Kali ini akan kita bahas mengenai sebuah tradisi yang banyak
dilestarikan oleh masyarakat, terutama di kalangan aktifis da’wah yang
beramal tanpa didasari ilmu, tradisi tersebut adalah tradisi
bermaaf-maafan sebelum Ramadhan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
« أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ
فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ
لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا
فَقَدْ حُرِمَ ». رواه النسائي
Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang kepada
kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah telah mewajibkan
atas kalian berpuasa di dalamnya, dibuka pintu-pintu langit dan ditutup
pintu-pintu neraka jahim serta dibelenggu pemimpin-pemimpin setan, di
dalamnya Allah mempunyai satu malam yang lebih baik dari seribu bulan,
siapa yang dihalangi untuk mendapatkan kebaikannya maka ia telah
benar-benar dihalangi dari kebaikan”. (Hadits riwayat An Nasai dan
dishahihkan di dalam kitab Shahih At Targhib Wa At Tarhib)
Dari hadits ini, bisa diambil kesimpulan bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira kepada kaum muslimin tentang
datang suatu bulan yang penuh berkah yaitu bulan Ramadhan.
Adapun untuk meminta maaf khusus menjelang bulan Ramadhan, maka tidak
didapatkan riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ataupun
riwayat-riwayat dari para shahabat, jadi yang lebih baik dan seharusnya,
kita mencukupkan apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, karena itu yang paling baik dan paling sempurna.
Seseorang harus tidak berani untuk menganjurkan umat ini akan suatu
perkara yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam padahal beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sangat mampu untuk
mengerjakannya dan tidak ada penghalang untuk mengerjakan hal itu, apa
lagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati bulan Ramadan
selama hidup beliau sebanyak 8 atau 9 kali dan selama itu tidak ada
riwayat beliau menganjurkan untuk meminta maaf baik antara sesama muslim
atau orang tua atau suami istri menjelang bulan Ramadhan. Ini adalah
jawaban untuk pertanyaan pertama.
Tapi perlu diingat baik-baik, Islam mengajarkan bahwa siapapun yang
mempunyai kesalahan terhadap orang lain, pernah menyakiti atau
menzhalimi orang lain, maka bersegeralah meminta halal dan maaf dan
jangan menunggu nanti penyelesaiannya di hadapan Allah Ta’ala. Karena
nanti di hadapan-Nya yang ada hanyalah; “Terimalah ini pahala saya”,
atau “Terimalah dosa orang yang pernah kamu zhalimi”, tidak ada emas dan
perak untuk menyelesaikannya!
عنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى
الله عليه وسلم – « مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ
أَوْ شَىْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ
دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ
بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ
سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ » .
Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang pernah mempunyai
kezhaliman terhadap seseorang, baik terhadap kehormatannya atau apapun,
maka minta halallah darinya hari ini!, sebelum tidak ada emas dan perak,
(yang ada adalah) jika dia mempunyai amal shalih, maka akan diambil
darinya sesuai dengan kezhalimannya, jika dia tidak mempunyai kebaikan,
maka akan diambilkan dosa lawannya dan ditanggungkan kepadanya”. (Hadits
riwayat Bukhari)
Mereka yang melestarikan tradisi ini (bermaaf-maafan sebelum Romadhon)
beralasan dengan hadits yang terjemahannya sebagai berikut:
Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan
Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat
begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan
mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa
Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at,
para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan:
“ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik,
hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.
Do’a Malaikat Jibril itu adalah:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Namun anehnya, hampir semua orang yang menuliskan hadits ini tidak ada
yang menyebutkan periwayat hadits. Setelah dicari, hadits ini pun tidak
ada di kitab-kitab hadits. Setelah berusaha mencari-cari lagi, saya
menemukan ada orang yang menuliskan hadits ini kemudian menyebutkan
bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad
(2/246, 254). Ternyata pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga
pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين
آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل :
أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم
أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال
: رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين قال الأعظمي :
إسناده جيد
“Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam naik mimbar
lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa
engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda,
“Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang
melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’,
kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang
mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk
Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata:
‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hambar
yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.”
Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.
Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/114,
406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682),
dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani
di Shahih At Targhib (1679).
Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits
yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadits pertama. Atau
mungkin bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits kedua, lalu
menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak,
sehingga berubahlah makna hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits
ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu
sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi
tersebut. Yang jelas, hadits yang tidak ada asal-usulnya, kita pun tidak
tahu siapa yang mengatakan hal itu, sebenarnya itu bukan hadits dan
tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.
Lafadz hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari adalah sebagai berikut,
أَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى الْمِنْبَر فَقَال:
“آمين، آمين، آمين” قِيْلَ لَهُ : يَا رَسَوْلَ اللهِ! مَا كُنْتَ تَصْنَعْ
هَذَا؟ فَقَالَ: ” قَالَ لِيْ جِبْرِيْلُ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ
أَبَوْيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: آمين.
ثم قال: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ لَمْ يَغْفِرْ
لَهُ. فقُلْتُ : آمين. ثُمَّ قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ امرئ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ
فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فقُلْتُ: آمين “.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, “Amin, amin, amin”.
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kenapa engkau mengatakan perkara tersebut?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jibril berkata kepadaku,
‘Celaka seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah
seorang dari keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke
surga dan katakanlah amin!’ Maka kukatakan, ‘Amin.’”
Kemudian Jibril berkata lagi, ‘Celaka seorang hamba yang masuk bulan
Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh
Allah dan katakanlah amin!’ Maka aku katakan, ‘Amin’.
Kemudian Jibril berkata,‘Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika
disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah
amin!’ Maka kukatakan, ‘Amin.’”
(HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu. Asy Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan shahih)
Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون
دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له
حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه
“Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini
ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya,
sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika
orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi
untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih,
maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR.
Bukhari no.2449)
Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika
berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan
dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh
Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa,
mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”. Yang
dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf
kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah Shallallahu
’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal
mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu,
kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai
dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
’alaihi Wasallam,
إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena
tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah,
1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4).
Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.
Dan kata اليوم (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat
dilakukan kapan saja dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan
segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Sehingga
mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin
setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.
Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya
dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap
momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan
memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah
dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga
menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.
Adapun bermaaf-maafan secara umum, tidak terkait dengn masuknya bulan
Ramadhan, sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Begitu banyak dalil
untuk meminta maaf dan memberi maaf. Salah satunya adalah firman Allah
SWT berikut ini:
فَاعْفُواْ وَاصْفَحُواْ حَتَّى يَأْتِيَ اللّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS.
Al-Baqarah: 109)
Demikian juga di dalam ayat lain disebutkan bahwa memaafkan orang lain
adalah sifat orang bertaqwa. Sementara tujuan kita berpuasa adalah juga
agar kita menjadi orang yang bertaqwa.
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَالَّذِينَ يُنفِقُونَ
فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ
النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan, baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(QS. Ali Imran:
132-133)
Di dalam ayat lain, disebutkan bahwa memaafkan kesalahan orang lain itu
mendekatkan kita kepada sifat taqwa. Dan taqwa adalah tujuan dari kita
berpuasa.
وَأَن تَعْفُواْ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
Dan memberi maaf itu lebih dekat kepada takwa.(QS. Al-Baqarah: 237)
Memaafkan kesalahan orang lain adalah sebuah ibadah yang mulia. Dan
sebagai muslim, Allah SWT telah mewajibkan kita untuk memberi maaf
kepada orang lain. Sehingga hukum memberi maaf itu adalah wajib ‘ain,
sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلينَ
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(QS. Al-A’raf: 199)
Selain itu, memaafkan kesalahan orang lain yang telah berbuat salah itu
akan diganjar oleh Allah SWT dengan ampunan atas dosa-dosa kita kepada
Allah.
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ألاَ تُحِبُّونَ أنْ يَغْفِرَ اللهُ لَكُمْ
Dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang (QS. An-Nuur: 22)
Meski pun seorang yang dizalimi dibenarkan untuk membalas, namun
memaafkan jauh lebih baik, di mana Allah akan memberi ganjaran dan
pahala tersendiri.
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang
siapa mema’afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.(QS. Asy-Syura:
40)
Momentum untuk saling memaafkan
Secara umum saling bermaafan itu dilakukan kapan saja, tidak harus
menunggu even Ramadhan atau Idul Fithri. Karena memang tidak ada hadits
atau atsar yang menunjukkan ke arah sana.
Namun kalau kita mau telusuri lebih jauh, mengapa sampai muncul trend
demikian, salah satu analisanya adalah bahwa bulan Ramadhan itu adalah
bulan pencucian dosa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW tentang hal itu.
عن أَبي هريرة أنَّ رسول الله ، قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيماناً
وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ متفقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang
menegakkan Ramadhan dengan iman dan ihtisab, maka Allah telah mengampuni
dosanya yang telah lalu. (HR Bukhari dan Muslim)
Kalau Allah SWT sudah menjanjikan pengampunan dosa, maka tinggal
memikirkan bagaimana meminta maaf kepada sesama manusia. Sebab dosa yang
bersifat langsung kepada Allah SWT pasti diampuni sesuai janji Allah
SWT, tapi bagaimana dengan dosa kepada sesama manusia?
Jangankan orang yang menjalankan Ramadhan, bahkan mereka yang mati
syahid sekalipun, kalau masih ada sangkutan dosa kepada orang lain,
tetap belum bisa masuk surga. Oleh karena itu, biar bisa dipastikan
semua dosa terampuni, maka selain minta ampun kepada Allah di bulan
Ramadhan, juga meminta maaf kepada sesama manusia, agar bisa lebih
lengkap. Demikian latar belakangnya.
Maka meski tidak ada dalil khusus yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW
melakukan saling bermafaan menjelang Ramadha, tetapi tidak ada salahnya
bila setiap orang melakukannya. Memang seharusnya bukan hanya pada
momentum Ramadhan saja, sebab meminta maaf itu dilakukan kapan saja dan
kepada siapa saja.
Idealnya yang dilakukan bukan sekedar berbasa-basi minta maaf atau
memaafkan, tetapi juga menyelesaikan semua urusan. Seperti hutang-hutang
dan lainnya. Agar ketika memasuki Ramadhan, kita sudah bersih dari
segala sangkutan kepada sesama manusia.
Sedangkan untuk permasalahan meminta maaf ketika ‘iedul fithri: mari
kaum muslim untuk melihat beberapa riwayat dan perkataan para ulama:
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, seorang ulama hadits dan besar madzhab syafi’iyyah berkata:
وَرَوَيْنَا فِي ” الْمَحامِلِيَّاتِ ” بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ جُبَيْرِ
بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ ” كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك “
“Diriwayatkan kepada kami di dalam kitab Al Muhamiliyat, dengan sanad
yang hasan (baik) dari Jubair bin Nufair, beliau berkata: “Senantiasa
para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika bertemu pada
hari ‘ied, sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: “Taqabbalallahu
minna wa minka” (semoga Allah menerima amal ibadah dari kita dan dari
anda). (lihat kitab Fath Al Bari 2/446)
Dan Ibnu Qudamah (seorang ahli fikih dari madzhab hanbali) rahimahullah
menukilkan dari Ibnu ‘Aqil tentang memberikan selamat pada hari ‘ied,
bahwasanya Muhammad bin Ziyad berkata: “Aku bersama Abu Umamah Al Bahili
(seorang shahabat nabi) radhiyallahu ‘anhu dan selainnya dari para
shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka jika pulang
dari shalat ‘ied berkata kepada sebagian yang lain: “Taqabbalallahu
minna wa minka”. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata: “sanad
hadits Abu Umamah adalah sanad yang baik,dan Ali bin Tsabit berkata:
“Aku telah bertanya kepada Malik bin Anas rahimahullah akan hal ini dari
semenjak 35 tahun yang lalu, beliau menjawab: “Masih saja kami
mengetahui akan hal itu dilakukan di kota Madinah”. (Lihat Kitab Al
Mughni 3/294)
Dan Imam Ahmad rahimahullah: “Tidak mengapa seseorang mengatakan kepada
orang lain pada hari ‘ied: “Taqabbaalallahu minna wa minka”.
Harb berkata: “Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang perkataan
orang-orang di hari ‘ied (‘iedul fithri atau ‘iedul adhha)
“Taqabbalallahu minna wa minkum, beliau menjawab: tidak mengapa akan hal
tersebut orang-orang syam meriwayatkan dari shahabat nabi Abu Umamah
radhiyallahu ‘anhu. (lihat kitab Al Mughni 3/294)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Adapun memulai
mengucapkan selamat pada hari ‘ied adalah bukan merupakan sunnah yang
diperintahkan dan juga bukan sesuatu yang dilarang, maka barangsiapa
yang melakukannya ia mempunyai pekerjaan yang dijadikan sebagai tauladan
dan kalau ada yang meninggalkan ia juga mempunyai orang yang dijadikan
sebagai teladan. wallahu a’lam”. (lihat kitab Majmu’ Al Fatawa 24/253)
Dari penjelasan di atas semoga bisa dipahami bahwa mengkhususkan meminta
maaf pada hari ‘ied bukan merupakan pekerjaan para shahabat Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam radhiyallahu ‘anhum, akan tetapi
yang mereka lakukan adalah mendoakan satu dengan yang lainnya
sebagaimana penjelasan di atas dan ini yang paling baik dilakukan oleh
kaum muslimin.
Beramaafan boleh dilakukan kapan saja, menjelang Ramadhan, sesudahnya
atau pun di luar bulan itu. Dan rasanya tidak perlu kita sampai
mengeluarkan vonis bid’ah bila ada fenomena demikian, hanya lantaran
tidak ada dalil yang bersifat eksplisit.
Sebab kalau semua harus demikian, maka hidup kita ini akan selalu
dibatasi dengan beragam bid’ah. Bukankah ceramah tarawih, ceramah
shubuh, ceramah dzhuhur, ceramah menjelang berbuka puasa, bahkan
kepanitiaan i’tikaf Ramadhan, pesantren kilat Ramadhan, undangan berbuka
puasa bersama, semuanya pun tidak ada dalilnya yang bersifat eksplisit?
Lalu apakah kita akan mengatakan bahwa semua orang yang melakukan
kegiatan itu sebagai ahli bid’ah dan calon penghuni neraka? Kenapa jadi
mudah sekali membuat vonis masuk neraka?
Apakah semua kegiatan itu dianggap sebagai sebuah penyimpangan esensial
dari ajaran Islam? Hanya lantaran dianggap tidak sesuai dengan apa
terjadi di masa nabi?
Kita umat Islam tetap bisa membedakan mana ibadah mahdhah yang esensial,
dan mana yang merupakan kegiatan yang bersifat teknis non formal. Semua
yang disebutkan di atas itu hanya semata kegiatan untuk memanfaatkan
momentum Ramadhan agar lebih berarti. Sama sekali tidak ada kaitannya
dengan niat untuk merusak dan menambahi masalah agama.
Namun kita tetap menghormati kecenderungan saudara-saudara kita yang
gigih mempertahankan umat dari ancaman dan bahaya bid’ah. Isnya Allah
niat baik mereka baik dan luhur.
Terakhir saya akan sebutkan sebuah perkataan indah dari Abdullah bin
Mas’ud (seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)
radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ عَبْدِ الله بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه ، قَالَ : ( مَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنَّ الْحَي لَا
تُؤْمَنُ عليه الْفِتْنَة ، أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه
وَسَلَّمَ ، كَانُوا أَفْضَلَ هذه الْأُمَّة ، أَبَرَّهَا قُلُوبًا ،
وَأَعْمَقَهَا عِلْمًا ، وَأَقَلَّهَا تَكَلُّفًا ، قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ
الله لِصُحْبَة نَبِيِّه وَإِقَامَة دِينِه ، فَاعْرَفُوا لَهُمْ
فَضْلَهُمْ ، وَاتَّبِعُوهُمْ في آثَارِهِمْ ، وَتَمَسَّكُوا بِمَا
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ أَخْلَاقِهِمْ وَدِينِهِمْ ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا على
الْهَدْى الْمُسْتَقِيمِ )
Artinya: ” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa
yang bersuri tauladan maka hendaklah bersuri tauladan dengan orang yang
sudah meninggal, karena sesungguhnya orang yang masih hidup tidak aman
dari tertimpa fitnah atasnya, merekalah para shahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka adalah orang-orang yang termulia
dari umat ini, yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya dan paling
sedikit untuk berbuat yang mengada-ngada, Allah telah memilih mereka
untuk bershahabat dengan nabiNya, untuk menegakkan agamaNya, maka
ketauhilah keutamaan mereka yang mereka mililki, ikutilah jalan-jalan
mereka, dan berpegang teguhlah semampu kalian akan budipekertibudi
pekerti mereka dan sepak terjang mereka, karena sesungguhnya mereka
diatas petunjuk yang lurus”.
(Diriwayatkan dengan sanadnya oleh Ibnu Abdil Barr di dalam Kitab Jami’
bayan Al ‘Ilmi wa Ahlih (2/97) dan disebutkan oleh Ibnu Atsir di dalam
Jami’ Al Ushul Fi Ahadits Ar Rasul (1/292))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar