]لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ
مِنْ أَمْرِ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا
فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ[
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran,
di muka dan di belakangnya; mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tidak ada yang dapat
menolaknya; sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
(QS ar-Ra’du [13]:11).
Makna Global
Manusia senantiasa dijaga oleh malaikat. Amal manusia dicatat oleh
malaikat yang menyertainya, Raqib dan Atid. Karena semua amal manusia
dicatat oleh malaikat dan manusia diberi pilihan, maka ketika seseorang
atau masyarakat berada dalam kondisi buruk, mereka diperintahkan untuk
melakukan perubahan. Begitu pula sebaliknya, kenikmatan yang diberikan
oleh Allah Swt. akan berganti menjadi malapetaka jika mereka
mengubahnya. Perubahan yang terjadi diinformasikan oleh Allah Swt. hanya
akan terjadi jika dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, baik ke arah
baik maupun ke arah buruk. Ketika suatu masyarakat hendak berubah maka
masyarakat itu sendirilah yang harus memperjuangkan dan melakukan
perubahan, bukan yang lain.
Di samping itu, bukan hanya mereka sendiri yang harus melakukan
perubahan, apa yang harus diubah pun dijelaskan dalam ayat ini. Allah
Yang Mahatahu menegaskan bahwa yang harus diubah itu adalah segala
sesuatu yang terkait dengan apa yang hendak diubah tersebut dan yang
meniscayakan terjadinya perubahan. Pangkal dari semua itu adalah
pemahaman (mafâhim). Artinya, untuk mengubah suatu keadaan harus
dilakukan perubahan mafâhim.
Jika suatu masyarakat hendak mengubah sistem ekonomi kapitalis menjadi
ekonomi Islam haruslah dilakukan perubahan pemahaman dalam diri mereka
tentang kebobrokan ekonomi kapitalis sekaligus pemahaman tentang
kewajiban menerapkan ekonomi Islam dan pemahaman tentang apa dan
bagaimana sistem ekonomi Islam. Demikian juga untuk mengubah masyarakat
jahiliah menjadi masyarakat Islam; pemahaman jahiliah yang berkaitan
dengan pemikiran, perasaan, dan sistem aturan sebagai pembentuk
masyarakat harus diubah dan diganti menjadi pemahaman yang berdasarkan
Islam.
Manusia adalah persoalan yang tidak habis-habisnya untuk didiskusikan.
Persoalan filsafat yang paling mendasar saat ini adalah persoalan
tentang manusia itu sendiri. Siapa manusia? Kapan dan mengapa dia ada?
Bagaimana seharusnya manusia yang sempurna? Semua pertanyaan itu terus
menjadi persoalan manusia yang dikaji dalam berbagai perspektif
psikologis, sosiologis, biologis, dan kajian-kajian lainnya.
Dalam berbagai aliran psikologi, seperti psikoanalisa (klasik) Sigmund
Freud, memandang perilaku manusia banyak dipengaruhi masa lalu, alam tak
sadar, dorongan-dorongan biologis yang selalu menuntut kenikmatan untuk
segera dipenuhi. Dengan demikian tak heran bila psikonalisa menganggap
hakikat manusia adalah buruk, liar, kejam, kelam, non etis, egois, sarat
nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani. Sementara aliran
behavioral atau perilaku menganggap manusia pada hakikatnya adalah
netral, baik-buruknya perilaku terpengaruh dari pengaruh situasi dan
perlakuan yang dialami. Lain halnya dengan aliran humanistik yang
memiliki asumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi
yang baik, minimal lebih banyak baiknya dari pada buruknya dan karena
itu aliran ini memandang menusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas
atas kehidupannya sendiri.
Banyak hal yang membedakan antara konsepsi Islam dengan semua
teori-teori psikologi. Islam dalam memandang manusia tidak bersifat
deterministik, sebagaimana aliran psikoanalisa, juga tidak semata-mata
membentuk kepribadian melalui lingkungan (behavioral), juga tidak
memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia untuk mengikuti seluruh
keinginan pribadinya (humanistic). Akan tetapi Islam memberikan
kemuliaan kepada manusia sebagai makhluk yang paling mulia, yaitu
pengganti kedudukan Tuhan di muka bumi. Manusia juga memiliki bentuk
yang terbaik dari seluruh makhluknya dan mempunyai kekuatan untuk
merubah sendiri kondisi dirinya. Berikut ini adalah beberapa ayat yang
menjelaskan tentang ini.
1. Manusia Sebagai Khalifah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (al-Baqarah: 30)
Manusia sebagai khalifah Allah fil ardhi menjadi wakil Tuhan di muka
bumi, yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka
bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang
memungkinkan manusia mengelola serta mendayagunakan apa yang ada di
bumi, untuk kepentingan hidupnya. Dengan demikian hal ini berarti ia
diberi kepercayaan untuk mengelola bumi dan karenanya mesti mengetahui
seluk-beluk bumi, atau paling tidak punya potensi untuk mengetahuinya.
Kedudukan manusia sebagai khalifah atau pengganti Allah di muka bumi
dikritisi oleh malaikat karena mereka – manusia – mempunyai potensi
untuk membuat kerusakan di muka bumi. Akan tetapi Allah menegaskan bahwa
malaikat belum mengetahui tentang manusia, lalu manusia menunujukkan
kemampuannya untuk menyebutkan nama-nama. Dengan kemampuan ini, yang
berarti juga kemampuan untuk berinisiatif, dengan demikian manusia tidak
hanya berpotensi merusak akan tetapi juga memiliki potensi untuk
berbuat kebaikan.
Kedudukan manusia sebagai khalifah Allah merupakan tanggungjawab moral
manusia kepada Allah yang harus menjadi tantangan bagi manusia untuk
mewujudkan perannya untuk menjadi penguasa di muka bumi dengan membawa
misi Ilahi. Allah memberikan keistimewaan kepada manusia yang tidak
diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran, dan kebebasan untuk
berkehendak. Semua penjelasan di atas, menjadi model kepercayaan diri
bahwa ia merupakan makhluk yang paling istimewa dari seluruh makhluk
lainnya dan akan mewujudkan tata sosial yang bermoral di atas dunia
sesuai dengan tujuannya di dunia yaitu ibadah.
2.Manusia Sebagai Makhluk Terbaik.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (at-Tin: 4)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam bentuk
makhluk yang paling sempurna dari segi bentuk dan rupanya. setiap
manusia yang dilahirkan di bumi adalah makhluk terbaik di antara ratusan
juta pesaing lainnya yang akan lahir ke muka bumi.
Setiap orang yang lahir ke muka bumi akan berjuang berlomba-lomba
menghadapi ratusan juta pesaing lainnya untuk sampai ke tempat tujuan
(ke tuba faloppi atau oviduk) untuk dapat mencapai induk telur. Dengan
tak kenal lelah mereka berenang beberapa milimeter untuk melewati
perjalanan yang penuh dengan mortalitas yang tinggi. Dalam perjalanan
sperma menuju indung telur ini hanya beberapa ribu yang dapat
menyelesaikan perjalanan dan dari ribuan ini hanya satu sperma yang akan
berhasil memasuki telur dan membuahinya. jika manusia menyadari
kejadian ini dengan memperhatikan dan mengambil ibroh dibalik kejadian
tersebut, sudah seharusnya setiap individu merasa bangga akan dirinya
dan memiliki kepercayaan diri karena merupakan makhluk terbaik dan
terpilih di antara ratusan juta lainnya untuk menjalankan amanah sebagai
khalifah Allah.
Ayat berikut yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan proses
penciptaan dengan menunjukkan tentang proses penciptaan manusia:
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ(5)خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ(6)يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia
diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi
dan tulang dada.(at-Thariq: 5-7)
Dalam menafsirkan ayat ini, Muhammad Abduh menafsirkan bahwa ia
merupakan bukti kebenaran dalam ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa
manusia senantiasa dijaga dan diperhatikan oleh Allah. Hal ini mengingat
bahwa "air yang memancar" adalah salah satu benda cair yang tidak ada
terlukis atau terbentuk di dalamnya pelbagai peralatan yang mengandung
fungsi kehidupan, seeperti yang aa dalam berbagai anggota tubuh. Namun,
"cairan ini" ternyata dapat tumbuh menjadi suatu makhluk yang sempurna,
yaitu manusia yang penuh dengan kehidupan, akal dan persepsi, serta
memiliki potensi untuk melaksanakan kekhalifahan di muka bumi.
Pembentukan dan penentuan kadar masing-masing komponen yang ada padanya,
serta penciptaaan pelbagai anggota tubuh yang di dalamnya ditanamkan
potensi tertentu, sehingga dengan itu ia mampu melaksanakan fungsinya,
kemudian ditambah lagi dengan akal serta daya persepsi: semua itu tidak
mungkin dibiarkan tanpa ada "penjaga" yang mengawasi serta mengaturnya
yaitu Allah.
Atau ayat ini dapat bermakna sebagai penegas ayat sebelumnya: "apabila
telah engkau ketahui bahwa setiap jiwa pasti ada pengawasnya maka wajib
atas setiap manusia untuk tidak menelantarkan dirinya sendiri." Wajiblah
ia berpikir tentang kejadian dirinya serta bagaimana awal mula
kejadiannya. Agar ia dapat menyimpulkan bahwa Allah yang kuasa
menciptakannya sejak pertama kali, pasti kuasa pula untuk
membangkitkannya lagi kelak. Kesadaran seperti itu akan mendorong
dirinya untuk melakukan amal-amal saleh dan berperilaku sebaik-baiknya,
serta menjauhkan diri dari pelbagai jalan kejahatan. Sebab mata Sang
Pengawas tak lengah sedikitpun. Kesadaran seperti inilah yang harus
dimiliki oleh setiap individu untuk mengetahui hakikat dirinya agar
mampu melakukan tindakan sesuai apa yang diperintahkan oleh sang
penciptanya.
3. Manusia Sebagai Makhluk Perubah
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah tidak akan merampas
nikmatnya dari manusia meskipun ia melakukan maksiat. Ini dapat terjadi
pada realitas empirik orang-orang yang tidak beriman kepada Allah sukses
dalam keduniawian. Sementara al-Qurtubi menjelaskan bahwa dalam ayat
ini Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali terdapat perubahan dalam
diri mereka, atau orang lain yang mengamati mereka, atau sebagian dari
kaum mereka. Ayat ini tidak bermakna bahwa orang yang tidak melakukan
dosa tidak akan mendapatkan musibah atau azab karena tidak pernah
melakukan dosa. Sebagaimana Rasulullah bersabda: ketika ditanya apakah
orang-orang yang saleh itu akan dimusnahkan? Jawabnya: benar, apabila
banyak terjadi kerusakan dalam masyarakatnya semua ini menunjukkan bahwa
manusia memiliki potensi untuk berubah menuju kebaikan atau keburukan.
Dominasi manusia yang memiliki nilai negatif terhadap orang-orang saleh
yang tidak mampu berbuat apa-apa akan berakibat semuanya terkena musibah
atau bencana yang melanda kaum tersebut.
Manusia Dituntut Untuk Berusaha
Nabi melarang para sahabat untuk mendalami masalah takdir, beliau berkata:
وَإِذَا ذَكَرَ (أَصْحَابِي) اَلْقَدْرَ فَأَمْسِكُوْا -الطبراني-.
“Jika sahabatku menyebut perkara takdir, maka hentikanlah mereka (membahas takdir)”
Ada dua hal yang perlu kita bicarakan mengenai takdir Allah, yaitu:
Pertama: Takdir merupakan rahasia Allah.
Oleh karena itu tak satupun manusia dalam dunia ini yang mampu
mengetahui jangka nyawanya atau ajal kematiannya, di mana akan mati? (di
kampung sendiri ataukah di luar kampung, di negara sendiri ataukah di
luar negara), tatkala mati dalam keadaan apa?
Apakah kematiannya disebabkan oleh karena sakit, kecelakaan, atau mati
biasa. Begitu juga halnya dengan rezki yang diperoleh, berapa banyak
jumlahnya?. Bahkan Rasulullah Saw tidak sanggup menembusi hal-hal ghaib
tersebut termasuk takdir ilahi. Disebutkan di dalam al-Qur’an:
قُل لاَّ أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَآئِنُ اللّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى
إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ
تَتَفَكَّرُونَ -الأنعام: 50-.
“Katakanlah:”Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah
ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula)
aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat. Aku tidak mengikuti
kecuali apa yang telah diwahyukan kepadaku. Katakanlah:”Apakah sama
orang yang buta dengan orang yang melihat”. Maka apakah kamu tidak
memikirkan(nya)”.
Kerahasiaan ini ditegaskan dalam firman Allah:
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ
مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ
يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ
يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ -الأنعام: 59-.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam
kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Dalam masalah ajal kematian, Allah telah menegaskan dalam firmanNya:
إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ
غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ -لقمان: 34-.
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang
Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang
ada dalam rahim.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan
pasti) apa yang akan diusahakannya besok.Dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati.Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Kedua: Perubahan Takdir.
Kalau saya katakan bahwa takdir boleh berubah, kemungkinan besar banyak
yang tidak setuju dan merasa heran dan bertanya “kok takdir boleh
berubah?” bukankah dalam riwayat penciptaan manusia, bahwa ketika masih
dalam rahim ibu, tatkala usia kandungan telah mencapai umur 40 hari,
Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menulis catatan. Di antaranya
adalah mengenai ajal, rezeqi dan kehidupan baik dan buruk. Bukankah ini
takdir Allah yang sudah ditetapkan dan akan di bawa dalam kehidupan
seseorang sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau saya uraikan definisi Qada dan Qadar.
Qada bermaksud pelaksanaan, hasil, buah (realisasi), Adapun qadar
bermaksud sukatan (anggaran). Namun dalam bahasa melayu kedua-duanya
digabungkan menjadi satu yaitu istilah TAKDIR. Kemudian Takdir tersebut
terbagi kepada dua bagian iaitu: Qada Mubram dan Qada Mu’allaq.
1) Qada Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku. Semua
manusia pasti akan menghadapinya, ingin atau tidak, mahu atau tidak
mahu, senang ataupun tidak, setiap orang pasti akan menjumpainya, sebab
hal tersebut tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. Sebagai
contohnya adalah perkara kematian. Sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ -الأنبياء: 35 -.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.
Jadi masalah kematian merupakan perkara yang pasti dihadapi oleh setiap
manusia. Karena ia merupakan suatu kepastian maka dinamakan sebagai Qada
Mubram. Oleh karena itu Allah tegaskan jenis Qada ini dalam surah
ar-Ra’ad, ayat: 11:
{وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ -الرعد:11-.
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak
ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia”.
Rasulpun pernah bersabdah tentang jenis Qada ini:
(إِنَّ رَبِّي قَالَ: يَا مُحَمَّدْ، إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ) -مسلم-
“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku
kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorangpun yang sanggup
menolaknya”.
2) Qada Mu’allaq: Adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam
artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga
tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha
manusia itu sendiri, Qada ini yang telah disampaikan oleh Allah kepada
Malaikat dan disimpan olehnya, jenis Qada ini telah ditegaskan oleh
Allah ta’ala:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ -الرعد: 11-.
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang mampu merubah nasib
dengan usaha sendiri, dan dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu agama
memberikan dua syarat utama untuk mengubah takdir, yaitu dengan cara
memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim.
Dalam kaitannya dengan perubahan umur manusia, para ulama berselisih
faham tentang bolehkan berubah atau tidak?, bolehkan dipanjangkan atau
dikurangkan?. Hal ini disebabkan oleh adanya sumber hukum yang secara
zahir dari al-Qur’an yang menyatakan dengan jelas bahwa umur seseorang
tidak akan ditambah ataupun dikurangkan, yaitu firman Allah:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ -الأعراف: 34-.
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (kematian); maka apabila telah
datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan
tidak dapat (pula) memajukannya”.
Di samping ayat tersebut, terdapat juga hadits yang secara zahir
menjelaskan bahwa doa dan silaturrahim dapat memanjangkan umur
seseorang, dan mampu melapangkan rezqinya. Hadits tesebut adalah
(لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ، وَلاَ يُزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ) -الترمذي-
“Tidak ada yang mampu menolak takdir Allah kecuali doa”.
Oleh karena itu, doa’ dalam Islam sangat digalakkan dan Allah
menjanjikan akan menerima doa seseorang mukmin yang betul-betul
mengharap diterima doanya, firman Allah:
(وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ) -المؤمنون: 60-.
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (QS Al-Mu’min 60).
Ayat ini dapat dipahami lebih mendalam bahwa doa disyariatkan dalam
Islam pada dasarnya untuk merubah nasib seseorang, sebab apalah gunanya
seseoarang berdoa kalau ia tidak mengharap perubahan dari Allah. Baik
perubahan umur dengan dipanjangkan umurnya, atau mengharap rezki dengan
meminta ditambahkan rezkinya.
(مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثْرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ) -البخاري-
“Siapa saja yang ingin dimudahkan rezqinya, dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturrahim”.
Kalau dicermati dan direnungkan, memang Allah dalam kenyataan ayat 34
pada surah al-A’raf di atas tidak akan merubah ajal seseorang, tapi
perlu diketahui takdir yang dibagi kepada setiap insan itu bukan hanya
satu takdir, melainkan ada beberapa takdir.
Sudah menjadi bahasa umum bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang sempurna dan yang akan menjadi khalifah di bumi ini. Semua apa yang
ada di bumi ini oleh Allah di peruntukkan untuk manusia. Binatang,
tumbuh-tumbuhan, air, api, tanah, udara, barang tambang dan lain
sebagainya semua untuk memenuhi kebutuhan manusia selama ada di bumi.
Artinya bahwa Allah di dalam menciptakan sesuatu ada maksud dan tujuan
yang terkandung di dalamnya. Baik itu yang masih bersifat rahasia-belum
ditemukan, maupun yang sudah ditemukan dan diciptakan oleh manusia itu
sendiri.
Demikian pula Allah di dalam menciptakan manusia dilengkapi dengan
anggota badan itu pun ada maksud dan tujuannya. Di dalam menciptakan
manusia Allah melengkapi dengan dua mata, dua telinga, dua tangan, dua
kaki dan satu mulut.Tujuannya supaya manusia lebih Banyak Belajar
melalui penglihatan (mata) dan pendengaran (telinga) serta lebih Banyak
Berusaha dan Berjuang dengan tangan dan kaki-nya. Dan Allah memberikan
satu mulut pada manusia agar tidak hanya banyak bicara, mengeluh dan
meratapi nasib hidup.
Dari apa yang saya sampaikan diatas tentunya amat sangat sungguh
memalukan apabila kita sebagai muslim masih sering mengeluh, meratapi
nasib, menghiba, berharap belas kasihan, meminta-minta, mengemis, dan
minta gratisan kepada sesama manusia yang lain. Jangan menghinakan diri,
jangan menistakan diri dan jangan merendahkan diri sendiri dengan
hal-hal tersebut. Berpantang bagi seorang muslim untuk melakukan hal-hal
tersebut.
Angkat derajat kemulian dan harga diri dengan bekerja keras, berusaha
dan berjuang tanpa menyerah sampai akhir hayat dikandung badan atau
sampai ajal menjemput. Disaat seseorang mampu untuk sukses dan berhasil
untuk meraih kesuksesan itulah nilai dari sebuah harga diri dari setiap
pribadi yang mau berusaha dan berjuang.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (ar-Ra'du:11)
Dari ayat di atas Allah memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kita
untuk menentukan nasib kita sendiri sesuai dengan norma dan ajaran
agama, norma sosial serta norma susila. Karena sebenarnya kita
sendiri-lah yang paling bertanggung jawab atas hidup dan nasib kita.
Bukan karena faktor lingkungan, keadaan, kondisi, ekonomi, orang lain,
orang tua, saudara, takdir, nasib dan lain sebagainya. Semua hal-hal di
atas tidak bisa dijadikan alasan atau pun kambing hitam atas kegagalan
yang terjadi. Semua kembali pada diri kita sendiri.
Ayat diatas sangat relevan dengan kondisi waktu dan zaman seperti
sekarang ini, yaitu tentang “Perubahan”. Sekarang ini dengan
perkembangan teknologi informasi di segala bidang yang meliputi ekonomi,
finansial, keuangan, politik dan keamanan menyebabkan iklim perubahan
di suatu daerah dan negara menjadi begitu sangat pesat dan cepat.
Ingat, tumbuhan dan binatang purbakala yang sudah punah adalah korban
dari perubahan ekosistem yang ada di bumi pada saat itu. Tumbuhan dan
binatang purbakala tersebut mati dan punah karena tidak bisa berubah
atau ber-evolusi.
Sama halnya dengan manusia, jika kita tidak mampu mengikuti arus
perubahan seperti waktu sekarang ini atau perubahan dari waktu ke waktu
tentunya kita akan tergilas dan tertindas yang akhirnya kita hanya
menjadi korban perubahan jaman dan hanya sebagai penonton atas
keberhasilan serta kesuksesan orang lain.
Untuk merubah nasib hidup di dalam ayat diatas Allah sudah menegaskan
bahwa kita-lah yang paling bertanggung jawab untuk terjadinya perubahan
atas hidup kita untuk saat ini maupun hidup kita di masa depan. Bukan
orang lain, kondisi atau pun situasi. Dan tidak ada perubahan yang
terjadi secara instan atau secara tiba-tiba, semuanya perlu proses.
Dan dari ayat diatas jika ingin merubah nasib bisa dijabarkan sebagai berikut :
Merubah Pola Pikir, ubah pola pikir yang tidak baik seperti berangan-angan dan berandai-andai dengan pola pikir yang kreatif.
Merubah Mental, ubah mental miskin, mental gratisan, meratapi nasib,
menghiba meminta belas kasihan dengan mental bahwa segala sesuatu yang
di peroleh harus dari hasil jerih payah dan dari kristalisasi keringat,
bukan dari hasil pemberian tanpa usaha. Tanamkan rasa malu dan gengsi
apabila mendapatkan sesuatu dari hasil meminta-minta, menghiba, belas
kasihan dan mengemis.
Merubah Perilaku, perilaku ogah-ogahan, malas, menunda-nunda waktu dan
buang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting harus diubah menjadi
perilaku atau perbuatan yang cekatan dan produktif.
Menunda-nunda waktu sama halnya dengan menunda perubahan nasib hidup,
keberhasilan dan kesuksesan. Sementara waktu terus berjalan tanpa
perduli siapa kita dan apa yang akan terjadi pada kita.
Dengan merubah ke tiga hal tersebut insha Allah dengan berjalannya waktu
Allah akan mengangkat derajat kemuliaan kepada nasib yang lebih baik
dalam hal ekonomi, finansial dan keuangan yang lebih mapan dan berkah.
Di dalam sebuah usaha dan perjuangan hidup untuk merubah nasib hidup
tentunya sangat wajar apabila ada halangan dan rintangan berupa masalah.
Justru masalah-lah yang selama ini menjadikan pembelajaran untuk
menemukan solusi di dalam usaha dan perjuangan merubah nasib hidup. Itu
bagi yang mau belajar dan selalu mau mencari solusi dari setiap masalah
yang dihadapi. Bagi yang tidak mau belajar dan mencari solusi tentunya
akan semakin terpuruk dan tenggelam dengan masalah yang sedang dihadapi.
Dengan adanya masalah akan membentuk seseorang menjadi pribadi yang
kuat, tangguh,mandiri dan tahan banting di dalam setiap menghadapi
tantangan kehidupan. Itu-lah tujuan ayat tersebut diatas diturunkan oleh
Allah. Agar setiap muslim bisa menjadi pribadi yang kuat, tangguh,
mandiri dan tahan banting di dalam setiap menghadapi tantangan kehidupan
dan tantangan zaman. Kuncinya setiap mengalami dan menghadapi masalah
sikapilah dengan Fokus pada Solusi bukan fokus pada masalah. Dan di
dalam mencari solusi harus terencana, terarah dan terukur.
Selain dengan ikhtiar lahir diatas sertakan juga ikhtiar batin dengan
mendekatkan diri kepada Allah dengan cara meningkatkan kwalitas ibadah.
Tidak ada keberhasilan dan kesuksesan yang berkah dan abadi tanpa
disertai aspek spiritual berupa ikhtiar batin. Karena hanya dengan Ridho
Allah semata sebuah keberhasilan dan kesuksesan untuk merubah nasib
hidup bisa terjadi. Aamiin…
Pada permasalahan lain, misalnya penyakit, dalam satu riwayat disebutkan bahwa, penyakit dan obat merupakan takdir ilahi.
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ رِقًى نَسْتَرْقِيْهَا وَدَوَاءٌ
نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةٍ نَتَّقِيْهَا، هَلْ تَرُدٌّ مِنْ قَدْرِ اللهِ
شَيْئًا ؟ قَالَ: هِيَ مِنْ قَدْرِ اللهِ -الترمذي-.
“Ya Rasulallah bagaimana pandangan engkau terhadap Ruqyah-ruqyah yang
kami gunakan untuk jampi, obat-obatan yang kami gunakan untuk mengobati
penyakit, perlindungan-perlindungan yang kami gunakan untuk menghindari
dari sesuatu, apakah itu semua bisa menolak takdir ALLAH ?Jawab
Rasulullah saw : Semua itu adalah (juga) takdir ALLAH”.
Satu riwayat juga disebutkan bahwa tatkala Umar bin Khattab dan
rombongannya melakukan perjalanan ke suatu tempat di Syiria, dan beliau
tiba-tiba dikabarkan bahwa tempat yang dituju sedang dilanda penyakit
wabak, (penyakit menular), kemudian Umar bermusyawarah dengan rombongan
untuk mencari jalan keluar (way out ), lantas Umar dan rombongan sepakat
untuk membatalkan perjalanan tersebut dan kembali ke Madinah, kemudian
salah seorang sahabat yang bernama Abu Ubaidah tiba-tiba memprotes
keputusan Umar yang tidak ingin melanjutkan perjalanan:
فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْجَرَّاحِ: أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ؟
فَقَالَ عُمَرُ: “لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا يَا أَبَا عُبَيْدَةَ – وَكَانَ
عُمَرُ يَكْرَهُ خِلاَفَهُ – نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى
قَدَرِ اللَّهِ”.
Abu Ubaidah bin al-jarrah berkata““Apakah kita hendak lari menghindari
taqdir Allah?” Umar menjawab: “Benar, kita menghindari suatu taqdir
Allah dan menuju taqdir Allah yang lain”.
Hadits ini memberikan gambaran jelas bahwa takdir itu bukan hanya satu melainkan berbilang.
Untuk mengakhiri bahasan ini saya sebutkan suatu kisah, di mana pada
suatu hari malaikat Izra`il, malaikat pencabut nyawa, memberi kabar
kepada Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan minggu depan akan dicabut
nyawanya. Namun ternyata setelah sampai satu minggu nyawa si Fulan belum
juga mati, sehinggalah Nabi Daud bertanya, mengapa si Fulan belum
mati-mati juga, sementara engkau katakan minggu lepas bahwa minggu depan
kamu akan mencabut nyawanya.
Izra`il menjawab, “ya betul saya berjanji akan mencabut nyawanya, tapi
ketika sampai masa pencabutan nyawa, Allah memberi perintah kepadaku
untuk menangguhkannya dan membiarkan ia hidup lagi untuk 20 tahun
mendatang, Nabi Daud bertanya, mengapa demikian?, Jawab Izra`il: orang
tersebut sangat aktif menyambung silaturrahim sesama saudaranya. Karena
itu Allah memberikan tambahan umur selama 20 tahun kepadanya.
Jadi sebagai kesimpulan, semua peristiwa, kejadian dan keadaan yang
telah dan yang akan kita hadapi, semuanya di dalam pengetahuan dan
pengamatan serta kekuasaan Allah, yang tidak terbelenggu, tidak diikat
dan tidak dibatasi oleh masa.
Takdir ada yang boleh berubah dan ada yang tidak akan berubah, yang
boleh berubah dikenal dengan istilah Qada Mu’allaq, yaitu takdir yang
bergantung dan bersayarat, sementara takdir yang tidak akan berubah
dinamakan sebagai Qada Mubram, yaitu takdir yang pasti berlaku pada diri
seseorang.
Adapun langkah untuk merubah takdir (nasib) yang mu’allaq adalah sebagai berikut:
1) Berusaha, yaitu dengan melakukan aksi terhadap apa saja yang diinginkan terjadi perubahan atasnya.
2) Berdo’a, yaitu memanjatkan harapan kepada Allah terhadap maksud yang diinginkan diqabulkan olehNya.
3) Tawakkal, yaitu menunggu keputusan, hasil daripada usaha dan doa yang diminta.
Setelah hal di atas dilakukan, maka kita tinggal menunggu ketentuan
Allah yang disebut dengan (takdir). Dan untuk menambahkan keyakinan kita
terhadap perubahan takdir mu’allaq, ada baiknya kita renungi bersama
ayat di bawah ini:
يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ -الرعد: 39-
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)”.
Untuk ayat lauhu al-Mahfuzh itu, juga ada dukungan ayatnya. WS: 6: 59:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ
مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا
يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا
يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
"Dan Dia memiliki kunci2 keghaiban yang tidak diketahuinya kecuali oleh
Dia. Dan Dia tahu apa-apa yang ada di darat dan lautan. Dan tidak jatuh
satu daunpun kecuali Dia mengetahuinya. Dan tidaklah sebuah biji -yang
jatuh- di kegelapan bumi dan tidak pula yang basah dan kering, kecuali
sudah ada ada di kitab yang nyata (lauhu al-mahfuzh)."
Coba renungkan, betapa lembutnya Tuhan membimbing kepahaman kita akan
maksud ayatNya yang berbunyi "sudah ada di Lauhu al-mahfuzh itu" i tu.
SEmua dari awal sudah dikatakan bahwa semua itu diketahuiNya. Apa saja
yang terjadi di dunia ini diketahuiNya. Lalu Setelah itu Ia mengatakan
ada di kitab lauhu al-mahfuzh. Dengan demikian dapat dipahami dengan
jelas, bahwa maksud dari kitab lauhu al-mahfuzh itu adalah IlmuNya,
bukan ketentuanNya akan nasib manusia.
Bisa2nya pengetahuan ini dimaknai dengan ketentuanNya? Padahal puluhan
ayat atau ratusan, yang memberikan makna bahwa manusia ini berikhtiar
dan tidak dipaksa, atau kalau berbuat satu atom saja kebaikan atau
keburukan akan dimintai tanggung jawab olehNya, atau diwanti-wantinya
supaya tidak masuk neraka, atau diwajibkannya ini dan itu, atau
dilarangnya berbuat ini dan itu dts. Semuanya itu sangat jelas bahwa
lauhu al-mahfuzh itu bukan ketentuanNya, akan tetapi ilmuNya.
Jadi, Allah sudah tahu apapun yang terjadi sekarang dan akan datang itu, sebelum tercipatanya alam ini sendiri.
Tetapi ingat, bahwa pengetahuanNya dan kepastian benarnya ilmuNya
tentang perbuatan manusia itu, bukan ketentuanNya. Karena Ia tahu bahwa
si Fulan itu akan berbuat taat atau tidak pada jam tertentu itu, atau
akan kawin dengan si fulan atau tidak pada tahun itu, atau ia akan
berusaha dan berdoa lalu doanya dikabulkan atau tidak dst semuanya dan
semuanya itu, diketahuiNya lengkap dengan ikhtiar dan pilihannya. Jadi,
Tuhan bukan hanya tahu si fulan itu akan shalat pada waktu jam 13.00,
tgl 17, bukan 8, tg 2011 itu DENGAN IKHTIARNYA SENDIRI.
Jadi, kebenaran ilmuNya, tidak melahirkan determinisme, karena diketahuiNya dengan ikhtiar masing-masing makhlukNya.
Yang ayat ke tiga ini juga seperti itu. Lauhu al-mahfuzh itu adalah
ilmuNya tentang semua hal. Yakni pengetahuan yang tidak berubah dan
sudah akhir. Tetapi di tingkatan yang lebih bawah, yakni yang juga
dikenal Qadha' dan Qadr, atau Tingkatan Penghapusan dan Penetapan yang
dikehendaki, adalah tingkatan ilmu yang di bawahnya yang biasanya dibawa
oleh para malaikat pengurus alam semesta ini.
Misalanya si Fulan itu murtad. Maka Tuhan menetapkannya masuk neraka.
Yakni menetapkan melalui malaikat yang menuliskan bahwa dosa itu adalah
dosa besar yang memestikan masuk neraka. Tetapi kalau besoknya atau
seminggu Setelah, ia taubat, maka Tuhan merubah ketentuan ke nerakanya
itu menjadi ke surga. Tentu Sekalilagi melalui malaikat pencatat amal
yang menghapus ketentu sebelumnya yang ke neraka, dengan ketentuan
berikutnya yang ke surga.
Inilah yang dimaksud penetapan atau penghapusan ketentuan2 sesuai dengan kehendakNya.
Nah, semua asal-usul atau liku2 di makam qadha' dan qadr itu sampai pada
pilihan dan hasil akhirnya, semua sudah diketahui di makam yang lebih
atas yaitu di makam lauhu al-mahfuzh itu.
Jadi, ayat ini juga tidak bisa dijadikan Sebagaidalil penasiban manusia.
Dan bahkan sebaliknya, justru dalil bagi ikhtiar manusia itu sendiri.
Karena sangat tidak masuk akal kalau perubahan2 atau penetapan-penetapan
itu diartikan Sebagai penentuan atau pengencelan nasib manusia. Karena,
akhirnya betul-betul Tuhan itu seperti pegang remot kontrol, lalu
menyetel-nyetel kita mau kemana saja.
Keyakinan seperti ini pasti ditentang fitrah dan semua orang waras.
Karena, saling ributnya mereka dalam perbedaan pendapat dll-nya, saling
hujat dan hukum lwt pengadilan, adanya surga neraka sendiri dst.
merupakan dalil yang lebih terang dari matahari bahwa manusia tidak
dikontrol pakai remot oleh Tuhan. Karena kalau disetir Tuhan, maka sudah
semestinya dunia ini sepi dari segala macam pertengkaran, perebutan,
peperangan, pertandingan, pengadilan .dst. Karena semuanya akan menuntut
Tuhan, bukan lawan permasalahannya itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar