap menjadi milik pelakunya, tapi bila dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, maka pahala amalan itu akan sampai kepadanya. (Al-Ruh, 146).
Ibnu Hazm juga berpendapat:

أَنَّهُ لَايُفِيْدُ إِلَّا انْقِطَاعَ عَمَلِ الْمَيِّتِ لِنَفْسِهِ فَقَطْ وَلَيْسَ فِيْهِ دِلَالَةٌ عَلَى انْقِطَاعِ عَمَلِ غَيْرِهِ عَنْهُ أَصْلًا وَلَا اْلمَنْعَ مِنْ ذَلِكَ(حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٤٣ )
“Hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah meninggal dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya serta tidak juga melarang hal tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arba’in, 43)
Dari sini maka kita harus yaqin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Alloh SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud.