AL Qur'an Surat Al-AHZAB ayat 53 - 54
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا
أَن يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ
إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانتَشِرُوا وَلَا
مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ
فَيَسْتَحْيِي مِنكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ
أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا
رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَداً
إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللَّهِ عَظِيماً ﴿٥٣﴾ إِن تُبْدُوا شَيْئاً
أَوْ تُخْفُوهُ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً ﴿٥٤﴾
Kandungan Ayat
(Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memasuki rumah-rumah
Nabi kecuali bila kalian diizinkan) memasukinya karena mendapat undangan
(untuk makan) kemudian kalian boleh memasukinya (dengan tidak
menunggu-nunggu) tanpa menunggu lagi (waktu masak makanannya) yakni
sampai makanan masak terlebih dahulu; Inaa berakar dari kata Anaa Ya-niy
(tetapi jika kalian diundang maka masuklah dan bila kalian selesai
makan, keluarlah kalian tanpa) berdiam lagi (asyik memperpanjang
percakapan) sebagian dari kalian kepada sebagian yang lain.
(Sesungguhnya yang demikian itu) yakni berdiamnya kalian sesudah makan
(akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepada kalian) untuk menyuruh
kalian keluar (dan Allah tidak malu menerangkan yang hak) yakni
menerangkan supaya kalian keluar; atau dengan kata lain Dia tidak akan
mengabaikan penjelasannya. Menurut qiraat yang lain lafal Yastahyi
dibaca dengan hanya memakai satu huruf Ya sehingga bacaannya menjadi
Yastahiy. (Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka) kepada
istri-istri Nabi saw. (yakni suatu keperluan, maka mintalah dari
belakang tabir) dari belakang hijab. (Cara yang demikian itu lebih suci
bagi hati kalian dan hati mereka) dari perasaan-perasaan yang
mencurigakan. (Dan tidak boleh kalian menyakiti hati Rasulullah) dengan
sesuatu perbuatan apa pun (dan tidak pula mengawini istri-istrinya
sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu di sisi
Allah) dosanya (besar).
(Jika kalian melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya) keinginan untuk
menikahi mereka sesudah Nabi saw. wafat (maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Mengetahui segala sesuatu) Dia kelak akan membalasnya kepada
kalian.)
Pernikahan memiliki berbagai dampak yang penting dan berbagai
konsekuensi yang besar. Pernikahan merupakan ikatan antara suami istri,
yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, baik hak
badan, hak sosial, maupun hak harta.
Orang yang menikah hendaklah mengadakan walimah (perayaan) menurut
kemampuannya, memberi hidangan dengan mengundang orang banyak,
diperuntukkan pada acara yang diadakan sebagai wujud kebahagiaan atas
pernikahan, disamping itu agar keluarga dekat atau kerabat yang memiliki
hubungan dengannya, seperti saudara, paman dan tetangga mereka, ia
memiliki hak kekerabatan sesuai tingkat kedekatan dengannya dan mereka
mendoakan keluarga yang punya hajat.
Wajib bagi orang yang menikah untuk menyelenggarakan walimah setelah
menggauli isteri, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dalam hadits yang telah disebutkan
sebelumnya dan juga hadits yang telah diriwayatkan oleh Buraidah bin
al-Hashib, ia berkata:
لَمَّا خَطَبَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّهُ لاَبُدَّ لِلْعَرْسِ مِنْ
وَلِيْمَةٍ.
“Tatkala ‘Ali meminang Fatimah Radhiyallahu anhuma ia berkata,
‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya
merupakan keharusan bagi pengantin untuk menyelenggarakan walimah.’”
Hadits Anjuran mengadakan walimah
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص رَأَى عَلَى عَبْدِ
الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ اَثَرَ صُفْرَةٍ فَقَالَ: مَا هذَا؟ قَالَ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ اِنّى تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ
ذَهَبٍ. قَالَ: فَبَارَكَ اللهُ لَكَ. اَوْلِمْ وَ لَوْ بِشَاةٍ. مسلم
Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi SAW melihat ada bekas kuning-kuning
pada 'Abdur Rahman bin 'Auf. Maka beliau bertanya, "Apa ini ?". Ia
menjawab, "Ya Rasulullah, saya baru saja menikahi wanita dengan mahar
seberat biji dari emas". Maka beliau bersabda, "Semoga Allah
memberkahimu. Selenggarakan walimah meskipun (hanya) dengan
(menyembelih) seekor kambing". [HR. Muslim]
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: مَا اَوْلَمَ النَّبِيُّ ص عَلَى شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ
مَا اَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ، اَوْلَمَ بِشَاةٍ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Anas, ia berkata, "Nabi SAW tidak pernah menyelenggarakan walimah
atas (pernikahannya) dengan istri-istrinya sebagaimana walimah atas
(pernikahannya) dengan Zainab, beliau menyelenggara-kan walimah dengan
(menyembelih) seekor kambing". [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ اَنَسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص اَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ بِتَمْرٍ وَ سَوِيْقٍ. الخمسة الا النسائى
Dari Anas, sesungguhnya Nabi SAW pernah mengadakan walimah atas
(perkawinannya) dengan Shafiyah dengan hidangan kurma dan sawiq (bubur
tepung). [HR. Khamsah kecuali Nasai].
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ اَنَّهَا قَالَتْ: اَوْلَمَ النَّبِيُّ ص عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيْرٍ. البخارى
Dari Shafiyah binti Syaibah, bahwa ia berkata, "Nabi SAW mengadakan
walimah atas (pernikahannya) dengan sebagian istrinya dengan dua mud
gandum". [HR. Bukhari].
عَنْ اَنَسٍ فِى قِصَّةِ صَفِيَّةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَعَلَ وَلِيْمَتَهَا التَّمْرَ وَ اْلاَقِطَ وَ السَّمْنَ. احمد و مسلم
Dari Anas tentang kisah Shafiyah bahwa sesungguhnya Nabi SAW mengadakan
walimah (pernikahannya) dengan kurma, keju dan samin. [HR. Ahmad dan
Muslim].
و فى رواية اَنَّ النَّبِيَّ ص اَقَامَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَ اْلمَدِيْنَةَ
ثَلاَثَ لَيَالٍ يَبْنِى بِصَفِيَّةَ فَدَعَوْتُ اْلمُسْلِمِيْنَ اِلَى
وَلِيْمَتِهِ مَا كَانَ فِيْهَا مِنْ خُبْزٍ وَ لاَ لَحْمٍ وَ مَا كَانَ
فِيْهَا اِلاَّ اَنْ اَمَرَ بِاْلاَنْطَاعِ فَبُسِطَتْ فَاَلْقَى عَلَيْهَا
التَّمْرَ وَ اْلاَقِطَ وَ السَّمْنَ. فَقَالَ اْلمُسْلِمُوْنَ: اِحْدَى
اُمَّهَاتِ اْلمُؤْمِنِيْنَ اَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُهُ؟ فَقَالُوْا:
اِنْ حَجَبَهَا فَهِيَ اِحْدَى اُمَّهَاتِ اْلمُؤْمِنِيْنَ. وَ اِنْ لَمْ
يَحْجُبْهَا فَهِيَ مِمَّا مَلَكَتْ يَمِيْنُهُ فَلَمَّا ارْتَحَلَ وَطَّأَ
خَلْفَهُ وَ مَدَّ اْلحِجَابَ. احمد و البخارى و مسلم
Dan dalam riwayat lain (dikatakan) : Bahwasanya Nabi SAW pernah singgah
diantara Khaibar dan Madinah selama tiga malam dimana beliau mengadakan
pesta pernikahan dengan Shafiyah, kemudian aku mengundang kaum muslimin
untuk menghadiri walimahnya, yang dalam walimah itu hanya ada roti tanpa
daging dan di situ beliau hanya menyuruh dihamparkannya tikar-tikar,
lalu diletakkan di atasnya kurma, keju dan samin. Lalu kaum muslimin
pada bertanya, "(Ini upacaranya) salah seorang ummul mukminin ataukah
hamba perempuan yang dimilikinya ?". Lalu mereka menjawab, "Jika Nabi
SAW mentabirinya maka ia adalah seorang umul mukminin dan jika tidak
mentabirinya maka ia adalah hamba yang beliau miliki". Kemudian tatkala
Nabi SAW mendengar, beliau melangkah ke belakang dan menarik tabir. [HR.
Ahmad, Bukhari dan Muslim].
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: تَزَوَّجَ رَسُوْلُ اللهِ ص فَدَخَلَ بِاَهْلِهِ،
قَالَ: فَصَنَعَتْ اُمّى اُمُّ سُلَيْمٍ حَيْسًا فَجَعَلَتْهُ فِى تَوْرٍ
فَقَالَتْ: يَا اَنَسُ، اِذْهَبْ بِهذَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص. فقل:
بَعَثَتْ بِهذَا اِلَيْكَ اُمّى وَ هِيَ تُقْرِئُكَ السَّلاَمَ. فَتَقُوْلُ
اِنَّ هذَا لَكَ مِنَّا قَلِيْلٌ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَذَهَبْتُ
بِهَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص فَقُلْتُ: اِنَّ اُمّى تُقْرِئُكَ السَّلاَمَ
وَ تَقُوْلُ اِنَّ هذَا لَكَ مِنَّا قَلِيْلٌ، يَا رَسُوْلَ اللهِ.
فَقَالَ: ضَعْهُ. ثُمَّ قَالَ: اِذْهَبْ فَادْعُ لِى فُلاَنًا وَ فُلاَنًا
وَ فُلاَنًا وَ مَنْ لَقِيْتَ وَ سَمَّى رِجَالاً. قَالَ: فَدَعَوْتُ مَنْ
سَمَّى وَ مَنْ لَقِيْتُ. قَالَ: قُلْتُ ِلاَنَسٍ: عَدَدَ كَمْ كَانُوْا؟
قَالَ: زُهَاءَ ثَلاَثِ مِائَةٍ. مسلم
Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Nabi SAW menikah, lalu beliau
mengadakan walimah". Anas berkata, "Lalu ibuku Ummu Sulaim membuat
makanan hais, lalu ia tuangkan dalam bejana", kemudian ia berkata, "Hai
Anas, bawalah ini kepada Rasulullah SAW. Dan katakanlah, "Ibuku
mengirimkan ini untuk engkau, dan dia berkirim salam kepada engkau". Dan
katakanlah, "Ini sedikit dari kami untuk engkau ya Rasulullah". Anas
berkata, "Lalu aku pergi kepada Rasulullah SAW dengan membawa makanan
itu". Lalu aku berkata kepada Rasulullah, "Sesungguhnya ibuku berkirim
salam untukmu dan dia mengatakan, "Sesungguhnya ini sedikit dari kami
untukmu, ya Rasulullah". Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Letakkanlah
makanan itu". Lalu ia bersabda (lagi), "Undanglah kemari, si Fulan, si
Fulan, si Fulan dan siapasaja yang kau jumpai". Beliau menyebutkan
beberapa orang laki-laki. Anas berkata, "Kemudian aku mengundang
orang-orang yang beliau sebut namanya dan orang-orang yang aku jumpai".
Perawi bertanya kepada Anas, "Berapa jumlah mereka itu ?". Jawab Anas,
"Kira-kira 300 orang". [HR. Muslim].
عَنْ قَتَادَةَ عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُثْمَانَ
الثَّقَفِيّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ ثَقِيْفٍ يُقَالُ اَنَّ لَهُ مَعْرُوْفًا وَ
اَثْنَى عَلَيْهِ. قَالَ قَتَادَةُ اِنْ لَمْ يَكُنْ اِسْمُهُ زُهَيْرَ
بْنَ عُثْمَانَ فَلاَ اَدْرِى مَا اْسمُهُ. قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص:
اْلوَلِيْمَةُ اَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ. وَ اْليَوْمَ الثَّانِى مَعْرُوْفٌ
وَ اْليَوْمَ الثَّالِثَ سُمْعَةٌ وَ رِيَاءٌ. احمد و ابو داود
Dari Qatadah dari Al-Hasan dari 'Abdullah bin Usman Ats-Tsaqafiy dari
seorang laki-laki dari Tsaqif, dia mempunyai nama terkenal dan 'Abdullah
memujinya. Qatadah berkata, "Jika nama laki-laki itu bukan Zuhair bin
'Utsman, maka aku tidak tahu siapa namanya". Laki-laki itu berkata :
Rasulullah SAW bersabda, "Walimah pada hari pertama benar, pada hari
kedua dikenal dan pada hari ketiga sum'ah (menginginkan kemasyhuran) dan
riya' ". [HR. Ahmad dan Abu Dawud].
Hal ini memberi isyarat bahwa walimah itu diadakan sesuai dengan
kemampuan seseorang yang melaksanakan perkawinannya, dengan catatan agar
dalam pelaksaan walimah tidak ada pemborosan, kemubaziran, lebih-lebih
disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri.
Menurut jumhur ulama, walimah adalah perhelatan yang dilaksanakan dalam
rangka mensyukuri nikmat Allah SWT atas telah terlaksanya akad
pernikahan. Adapun hukum walimah menurut para jumhur ulama adalah sunnah
muakad, yang batas biayanya tidak ditentukan, namun paling afdhal
menyelenggarakannya dengan seekor kambing.
Hikmah mengadakan walimah salah satunya mengadakan walimah salah satunya
adalah dalam rangka mengumumkan pada masyarakat bahwa akad nikah sudah
terjadi sehinnga semua pihak mengetahuinya dan tidajk ada tuduhan di
kemudian hari.
Adapun perintah RAsulullah untuk mengadakan walimah tidak terlepas dari
sunnah mengundang orang ke walimah tersebut. Hendaknya undangan walimah
tersebut bersifat merata yang mencakup semua kalangan, seperti sanak
family, tetangga, teman-teman dan lain-lain.
Selain itu undangan walimah jangan mengakibatkan khalwat karena bukan
pahala yang di dapat dalam walimah tersebut melainkan kemurkaan Allah
SWT. Selain itu janganlah mengundang seseorang karena faktor tertentu,
seperti factor kekayaan, kekuasaan, dan lain sebagainya.
Karena walimah adalah ibadah, maka sangat penting untuk menjaga
adab-adabnya. Diantara adab-adab tersebut adalah sebagai berikut.
Meluruskan niat. Lakukanlah walimah dengan niat ikhlas semata-mata
karena Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah saw. Hindari
penyelenggaraan walimah dengan niat memamerkan harta yang dimiliki, atau
saling bersaing dengan keluarga lain. Hindari pula pelaksanaan walimah
karena niat mencari sensasi, mencari popularitas.
Bahkan ada yang berniat menyakiti hati orang lain dengan cara mengadakan
walimah besar-besaran.Jangan pula menyelenggarakan walimah dengan motif
komersial, mengharap sumbangan yang lebih besar dari biaya yang
dikeluarkan. Memang kita diperkenankan untuk menerima sumbangan yang
datang dengan senang hati dan rasa terima kasih serta dipandang sebagai
pernyataan kasih sayang dari para tamu undangan, tetapi bukan sebagai
“karcis masuk” memenuhi undangan walimah.
Tidak membeda-bedakan undangan dengan meninggalkan orang-orang yang
miskin. Rasulullah saw bersabda, “Sejelek-jelek makanan adalah makanan
walimah dimana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang
kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no.
5177 dan Muslim no. 3507).
Juga ada diriwayatkan sebuah hadits Dari Abu Hurairahr.a., bahwa Nabi
Muhammad saw. bersabda: "Makanan yang paling jelaek adalah pesta
perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau datang kepadanya
(miskin), tetapi mengundang orang yang enggan datang kepadanya (kaya).
Barang siapa tidak memperkenankan undangan maka sesungguhnya durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya." (H.R.Muslim).
Mengundang orang-orang yang shalih. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah
engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan
makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” (Hadits hasan:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395),
al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri
ra.).
Tidak berlebih-lebihan, bermewah-mewahan, dan berlaku mubadzir.
Sesuaikanlah walimah dengan kemampuan, dan jangan memaksakan diri. Tidak
jarang ada orang yang memaksakan diri berhutang kesana kemari guna
menggelar acara resepsi yang wah agar meninggalkan kesan meriah. Dalam
membayar hutangnya nanti, biasanya dia berharap dari sumbangan yang
diterima. Ini tentu tidak benar. Walimahan hendaknya tidak dilakukan
dengan cara memaksakan diri diluar kemampuan dan juga tidak merepotkan
orang banyak lantaran harus menyumbang, meskipun menyumbang atau
memberikanhadiah itu boleh.
Menghindari hal-hal yang maksiatdan bertentangan dengan syariat Islam,
seperti melakukan ritual-ritual kesyirikan/khurafat, tasyabbuh dengan
orang-orang kafir, terjadinya campur baur (ikhtilath) antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan, jabat tangan antara lawan jenis yang bukan
mahram, mengumbar aurat dihadapan orang-orang asing, dan sebagainya.
Tidak memperdengarkan musik-musik jahiliyah ataupun tontonan-tontonan
jahiliyah. Akan tetapi diperbolehkan menabuh rebana (duff) dan
melantunkan nyanyian-nyanyian yang tidak bertentangan dengan syariat,
dan hal ini pernah dilakukan di masa Rasulullah saw. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah saw bersabda, “Pemisah antara apa yang halal (yakni
pernikahan) dan yang haram (yakni perzinaan) adalah duff dan shaut
(suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya
suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah
manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48).
Hikmah dari diperbolehkannya menabuh rebana dan memperdengarkan nyanyian
adalah untuk mengumumkan (memeriahkan) pernikahan dan untuk menghibur
kedua mempelai. Adapun bagaimana jika memperdengarkan alat musik,
kembali pada hukum alat musik itu sendiri, yang masih menjadi khilaf
diantara para ulama. Wallahu a’lam.
Menghadiri undangan walimah hukumnya adalah wajib bagi yang diundang
karena untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan dan menggembirakan.
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
إذا دعي أحدكم إلى وليمة فلياتها
"Jika salah seorang diantaramu diundang ke walimahan. hendaklah ia datangi."
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: ومن ترك
ألدءوت فقد عصى الله ورسوله Barang siapa meninggalkan undangan,
sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya..."
Dari Abu Hurairah r.a., bahwaNabi saw. bersabda:"Andaikata aku diundang
untuk makan kaki kambing, niscaya saya datangi. Dan andaikata aku
dihadiahi kaki depan kambing niscaya saya terima. Hadits-hadits di atas
diriwayatkan oleh bukhari.
Jika undangan bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu
maka tidak wajib mendatangi dan tidak pula sunnah. Contohnya seorang
pengundang mengatakan: "Walhai orang banyak, datanglah ke walimahan
saya," tanpa disebut orang-orang secara tertentu atau ia katakan,"
undanglah tiap orang yang kau temui." Nabi pernah melakukan ini
sebagaimana:Anas berkata: Nabi saw.kawin lalu masuk kepada isterinya,
kemudian ibuku membuatkan kue untuk Ummu Sulaim, lalu beliau tempatkan
pada bejana, lalu ia berkata: "Wahai saudaraku..., bawalah ini kepada
Rasulullah saw. ..."Lalu aku bawa kepada beliau, maka sabdanya:
"Letakkanlah." Kemudian sbdanya lagi:"Undanglah si anu dan si anu. Dan
orang-orang yang bertemu." Lalu saya undang orang-orang yang disebutkan
dan saya temui. (H.R. Muslim).
Ada yang berpendapat menghadiri undangan hukumnya wajib kifayah, dan ada
yang berpendapat hukumnyasunnah. Tetapi pendapat pertamalah yang lebih
jelas, sebab tidak dikatakan berbuat durhaka kecuali kalau meninggalkan
yang wajib...ini bila berkenaan dengan walimah perkawinan. Adapun
menghadiri undangan selain walimah, maka menurut Jumhur (mayoritas )
ulama dianggap sebagi sunnah muakkad.Sebagian golongan Syafi'i
berpendapat adalah wajib. Tetapi Ibnu Hazm menyangkal, bahwa pendapat
ini dari jumhur sahabat dan tabi'in. Karena hadits-hadits di atas
memberi pengertian wajibnya menghadiri setiap undangan baik undangan
perkawinan atau lain-lain.
Untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan dan mengembirakan orang yang
mengudang, maka orang yang diundang ke walimah wajib mendatanginya.
Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah apabila:
a) Tidak ada udzur syar’i
b) Dalam walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar
c) Tidak membedakan kaya dan miskin
Syarat-syarat menghadiri undangan mnurut al hafidz Ibnu Hajar dalam kitab fathul bari adalah:
1) Pengundan sudah mukallaf, merdeka dan sehat akalnya
2) Undangan tidak hanya dikhususkan kepada orang kaya tanpa melihat orang miskin
3) Tidak hanya tertuju kepada orang yang disenangi dan orang yang dihormatinya
4) Pengundang beragama islam
5) Belum didahului olehnya undangan lain kalau ada undangan lain yang pertama wajib didahulukan
6) Tidak ada kemungkaran dan perkara-perkara lain yang menghalangi kehadiran
7) Orang yang diundang tidak berhalangan
Hukum menghadiri walimah adalah wajib. Jadi apabila seseorang menerima
undangan menghadiri walimah maka ia harus dating kecuali ada halangan
–halangan tertentu yang bertul-betul menyebabkan orang itu tidak bisa
menghadiri walimah tersebut.
Ulama zahiriyah yang mewajibkan mengadakan walimah menegaskan kewajiban
menghadiri undangan walimah itu dengan ucapannya bahwa seandainya yang
diundang itu sdang tidak berpuasa dia wajib makan dalam walimah itu,
namun bila ia berpuasa wajib juga mengunjunginya, walau ia hanya sekedar
memohonkan doa untuk yang mengadakan ditempat walimah tersebut.
Untuk mengadiri walimah biasanya berlaku untuk satu kali. Namun, bila
yang punya hajat mengadakan walimah untuk beberapa hari dan seseoran
diundang untuk setiap kalinya, man yang mesti dihadiri, menjadi
pembicaraan dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang wajib
dihadiri adalah walimah hari yang pertama, hari yang kedua hukumnya
sunnah sedangkan hari selanjutnya tidak lagi sunnah hukumya. Mereka
mendasarkan pendapatnya kepada hadits nabi yang diriwayatkan abu daud
dan ibn majah, yang bunyinya.
الو ليمة أول يوم حق والثانى معمروف والثا لث رياءوسمعه
“walimah hari pertama merupakan hak, hari kedua adalah makruh sedangkan hari ketiga adalah riya dan pamer.”
Bahwa Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk mengumumkan berita
pernikahan agar masyarakat mengetahui tentang pernikahan yang telah
dilangsungkan dan untuk menghindari adanya tuduhan-tuduhab di kemudian
hari, dan juga pernikahan tersebut lebih baik dilaksanakan di masjid
karena masjid merupakan tempat banyak orang berkumpul. Islam juga tidak
melarang untuk mengadakan hiburan untuk menghibur para undangan yang
hadir pada pernikahan tersebut.
Walimah merupakan suatu yang dianjurkan dalam ajaran Islam, karena
perkawinan adalah suatu yang diharapkan dan hanya terjadi sekali seumur
hidup seseorang, maka sudah sewajarnya kita sambut dengan rasa syukur
dan gembira, kita rayakan dengan mengundang sanak saudara. Dalam
pengadaan pesta tersebut harus di sesuaikan dengan kemampuan kita, tidak
berlebi-lebihan.
Hukum menghadiri walimah adalah wajib, jadi apabila kita di undang untuk
mengahdiri pesta pernikahan maka kita wajib datang, kecuali ada
halangan-halangan tertentu yang betul-betul menyebabkan kita tidak bisa
menghadiri walimah tersebut dan walimah itu tidak digunakan untuk
perbuatan yang mungkar, baik itu yang diundang itu dari golongan kaya
maupun golongan miskin.
Walimah adalah makanan yang disajikan sebagai tanda kebahagiaan dalam
resepsi pernikahan, akad nikah dan sebagainya. Mengenai hukum perayaan
tersebut, sebagian ‘Ulama mengatakan wajib, sedangkan yang lain hanya
mengatakan sunnah. Jumhur ‘Ulama sepakat bahwa mengadakan walimah itu
hukumnya sunnah muakkad.
Walimah, dalam istilah Fiqh berarti makanan yang khusus disediakan
ketika pernikahan. Jadi, walimah itu adalah nama makanan yang biasa
disediakan ketika pesta pernikahan. Dalam fiqh Islam, sebagaimana
dikatakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunyaTuhfah al-Wadud bi
Ahkam al-Maulud (hal. 72), bahwa terdapat nama-nama makanan khusus yang
disesuaikan dengan peristiwa atau moment tertentu.
Nama-nama makanan tersebut adalah:
Al-Qira adalah makanan untuk para tamu yang tidak diundang
Al-Madabah adalah makanan untuk untuk para tamu undangan
At-Tuhfah adalah makanan untuk orang yang berziarah ke rumah kita
Al-Walimah adalah makanan pada hari perkawinan
Al-Khurs adalah makanan pada saat melahirkan
Al-Aqiqah adalah makanan pada hari ke tujuh dari kelahiran anak
Al-Ghadirah adalah makanan pada saat anak dikhitan (disunat)
An-Naqi'ah adalah makanan pada orang yang baru datang dari bepergian
Al-Wakirah adalah makanan ketika selesai membangun rumah atau bangunan lainnya
Al-Wadi'ah adalah makanan pada waktu berkumpul ketika ada yang meninggal dunia
Namun dalam perjalanan berikutnya, walimah tidak lagi tertuju untuk
makanan yang ada saat pernikahan, akan tetapi lebih bersifat umum lagi
untuk sebuah acara, pesta atau resepsi pernikahan.
Adapun memenuhi undangan walimah (resepsi/pesta) perkawinan hukumnya
wajib, karena untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan, dan
menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang diundang walimah
wajib mendatanginya. Ada ‘Ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadiri
undangan adalah wajib kifayah. Namun ada juga ‘Ulama yang mengatakan
sunnah, akan tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas.
Adapun hukum mendatangi undangan selain walimah, menurut jumhur ‘ulama,
adalah sunnah muakkad. Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan
mempunyai beberapa keuntungan (hikmah).
Walimah pernikahan tidak boleh dijadikan komoditas bisnis, jual makanan.
Hal ini karena umumnya di masyarakat Indonesia, terutama di kota-kota
besar seperti Jakarta, undangan pernikahan ini hanya diberikan kepada
orang-orang berduit yang diperkirakan akan memberikan 'amplop' tebal,
tanpa memperhitungkan apakah dia orang shaleh ataupun tidak. Yang
penting berduit dan diperkirakan akan memberikan amplop tebal, maka ia
akan di undang.
Praktek semacam ini, hemat penulis, sangatlah salah. Hal pertama harus
diingat, bahwa walimah pernikahan dalam ajaran Islam bukanlah sebagai
ajang bisnis yang harus dihitung untung rugi. Walimah pernikahan adalah
salah satu bentuk rasa syukur dari si mempelai karena kini keduanya
telah menyempurnakan agamanya plus telah mengikuti salah satu sunnah
Rasulullah saw yang sangat penting yakni pernikahan. Karena walimah
berupa rasa syukur dan berbagi kebahagiaan kedua mempelai berikut
keluarganya, maka tidaklah etis apabila dijadikan komoditas bisnis,
mengeruk keuntungan. Oleh karena walimah adalah salah satu bentuk rasa
syukur kepada Allah swt juga berbagi rasa bahagia, Rasululullah saw
dalam hadits di atas, menganjurkan sesegera mungkin ke dua mempelai agar
melangsungkan walimahnya. Apabila si mempelai tidak mampu mewah, maka
cukup dengan makanan alakadarnya, baik memotong kambing ataupun makanan
ringan lain seperti makanan al-hais, kurma yang dicampur dengan tepung.
Oleh karena itu, hemat penulis, karena walimah pernikahan adalah salah
satu bentuk rasa syukur dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang, maka
sebaiknya walimah itu tidak dijadikan sebagai ajang bisnis,
menghitung-hitung kemungkinan keuntungan sekian dan seterusnya. Ada yang
memberi amplop, alhamdulillah, dan tidak ada pun tidak mengapa, toh
maksudnya bukan untuk bisnis dan jualan makanan tapi sebagai bentuk rasa
syukur kepada Allah swt.
ADAPUN HUKUM WALIMAH KHITAN ATAU SUNATAN
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini, ada yang berpendapat
sunnah, ada yang berpendapat mubah (boleh-boleh saja) dan ada yang pula
yang berpendapat makruh.
Kesimpulan dari permasalahan ini, setelah kita melihat dalil-dalil
masing-masing pendapat maka pendapat yang terpilih dan kuat adalah bahwa
hukum walimah khitan suatu hal yang mubah. Karena hukum sunnah adalah
hukum syar’i, untuk mengatakan suatu hal itu hukumnya sunnah butuh
dalil-dalil yang shahih dan marfu’ (yang sampai) kepada Nabi shallalahu
‘alaihi wasallam. Belum kita dapatkan dalil satupun bahwa Nabi
shallalahu ‘alaihi wasallam mengadakan walimah khitan.
Terdapat disana Atsar dari sebagian shahabat, yang mana mereka melakukan
walimah khitan, diantaranya atsar yang diriwayatkan oleh Al Imam Al
Bukhory dalam Adabul Mufrod:
قال سالم: خَتَنَنِي ابْنُ عُمَرَ أَنَا وَنُعَيْمًا، فَذَبَحَ عَلَيْنَا كَبْشًا.
“Salim (bin Abdullah bin Umar) berkata: Ibnu umar mengkhitanku dan juga
mengkhitan Nu’aim, maka beliau menyembelih seekor kibas (domba besar)
untuk khitan kami” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul mufrad no. 1246,
berkata Syekh Al Albany: Atsar ini sanadnya dho’if]
Dan juga atsar ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Ibnu abi Ad-dunya dalam kitab al ‘iyaal nomor 586:
عَنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: أَرْسَلَتْ إِلَيَّ عَائِشَةُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَقَالَتْ: أَطْعِمْ بِهَا عَلَى خِتَانِ ابْنِكَ
“Dari Al-Qasim (bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq) berkata: “Aisyah
radhiallahu ‘anha telah mengirim kepadaku uang 100 dirham seraya berkata
berilah makanlah bagi orang-orang untuk khitan anakmu.”
Dan juga atsar lainnya seperti Atsar Ibnu Abbas.
Kalau seandainya semua atsar di atas shahih, maka ini menunjukan bahwa para shahabat dahulu biasa melakukan walimah khitan.
كالوليمة للختان، فهذه مباحة؛ لأن الأصل في جميع الأعمال غير العبادة الإباحة، حتى يقوم دليل على المنع
“Seperti walimah khitan, maka (hukumnya) boleh-boleh saja, karena segala
bentuk amalan di luar ibadah maka hukum asalnya boleh-boleh saja,
sampai datang dalil yang menunjukan larangannya.”
Berkata Syaikhul Islam ibnu taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al Fatawa jilid 32 hal 206:
وأما ” وليمة الختان ” فهي جائزة : من شاء فعلها ومن شاء تركها
“Adapun Walimah khitan maka (hukumnya) boleh-boleh saja. Barangsiapa
yang ingin, maka boleh ia melakukannya ataupun meninggalkannya.”
Demikianlah hasil kesimpulan tentang seputar hukum mengadakan walimah
khitan yang mana hal itu adalah diperbolehkan dalam islam. Ini adalah
pendapat yang dipilih oleh para ulama.
HUKUM MEMENUHI UNDANGAN WALIMAH KHITAN
Sebelumnya telah lewati pembahasan kita seputar hukum memenuhi undangan
walimah pernikahan, yang mana pendapat terkuat dan terpilih adalah wajib
berdasarkan dalil-dalil yang menunjukan atas kewajiban memenuhi
undangan tersebut.
Adapun memenuhi undangan makan selain walimah pernikahan seperti walimah
khitan maka para ulama juga berbeda pendapat menjadi dua pendapat;
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa hukumnyawajib, ini adalah pendapat
Asy Syafi’iyah, Al ‘Anbary dan Ibnu Hazm dan dipilih oleh Asy Syaukany.
Dalil mereka keumuman hadits hadits Abu Hurairah:
«حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ» قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ
اللهِ؟، قَالَ: «إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ
فَأَجِبْهُ ….. الحديث
“Hak seorang muslim terhadap seorang muslim ada enam perkara.” Lalu
beliau ditanya; ‘Apa yang enam perkara itu ya Rasulullah?’ Beliau
menjawab: “Bila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam kepadanya,
bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya….
Mereka berdalil pula dengan sabda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam:
«إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ، فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ»
“Jika salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, hendaknya ia
penuhi undangan tersebut, baik undangan pernikahan atau semisalnya” .
Pendapat Kedua: menyatakan bahwa hukumnyasunnah, ini adalah pendapat
Jumhur (kebanyakan) para ulama. Dalil yang memalingkan dari wajib kepada
sunnah adalah hadits Anas radhiallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ جَارًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارِسِيًّا
كَانَ طَيِّبَ الْمَرَقِ، فَصَنَعَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، ثُمَّ جَاءَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ: «وَهَذِهِ؟» لِعَائِشَةَ،
فَقَالَ: لَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«لَا»، فَعَادَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «وَهَذِهِ؟»، قَالَ: لَا، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا»، ثُمَّ عَادَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَهَذِهِ؟»، قَالَ: نَعَمْ فِي
الثَّالِثَةِ، فَقَامَا يَتَدَافَعَانِ حَتَّى أَتَيَا مَنْزِلَهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai tetangga seorang
bangsa Persia yang pandai memasak. Pada suatu hari dia memasak hidangan
untuk Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Setelah itu dia datang
mengundang beliau. Beliau bertanya: “‘Aisyah bagaimana? orang itu
menjawab: ‘Dia tidak!’, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Kalau begitu aku juga tidak!”, orang ittu mengulangi undangannya
kembali. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bertanya: “‘Aisyah
bagaimana?” orang itu menjawab: ‘Dia tidak!’, Rasulullah shallalahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau begitu aku juga tidak!” Orang itu
mengulangi undangannya pula. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bertanya:
“‘Aisyah bagaimana?” Jawab orang itu pada ketiga kalinya; ‘Ya, ‘Aisyah
juga.’ Maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam pergi bersama ‘Aisyah
ke rumah tetangga itu.
Sisi Pendalilan dari hadits ini bahwa Rasulullah tidak memenuhi undangan orang tersebut.
Menjawab pendalilan pendapat pertama:
- Hadits Abu Hurairah yang dijadikan dalil pendapat pertama bersifat
umum bahwa semua bentuk undangan wajib dipenuhi, namum hadits Anas yang
telah kita sebutkan di atas telah memalingkan keumuman hukum tersebut
kepada mustahab atau sunnah.
- Adapun hadits Ibnu Umar dengan lafadz di atas diriwayatkan dari jalan
Ma’mar dari Ayyub dari Nafi’. Riwayat Ma’mar menyelisihi riwayat Hamad
bin Zaid dari Ayyub dari Nafi’, karena riwayat Hammad tanpa ada tambahan
lafadz “baik undangan pernikahan atau semisalnya”. Hammad adalah orang
yang paling tsiqoh periwayatannya dari Ayyub. Dengan ini, riwayat Ma’mar
dikatagorikan “Syadzah” karena menyelisihi rawi yang lebih tsiqoh dalam
periwayatannya dari Ayyub.
Disana juga terdapat riwayat lain dengan lafadz:
«مَنْ دُعِيَ إِلَى عُرْسٍ أَوْ نَحْوِهِ، فَلْيُجِبْ»
“Barangsiapa yang diundang ke pesta pernikahan atau semisalnya, hendaknya ia mendatanginya.”
Riwayat ini dari jalan Az Zubaidy dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Namun para
perawi dari Nafi seperti Malik, ‘Ubaidulloh Al ‘Umary, Isma’il bin
Umayyah, Musa bin ‘Uqbah, dan ‘Umar bin Muhammad, semua meriwayatkan
tanpa lafadz ” pernikahan atau semisalnya”. Sehingga disini riwayat Az
Zubaidy dikatagorikan Syadzah pula.
Dari sini kita mengetahui bahwa lafadz hadits Ibnu ‘Umar tentang
kewajiban memenuhi undangan hanya terkait dengan walimah pernikahan
saja, sebagaimana yang telah ditunjukan dalam riwayat yang Al Imam Al
Bukhory dan Muslim dari Nafi dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda:
«إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا»
“Jika salah seorang dari kalian diundang ke acara pesta pernikahan maka
hendaknya dia datang” [Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Ibnu Umar]
Riwayat ini lebih shahih dari lafadz Muslin dari jalan Ma’mar maupun Az Zubaidy. Wallohu a’lam.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ
ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar