Banyak orang yang mendambakan kebahagiaan, mencari ketentraman dan
ketenangan jiwa raga sebagaimana usaha menjauhkan diri dari sebab-sebab
kesengsaraan, kegoncangan jiwa dan depresi khususnya dalam rumah dan
keluarga.
Akhir-akhir ini kita sering mendengar dan membaca baik melalui media
elektronik maupun media cetak, tentang meningkatnya kejahatan yang
dilakukan sekelompok orang terhadap orang lain,kejahatan seseorang
terhadap orang lain; seoarang ibu membunuh anaknya atau anak membunuh
orang tuanya, ada juga yang terlibat tawuran, terjerumus obat-obat
terlarang bahkan ada seorang bapak kandung yang tega menggauli anak
gadisnya hingga hamil, nau’zu billah suma na’uzu billah. Tentu saja hal
ini membuat kita miris mendengarnya, takut kalau-kalau kita atau
keluarga kita terjerumus akan pergaulan yang tidak baik yang akan
menyeretnya masuk ke dalam api nereka. Konon katanya menurut pakar
komunikasi, bergejolaknya kemelut di dalam keluarga, di antaranya
disebabkan pengaruh pergaulan, lingkungan, media, baik tontonan ataupun
bacaan.
Akibatnya terjadilah dehumanisasi, demoralisasi, dan desakralisasi,
terhadap pendidikan si anak dalam keluarga. Bahkan yang lebih parah
penyebab terjadinya hal tersebut adalah kurangnya pengetahuan agama si
anak, lantaran minimnya pendidikan agama yang diperoleh dari orangtuanya
sehingga terjadi dekadensi moral.
Firman Alloh Subhanahu Wata'ala
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari
tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
(QS Ar-Rum Ayat-20)
Yakni tanda-tanda yang menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya yang
Mahasempurna ialah bahwa Dia telah menciptakan bapak moyang kalian
(Adam) dari tanah liat.
{ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ}
kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Ar-Rum: 20)
Asal mula kalian dari tanah liat, kemudian dari air yang hina, lalu
menjadi 'alaqah, kemudian menjadi segumpal daging, lalu menjadi
tulang-tulang yang berbentuk manusia, setelah itu Allah memakaikan
daging kepadanya dan meniupkan roh ke dalamnya, maka tiba-tiba ia
menjadi manusia yang mempunyai pendengaran dan penglihatan. Kemudian ia
keluar dari perut ibunya dalam keadaan kecil lagi lemah. Selanjutnya
setiap kali bertambah usianya, maka bertambah kekuatannya, dan bertambah
kuat pula gerakannya. Pada akhirnya ia menjadi manusia yang sempurna
dan mampu membangun kota-kota dan benteng-benteng serta mengadakan
perjalanan ke berbagai kawasan, menempuh jalan laut menaiki perahu dan
keliling dunia. Dia mampu berusaha dan mengumpulkan harta. Dia mempunyai
akal, berwawasan, serta mempunyai daya nalar, berpengetahuan, dan
berilmu dalam menganalisis perkara-perkara duniawi dan ukhrawi,
masing-masing dianugerahi oleh Allah sesuai dengan kemampuannya.
Mahasuci Allah Yang telah membuat mereka berkemampuan, menjadikan mereka
dapat menyesuaikan diri dan mempunyai kepandaian dalam menjalani roda
kehidupan dan aneka ragam mata pencaharian. Allah telah membeda-bedakan
di antara mereka dalam hal ilmu, pemikiran, bentuk, dan rupa. Ada yang
tampan, ada yang buruk, juga ada yang kaya, ada yang miskin, serta ada
yang bahagia, ada pula yang sengsara. Karena itulah disebutkan oleh
firman-Nya:
{وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ}
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari
tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.
(Ar-Rum: 20)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وغُنْدَر،
قَالَا حَدَّثَنَا عَوْف، عَنْ قَسَامَةَ بْنِ زُهَيْرٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "إِنَّ
اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ مِنْ قَبْضَةٍ قَبَضَهَا مِنْ جَمِيعِ الْأَرْضِ،
فَجَاءَ بَنُو آدَمَ عَلَى قَدْرِ الْأَرْضِ، جَاءَ مِنْهُمُ الْأَبْيَضُ
وَالْأَحْمَرُ وَالْأَسْوَدُ وَبَيْنَ ذَلِكَ، وَالْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ،
وَالسَّهْلُ وَالْحَزَنُ، وَبَيْنَ ذَلِكَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id
dan Gundar. Mereka berdua mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Auf, dari Qasamah ibnu Zuhair, dari Abu Musa yang telah menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah menciptakan
Adam dari segenggam tanah yang Dia ambil dari semua penjuru bumi, maka
jadilah anak-anak Adam sesuai dengan kadar dari tanah itu; di antara
mereka ada yang berkulit putih, ada yang berkulit merah, dan ada yang
berkulit hitam serta ada yang campuran di antara warna-warna tersebut;
ada pula yang buruk, yang baik, yang mudah, dan yang susah serta yang
campuran di antara perangai-perangai tersebut.
Imam Abu Daud dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui berbagai jalur
dari Auf Al-A'rabi dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa
hadis ini hasan sahih.
Diantara hal yang terpenting yang mempengaruhi terwujudnya kebahagian
pada individu dan masyarakat adalah pembinaan keluarga yang istiqamah
diatas ajaran Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah
menjadikan rumah tangga dan keluarga sebagai tempat yang disiapkan untuk
manusia merengkuh ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan sebagai
anugerah terhadap hambaNya.
Untuk itulah Allah berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً
لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Qs. Ar-Rum [30]:21)
Seperti orang yang penat dengan kesibukan dan kebisingan siang lalu
menemukan kenyamanan dan ketenangan dalam kegelapan malam. Surat Yunus
ayat 67 :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
Artinya : “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu
beristirahat padanya (litaskunu fihi) dan (menjadikan) siang terang
benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang
yang mendengar”.
Manusia mengetahui bahwa mereka mempunyai perasaan-perasaan tertentu
terhadap jenis yang lain. Perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran itu
ditimbulkan oleh daya tarik yang ada pada masing-masing mereka, yang
menjadikan yang satu tertarik kepada yang lain, sehingga antara kedua
jenis pria dan wanita itu terjalin hubungan yang wajar. Mereka melangkah
maju dan bergiat agar perasaan-perasaan itu dan
kecenderungan-kecenderungan antara laki-laki dan wanita itu tercapai.
Puncak dari semuanya itu ialah terjadinya perkaw nan antara laki-laki
dan perempuan itu. Dalam keadaan demikian bagi laki-laki hanya istrinya
itulah wanita yang paling cantik dan baik, sedang bagi wanita itu, hanya
suaminyalah laki-laki yang menarik hatinya. Masing-masing mereka merasa
tenteram hatinya dengan ada pihak yang lain itu. Semuanya ini merupakan
modal yang paling berharga dalam membina rumah tangga bahagia. Kemudian
dengan adanya rumah tangga yang berbahagia jiwa dan pikiran menjadi
tenteram, tubuh dan hati mereka menjadi tenang serta kehidupan dan
penghidupan menjadi mantap, kegairahan hidup akan timbul, dan
ketenteraman bagi laki-laki dan wanita secara menyeluruh akan tercapai.
Khusus mengenai kata-kata "mawaddah" (rasa kasih) dan "rahmah" (sayang),
Mujahid dan Ikrimah berpendapat bahwa yang pertama adalah sebagai ganti
dari kata "nikah" (bersetubuh, bersenggama) dan yang kedua sebagai kata
ganti "anak". Jadi menurut Mujahid dan Ikrimah, maksud perkataan Tuhan:
"Bahwa Dia menjadikan antara suami dan istri rasa kasih sayang ialah
adanya perkawinan sebagai yang disyariatkan Tuhan antara seorang
laki-laki dengan seorang wanita dari jenisnya sendiri, yaitu jenis
manusia, akan terjadilah persenggamaan yang menyebabkan adanya anak-anak
dan keturunan. Persenggamaan adalah merupakan suatu keharusan dalam
kehidupan manusia, sebegaimana adanya anak-anak adalah merupakan suatu
keharusan yang umum pula. Ada yang berpendapat bahwa: "mawaddah" bagi
anak muda, dan "rahmah" bagi orang tua. Sehubungan dengan mawaddah itu
Allah mengutuk kaum Lut yang melampiaskan nafsunya dengan melakukan
homosex, dan meninggalkan istri-istri mereka yang seharusnya kepada
istri-istri itulah mereka melimpahkan rasa kasih sayang dan dengan
merekalah seharusnya bersenggama.
Ayat ini Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا}
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia
menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. (Al-A'raf: 189)
Yang dimaksud adalah ibu Hawa. Allah menciptakannya dari Adam, yaitu dari tulang rusuknya yang terpendek dari sebelah kirinya.
Seandainya Allah menjadikan semua Bani Adam terdiri dari laki-laki, dan
menjadikan pasangan mereka dari jenis lain yang bukan dari jenis
manusia, misalnya jin atau hewan, maka pastilah tidak akan terjadi
kerukunan dan kecenderungan di antara mereka dan tidak akan terjadi pula
perkawinan. Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah saling bertentangan
dan saling berpaling, seandainya mereka berpasangan bukan dari makhluk
sesama manusia.
Termasuk di antara rahmat Allah yang sempurna kepada anak-anak Adam
ialah Dia menjadikan pasangan (istri) mereka dari jenis mereka sendiri,
dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara pasangan-pasangan itu.
Karena adakalanya seorang lelaki itu tetap memegang wanita karena cinta
kepadanya atau karena sayang kepadanya, karena mempunyai anak darinya,
atau sebaliknya kerena si wanita memerlukan perlindungan dari si lelaki
atau memerlukan nafkah darinya, atau keduanya saling menyukai, dan
alasan lainnya.
Apalagi bila hubungan ini ditambah dengan pembinaan dan pendidikan
anak-anak dalam naungan orang tua yang penuh dengan rasa kasih sayang.
Adakah nuansa dan pemandangan yang lebih indah dari ini? Hal ini menjadi
penting karena perintah Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ ناراً
وقودها النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عليها مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لاَّ
يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim [66]:6)
Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari seorang lelaki,
dari Ali ibnu Abu Talib r.a. sehubungan dengan makna
firman-Nya:peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.(At-Tahrim:
6) Makna yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka.(At-Tahrim: 6) Yakni amalkanlah ketaatan kepada Allah dan
hindarilah perbuatan-perbuatan durhaka kepada Allah, serta
perintahkanlah kepada keluargamu untuk berzikir, niscaya Allah akan
menyelamatkan kamu dari api neraka.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka. (At-Tahrim: 6) Yaitu bertakwalah
kamu kepada Allah dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk bertakwa
kepada Allah.
Qatadah mengatakan bahwa engkau perintahkan mereka untuk taat kepada
Allah dan engkau cegah mereka dari perbuatan durhaka terhadapNya. Dan
hendaklah engkau tegakkan terhadap mereka perintah Allah dan engkau
anjurkan mereka untuk mengerjakannya serta engkau bantu mereka untuk
mengamalkannya. Dan apabila engkau melihat di kalangan mereka terdapat
suatu perbuatan maksiat terhadap Allah, maka engkau harus cegah mereka
darinya dan engkau larang mereka melakukannya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ad-Dahhak dan Muqatil, bahwa sudah
merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim mengajarkan kepada
keluarganya—baik dari kalangan kerabatnya ataupun budak-budaknya —
hal-hal yang difardukan oleh Allah dan mengajarkan kepada mereka hal-hal
yang dilarang oleh Allah yang harus mereka jauhi.
Semakna dengan ayat ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi melalui hadis Abdul Malik ibnur Rabi'
ibnu Sabrah, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ، فَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا"
Perintahkanlah kepada anak untuk mengerjakan salat bila usianya mencapai
tujuh tahun; dan apabila usianya mencapai sepuluh tahun, maka pukullah
dia karena meninggalkannya.
Ini menurut lafaz Abu Daud. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini
hasan. Imam Abu Daud telah meriwayatkan pula melalui hadis Amr ibnu
Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Rasulullah Saw. hal yang
semisal. Ulama fiqih mengatakan bahwa hal yang sama diberlakukan
terhadap anak dalam masalah puasa, agar hal tersebut menjadi latihan
baginya dalam ibadah, dan bila ia sampai pada usia balig sudah terbiasa
untuk mengerjakan ibadah, ketaatan, dan menjauhi maksiat serta
meninggalkan perkara yang mungkar.
Firman Allah Swt.:
{وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.(At-Tahrim: 6)
Waqud artinya bahan bakarnya yang dimasukkan ke dalamnya, yaitu tubuh-tubuh anak Adam.
{وَالْحِجَارَةُ}
dan batu. (At-Tahrim: 6)
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud dengan batu adalah berhala-berhala
yang dahulunya dijadikan sesembahan, karena ada firman Allah Swt. yang
mengatakan:
{إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ}
Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah umpan Jahanam. (Al-Anbiya: 98)
Ibnu Mas'ud, Mujahid, Abu Ja'far Al-Baqir, dan As-Saddi mengatakan bahwa batu yang dimaksud adalah batu kibrit (fosfor).
Mujahid mengatakan bahwa batu itu lebih busuk baunya daripada bangkai.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan hal ini, dia mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdur
Rahman ibnu Sinan Al-Minqari, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz
(yakni Ibnu Abu Daud) yang mengatakan bahwa telah sampai kepadaku bahwa
Rasulullah Saw. membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu. (At-Tahrim: 6) sedangkan di hadapan
beliau terdapat para sahabatnya yang di antara mereka terdapat seorang
yang sudah lanjut usianya, lalu orang tua itu bertanya, "Wahai
Rasulullah, apakah batu Jahanam sama dengan batu dunia?"Nabi Saw.
menjawab:
"وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَصَخرة مِنْ صَخْرِ جَهَنَّمَ أعظمُ مِنْ جبَال الدُّنْيَا كُلِّهَا".
Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya
sebuah batu Jahanam lebih besar daripada semua gunung yang ada di dunia.
Lalu orang tua itu jatuh pingsan karena mendengarnya, maka Nabi Saw.
meletakkan tangannya di jantung orang tua itu dan ternyata masih
berdegup, berarti dia masih hidup. Maka beliau Saw. menyerunya
(menyadarkannya) seraya bersabda, "Hai orang tua, katakanlah, 'Tidak ada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah'." Maka orang tua itu
membacanya sepuluh kali, dan Nabi Saw. menyampaikan berita gembira masuk
surga kepadanya. Maka para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah
di antara kita?" Rasulullah Saw. mengiakan dan beliau membaca
firman-Nya:
{ذَلِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِي وَخَافَ وَعِيدِ}
Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan takut kepada ancaman-Ku. (Ibrahim: 14)
Hadis ini mursal lagi garib.
Sebuah seruan dari Dzat Yang Maha Agung kepada orang-orang yang beriman,
berisi perintah dan peringatan berikut kabar tentang bahaya besar yang
mengancam. Seruan ini ditujukan kepada insan beriman, karena hanya
mereka yang mau mencurahkan pendengaran kepada ajakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, berpegang dengan perintah-Nya dan mengambil manfaat dari
ucapan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan mereka agar menyiapkan
tameng untuk diri mereka sendiri dan untuk keluarga mereka guna
menangkal bahaya yang ada di hadapan mereka serta kebinasaan di jalan
mereka. Bahaya yang mengerikan itu adalah api yang sangat besar, tidak
sama dengan api yang biasa kita kenal, yang dapat dinyalakan dengan kayu
bakar dan dipadamkan oleh air. Api neraka ini bahan bakarnya adalah
tubuh-tubuh manusia dan batu-batu. Ia berbeda sama sekali dengan api di
dunia. Bila orang terbakar dengan api dunia, ia pun meninggal berpisah
dengan kehidupan dan tidak lagi merasakan sakitnya pembakaran tersebut.
Beda halnya bila seseorang dibakar dengan api neraka, na’udzubillah.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
“Setiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka.” (Al-Isra’: 97)
كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ بَدَّلْنَاهُمْ جُلُودًا غَيْرَهَا لِيَذُوقُوا الْعَذَابَ
“Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit
yang lain, supaya mereka terus merasakan azab.” (An-Nisa’: 56)
لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا
“Mereka tidak dibinasakan dengan siksa yang dapat mengantarkan mereka
kepada kematian (mereka tidak mati dengan siksaan di neraka bahkan
mereka terus hidup agar terus merasakan siksa) dan tidak pula
diringankan azabnya dari mereka.” (Fathir: 36)
Orang yang masuk ke dalam api yang sangat besar ini tidak mungkin dapat
lari untuk meloloskan diri, karena yang menjaganya adalah para malaikat
yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah Subhanahu wa Ta’ala
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka serta selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
{عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ}
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras. (At-Tahrim: 6)
Yakni watak mereka kasar dan telah dicabut dari hati mereka rasa belas
kasihan terhadap orang-orang yang kafir kepada Allah. Merekajuga keras,
yakni bentuk rupa mereka sangat keras, bengis, dan berpenampilan sangat
mengerikan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada
kami Ibrahim ibnul Hakam ibnu Aban, telah menceritakan kepada kami
ayahku, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa apabila permulaan ahli neraka
sampai ke neraka, maka mereka menjumpai pada pintunya empat ratus ribu
malaikat penjaganya, yang muka mereka tampak hitam dan taring mereka
kelihatan hitam legam. Allah telah mencabut dari hati mereka rasa kasih
sayang; tiada kasih sayang dalam hati seorang pun dari mereka barang
sebesar zarrah pun. Seandainya diterbangkan seekor burung dari pundak
seseorang dari mereka selama dua bulan terus-menerus, maka masih belum
mencapai pundak yang lainnya. Kemudian di pintu itu mereka menjumpai
sembilan belas malaikat lainnya, yang lebar dada seseorang dari mereka
sama dengan perjalanan tujuh puluh musim gugur. Kemudian mereka
dijerumuskan dari satu pintu ke pintu lainnya selama lima ratus tahun,
dan pada tiap-tiap pintu neraka Jahanam mereka menjumpai hal yang
semisal dengan apa yang telah mereka jumpai pada pintu pertama, hingga
akhirnya sampailah mereka ke dasar neraka.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan, “Penjaganya adalah para
malaikat Zabaniyah yang hati mereka keras, kaku, tidak mengasihi jika
dimohon kepada mereka agar menaruh iba…
Kata شِدَادٌ maksudnya keras tubuh mereka. Ada yang mengatakan, para
malaikat itu kasar ucapannya dan keras perbuatannya. Ada yang
berpendapat, malaikat tersebut sangat kasar dalam menyiksa penduduk
neraka, keras terhadap mereka. Bila dalam bahasa Arab dinyatakan:
فُلاَنٌ شَدِيْدٌ عَلَى فُلاَنٍ,
maksudnya Fulan menguasainya dengan kuat, menyiksanya dengan berbagai macam siksaan.
Ada pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan غِلَاظٌ adalah
sangat besar tubuh mereka, sedangkan maksud شِدَادٌ adalah kuat.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Jarak antara dua pundak salah
seorang dari malaikat tersebut adalah sejauh perjalanan setahun.
Kekuatan salah seorang dari mereka adalah bila ia memukul dengan alat
pukul niscaya dengan sekali pukulan tersebut tersungkur 70.000 manusia
ke dalam jurang Jahannam.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 18/128)
Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di rahimahullahu
berkata menafsirkan ayat ke-6 surah At-Tahrim di atas, “Jagalah diri
kalian dan keluarga kalian dari api neraka, yang disebutkan dengan
sifat-sifat yang mengerikan. Ayat ini menunjukkan perintah menjaga diri
dari api neraka tersebut dengan ber-iltizam (berpegang teguh) terhadap
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, menunaikan perintah-Nya, menjauhi
larangan-Nya, dan bertaubat dari perbuatan yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala murkai serta perbuatan yang menyebabkan azab-Nya. Sebagaimana
ayat ini mengharuskan seseorang menjaga keluarga dan anak-anak dari api
neraka dengan cara memberikan pendidikan dan pengajaran kepada mereka,
serta memberitahu mereka tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang hamba tidak dapat selamat kecuali bila ia menegakkan apa yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan terhadap dirinya dan orang-orang
yang di bawah penguasaannya, baik istri-istrinya, anak-anaknya, dan
selain mereka dari orang-orang yang berada di bawah kekuasaan dan
pengaturannya.
Dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan neraka dengan
sifat-sifat yang mengerikan agar menjadi peringatan terhadap manusia
jangan sampai meremehkan perkaranya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“…Yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”(At-Tahrim: 6)
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah
(patung-patung) adalah bahan bakar/kayu bakar Jahannam, kalian sungguh
akan mendatangi Jahannam tersebut.” (Qs Al-Anbiya: 98)
Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras. Yaitu akhlak mereka
kasar dan hardikan mereka keras. Mereka membuat kaget dengan suara
mereka dan membuat ngeri dengan penampilan mereka. Mereka melemahkan
penghuni neraka dengan kekuatan mereka dan menjalankan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala terhadap penghuni neraka, di mana Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah memastikan azab atas penghuni neraka ini dan mengharuskan
azab yang pedih untuk mereka.
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Di sini
juga ada pujian untuk para malaikat yang mulia dan terikatnya mereka
kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ketaatan mereka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam seluruh perkara yang diperintahkan-Nya.”
(Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874)
Firman Allah Swt.:
{لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ}
yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)
Maksudnya, apa pun yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, maka
mereka segera mengerjakannya tanpa terlambat barang sekejap pun, dan
mereka memiliki kemampuan untuk mengerjakannya: tugas apa pun yang
dibebankan kepada mereka, mereka tidak mempunyai kelemahan. Itulah
Malaikat Zabaniyah atau juru siksa, semoga Allah melindungi kita dari
mereka.
Firman Allah Swt.:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.
Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.
(At-Tahrim: 7)
Yaitu dikatakan kepada orang-orang kafir kelak di hari kiamat, bahwa
janganlah kalian mengemukakan alasan, karena sesungguhnya tidak akan
diterima hal itu dari kalian, dan tidaklah kalian dibalasi melainkan
menurut apa yang telah kalian perbuat. Dan sesungguhnya pada hari ini
kalian hanya dibalasi menurut amal perbuatan kalian. Dalam firman
selanjutnya disebutkan:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا}
Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. (At-Tahrim: 8)
Yakni tobat yang sebenar-benarnya lagi pasti, maka akan terhapuslah
semua kesalahan yang terdahulu. Dan tobat yang sebenarnya dapat
merapikan diri pelakunya dan menyegarkannya kembali serta menjadi
benteng bagi dirinya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang rendah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna,
telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Sammak ibnu Harb, bahwa ia pernah mendengar An-Nu'man ibnu
Basyir mengatakan dalam khotbahnya bahwa ia pernah mendengar Umar ibnul
Khattab r.a. membaca firman-Nya Hai orang-orang yang beriman,
bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. (At-Tahrim:
8) Lalu Umar mengatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan dosa,
kemudian tidak mengulanginya lagi.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Sammak, dari An-Nu'man, dari Umar yang
mengatakan bahwatobat nasuha ialah bila seseorang bertobat dari
perbuatan dosa, kemudian tidak mengulanginya lagi, atau tidak
berkeinginan mengulanginya lagi.
Abul Ahwas dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Sammak, dari
An-Nu'man, bahwa Umar pernah ditanya tentang tobat nasuha. Maka Umar
menjawab, "Tobat yang nasuha ialah bila seseorang bertobat dari
perbuatan buruk, kemudian tidak mengulanginya lagi selama-lamanya."
Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari
Abdullah sehubungan dengan makna firman-Nya: dengan tobat yang
semurni-murninya. (At-Tahrim: 8) Bahwa seseorang bertobat (dari
perbuatan dosanya), kemudian tidak mengulanginya lagi.
Hal ini telah diriwayatkan secara marfu';
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ، عَنْ
إِبْرَاهِيمُ الهَجَري، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "التَّوْبَةُ مِنَ الذَّنْبِ أَنْ يَتُوبَ مِنْهُ، ثُمَّ لَا
يَعُودُ فِيهِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Asim,
dari Ibrahim Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tobat dari dosa ialah
bila seseorang bertobat darinya, kemudian tidak mengulanginya lagi.
Hadis diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Ahmad melalui jalur Ibrahim
ibnu Muslim Al-Hijri, sedangkan dia orangnya daif, dan riwayat yang
mauquf lebih sahih predikatnya, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Karena itu, para ulama mengatakan bahwa tobat yang murni ialah bila
seseorang menghentikan dirinya dari perbuatan dosa di saat itu juga,
kemudian ia menyesali apa yang telah dilakukannya di masa lalu, dan
bertekad di masa mendatang ia tidak akan mengerjakan hal itu lagi.
Kemudian jika hak yang dilanggarnya berkaitan dengan hak Adami, maka ia diharuskan mengembalikannya dengan cara yang berlaku.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Abdul
Karim, telah menceritakan kepadaku Ziad ibnu Abu Maryam, dari Abdullah
ibnu Mugaffal yang mengatakan bahwa ia masuk bersama ayahnya ke rumah
Abdullah ibnu Mas'ud. Kemudian ia bertanya, "Apakah engkau pernah
mendengar Nabi Saw. bersabda bahwa penyesalan itu adalah tobat?" Ibnu
Mas'ud menjawab, "Ya." Di lain kesempatan ia mengatakan bahwa ia pernah
mendengar beliau Saw. bersabda:
"النَّدَمُ تَوْبَةٌ".
Penyesalan adalah tobat.
Demikianlah menurut riwayat Imam Ibnu Majah dari Hisyam ibnu Ammar, dari
Sufyan ibnu Uyainah, dari Abdul Karim alias Ibnu Malik Al-Jazari dengan
sanad yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Arafah, telah menceritakan kepadaku Al-Walid ibnu Bukair Abu Janab, dari
Abdullah ibnu Muhammad Al-Abdi, dari Abu Sinan Al-Basri, dari Abu
Qilabah, dari Zur ibnu Hubaisy, dari Ubay ibnu Ka'b yang mengatakan
bahwa pernah dikatakan kepada kami (para sahabat) banyak hal yang akan
terjadi di penghujung umat ini di saat kiamat telah dekat. Antara lain
lelaki menyetubuhi istrinya atau budak perempuannya pada liang anusnya.
Yang demikian itu termasuk perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, juga dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya. Antara lain lelaki
mengawini sesamajenisnya, yang demikian itu merupakan perbuatan yang
diharamkan dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan antara lain ialah perempuan mengawini sesamajenisnya, padahal yang
demikian itu merupakan perbuatan yang dimurkai dan diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Mereka tidak diterima salatnya selama masih tetap
melakukan perbuatannya yang terkutuk itu, sampai mereka bertobat kepada
Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Zur mengatakan bahwa lalu ia
bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b, "Apakah yang dimaksud dengan tobat yang
semurni-murninya?" Maka Ubay ibnu Ka'b menjawab, bahwa ia pernah
menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw., dan Rasulullah Saw. menjawab:
"هُوَ النَّدَمُ عَلَى الذَّنْبِ حينَ يَفرطُ مِنْكَ، فتستغفرُ اللَّهَ
بِنَدَامَتِكَ مِنْهُ عِنْدَ الْحَاضِرِ، ثُمَّ لَا تَعُودُ إِلَيْهِ
أَبَدًا"
Penyesalan atas perbuatan dosa manakala kamu telah mengerjakannya, lalu
kamu memohon ampunan kepada Allah dengan penyesalanmu itu di waktu
seketika, kemudian kamu bertekad untuk tidak mengulanginya lagi
selama-lamanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami
Abbad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Amr ibnul Ala; ia
pernah mendengar Al-Hasan mengatakan bahwa tobat yang semurni-murninya
ialah bila kamu berbalik membenci dosa sebagaimana kamu menyukainya
sebelum itu, lalu kamu memohon ampun kepada Allah bila kamu teringat
kepadanya. Apabila seseorang telah bertekad untuk tobat dan meneguhkan
pendiriannya pada tobatnya, maka sesungguhnya tobatnya itu dapat
menghapus semua dosa yang sebelumnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam hadis sahih, yaitu:
"الْإِسْلَامُ يَجُب مَا قَبْلَهُ، وَالتَّوْبَةُ تَجُبُّ مَا قَبْلَهَا"
Islam menghapuskan semua dosa yang sebelumnya, dan tobat menghapuskan dosa yang sebelumnya.
Apakah syarat tobat yang semurni-murninya itu mempunyai pengertian
keberlangsungan dalam keadaan demikian sampai mati, sebagaimana yang
telah disebutkan dalam hadis dan asar, kemudian tidak mengulanginya lagi
untuk selama-lamanya? Ataukah cukup hanya dengan tekad bahwa ia tidak
akan memikirkan masa lalunya, hingga manakala ia terjerumus lagi ke
dalam perbuatan dosa sesudah tobatnya itu, maka hal tersebut tidak
mempengaruhi penghapusan dosa yang telah dilakukannya? Sebab makna umum
yang terkandung di dalam sabda Nabi Saw. mengatakan: Tobat dapat
menghapuskan dosa yang sebelumnya.
Bagi pendapat yang pertama, dalil yang menguatkannya disebutkan di dalam kitab sahih pula, yaitu:
"مَن أحسنَ فِي الْإِسْلَامِ لَمْ يُؤاخَذ بِمَا عَمِلَ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ، وَمَنْ أَسَاءَ فِي الْإِسْلَامِ أُخِذَ بِالْأَوَّلِ
وَالْآخِرِ"
Barang siapa yang berbuat baik dalam Islam, maka ia tidak akan dihukum
karena apa yang telah dilakukannya di masa Jahiliah. Dan barang siapa
yang berbuat buruk dalam masa Islamnya, maka ia dihukum karena perbuatan
buruk di masa awal dan akhirnya.
Untuk itu apabila hal ini dalam Islam lebih kuat daripada tobat, maka
terlebih lagi dalam masalah tobat; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Firman Allah Swt.:
{عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ}
mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
(At-Tahrim: 8)
Kalau lafaz 'asa yang artinya mudah-mudahan bila dari Allah berarti suatu kepastian.
{يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ}
pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia.(At-Tahrim: 8)
Yakni Allah tidak mengecewakan mereka yang bersama dengan Nabi di hari kiamat.
{نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ}
sedangkan cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. (At-Tahrim: 8)
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam tafsir surat Al-Hadid.
{يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
sambil mereka mengatakan, "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami
cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas
segala sesuatu.” (At-Tahrim: 8)
Mujahid, Ad-Dahhak, Al-Hasan Al-Basri, dan lain-lainnya mengatakan bahwa
inilah perkataan orang-orang mukmin ketika mereka melihat di hari
kiamat cahaya orang-orang munafik padam.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْحَاقَ
الطَالَقَانِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ
حَسَّانَ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي كِنَانَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ،
فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: "اللَّهُمَّ، لَا تُخْزِنِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq
At-Taliqani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yahya
ibnu Hassan, dari seorang lelaki dari kalangan Bani Kinanah yang
mengatakan bahwa ia pernah salat di belakang Rasulullah Saw. pada hari
penaklukan Mekah, lalu ia mendengar beliau Saw. membaca doa berikut,
yaitu: Ya Allah, janganlah Engkau hinakan aku pada hari kiamat.
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الْمَرْوَزِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مُقَاتِلٍ الْمَرْوَزِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا
ابْنِ لَهِيعة، حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا ذَرٍّ
وَأَبَا الدَّرْدَاءِ قَالَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أنا أَوَّلُ مَنْ يُؤْذَنُ لَهُ فِي السُّجُودِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يُؤْذَنُ لَهُ بِرَفْعِ رَأْسِهِ،
فأنظرُ بَيْنَ يَدَيّ فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ،
وَأَنْظُرُ عَنْ يَمِينِي فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ،
وَأَنْظُرُ عَنْ شِمَالِي فَأَعْرِفُ أُمَّتِي مِنْ بَيْنِ الْأُمَمِ".
فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ تَعْرِفُ أُمَّتَكَ مِنْ
بَيْنِ الْأُمَمِ. قَالَ: "غُرٌّ مُحجلون مِنْ آثَارِ الطُّهور وَلَا
يَكُونُ أَحَدٌ مِنَ الْأُمَمِ كَذَلِكَ غَيْرُهُمْ، وَأَعْرِفُهُمْ
أَنَّهُمْ يؤتَون كُتُبَهُمْ بِأَيْمَانِهِمْ، وَأَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ
فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ، وَأَعْرِفُهُمْ بِنُورِهِمْ
يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ"
Muhammad ibnu Nasr Al-Marwazi mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Muqatil Al-Marwazi, telah menceritakan kepada kami Ibnul
Mubarak, telah menceritakan kepadaku Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan
kepadaku Yazid ibnu Abu Habib, dari Abdur Rahman ibnu Jubair ibnu Nafir,
bahwa ia pernah mendengar Abu Zar dan Abud Darda mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. telah bersabda: Aku adalah orangyang mula-mula diberi
izin baginya untuk bersujud di hari kiamat, dan orang yang mula-mula
diberi izin untuk mengangkat kepalanya, lalu aku memandang ke arah
depanku, maka aku mengenal umatku di antara umat-umat lainnya. Dan aku
melihat ke arah kananku, maka aku mengenal umatku di antara umat-umat
lainnya. Dan aku memandang ke arah kiriku, maka aku mengenal umatku di
antara umat-umat lainnya. Maka ada seorang lelaki yang bertanya, "Wahai
Rasulullah, bagaimanakah engkau mengenal umatmu di antara umat-umat
lainnya?" Rasulullah Saw. menjawab: Anggota tubuh mereka kelihatan
bercahaya kemilauan karena bekas air wudu, dan hal itu tidak dimiliki
oleh seorang pun dari kalangan umat lain yang selain mereka. Dan aku
mengenal mereka karena kitab-kitab catatan amal perbuatan mereka
diberikan dari arah kanannya. Dan aku mengenal mereka melalui tanda yang
ada pada kening mereka dari bekas sujudnya. Dan aku mengenal mereka
karena nur (cahaya) nya bersinar di hadapan mereka.
Ayat ke enam surat At-Tahrim diatas menggambarkan bahwa dakwah dan
pendidikan harus bermula di rumah. Ini berarti kedua orangtua
bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing
sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayahatau
ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan satu rumah tangga yang
diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang
harmonis.
Berikut adalah beberapa pelajaran yang dapat diambil dari surat at-tahrim ayat 6:
1. Perintah Taqwa Kepada Allah SWT dan berdakwah
Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya
kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka,
menjaga dirinya dari api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia
dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah Allah, dan
mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah
Allah untuk menyelamatkan mereka dari api neraka. Api neraka disediakan
bagi para kafir / pendurhaka yang tidak mau taat kepada Allah dan yang
selalu berbuat maksiat.
Oleh karena itu kita diwajibkan oleh Allah untuk taat kepada-Nya supaya
selamat daripada siksa-Nya. Caranya membina diri kita terlebih dahulu
dalam mendalami akidah dan adab islam kemudian setelah kita mampu
melaksanakan maka kita wajib mendakwahkan kepada yang lain yaitu
orang-orang terdekat kita / keluarga yaitu orang tua, istri, anak, adik,
kakak dan karib kerabat.
2. Anjuran menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka
Banyak sekali amalan shalih yang menjadikan seseorang masuk surga dan
dijauhkan dari api neraka, misalnya bersedekah, berdakwah, berakhlaq
baik, saling tolong menolong dalam kebaikan dan sebagainya. Di antara
cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan shalat dan
bersabar.
3. Pentingnya pendidikan islam sejak dini
Anak adalah aset bagi orang tua dan di tangan orangtualah anak-anak
tumbuh dan menemukan jalan-jalannya. Banyak orang tua “salah asuh”
kepada anak sehingga perkembangan fisik yang cepat diera globalisasi ini
tidak diiringi dengan perkembangan mental dan spiritual yang benar
kepada anak sehingga banyak prilaku kenakalan-kenalakan oleh para
remaja.
4. Keimanan kepada para malaikat
Ayat diatas mengandung pelajaran keimanan kita kepada sifat para
malaikat yang suci dari dosa dan tidak pernah membangkang apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT. Berbeda dengan manusia dan jin yang kadang
taat kadang pula melanggar bahkan ada juga yang tidak pernah taat sama
sekali atau selalu berbuat maksiat.
Dari rumah tangga telah dimulai menanamkan iman dan memupuk Islam.
Karena dari rumah tangga itulah akan terbentuk umat. Dan dalam umat
itulah akan tegak masyarakat Islam. Masyarakat Islam ialah suatu
masyarakat yang bersamaan pandangan hidup, bersamaan penilaian terhadap
alam.
Oleh sebab itu, maka orang yang beriman tidak boleh pasif, artinya
berdiam diri menungu saja. Dan tanggung jawab yang terletak diatas
pundak tiap-tiap orang menurut apa yang ditanggungjawabinya akan ditanya
tentang kepemimpinannya terhadap ahlinya, yaitu istri dan anak-anaknya.
Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, dan disegani,
hendaklah perangai dan tungkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anak
dan istrinya. Hendaknya dia jadi kebanggaan bagi keluarga.
Ini semua menjadi tanggung jawab kita semua, sebab kita semua adalah
pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban sebagaimana dijelaskan
dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ
رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ
عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ
مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّت) متفق عليه
“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai
pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan
seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas
rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang
dipimpin.”(Muttafaqun alaihi)
Dalam hadits diatas, jelaslah Allah telah menjadikan setiap orang
menjadi pemimpin baik skala bangsa, umat, istri dan anak-anaknya. Setiap
orang akan dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah. Ingatlah
tanggung jawab anak dan istri adalah tanggung jawab besar disisi Allah,
hal ini dengan menjaga mereka dari api neraka dan berusaha menggapai
kesuksesan didunia dengan mendapatkan sakinah, mawaddah dan rahmat dan
di akherat dengan masuk kedalam syurga. Inilah sesungguhnya target besar
yang harus diusahakan untuk diwujudkan.
Tanggung jawab orang tua yang akan ditanyakan dihari kiamat, sebagaimana dijelaskan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ
وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّاحَرَّمَاللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba yang Allah berikan memimpin yang meninggal pada
hari meninggalnya dlm keadaan berbohong kepada rakyatnya kecuali Allah
haramkan surga atasnya.” (HR Muslim)
Oleh karena itu agama Islam memberikan perhatian khusus dan menetapkan
kaedah dan dasar yang kokoh dalam pembentukan keluarga muslim. Islam
memberikan kaedah dan tatanan utuh dan lengkap sejak dimulai dari proses
pemilihan istri hingga memberikan solusi bila rumah tangga tidak dapat
dipertahankan kembali.
Pembinaan keluarga ini semakin mendesak dan darurat sekali bila melihat
keluarga sebagai institusi dan benteng terakhir kaum muslimin yang
sangat diperhatikan para musuh. Mereka berusaha merusak benteng ini
dengan aneka ragam serangan dan dengan sekuat kemampuan mereka. Memang
sampai sekarang masih ada yang tetap kokoh bertahan namun sudah sangat
banyak sekali yang gugur dan hancur berantakan. Demikianlah para musuh
islam tetap dan senantiasa menyerang kita dan keluarga kita. Allah
berfirman,
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ
اسْتَطَاعُوا وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ
كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka
sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia
dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (Qs. Al-baqarah [2]:217)
Hal ini diperparah keadaan kaum muslimin dewasa ini yang telah
memberikan perhatian terlalu besar kepada ilmu-ilmu dunia, namun lupa
atau melupakan ilmu agama yang jelas lebih penting lagi. Ilmu yang
menjadi benteng akhlak dan etika seorang muslim dalam hidup, dan
menggunakan kemampuannya dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh
dengan gelombang ujian dan fitnah ini. Mereka lupa membina dirinya,
keluarganya dan anak-anaknya dengan ajaran syari’at Islam yang telah
membentuk para salaf kita terdahulu menjadi umat terbaik didunia ini.
Memang muncul satu fenomena bahwa urgensi dan tugas orang tua sekarang
hampir-hampir menjadi sempit hanya sekedar mengurusi masalah pangan dan
sandang saja. Ditambah lagi bapak sibuk dan ibupun tidak kalah sibuknya
dalam memenuhi sandang pangan dan mencapai karier tertinggi. Akhirnya
anak-anak terlantar dan tidak jelas arah pembinaan dan pendidikannya.
Penjagaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Keluarganya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah hasanah bagi
orang-orang yang beriman telah memberikan arahan dan peringatan kepada
kerabat beliau dalam rangka menjaga mereka dari api neraka. Tatkala
turun perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat:
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“Berilah peringatan kepada kerabatmu yang terdekat.” (Asy Syu’ara: 214)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi bukit Shafa dan
menaikinya, lalu menyeru manusia untuk berkumpul. Maka orang-orang pun
berkumpul di sekitar beliau. Sampai-sampai yang tidak dapat hadir
mengirim utusannya untuk mendengarkan apa gerangan yang akan disampaikan
oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian memanggil kerabat-kerabatnya, “Wahai Bani
Abdil Muththalib! Wahai Bani Fihr! Wahai Bani Lu’ai! Apa pendapat kalian
andai aku beritakan kepada kalian bahwa ada pasukan berkuda dari balik
bukit ini akan menyerang kalian. Adakah kalian akan membenarkan aku?”
Mereka serempak menjawab, “Iya.” Beliau melanjutkan, “Sungguh aku
memperingatkan kalian sebelum datangnya azab yang pedih.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Aisyah radhiyallahu ‘anha memberitakan bahwa ketika turun ayat di atas,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit seraya berkata, “Wahai
Fathimah putri Muhammad! Wahai Shafiyyah putri Abdul Muththalib! Wahai
Bani Abdil Muththalib! Aku tidak memiliki kuasa sedikit pun di hadapan
Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menolong kalian kelak. (Adapun di
kehidupan dunia ini) maka mintalah harta dariku semau kalian.” (HR.
Muslim)
Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan dari hadits Aisyah
radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa bila
hendak shalat witir, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan
Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ
امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ،
وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ
زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu
mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri
mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air
di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di
waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si
suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia
percikkan air di wajah suaminya.” (Sanad hadits ini shahih kata
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam tahqiqnya terhadap
Al-Musnad)
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, suatu malam Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun dari tidur beliau. Beliau pun
membangunkan istri-istri beliau untuk mengerjakan shalat. Kata beliau:
أَيْقِظُوْا صَوَاحِبَ الْحُجْرِ
“Bangunlah, wahai para pemilik kamar-kamar (istri-istri beliau yang sedang tidur di kamarnya masing-masing)!” (HR. Al-Bukhari)
Tidak luput pula putri dan menantu beliau juga mendapatkan perhatian
beliau. Suatu malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
rumah Ali dan Fathimah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata, “Tidakkah
kalian berdua mengerjakan shalat malam?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari
hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu)
Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahui garis besar singkat
ketentuan pendidikan di masa salaf ash-Sholih agar kita teladani di masa
kita sekarang ini. Juga agar kemulian yang telah lalu dan kejayaan yang
telah hilang kembali lagi kepada kita. Sebab tidak ada jalan untuk
demikian kecuali dengan kembali kepada ajaran agama yang pernah difahami
dan diamalkan para salaf ash-Sholih. Kembali kepada agama kita yang
hanif dan ajaran-ajarannya. Inilah yang dijelaskan Rasululloh ketika
menyampaikan solusi kejayaan umat ini setelah menderita kehinaan dalam
sabda beliau,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ
وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Apabila kamu telah berjual beli dengan ‘Ienah (rekayasa riba), kalian
memegangi ekor-ekor sapi, kalian ridho dengan pertanian dan meninggalkan
jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak
akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu
Daud dan dinilai Syeikh al-Albani sebagai hadits shohih dengan
berkumpulnya jalan-jalan periwayatannya (Shohih Bi Majmu’ Thuruqihi)
dalam silsilah al-Ahadits ash-Shohihah no. 11)
Kembali kepada agama dalam hadits ini dijabarkan dan dijelaskan Rasululloh dalam hadits Abu Laits al-Waaqidi yang berbunyi,
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ قَالُوْا وَ كَيْفَ نَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ
اللهِ ؟ فَرَدَّ يَدَهُ إِلَى الْبِسَاطِ فَأَمْسَكَ بِهِ فَقَالَ :
تَفْعَلُوْنَ هَكَذَا ! وَذَكَرَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا : إِنَّهَا
سَتَكُوْنُ فِتْنَةٌ فَلَمْ يَسْمَعُهُ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَقَالَ
مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ : آلاَ تَسْمَعُوْنَ مَا يَقُوْلُ رَسُوْلُ اللهِ ؟!
فَقَالُوْا: مَا قَالَ ؟ قَالَ : إِنَّهَا سَتَكُوْنُ فِتْنَة . قَالُوْا
فكَيْفَ لنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟فَكَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ : تَرْجِعُوْا
إِلَى أَمْرِكُمُ الأَوَّلِ
“Sesungguhnya akan terjadi fitnah. Para sahabat bertanya: Lalu bagaimana
kami berbuat wahai Rasululloh? Lalu beliau mengembalikan tangannya ke
permadani dan memegangnya lalu berkata: ‘Berbuatlah demikian!’
Pada satu hari Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka, ‘Sungguh akan terjadi fitnah.’
Namun banyak orang yang tidak mendengarnya. Maka Mu’adz bin Jabal
mengatakan, ‘Tidakkah kalian mendengar perkataan Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam?’ Mereka menjawab, ‘Apa sabdanya?’ Maka beliau
berkata, ‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah.’ Mereka bertanya, ‘Bagaimana
dengan kami wahai Rasululloh? Bagaimana kami berbuat?’ Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Kalian kembali kepada urusan
kalian yang pertama.'” (HR Ath-Thobrani dan sanadnya dinilai Shohih oleh
Syeikh ‘Ali Hasan dalam at-Tashfiyah wa at-Tarbiyah)
Alangkah butuhnya kita dizaman ini untuk kembali kepada ajaran
Rasululloh dan pemahaman para sahabat, khususnya dalam pendidikan. Kita
juga butuh untuk menjalankan dan komitmen dengan adab-adabnya dan cara
mereka mengajari anak-anak mereka dan menjadikannya sebagai pedoman dan
metode perilaku kita. Hal ini tidak akan terealisasi kecuali setelah
kita bersandar total kepada metode al-Qur’ani dan metode Nabi n dalam
ilmu, belajar dan mengajar yang telah diamalkan para salaf sholih
tersebut dengan menjadikannya sebagai dasar dan menerapkannya secara
benar dan menyeluruh.
Takhtimah
Seorang suami sebagai kepala rumah tangga selain menjaga dirinya sendiri
dari api neraka, ia juga bertanggung jawab menjaga istri, anak-anaknya,
dan orang-orang yang tinggal di rumahnya. Satu cara penjagaan diri dan
keluarga dari api neraka adalah bertaubat dari dosa-dosa. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللهُ
النَّبِيَّ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا
نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan
taubat nashuha. Mudah-mudahan Rabb kalian menghapuskan
kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya, sedang cahaya
mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka
berdoa, ‘Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.”
(At-Tahrim: 8)
Seorang suami sekaligus ayah ini bertaubat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan sebenar-benarnya, taubat yang murni, kemudian ia
membimbing keluarganya untuk bertaubat. Taubat yang dilakukan disertai
dengan meninggalkan dosa, menyesalinya, berketetapan hati untuk tidak
mengulanginya, dan mengembalikan hak-hak orang lain yang ada pada kita.
Taubat yang seperti ini tentunya menggiring pelakunya untuk beramal
shalih. Buah yang dihasilkannya adalah dihapuskannya kesalahan-kesalahan
yang diperbuat, dimasukkan ke dalam surga, dan diselamatkan dari
kerendahan serta kehinaan yang biasa menimpa para pendosa dan
pendurhaka.
Melakukan amal ketaatan dan menjauhi maksiat harus diwujudkan dalam
rangka menjaga diri dari api neraka. Seorang kepala rumah tangga
menerapkan perkara ini dalam keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya.
Ia punya hak untuk memaksa mereka agar taat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan tidak berbuat maksiat, karena ia adalah pemimpin mereka yang
akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala
kelak dalam urusan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang
apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma)
Ia harus memaksa anaknya mengerjakan shalat bila telah sampai usianya, berdasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنٍ،
وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka
telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya
ketika telah berusia sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka
pada tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud dari hadits Abdullah ibnu ‘Amr
radhiyallahu ‘anhuma, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Abi Dawud, “Hadits ini hasan shahih.”)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)
Seorang ayah bersama seorang ibu harus bekerja sama untuk menunaikan
tanggung jawab terhadap anak, baik di dalam maupun di luar rumah. Anak
harus terus mendapatkan pengawasan di mana saja mereka berada, dijauhkan
dari teman duduk yang jelek dan teman yang rusak. Anak diperintahkan
untuk mengerjakan yang ma’ruf dan dilarang dari mengerjakan yang
mungkar.
Orangtua harus membersihkan rumah mereka dari sarana-sarana yang merusak
berupa video, film, musik, gambar bernyawa, buku-buku yang menyimpang,
surat kabar, dan majalah yang rusak.
Seluruh perkara yang telah disebutkan di atas dilakukan dalam rangka
menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Karena, bagaimana seseorang
dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia meninggalkan shalat
padahal shalat adalah tiang agama dan pembeda antara kafir dengan iman?
Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia
selalu melakukan perkara yang diharamkan dan mengentengkan amalan
ketaatan? Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api
neraka bila ia selalu berjalan di jalan neraka, siang dan malam?
Hendaknya ia tahu bahwa neraka itu dekat dengan seorang hamba,
sebagaimana surga pun dekat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
الْجَنَّةُ أَدْنَى إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ
“Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali
sandalnya dan neraka pun semisal itu.” (HR. Al-Bukhari dari hadits Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Maksud hadits di atas, siapa yang meninggal di atas ketaatan maka ia
akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, siapa yang meninggal dalam
keadaan bermaksiat maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka. (Al-Khuthab
Al-Minbariyyah, 2/167)
Bagaimana seseorang dapat menjaga keluarganya dari api neraka sementara
ia membiarkan mereka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
meninggalkan kewajiban?
Bagaimana seorang ayah dapat menyelamatkan anak-anaknya dari api neraka
bila ia keluar menuju masjid sementara ia membiarkan anak-anaknya masih
pulas di atas pembaringan mereka, tanpa membangunkan mereka agar
mengerjakan shalat? Atau anak-anak itu dibiarkan asyik dengan permainan
mereka, tidak diingatkan untuk shalat?
Anak-anak yang seyogianya merupakan tanggung jawab kedua orangtua
mereka, dibiarkan berkeliaran di mal-mal, main game, membuat kegaduhan
dengan suara mereka hingga mengusik tetangga, kebut-kebutan di jalan
raya dengan motor ataupun mobil. Sementara sang ayah tiada berupaya
meluruskan mereka. Malah ia penuhi segala tuntutan duniawi si anak.
Adapun untuk akhirat mereka, ia tak ambil peduli. Sungguh orangtua yang
seperti ini gambarannya tidaklah merealisasikan perintah Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam surah At-Tahrim di atas.
Maka, marilah kita berbenah diri untuk menjaga diri kita dan keluarga
kita dari api neraka. Bersegeralah sebelum datang akhir hidup kita,
sebelum datang jemputan dari utusan Rabbul Izzah, sementara kita tak
cukup ‘bekal’ untuk bertameng dari api neraka, apatah lagi meninggalkan
‘bekal’ yang memadai untuk keluarga yang ditinggalkan. Allahumma
Sallimna wal muslimin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar