Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa perintah yang utama bagi
manusia adalah mentauhidkan Allah. Dan ibadah barulah dinamakan ibadah
jika disertai dengan tauhid. Tanpa tauhid ibadah tidaklah disebut
ibadah. Hal ini dapat kita misalkan dengan shalat tidaklah disebut
shalat sampai seseorang itu berthoharoh atau bersuci. Hal ini sudah
menunjukkan dengan sendirinya urgensi tauhid.
Dalil-dalil yang menunjukkan urgensi mempelajari tauhid di antaranya,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah
dia beramal shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya
dalam beribadah kepada-Nya.” (QS. Al Kahfi: 110).
Ayat ini sudah menunjukkan syarat diterimanya ibadah yaitu tauhid dan
ittiba’. Tauhid maksudnya mengikhlaskan ibadah untuk Allah semata,
sedangkan ittiba’maksudnya adalah mengikuti petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam beramal.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya”, maksudnya
selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.
Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan
mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, 9: 205). Ini berarti jika akidah seseorang tidak
beres, maka amalannya tidak diterima. Ini dalil pertama yang menunjukkan
seseorang harus memiliki akidah yang benar.
Begitu pula dalil lainnya menunjukkan bahwa amalan yang tercampur dengan
syirik akan merusak amalan. Bahkan jika yang dilakukan adalah syirik
akbar (besar), seluruh amalan terhapus. Sedangkan jika yang dilakukan
adalah syirik ashgor, maka amalan yang tercampur dengan kesyirikan saja
yang terhapus. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu:
Sungguh, apabila kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu
dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.”
(QS. Az Zumar: 65)
Bahkan dakwah para rasul adalah untuk meluruskan akidah umat yaitu
dengan beribadah pada Allah saja dan meninggalkan kesyirikan. Allah
Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang
menyerukan ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thoghut (sesembahan selain
Allah)’” (QS. An Nahl: 36)
Begitu pula urgensi bertauhid ditunjukkan pula dalam ayat berikut,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya
berkata, “Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa syirik yaitu ketika
seorang hamba bertemu Allah dalam keadaan berbuat syirik.” (Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, terbitan Dar Ibnul Jauzi, 3: 129).
Sedangkan jika seseorang mati dalam keadaan bertauhid walau ia penuh
dosa sepenuh bumi, maka Allah akan memaafkannya. Syaratnya adalah ia
bebas dari syirik. Dalam hadits qudsi dari Anas bin Malik, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا
ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا
مَغْفِرَةً
“Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi
kemudian engkau tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu apa pun,
maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR.
Tirmidzi no. 3540. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib.
Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh Abu Thohir)
Imam Bukhori dan Imam Muslim meriwayatkan hadist dari Ibn Abbas yang
menceritakan, “Ketika Nabi mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan
kepadanya
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى
Sesungguhnya engkau mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi
dakwah pertama-tama yang engkau sampaikan adalah agar mereka
mentauhidkan Allah {HR Bukhori-Muslim}
Dalam riwayat lain:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ أَبِي حَصِينٍ وَالْأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ سَمِعَا
الْأَسْوَدَ بْنَ هِلَالٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ
اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ
يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ
عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan
kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Abu
Hushain dan Al Asy'ats bin Sulaim keduanya mendengar Al Aswad bin Hilal
dari Mu'adz bin Jabal berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: Wahai Mu'adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba? Allah dan
rasul-Nya yang lebih tahu, Jawab Mu'adz. Nabi bersabda lagi: Yaitu agar
mereka beribadah kepada-Nya dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun. Tahukah engkau apa hak mereka atas Allah? tanya Nabi
selanjutnya.Allah dan Rasul-Nya yang lebih lebih tahu. Jawab Mu'adz.
Nabi bersabda: Yaitu agar Dia tidak menyiksa mereka {HR Bukhori-Muslim}
Kandungan riwayat tersebut maknanya sama, bahwa tauhid kepada Allah ﷻ
adalah mengesakan Allah dalam ibadah dan menjauhi peribadahan kepada
selainNya, dan inilah makna syahadat.
Imam Bukhori menempatkan Hadist diatas dalam permulaan kitab at tauhid
dalam shahihnya dengan memberi judul “bab dakwah Nabi kepada umatnya
untuk bertauhid kepada Allah”. Tujuannya untuk menjelaskan bahwa inti
dakwah Nabi Muhammad adalah untuk mengesakan Allah ﷻ dalam ibadah.
Semoga Allah menjauhkan kita dari noda kesyirikan dan menjadikan kita
hamba yang bertauhid yang mengesakan Allah dalam beribadah.
Firman Allah :
الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“Orang orang yang beriman dan tidak menodai keimanan mereka dengan
kedzoliman ( kemusyrikan ) , mereka itulah orang- orang yang mendapat
ketentraman dan mereka itulah orang orang yang mendapat jalan hidayah”, (
QS. Al An’am, 82).
Ubadah bin Shomit menuturkan : Rasulullah bersabda :
” من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن
عيسى عبد الله ورسوله، وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه والجنة حق والنار
حق أدخله الله الجنة على ما كان من العمل ” أخرجاه
“Barang siapa yang bersyahadat bahwa tidak ada sesembahan yang hak (
benar ) selain Allah saja, tiada sekutu bagiNya, dan Muhammad adalah
hamba dan RasulNya, dan bahwa Isa adalah hamba dan RasulNya, dan
kalimatNya yang disampaikan kepada Maryam, serta Ruh dari padaNya, dan
sorga itu benar adanya, neraka juga benar adanya, maka Allah pasti
memasukkanya kedalam sorga, betapapun amal yang telah diperbuatnya”. (
HR. Bukhori & Muslim )
Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan pula hadits dari Itban bahwa Rasulullah bersabda :
” فإن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله “
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang orang yang
mengucapkan لا إله إلا الله dengan ikhlas dan hanya mengharapkan (
pahala melihat ) wajah Allah”.
Diriwayatkan dari Abu Said Al Khudri bahwa Rasulullah bersabda :
” قال موسى يا رب، علمني شيئا أذكرك وأدعوك به، قال : قل يا موسى : لا إله
إلا الله، قال : يا رب كل عبادك يقولون هذا، قال موسى : لو أن السموات
السبع وعامرهن – غيري – والأرضين السبع في كفة، ولا إله إلا الله في كفـة،
مالت بهـن لا إله إلا الله ” ( رواه ابن حبان والحاكم وصححه ).
“Musa berkata : “Ya Rabb, ajarkanlah kepadaku sesuatu untuk mengingatMu
dan berdoa kepadaMu”, Allah berfirman :” ucapkan hai Musa لا إله إلا
الله ”, Musa berkata : “ya Rabb, semua hambaMu mengucapkan itu”, Allah
menjawab :” Hai Musa, seandainya ketujuh langit serta seluruh
penghuninya – selain Aku – dan ketujuh bumi diletakkan dalam satu
timbangan dan kalimat لا إله إلا الله diletakkan dalam timbangan yang
lain, niscaya kalimat لا إله إلا الله lebih berat timbangannya.” ( HR.
Ibnu Hibban, dan imam Hakim sekaligus menshohehkannya ).
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits ( yang menurut penilaianya hadits itu
hasan ) dari Anas bin Malik ia berkata aku mendengar Rasulullah
bersabda :
” قال الله تعالى : يا ابن آدم، لو أتيتني بقراب الأرض خطايا، ثم لقيتني لا تشرك بي شيئا، لأتيتك بقرابها مغفرة “
“Allah berfirman : “Hai anak Adam, jika engkau datang kepadaKu dengan
membawa dosa sejagat raya, dan engkau ketika mati dalam keadaan tidak
menyekutukanKu dengan sesuatupun, pasti Aku akan datang kepadamu dengan
membawa ampunan sejagat raya pula”.
Orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki banyak keutamaan, antara lain:
1. Orang yang bertauhid kepada Allah akan dihapus dosa-dosanya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'aliahi wa sallam dalam
sebuah hadits qudsi, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah
Yang Mahasuci dan Mahatinggi berfirman:
...يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا
ثُمَّ لَقِيْتَنِي لاَ تُشْرِكُ بِي شَيْئاً لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا
مَغْفِرَةً.
‘...Wahai bani Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa
sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika mati tidak menyekutukan Aku
sedikit pun juga, pasti Aku akan berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi
pula.’”
2. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan mendapatkan
petunjuk yang sempurna, dan kelak di akhirat akan mendapatkan rasa aman.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
ذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan
kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman
dan mereka mendapat petunjuk. ” [Al-An’aam: 82]
Di antara permohonan kita yang paling banyak adalah memohon agar ditunjuki jalan yang lurus:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka.” [Al-Faatihah: 6-7]
Yaitu jalannya para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang yang shalih.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ
اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya), maka mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
(yaitu) para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baik-nya.”
[An-Nisaa': 69]
Kita juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar terhindar dari
jalan orang-orang yang dimurkai Allah dan jalan orang-orang yang sesat,
yaitu jalannya kaum Yahudi dan Nasrani.
3. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan dihilangkan kesulitan dan kesedihannya di dunia dan akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًاوَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan
baginya jalan keluar. Dan memberi-nya rizki dari arah yang tidak
disangka-sangka...” [Ath-Thalaq: 2-3]
Seseorang tidak dikatakan bertakwa kepada Allah kalau dia tidak
bertauhid. Orang yang bertauhid dan bertakwa akan diberikan jalan keluar
dari berbagai masalah hidupnya.
4. Orang yang mentauhidkan Allah, maka Allah akan menjadikan dalam
hatinya rasa cinta kepada iman dan Allah akan menghiasi hatinya
dengannya serta Dia menjadikan di dalam hatinya rasa benci kepada
kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ ۚ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ
مِّنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ
الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ
وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“...Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan
(iman itu) indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada
kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang lurus.” [Al-Hujurat: 7]
5. Tauhid merupakan satu-satunya sebab untuk mendapatkan ridha Allah,
dan orang yang paling bahagia dengan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah orang yang mengatakan لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
dengan penuh keikhlasan dari dalam hatinya.
6. Orang yang bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dijamin masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang mati dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang
berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, maka ia masuk Surga.”
مَنْ مَاتَ لاَيُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, ia masuk Surga.”
7. Orang yang bertauhid akan diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kemenangan, pertolongan, kejayaan dan kemuliaan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” [Muhammad: 7]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن
قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ
وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar
akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan
menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tidak
mempersekutukan Aku dengan sesuatu apapun. Tetapi barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik.” [An-Nuur: 55]
8. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan diberi kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An-Nahl:
97]
9.Tauhid akan mencegah seorang muslim kekal di Neraka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، ثُمَّ
يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَخْرِجُوْا مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ
حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، فَيُخْرَجُوْنَ مِنْهَا قَد
ِاسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهْرِ الْحَيَاءِ -أَوِ الْحَيَاةِ، شَكَّ
مَالِكٌ- فَيَنْبُتُوْنَ كَمَا تَنْبُتُ الْحَبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ،
أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً؟
“Setelah penghuni Surga masuk ke Surga, dan penghuni Neraka masuk ke
Neraka, maka setelah itu Allah Azza wa Jalla pun berfirman, ‘Keluarkan
(dari Neraka) orang-orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji
sawi iman!’ Maka mereka pun dikeluarkan dari Neraka, hanya saja tubuh
mereka sudah hitam legam (bagaikan arang). Lalu mereka dimasukkan ke
sungai kehidupan, maka tubuh mereka tumbuh (berubah) sebagaimana
tumbuhnya benih yang berada di pinggiran sungai. Tidakkah engkau
perhatikan bahwa benih itu tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat?”
10. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas, maka amal yang sedikit itu akan menjadi banyak.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” [Al-Mulk: 2]
Dalam ayat yang mulia tersebut, Allah Azza wa Jalla menyebutkan dengan
“amal yang baik”, tidak dengan “amal yang banyak”. Amal dikatakan baik
atau shalih bila memenuhi 2 syarat, yaitu: (1) Ikhlas, dan (2) Ittiba’
(mengikuti contoh) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ pada hari Kiamat lebih berat dibandingkan langit dan bumi dengan
sebab ikhlas.
11. Mendapat rasa aman. Orang yang tidak bertauhid, selalu was-was,
dalam ketakutan, tidak tenang. Mereka takut kepada hari sial, atau punya
anak lebih dari dua, takut tentang masa depan, takut hartanya lenyap
dan seterusnya.
12. Tauhid merupakan penentu diterima atau ditolaknya amal kita.
Sempurna dan tidaknya amal seseorang bergantung pada tauhidnya. Orang
yang beramal tapi tidak sempurna tauhidnya, misalnya riya, tidak ikhlas,
niscaya amalnya akan menjadi bumerang baginya, bukan mendatangkan
kebahagiaan baik itu berupa shalat, zakat, shadaqah, puasa, haji dan
lainnya. Syirik (besar) akan menghapus seluruh amal.
13. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan diringankan
dari perbuatan yang tidak ia sukai dan dari penyakit yang dideritanya.
Oleh karena itu, jika seorang hamba menyempurnakan tauhid dan
keimanannya, niscaya kesusahan dan kesulitan dihadapinya dengan lapang
dada, sabar, jiwa tenang, pasrah dan ridha kepada takdir-Nya.
Para ulama banyak menjelaskan bahwasanya orang sakit dan mendapati musibah itu harus meyakini bahwa:
a. Penyakit yang diderita itu adalah suatu ketetapan dari Allah Azza wa Jalla. Dan penyakit adalah sebagai cobaan dari Allah.
b. Hal itu disebabkan oleh perbuatan dosa dan maksiyat yang ia kerjakan.
c. Hendaklah ia meminta ampun dan kesembuhan kepada Allah Azza wa Jalla,
serta meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla sajalah yang dapat
menyembuhkannya.
14. Tauhid akan memerdekakan seorang hamba dari penghambaan kepada
makhluk-Nya, agar menghamba hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja yang
menciptakan semua makhluk.
Artinya yaitu orang-orang yang bertauhid dalam ke-hidupannya hanya
menghamba, memohon pertolongan, meminta ampunan dan berbagai macam
ibadah lainnya, hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata.
15. Orang yang bertauhid kepada Allah Azza wa Jalla akan dimudahkan
untuk melaksanakan amal-amal kebajikan dan meninggalkan kemungkaran,
serta dapat menghibur seseorang dari musibah yang dialaminya.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan
kepada umatnya agar berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla untuk memohon
segala kebaikan dan dijauhkan dari berbagai macam kejelekan serta
dijadikan setiap ketentuan (qadha) itu baik untuk kita. Do’a yang dibaca
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut adalah:
اَللَّهُمَّ ...وَأَسْأَلُكَ أَنْ تَجْعَلَ كُلَّ قَضَاءٍ قَضَيْتَهُ لِي خَيْرًا.
“Ya Allah..., dan aku minta kepada-Mu agar Engkau menjadikan setiap
ketetapan (qadha) yang telah Engkau tetapkan bagiku merupakan suatu
kebaikan.”
Salah satu rukun iman adalah iman kepada qadha’ dan qadar, yang baik dan
yang buruk. Dengan mengimani hal ini niscaya setiap apa yang terjadi
pada diri kita akan ringan dan mendapat ganjaran dari Allah apabila kita
sabar dan ridha.
16. Orang yang mewujudkan tauhid dengan ikhlas dan benar akan dilapangkan dadanya.
17. Orang yang mewujudkan tauhid dengan ikhlas, jujur dan tawakkal
kepada Allah dengan sempurna, maka akan masuk Surga tanpa hisab dan
adzab.
Abu Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah adalah daruri, jika
ditinjau dari sudut akal, dan nadaridari sudut hiss pancaindera.
Ilmu adakala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang dapat
dipikirkan (ma'qulat), adakala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam
soal-soal yang dirasakan. Seseorang manusia bisa memikir, bahwa
mengetahui ada-Nya Allah adalah suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan
jalan istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan
masalah dengan pertolongan akal. Dia dapat pula memikiri, bahwa
mengetahui ada-Nya Allah, daruri; karena akal yang sejahtera
menggerakkan manusia kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal
mengingkari-Nya.
Al-Farabi dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis: "Anda dapat
memperhatikan alam makhluk, kalau anda lihat tanda-tanda pembuatan.
Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad (alam yang terlepas dari
kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh tidak ada-Nya Zat. Dan
dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang ada pada
Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah, berarti anda naik dan kalau
anda memperhatikan alam mahad, berarti anda turun".
Aliran Kitab Tauhid
Untuk menjelaskan dalil-dalil yang diperlukan dalam menetapkan
dasar-dasar aqidah, para ulama tauhid (ulama kalam), dari abad ke abad
terus-menerus menyusun berbagai rupa kitab tauhid dan kitab kalam.
Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga aliran:
(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh Washil ibn 'Atha'.
(3) Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari. jejaknya
berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani, al-Juani,
al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain seperti ath-
Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.
Di samping itu ada pula aliran Maturidi, yang dipelopori oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun
belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar
yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada
dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat
dipertahankan.
Pengertian Ilmu Tauhid
Ada beberapa ta'rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah
ini disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang
dimaksud.
Pertama: Ilmu tauhid, ialah "ilmu yang membahas dan melengkapkan segala
hujjah, terhadap keimanan, berdasarkan dalil-dalil akal serta menolak
dan menangkis segala paham ahli bid'ah yang keliru, yang menyimpang dari
jalan yang lurus".
Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di dalamnya dibahas:
[1] Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan
bagi-Nya, sifat-sifat yang harus (mumkin)bagi-Nya dan sifat-sifat yang
wajib ditolak daripada-Nya.
[2] Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan
kerasulannya; tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang
mumkin dan tentang sifat-sifat yang mustahil baginya.
Ta'rif pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai
ketuhanan, kerasulan, maupun mengenai soal-soal gaib yang lain, seperti
soal malaikat dan akhirat. Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal
ketuhanan), nubuwwat (kenabian, kitab, malaikat) dan Sam'iyat (soal-soal
keakhiratan, alam gaib). Ta'rif yang kedua mengkhususkan ilmu tauhid
dengan soal yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja.
Dengan berpegang pada ta'rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid
membahas soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal
akhirat, dan lain-lain yang berhubungan dengan soal beriman di bagian
akhir dari kitab-kitab mereka.
Ulama yang berpegang pada ta'rif yang kedua, hanya membahas soal-soal
yang mengenai ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad
Abduh yang sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan adalah salah
satu dari kitab yang berpegang pada takrif kedua.
Keutamaan Abu Musa al-Asy’ari dan para pengikutnya.
Dalam sebuah ayat yang mana pada saat ayat ini turun, Rasulullah
memberikan isyaratnya kepada seorang sahabat yaitu Imam Abu Musa
al-Asy’ari (Kakek dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari) seraya menunjuk
kepadanya.
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ
فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي
سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ
يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“ Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad
dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, yang tidak takut
terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui ” (QS. al-Maidah : 54)
Rasulullah SAW yang bertugas sebagai mubayyin (penjelas) al-Qur’an telah
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan ”kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya..“, dalam ayat di atas
adalah kaum Abu Musa al-Asy’ari berdasarkan hadits shahih berikut :
عن عياض الاشعري قال : لما نزلت : {فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه} قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هم قومك يا أبا موسى) وأومأ رسول الله صلى
الله عليه وسلم : هم قوم هذا , و أشار إلي أبي موسى الأشعري.
Dari Iyadh al-Asy’ari Radiyallahuanhu dia berkata “Ketika ayat, “Allah
SWT akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka
pun mencintai-Nya“, maka Rasulullah SAW bersabda : ” Mereka adalah
kaummu wahai Abu Musa “. Dan Nabi mengisyaratkan “ Mereka adalah kaum
ini “ dan Nabi mengisyaratkan kepada Abu Musa al-Asy’ari ”
Al-Qusyairi berkata :
فأتباع أبى الحسن الأشعرى من قومه لأن كل موضع أضيف فيه قوم إلى نبي أريد به الأتباع
“ Maka pengikut Abul Hasan al-Asy’ari termasuk kaumnya, karena setiap
tempat yang dinisbatkan suatu kaum di dalamnya kepada seorang Nabi
(dalam al-Quran), maka yang dimaksud adalah para pengikutnya “[Tafsir
al-Qurthubi : 6/220]
Al-Baihaqi mengatakan :
وذلك لما وجد فيه من الفضيلة الجليلة والمرتبة الشريفة للإمام أبى الحسن
الأشعرى رضى الله عنه فهو من قوم أبى موسى وأولاده الذين أوتوا العلم
ورزقوا الفهم مخصوصاً من بينهم بتقوية السنة وقمع البدعة بإظهار الحجة ورد
الشبهة
“ Demikian itu karena ditemukan keutamaan yang jelas dan kedudukan yang
mulia kepada imam Abul Hasan al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Ia termasuk
kaum dari Abu Musa dan keturunannya yang diberikan ilmu dan dianugerahi
kepahaman khusus dibandingkan mereka dengan menjaga sunnah dan memerangi
bid’ah dengan menampakkan hujjah dan membantah syubhat “[Tabyin Kidzb
al-Muftari]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الايمان يمان والحكمة يمانية أتاكم اهل اليمن هم ارق أفئدة والين قلوبا
“ Keimanan yang sebenarnya ialah iman penduduk Yaman dan hikmah
sebenarnya ialah hikmah penduduk Yaman. Datang kepada kalian penduduk
Yaman, mereka adalah orang-orang yang lembut dan terlebih halus hatinya
“(HR. Bukhari & Muslim)
Dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ان الاشعريين اذا ارملوا في الغزو او قل طعام عيالهم بالمدينة جمعوا ماكان
عندهم في ثوب واحد ثم اقتسموه بينهم في اناء واحد بالسوية فهم مني وانا
منهم
“ Sesungguhnya kaum al-As’ari apabila menjadi janda dari sebab
peperangan atau kurang makanan keluarga mereka dalam Madinah, maka
mereka kumpulkan apa yang ada di sisi mereka dalam sebuah kain. Kemudian
dibahagikan kepada kalangan mereka dalam satu bejana dengan sama rata,
maka mereka dari aku dan aku dari kalangan mereka “ (HR. Bukhari &
Muslim)
Kesaksian Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah mencintai Abu Musa
al-Asy’ari dan para pengikutnya, menjelaskan kepada kita bahwa pengikut
madzhab al-Asy’ari adalah kaum yang dicintai Allah dan mereka
mencintai-Nya. Karena Abul Hasan al-Asy’ari dan pengikut madzhabnya
termasuk kaum atau pengikut Abu Musa al-Asy’ari yang juga merupakan
datuk dari Abul Hasan al-Asy’ari.
Sanad Akidah dan Hadits Abul Hasan al-Asy’ari.
Di antara ulama besar yang menjadi guru imam Abul Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah dan hadits adalah :
1. al-Imam al-Hafidz Zakariya bin Yahya as-Saji (220-307 H)
2. al-Imam Abu Khalifah al-Jumahi (206-305 H)
3. Abdurrahman bin Kholaf ah-Dhabbi (w 279 H)
4. Sahal bin Nuh al-Bashri
5. Muhammad bin Ya’qub al-Maqburi.
Al-Hafidz adz-Dzahabi mengatakan :
أَخَذَ عَنْهُ أَبُو الحَسَنِ الأَشْعَرِيّ مَقَالَة السَّلَف فِي الصِّفَات، وَاعتمد عَلَيْهَا أَبُو الحَسَنِ فِي عِدَّة تآلِيف
“ Abul Hasan al-Asy’ari mengambil pembahasan salaf tentang sifat dari
as-Saji, dan Abul Hasan bersandar atasnya di beberapa karya tulisnya “
[Siyar A’lam an-Nubala : 14/198]
Imam as-Subuki mengatakan :
قد رَأَيْت رِوَايَة الشَّيْخ هُنَا عَن زَكَرِيَّا الساجى وروى أَيْضا عَن
أَبى خَليفَة الجمحى وَسَهل بن نوح وَمُحَمّد بن يَعْقُوب المقبرى وَعبد
الرَّحْمَن بن خلف الضبى الْبَصرِيين وَأكْثر عَنْهُم فى تَفْسِيره
“ Aku telah melihat riwayat syaikh Abul Hasan al-Asy’ari di sini dari
Zakariyya as-Saji. Beliau juga meriwayatkan dari Abu Khalifah al-Jumahi,
Sahal bin Nuh, Muhammad bin Ya’qub al-Maqburi dan Abdurrahman bin
Kholaf ad-Dabbi al-Bashri. Dan banyak mengambil tafisrnya dari mereka
“[Thabaqat asy-Syafi’iyyah, as-Subuki : 3/356]
Al-Imam Ibnu Qadhi Syuhbah mengatakan :
زَكَرِيَّا بن يحيى بن عبد الرَّحْمَن بن بَحر بن عدي بن عبد الرَّحْمَن
أَبُو يحيى السَّاجِي الْبَصْرِيّ الْحَافِظ أحد الْأَئِمَّة الثِّقَات
أَخذ عَن الْمُزنِيّ وَالربيع أَخذ عَنهُ الشَّيْخ أَبُو الْحسن
الْأَشْعَرِيّ مَذْهَب أهل السّنة
“ Zakariyya bin Yahya bin Abdurrahman bin Bahr bin Adi bin Abdurrahman
Abu Yahya as-Saji al-Bashri, seorang Hafidz dan salah satu dari para
imam yang tsiqat. Mengambil ilmu dari al-Muzanni dan ar-Rabi’. Dan Abul
Hasan al-Asy’ari mengambil ilmu dari ar-Rabi’ sebagai madzhab Ahlus
sunnah “[Thabaqat asy-Syafi’iyyah, Ibnu Qadhi Syuhbah : 1/95]
Sanad Fiqih beliau mengambil dari imam Abi Ishaq al-Marwazi asy-Syafi’i (
w 340 H) yang mengambil dari imam Abul Abbas bin Suraij (249-306 H)
yang mengambil dari imam asy-Syafi’i.
Sanad keilmuan beliau juga mengambil dari para ulama shufi :
1. imam Junaid al-Baghdadi
2. Abu Utsman al-Hairi
3. An-Namuri
4. Ibnu Masruq
5. Abul Fawaris Syah al-Karamani
Dan selain mereka.
Semua guru imam Abul Hasan al-Asy’ari di atas, sanadnya bersambung
hingga ke Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam. Jika saya tulis semua
biografi masing-masing gurunya, maka akan sangat panjang dijabarkan di
sini. Saya akan mengambil satu contoh saja, yaitu dari al-imam al-Hafidz
Zakariya as-Saji (220-307 H). Beliau imam as-Saji berguru kepada
al-Imam ar-Rabi’(w 270 H). Beliau ar-Rabi’ berguru kepada al-Imam
al-‘Alim Abu Ibrahim Ismail al-Muzanni(w 264 H). Beliau al-Muzanni
mengambil ilmu dari al-Imam al-Kabir asy-Syafi’i (W 204 H).Beliau
al-Imam asy-Syafi’i mengambil ilmu dari al-Imam Malik (w 179 H). Beliau
imam Malik mengambil ilmu dari Nafi’. Beliau Nafi’ mengambil ilmu dari
Abdullah Ibnu Umar.Beliau Ibnu Umar mengambil ilmu dari Rabi’ah.Beliau
Rabi’ah mengambil ilmu dari Anas bin Malik. Beliau Anas bin Malik
mengambil ilmu dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam asy-Sayfi’i sendiri pun mengambil ilmu dari banyak ulama dan
Tabi’in selain imam Malik, di antaranya mengambil ilmu dari Muslim bin
Khalid. Beliau Muslim mengambil dari Ibnu Juraij. Beliau Ibnu Juraij
mengambil dari ‘Atha. Beliau Atha mengambil dari Abdullah bin Abbas.
Imam asy-Suafi’i juga mengambil ilmu dari Sufyan bin ‘Uyainah. Beliau
Sufyan mengambil ilmu dari ‘Amr bin Dinar. Beliau ‘Amr mengambil ilmu
dari Abdullah bin Umar. Beliau mengambil dari Abdullah bin Abbas.
Mengenai al-Imam al-Muzanni, dikatakan oleh al-Imam as-Subuki :
هو اسماعيل بن يحيي بن اسماعيل المزني ؛ ابو ابراهيم من أهل مصر و اصله
من مزينة . صاحب الامام الشافعي . كان زاهدا عالما مجتهدا قوي الحجة غواصا
علي المعاني الدقيقة . وهو امام الشافعية . قال فيه الشافعي ( المزني ناصر
مذهبي
“ Beliau adalah Ismail bin Yahya al-Muzanni; Abu Ibrahim dari penduduk
Mesir, aslinya dari Muzayyanah, sahabat imam Syafi’i. seorang yang
zuhud, alim, mujtahid, kuat hujjah, cerdas dari makna-makna yang lembut.
Beliau adalah imam para ulama Syafi’iyyah. Imam asy-Syafi’i mengatakan
tentangnya, “ Ia adalah pembela madzhabku “.[Thabaqat asy-Syafi’iyyah,
as-Subuki : 1/239 juga dalam kitab Mu’jam al-Muallifin : 1/300]
Al-Hafidz Adz-Dzahabi mengatakan :
وَمِنْ جِلَّةِ تَلاَمِذَتِهِ: العَلاَّمَةُ أَبُو القَاسِمِ عُثْمَانُ بنُ
بَشَّارٍ الأَنْمَاطيُّ شَيْخُ ابْنِ سُرَيْجٍ، وَشَيْخُ البَصْرَةِ
زَكَرِيَّا بنُ يَحْيَى السَّاجِيُّ، وَلَمْ يلِ قَضَاءً وَكَانَ قَانعاً
شَرِيْفَ النَّفْسِ
“ Di antara murid besarnya adalah ; al-‘Allamah Abul Qasim Utsman bin
Basysyar al-Anmathi guru Ibnu Suraij dan syaikh Bashrah yaitu Zakariya
bin Yahya as-Saji. Beliau tidak pernah menjabat qadhi, seorang yang
qana’ah dan mulia jiwanya “[Siyar A’lam an-Nubala : 10/135]
Abul Hasan al-Asy’ari dan al-Asy’ariyyah.
Syaikh Syamsuddin bin Khalkan mengatakan :
صاحب الأصول، والقائم بنصرة مذهب أهل السنة، وإليه تنسب الطائفة الأشعرية، وشهرته تغني عن الإطالة في تعريفه
“ Abul Hasan adalah pakar di bidang ushul, penegak madzhab Ahlus sunnah,
dan kepadanya lah kelompok al-Asy’ariyyah dinisbatkan. Tersohornya
beliau sudah cukup untuk panjang lebar mengenalkannya “[Wafiyyat
al-A’yan : 3/284]
Al-Qurasyi al-Hanafi mengatakan :
صاحب الأصول الإمام الكبير وإليه تنسب الطائفة الأشعرية
““ Abul Hasan adalah pakar di bidang ushul, seorang imam yang besar dan
kepadanya lah dinisbatkan kelompok al-Asy’ariyyah “[Al-Jawahir
al-Murdhiyyah fi Thabaqatil Hanafiyyah : 21/544]
Abu Bakar bin Qadhi syuhbah mengatakan :
الشيخ أبو الحسن الأشعريّ البصريّ إمام المتكلمينَ وناصر سنّة سيد المرسلين، والذاب عن الدين
“ Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari al-Bashri adalah seorang imam para ahli
kalam, penolong sunnah Nabi, dan penegak agama Islam “[Thabaqat
asy-Syafi’iyyah : 1/113]
Imam Muhammad as-Safaraini mengatakan :
أهل السنة والجماعة ثلاث فرق :الأثرية وإمامهم أحمد بن حنبل رضي الله عنه
والأشعرية وإمامهم أبو الحسن الأشعري والماتردية وإمامهم أبو منصور
الماتريدي
“ Ahlus sunnah wal Jama’ah ada tiga kelompok : Pertama kelompok
al-Atsariyyah, pemimpin mereka adalah imam Ahmad bin Hanbal radhiallahu
‘anhu. Kedua kelompok al-Asy’ariyyah, pemimpin mereka adalah imam Abul
Hasan al-Asy’ari. Ketiga kelompok al-Maturudiyyah, pemimpin mereka
adalah imam Abu Manshur al-Maturudi “[Lawami’ al-Anwar : 1/73]
Mayoritas ulama Islam adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah.
al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata:
ثُمَّ بَعْدَهُمْ شَيْخُ النَّظَرِ وَإِمَامُ اْلآَفَاقِ فِي الْجَدَلِ
وَالتَّحْقِيْقِ أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ
اْلأَشْعَرِيُّ الَّذِيْ صَارَ شَجاً فِيْ حُلُوْقِ الْقَدَرِيَّةِ ….
وَقَدْ مَلأَ الدُّنْيَا كُتُبُهُ، وَمَا رُزِقَ أَحَدٌ مِنَ
الْمُتَكَلِّمِيْنَ مِنَ التَّبَعِ مَا قَدْ رُزِقَ، لِأَنَّ جَمِيْعَ
أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَكُلَّ مَنْ لَمْ يَتَمَعْزَلْ مِنْ أَهْلِ الرَّأْيِ
عَلىَ مَذْهَبِهِ.
“Pada generasi berikutnya adalah Guru Besar pemikiran dan pemimpin
berbagai daerah dalam hal perdebatan dan penelitian, Abu al-Hasan Ali
bin Ismail al-Asy’ari yang telah menjadi kesedihan dalam kerongkongan
kaum Qadariyah … Buku-bukunya telah memenuhi dunia. Tak seorang pun dari
ahli kalam yang memiliki pengikut sebanyak beliau, karena semua ahli
hadits dan semua ahl al-ra’yi yang tidak mengikuti Mu’tazilah adalah
pengikut madzhabnya”. (Al-Baghdadi, Ushul al-Din, hal. 309-310).
al-Imam Tajuddin al-Subki juga berkata:
وَهُوَ يَعْنِيْ مَذْهَبَ اْلأَشَاعِرَةِ مَذْهَبُ الْمُحَدِّثِيْنَ قَدِيْمًا وَحَدِيْثًا.
“Madzhab Asya’irah adalah madzhab para ahli hadits dulu dan sekarang”.
(Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, juz 4, hal. 32.)
Imam Abdul Baqi al-Ba’li al-Hanbali mengatakan :
وللكلام على المقصد الثاني تقدمة،وهي أن طوائف أهل السنة ثلاثة:أشاعرة وحنابلة وماتريدية
“ Untuk pembicaraan tujuan kedua telah ada pendahuluannya yaitu
sesungguhnya kelompok Ahlus sunnah itu ada tiga : Asya’irah, Hanabilah
dan Maturudiyyah “[Al-‘Ain wa al-Atsar : 59]
Muhammad bin Ibrahim Ibnul Wazir al-Yamani mengatakan :
اتفق أهل السنة : من أهل الأثر والنظر والأشعرية على أن الإرادة لا يصح أن
تضاد العلم ولا يريد الله تعالى وجود ما قد علم أنه لا يوجد
“ Ahlus sunnah : dari kalangan Ahlul Atsar, Nadzar dan al-Asy’ariyyah
sepakat bahwasanya iradah itu tidak sah berlawanan dengan ilmu Allah dan
Allah Ta’ala tidak berkhendak mewujudkan sesuatu yang Dia telah ketahui
bahwasanya sesuatu itu tidak akan diwujudkan “[Itsar al-Haq : 250]
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani mengatakan :
البخاري في جميع ما يورده من تفسير الغريب إنما ينقله عن أهل ذلك الفن كأبي
عبيدة والنضر بن شميل والفراء وغيرهم , وأما المباحث الفقهية فغالبها
مستمدة له من الشافعي وأبي عبيـد وأمثالهـما , وأما المسائـل الكلامية
فأكثرها من الكرابيـسي وابن كُـلاَّب ونحـوهما
“ imam Bukhari di semua apa yang ia bawakan dari tafsir yang gharib,
sesungguhnya ia menukilnya dari para ulama yang pakar di bidangnya
tersebut seperti Abu Ubaidah, an-Nadhar bin Syamil, al-Farra dan selain
mereka. Adapun pembahasan fiqih, maka kebanyakannya beliau bersandar
kepada imam Syafi’i, Abu Ubaid dan semisalnya. Adapun masalah kalam /
tauhid, maka kebanyakannya beliau mengambilnya dari al-Karabisi dan Ibnu
Kullan dan selainnya “[Fath al-Bari : 1/293]
Dari penejelasan para ulama besar di atas, menajdi jelas bagi kita
bahwasanya kelompok al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah kelompok
terbesar dan mayoritas di seluruh belahan dunia ini sejak masa Abul
Hasan al-Asy’ari yang mengikuti akidah ulama salaf sebelumnya hingga
masa sekarang ini.
Para sahabat dan tabi’in adalah para pewaris dan penjaga ilmu agama
terdahulu (mutaqaddimin), sedangkan al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah
adalah para pewaris dan penjaga ilmu agama belakangan (mutaakhkhirin).
Maka siapa saja yang menghina kelompok al-Asy’ariyyah dan
al-Maturudiyyah, sama seja menghina para sahabat dan tabi’in. karena
mereka lah kelompok Ahlus sunnah wal Jama’ah.
Jika anda mau merenungi dan melihat kelompok al-Asy’ariyyah dan
al-Maturudiyyah, maka anda akan mengetahui bahwa mereka adalah para
pembawa warisan ilmu Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah para
perowi hadits imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai,
Ibnu Majah, Malik, Ahmad bin Hanbal, ath-Thabrani, ad-Daruquthni, Sa’id
bin Manhsur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, ath-Thayalisi, Abu ‘Awanah,
ad-Darimi, al-Bazzar, Abu Ya’la dan lainnya. Mereka kalangan
al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah menjadi para perowi imam-imam Hadits
tersebut.
Tidak anda temukan satu sanad pun yang menyampaikan anda pada satu
kitab, kecuali sanadnya ada dari kalangan al-Asy’ariyyah atau
al-Maturudiyyah. Dan anda akan menemukan bahwa mereka adalah para perowi
kitab hadits dan para pensyarah al-Bukhari seperti al-Kirmani, Ibnu
Baththal, Ibnul Arabi, Ibnu ath-Thin, al-‘Aini, al-Qasthalani dan
lainnya. Para pesnyarah Muslim seperti imam Nawawi, ‘Iyadh, al-Qurthubi,
al-Ubay, as-Sanusi dan selainnya, demikianlah seterunsya anda akan
menemukan bahwa merekalah para perowi dan pensyarah hadits. Mereka para
musnid (pemilik sanad) kepada kitab-kitab hadits dan syarahnya. Mereka
juga para perowi al-Quran dengan qiro’ahnya dan paa penafsir al-Quran.
Setiap orang di muka bumi ini yang membaca al-Quran dengan qiro’ah
riwayat Hafsh dari ‘Ashim, maka sudah pasti dan wajib sanadnya melalui
al-Muzahi, al-Asqathi, asy-Syibramilisi, Abdurrahman al-Yamani,
an-Nashir ath-Thbalawi dan syaikh Islam Zakariyya al-Anshari. Sedangkan
mereka semua adalah dari kalangan al-Asy’ariyyah. Demikian juga dalam
ilmu Nahwu dan para pengarang kamus Mu’jam, seperti al-Jauhari, Ibnu
Mandzhur, al-Fairus Abadi, al-Fayumi, az-Zubaidi, mereka semua dari
kalangan al-Asy’ariyyah. Anda juga akan mendapatkan bahwa para ulama
ahli fiqih madzhab Malikiyah, Syafi’iyyah, Fudhala Hanabilah adalah
mayoritas dari kalangan al-Asy’ariyyah, sedangkan Hanafiyyah dari
kalangan al-Maturudiyyah. Demikian juga dalam ilmu hadits, semua dari
kalangan al-Asy’ariyyah atau al-Maturudiyyah.
Sungguh tidaklah anda membaca satu kitab hadits pun dengan sanadnya,
terkecuali pasti akan melalui perowi yang berakidahkan al-Asy’ariyyah
atau al-Maturudiyyah dan bersandar kepada mereka. Maka jika ada
segelintir orang yang menghina al-Asy’ariyyah atau al-Maturudiyyah dan
mengaku-ngaku pemahamannya paling benar, maka mereka adalah para pembual
dan pecundang, kenapa demikian ? karena al-Asy’ariyyah dan
al-Maturudiyyah mengisi di semua bidang keilmuan agama, mereka
al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah adalah para perowi dan penaqal
hadits, para pensyarah hadits, para perowi qiro’ah al-Quran, para ulama
ahli fiqih, para ulama ahli Nahwu dan lainnya. Dan segelintir orang yang
menghina ini, pasti dan senantiasa membutuhkan selamanya kepada para
ulama al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah dalam semua bidang ilmu agama
Islam.
Tidak akan sah sanad keilmuan mereka dalam al-Quran, hadits, bahasa dan
fiqih, kecuali perowi dan rijalnya dari kalangan al-Asy’ariyyah atau
al-Maturudiyyah. Karena para ulama al-Asy’ariyyah dan al-Maturudiyyah
mengisi semua sanad keilmuan.
Semua pintu dan gerbang-gerbang keilmuan tabi’in, sahabat dan
Rasulullah, pasti akan melalui ulama dari al-Asy’ariyyah dan
al-Maturudiyyah. Tanyakan kepada mereka yang belajar al-Quran, sebutkan
sanad mereka sampai kepada Nabi atau sahabat atau tabi’in, maka sudah
pasti dalam sanad itu ada dari kalangan al-Asy’ariyyah atau
al-Maturudiyyah, demikian juga orang yang belajar ilmu fiqih, hadits,
dan bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar