Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman Dalam Surat Al-Baqoroh
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(183)
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ
تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(184) شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ(185) وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ(186) أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ
لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ
أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلاَ
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ
اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ
لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ(187)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,(183)
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(184) (Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (185) Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwa-sanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.(186) Dihalalkan bagi kamu pada
malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurna-kanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya
mereka bertakwa.(187)
Melalui ayat ini Allah Swt. ber-khitab kepada orang-orang mukmin dari
kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu
menahan diri dari makan dan minum serta bersenggama dengan niat yang
ikhlas karena Allah Swt. Karena di dalam berpuasa terkandung hikmah
membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskannya dari
endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak-akhlak yang
rendah.
Pada himpunan ayat di atas Allah SWT menyeru ummat mukmin untuk
melaksanakan ibadah puasa… dan diterangkan bahwa ibadah puasa bukan
hanya diwajibkan kepada ummat mukmin, bahkan telah diwajibkan kepada
ummat terdahulu...
Puasa (as-shiyam) menurut pengertian bahasa adalah "imsak (menahan)".
Sedangkan menurut istilah syari'at adalah "menahan diri dari makan,
minum dan hubungan seksual suami isteri (senggama), serta segala yang
membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar shadiq sampai terbenam
matahari, dengan tujuan beribadah ikhlas karena Allah SWT.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(183)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,(183)
Inilah tujuan yang besar dari puasa… taqwa… taqwa yang membangunkan jiwa
untuk bangkit melaksanakan perintah, ta'at kepada Allah dan lebih
mementingkan ridhaNya… Taqwa itulah yang akan menjaga hati dari merusak
puasa dengan perbuatan maksiat. Seluruh sasaran puasa itu hanya mungkin
dicapai bila puasa dilaksanakan dengan semaksimal dan sebaik mungkin,
terutama menjaga diri dari segala yang membatalkan pahala puasa.
Allah menyebutkan, sebagaimana puasa diwajibkan atas mereka,
sesungguhnya Allah pun telah mewajibkannya atas umat-umat sebelum
mereka. Dengan demikian, berarti mereka mempunyai teladan dalam
berpuasa, dan hal ini memberikan semangat kepada mereka dalam menunaikan
kewajiban ini, yaitu dengan penunaian yang lebih sempurna dari apa yang
telah ditunaikan oleh orang-orang sebelum mereka. Seperti yang
disebutkan oleh firman-Nya:
لِكُلٍّ جَعَلْنا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهاجاً وَلَوْ شاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً واحِدَةً وَلكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتاكُمْ
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْراتِ
Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya
satu umat (saja); tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap
pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan
(Al-Maidah: 48), hingga akhir ayat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ
بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (رواه
البخارى/ الصوم/ 1770)
Menurut Abu Hurairah r.a. katanya: Rasulullah SAW telah bersabda:
"Barangsiapa yang tiada meninggalkan ucapan palsu dan melakukannya,
serta berbuat jahil, maka tiada berguna bagi Allah orang ini
meninggalkan makan dan minum-nya."(HR. Al-Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ
يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي
صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ
أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي
بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا (رواه البخارى/الصوم/ 1761)
Menurut Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Puasa itu
adalah perisai, maka janganlah seseorang berbicara keji dan kotor, dan
janganlah berbuat jahil. Jika dia dicaci maki dan diajak berkelahi oleh
seseorang, hendaklah ia berkata: sesungguhnya berpuasa – sebanyak dua
kali -. Demi Allah yan jiwaku di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau kesturi,(firman Allah:) dia
meninggalkan makanannya, minumannya dan sahwatnya karena Aku. Puasa itu
bagiKu, dan Aku yang akan membalasnya. Satu kebajikan dengan sepuluh
kali lipat… (HR. Al-Bukhari)
Dikatakan demikian karena puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan
mempersempit jalan-jalan setan. Seperti yang disebutkan di dalam hadis
Sahihain, yaitu:
"يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ"
Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah,
maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah),
hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan peredam
baginya.
Kemudian Allah Swt. menjelaskan batas hari-hari yang dilakukan padanya
puasa, hal itu dilakukan bukan setiap hari agar tidak berat dikerjakan
yang akibatnya nanti tubuh menjadi lemah dalam menunaikannya, melainkan
hanya dalam beberapa hari tertentu. Memang demikianlah cara ibadah puasa
pada permulaan Islam, yaitu mereka melakukan puasa tiga hari setiap
bulan. Kemudian hal ini di-mansukh oleh perintah puasa bulan Ramadan
sepenuhnya, seperti yang akan dijelaskan kemudian.
Ummat mukmin generasi pertama menjalankan ibadah puasa dengan kesadaran
iman yang mantap… mereka melaksanakan puasa meskipun dengan memaksakan
diri.
Menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad di dalam kitab At-Thabaqat
yang bersumber dari Mujahid bahwa maula Qais bin Assaa-ib memaksakan
diri berpuasa, padahal dia sudah tua sekali, maka turunlah ayat 184
surat Al-Baqarah ini…
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada permulaan Islam
dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu
sebelum kita, yaitu setiap bulannya tiga hari. Riwayat ini dari Mu'az,
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ata, Qatadah, dan Ad-Dahhak Ibnu Muzahim. Puasa
demikian masih terus berlangsung sejak zaman Nabi Nuh a.s. sampai Allah
me-nasakh-nya. dengan puasa bulan Ramadan.
Abbad ibnu Mansur meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan
makna firman-Nya:Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. (Al-Baqarah:
183-184) Maka Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Memang benar, demi Allah,
sesungguhnya ibadah puasa diwajibkan atas semua umat yang telah lalu,
sebagaimana diwajibkan atas kita sebulan penuh; yang dimaksud dengan
ayyamam ma'dudat ialah hari-hari tertentu yang telah dimaklumi." Dan
telah diriwayatkan dari As-Saddi hal yang semisal.
وَرَوَى ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الْمُقْرِيِّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي أَيُّوبَ، حَدَّثَنِي عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ، عَنْ أَبِي الرَّبِيعِ، رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ
اللَّهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ.."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri yang
mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah
menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid, dari Abur Rabi' (seorang
ulama Madinah), dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Puasa bulan Ramadan diwajibkan oleh
Allah atas umat-umat terdahulu.
Demikianlah nukilan dari sebuah hadis panjang, yang sengaja kami singkat seperlunya menyangkut pembahasan ini.
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari orang yang
menerimanya dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian. (Al-Baqarah: 183) Bahwa diwajibkan
atas mereka apabila seseorang di antara mereka salat malam hari lalu
tidur, maka diharamkan atasnya makan, minum, dan bersetubuh dengan istri
sampai waktu yang semisal di besok malamnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, Abul Aliyah, Abdur Rahman ibnu Abu Laila, Mujahid, Sa'id ibnu
Jubair, Muqatil Ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ata Al-Khurrasani.
Ata Al-Khurrasani meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.
(Al-Baqarah: 183) Yakni atas kaum Ahli Kitab.
Telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, As-Saddi serta Ata Al-Khurrasani hal yang semisal.
Jadi puasa bukanlah kewajiban yang berlangsung selama hidup, sepanjang
tahun, tetapi beberapa hari yang tertentu (selama bulan Ramadhan).
Seiring dengan demikian diberi dispensasi (keringanan) untuk tidak
berpuasa kepada orang yang sakit atau dalam bepergian, tetapi wajib
menggantinya di hari lain, sebanyak hari yang ditinggalkan; bila sudah
sembuh dari sakit atau tidak bepergian lagi
Kemudian Allah menjelaskan hukum puasa menurut apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 184)
Artinya, orang yang sakit dan orang yang bepergian tidak boleh puasa di
saat sakit dan bepergian, mengingat puasa memberatkan keduanya, bahkan
keduanya boleh berbuka dan mengqadai puasa yang ditinggal-kannya itu di
hari-hari yang lain sebanyak yang ditinggalkannya. Orang yang sehat lagi
berada di tempat, tetapi berat menjalankan puasa, sesungguhnya dia
boleh memilih antara puasa dan memberi makan. Dengan kata lain, jika dia
suka, boleh puasa; dan jika ia suka berbuka, maka berbuka boleh
baginya, tetapi dia harus memberi makan seorang miskin setiap hari. Jika
dia memberi makan lebih banyak dari seorang miskin untuk setiap
harinya, maka hal ini lebih baik baginya. Jika ia berpuasa, maka puasa
lebih utama baginya daripada memberi makan. Demikianlah menurut Ibnu
Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Tawus, Muqatil ibnu Hayyan, dan
lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf. Karena itulah maka Allah Swt.
berfirman:
{وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang
siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang
lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahui. (Al-Baqarah: 184)
Bagi mereka yang tidak mampu menjalankan puasa, boleh mengganti puasanya
dengan fidyah 1 mud (0,5 kg) makanan sehari-hari atau lebih, untuk
setiap puasa yang ditinggalkannya.
Termasuk golongan ini, orang tua bangka yang tidak mampu berpuasa, orang
yang sakit kronis/ menahun, wanita hamil dan wanita yang menyusui.
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
اللهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ
الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ (رواه النسآئى/ الصيام/ 2237)
Bersumber dari Anas dari Nabi SAW beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah
SWT membebaskan dari musafir separoh shalat, dan membebaskan puasa dari
wanita hamil dan wanita menyusui." (HR. An-Nasai)
Barangsiapa yang membayar fidyah lebih dari ketentuan, itulah yang lebih
baik baginya, namun demikian, mengerjakan puasa, lebih baik lagi
baginya:
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(184)
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(184)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا
الْمَسْعُودِيُّ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مُرّة، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
قَالَ: أُحِيلَتِ الصَّلَاةُ ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ، وَأُحِيلَ الصِّيَامُ
ثَلَاثَةَ أَحْوَالٍ؛ فَأَمَّا أَحْوَالُ الصَّلَاةِ فَإِنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، وَهُوَ يُصَلِّي
سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ عَلَيْهِ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي
السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا} [الْبَقَرَةِ: 144]
فوجهَهُ اللهُ إِلَى مَكَّةَ. هَذَا حَوْلٌ. قَالَ: وَكَانُوا
يَجْتَمِعُونَ لِلصَّلَاةِ ويُؤْذِنُ بِهَا بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى
نَقَسُوا أَوْ كَادُوا يَنْقُسُون. ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ،
يُقَالُ لَهُ: عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ، أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي
رَأَيْتُ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ -وَلَوْ قلتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ
نَائِمًا لصدقتُ -أَنِّي بَيْنَا أَنَا بَيْنَ النَّائِمِ وَالْيَقْظَانِ
إذْ رَأَيْتُ شَخْصًا عَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ، فَقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -مَثْنَى حَتَّى فَرَغَ مِنَ الْأَذَانِ، ثُمَّ
أَمْهَلَ سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ مِثْلَ الذِي قَالَ، غَيْرَ أَنَّهُ يَزِيدُ
فِي ذَلِكَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ -مَرَّتَيْنِ -قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "عَلِّمْهَا بِلَالًا فَلْيؤذن
بِهَا". فَكَانَ بِلُالٌ أَوَّلَ مَنْ أَذَّنَ بِهَا. قَالَ: وَجَاءَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، [إِنَّهُ] قَدْ طَافَ بِي مِثْلَ الذِي طَافَ بِهِ، غَيْرَ
أَنَّهُ سَبَقَنِي، فَهَذَانِ حَالَانِ. قَالَ: وَكَانُوا يَأْتُونَ
الصَّلَاةَ -قَدْ سَبَقَهُمُ النَّبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِبَعْضِهَا، فَكَانَ الرَّجُلُ يُشِيرُ إِلَى الرَّجُلِ إِذًا كَمْ
صَلَّى، فَيَقُولُ: وَاحِدَةٌ أَوِ اثْنَتَيْنِ، فَيُصَلِّيهِمَا، ثُمَّ
يَدْخُلُ مَعَ الْقَوْمِ فِي صَلَاتِهِمْ. قَالَ: فَجَاءَ مُعَاذٌ فَقَالَ:
لَا أَجِدُهُ عَلَى حَالٍ أَبَدًا إِلَّا كنتُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قضيتُ مَا
سَبَقَنِي. قَالَ: فَجَاءَ وَقَدْ سَبَقه النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَعْضِهَا، قَالَ: فثَبَتَ مَعَهُ، فَلَمَّا قَضَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فَقَضَى، فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّهُ قَد سَنَّ
لَكُمْ مُعَاذ، فَهَكَذَا فَاصْنَعُوا". فَهَذِهِ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ
وَأَمَّا أَحْوَالُ الصِّيَامِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَجَعَلَ يصومُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَصَامَ عَاشُورَاءَ، ثُمَّ إِنَّ اللَّهَ فَرَضَ
عَلَيْهِ الصِّيَامَ، وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ} . إِلَى قَوْلِهِ: {وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} فَكَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ،
وَمَنْ شَاءَ أَطْعَمَ مِسْكِينًا، فَأَجْزَأَ ذَلِكَ عَنْهُ. ثُمَّ إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْزَلَ الْآيَةَ الْأُخْرَى: {شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنزلَ فِيهِ الْقُرْآنُ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} فَأَثْبَتَ اللهُ صيامَه عَلَى الْمُقِيمِ
الصَّحِيحِ ورخَّصَ فِيهِ لِلْمَرِيضِ وَالْمُسَافِرِ، وَثَبَتَ الإطعامُ
لِلْكَبِيرِ الذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصِّيَامَ، فَهَذَانَ حَالَانِ. قَالَ:
وَكَانُوا يَأْكُلُونَ وَيَشْرَبُونَ وَيَأْتُونَ النِّسَاءَ مَا لَمْ
يَنَامُوا، فَإِذَا نَامُوا امْتَنَعُوا، ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنَ
الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: صِرْمَةُ، كَانَ يَعْمَلُ صَائِمًا حَتَّى
أَمْسَى، فَجَاءَ إِلَى أَهْلِهِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ نَامَ فَلَمْ
يَأْكُلْ وَلَمْ يَشْرَبْ، حَتَّى أَصْبَحَ فَأَصْبَحَ صَائِمًا، فَرَآهُ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ جَهِدَ جَهْدًا
شَدِيدًا، فَقَالَ: مَا لِي أَرَاكَ قَدْ جَهِدْت جَهْدًا شَدِيدًا؟ قَالَ:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي عَمِلْتُ أَمْسِ فجئتُ حِينَ جئتُ فألقيتُ
نَفْسِي فَنِمْتُ فَأَصْبَحْتُ حِينَ أَصْبَحْتُ صَائِمًا. قَالَ: وَكَانَ
عُمَرُ قَدْ أَصَابَ مِنَ النِّسَاءِ بَعْدَ مَا نَامَ، فَأَتَى النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ
إِلَى نِسَائِكُمْ} إِلَى قَوْلِهِ: {ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ}
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah
menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah menceritakan kepada kami Amr
ibnu Murrah, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal
r.a. yang menceritakan bahwa ibadah salat difardukan melalui tiga
tahapan, dan ibadah puasa difardukan melalui tiga tahapan pula. Adapun
mengenai tahapan-tahapan ibadah salat ialah ketika Nabi Saw. tiba di
Madinah, maka beliau Saw. salat dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis
selama tujuh belas bulan. Kemudian Allah Swt. menurunkan kepadanya ayat
berikut, yaitu firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. (Al-Baqarah: 144), hingga akhir ayat. Maka Allah Swt.
memalingkannya ke arah Mekah; hal ini merupakan tahapan pertama. Mu'az
ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya mereka
berkumpul menunaikan salat dengan cara sebagian dari mereka mengundang
sebagian lainnya hingga akhirnya mereka membuat kentong atau hampir saja
mereka membuat kentong untuk tujuan tersebut. Kemudian ada seorang
lelaki dari kalangan Ansar —yang dikenal dengan nama Abdullah ibnu Zaid
ibnu Abdu Rabbih— datang kepada Rasulullah Saw. Lelaki itu berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku suatu
peristiwa yang jika aku tidak tidur, niscaya aku percaya kepada apa yang
kulihat itu. Sesungguhnya ketika aku dalam keadaan antara tidur dan
terjaga, tiba-tiba aku melihat seseorang yang memakai baju rangkap yang
kedua-duanya berwarna hijau. Lelaki itu menghadap ke arah kiblat, lalu
mengucapkan. 'Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah
Mahabesar),asyhadu alia ilaha illallah (aku bersaksi tidak ada Tuhan
selain Allah).' Ia membacanya dua kali-dua kali hingga selesai azannya.
Kemudian berhenti sesaat. Setelah itu ia mengucapkan hal yang sama,
hanya kali ini dia menambahkan kalimat qad qamatis salah (sesungguhnya
salat akan didirikan) sebanyak dua kali." Maka Rasulullah Saw. bersabda:
Ajarkanlah itu kepada Bilal, maka Bilal menyerukan azan dengan kalimat
ini. Maka Bilal adalah orang yang mula-mula menyerukan azan dengan
kalimat ini. Mu'az ibnu Jabar r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu
datanglah Umar ibnul Khattab r.a. dan mengatakan, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku pun pernah bermimpi melihat seperti apa yang
dilihatnya, hanya dia lebih dahulu dariku." Hal yang telah kami sebutkan
di atas merupakan dua tahapan, yaitu tahapan pertama dan kedua. Mu'az
ibnu Jabal r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa pada mulanya para sahabat
sering datang terlambat di tempat salat; mereka datang ketika Nabi Saw.
telah menyelesaikan sebagian dari salatnya. Maka seorang lelaki dari
mereka bertanya kepada salah seorang yang sedang salat melalui isyarat
yang maksudnya ialah berapa rakaat salat yang telah dikerjakan. Lelaki
yang ditanya menjawabnya dengan isyarat satu atau dua rakaat. Lalu dia
mengerjakan salat yang tertinggal itu sendirian, setelah itu ia baru
masuk ke dalam jamaah, menggabungkan diri bermakmum kepada Nabi Saw.
Perawi mengatakan, lalu datanglah Mu'az dan berkata, "Tidak sekali-kali
ada suatu tahapan yang baru yang dialami oleh Nabi Saw. melainkan aku
terlibat di dalamnya." Pada suatu hari ia datang, sedangkan Nabi Saw.
telah mendahuluinya dengan sebagian salatnya. Maka Mu'az langsung ikut
bermakmum kepada Nabi Saw. Setelah Nabi Saw. menyelesaikan salatnya,
bangkitlah Mu'az melanjutkan salatnya yang ketinggalan. Maka Rasulullah
Saw. bersabda:Sesungguhnya Mu'az telah membuat suatu peraturan bagi
kalian, maka tirulah oleh kalian perbuatannya itu (yakni langsung masuk
ke dalam berjamaah; apabila imam selesai dari salatnya, baru ia
menyelesaikan rakaat yang tertinggal sendirian). Hal yang ketiga ini
merupakan tahapan terakhir dari salat.
Keadaan-keadaan atau tahapan yang dialami oleh ibadah puasa ialah ketika
Rasulullah Saw. tiba di Madinah, beliau puasa tiga hari setiap
bulannya, juga puasa 'Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa atasnya
melalui firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertakwa —sampai dengan firman-Nya— Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu) memberi makan seorang miskin. (Al-Baqarah: 183-184) Pada mulanya
orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak
ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari
puasanya. Kemudian Allah Swt. menurunkan ayat lain, yaitu firman-Nya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an —sampai dengan firman-Nya—
Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
(Al-Baqarah: 185) Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim
yang sehat, dan memberikan keringanan kepada orang yang sakit dan orang
yang sedang bepergian, serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi
lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa. Demikianlah dua tahapan
yang dialami oleh puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum,
dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah
tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang
lelaki dari kalangan Ansar yang dikenal dengan nama Sirmah. Dia bekerja
di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke
rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan
minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya. Keesokan harinya ia
melanjutkan puasa-nya, maka Rasulullah Saw. melihat dirinya dalam
keadaan sangat kepayahan, lalu beliau Saw. bertanya, "Kulihat dirimu
tampak sangat payah dan letih." Sirmah menjawab, "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung
merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi
hari dan aku terus dalam keadaan puasa." Disebutkan pula bahwa Umar
telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi Saw.
dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa
bercampur dengan istri-istri kalian sampai dengan firman-Nya kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari. (Al-Baqarah: 187).
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab Sunan-nya, dan
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. melalui hadis Al-Mas'udi
dengan lafaz yang sama.
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui
hadis Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan:
كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang
mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura
boleh melakukannya; dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa
'Asyura.
Imam Bukhari sendiri meriwayatkannya pula melalui Ibnu Umar dan Ibnu Mas'ud dengan lafaz yang semisal.
Ayat berikutnya menjelaskan tentang keten-tuan pelaksanaan puasa:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an
Allah Swt. memuji bulan Ramadan di antara bulan-bulan lainnya, karena
Dia telah memilihnya di antara semua bulan sebagai bulan yang padanya
diturunkan Al-Qur'an yang agung. Sebagaimana Allah mengkhususkan bulan
Ramadan sebagai bulan diturunkan-Nya Al-Qur'an, sesungguhnya telah
disebutkan oleh hadis bahwa pada bulan Ramadan pula kitab Allah lainnya
diturunkan kepada para nabi Sebelum Nabi Muhammad Saw.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا
أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا عمْران أَبُو
الْعَوَّامِ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ وَاثِلَةَ
-يَعْنِي ابْنَ الْأَسْقَعِ-أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
"أُنْزِلَتْ صُحُف إِبْرَاهِيمَ فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ.
وَأَنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لسِتٍّ مَضَين مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ
لِثَلَاثَ عَشَرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ الْقُرْآنَ
لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ"
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Sa'id maula Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Imran Abul
Awwam, dari Qatadah, dari Abul Falih, dari Wasilah (yakni Ibnul Asqa),
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim
diturunkan pada permulaan malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada
tanggal enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga
belas Ramadan, sedangkan Al-Qur'an diturunkan pada tanggal dua puluh
empat Ramadan.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya disebutkan:
أَنَّ الزَّبُورَ أُنْزِلَ لثنتَي عَشْرَةَ [لَيْلَةً] َلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، وَالْإِنْجِيلُ لِثَمَانِي عَشْرَةَ،
Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.
Sedangkan kalimat selanjutnya sama dengan hadis di atas. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.
Adapun lembaran-lembaran atau suhuf, kitab Taurat, Zabur, dan Injil,
masing-masing diturunkan kepada nabi yang bersangkutan secara sekaligus.
Lain halnya dengan Al-Qur'an, diturunkan sekaligus hanya dari Baitul
'Izzah ke langit dunia; hal ini terjadi pada bulan Ramadan, yaitu di
malam Lailatul Qadar. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan. (Al-Qadar: 1)
إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. (Ad-Dukhan: 3)
Setelah itu Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah Saw. secara bertahap sesuai dengan kejadian-kejadiannya.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan bukan hanya oleh seorang
perawi saja, dari Ibnu Abbas. Seperti yang diriwayatkan oleh Israil,
dari As-Saddi, dari Muhammad ibnu Abul Mujalid, dari Miqsam, dari Ibnu
Abbas.
Disebutkan bahwa Atiyyah ibnul Aswad pernah berkata kepada Ibnu Abbas
bahwa di dalam hatinya terdapat keraguan mengenai firman-Nya:Bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 185);
Firman-Nya: Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur'an) pada suatu
malam yang diberkahi. (Ad-Dukhan: 3); Serta firman-Nya: Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam penuh kemuliaan.
(Al-Qadar. 1) Sedangkan Al-Qur'an ada yang diturunkan pada bulan Syawal,
ada yang dalam bulan Zul-Qa'dah, ada yang dalam bulan Zul-Hijjah, ada
yang dalam bulan Muharram, ada yang dalam bulan Safar, ada pula yang
diturunkan dalam bulan Rabi'. Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya
Al-Qur'an diturunkan dalam bulan Ramadan, yaitu dalam malam yang penuh
dengan kemuliaan (Lailatul Qadar), dan dalam malam yang penuh dengan
keberkahan secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi sesuai dengan
kejadian-kejadiannya secara berangsur-angsur dalam bulan dan hari yang
berbeda-beda."
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih.
Sedangkan di dalam riwayat Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas,
disebutkan bahwa Ibnu Abbas mengatakan, "Al-Qur'an diturunkan pada
pertengahan bulan Ramadan ke langit dunia dari tempat asalnya, yaitu
Baitul 'Izzah. Kemudian diturunkan kepada Rasulullah Saw. selama dua
puluh tahun untuk menjawab perkataan manusia."
Di dalam riwayat Ikrimah, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa Al-Qur'an
diturunkan pada bulan Ramadan (yaitu di malam Lailatul Qadar) ke langit
dunia secara sekaligus. Sesungguhnya Allah Swt. berfirman kepada
Nabi-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan tidak sekali-kali
orang-orang musyrik mendatangkan suatu perumpamaan untuk mendebat Nabi
Saw. melainkan Allah Swt. mendatangkan jawabannya. Yang demikian itulah
pengertian firman-Nya:
وَقالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً
واحِدَةً كَذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَرَتَّلْناهُ تَرْتِيلًا وَلا
يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْناكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
Berkatalah orang-orang yang kafir, "Mengapa Al-Qur'an ini tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat
hatimu dengannya dan Kami membacakannya kelompok demi kelompok.
Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya. (Al-Furqan: 32-33)
Adapun firman Allah Swt.:
{هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ}
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (Al-Baqarah:
185)
Hal ini merupakan pujian bagi Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah Swt.
sebagai petunjuk buat hati hamba-hamba-Nya yang beriman kepada
Al-Qur'an, membenarkannya, dan mengikutinya.
Bayyinatin, petunjuk-petunjuk dan hujah-hujah yang jelas lagi gamblang
dan terang bagi orang yang memahami dan memikirkannya, membuktikan
kebenaran apa yang dibawanya berupa hidayah yang menentang kesesatan,
petunjuk yang berbeda dengan jalan yang keliru, dan pembeda antara
perkara yang hak dan yang batil serta ha-lal dan haram.
Telah diriwayatkan dari salah seorang ulama Salaf bahwa ia tidak suka
mengatakan bulan puasa dengan sebutan Ramadan saja, melainkan bulan
Ramadan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakkar ibnur Rayyan, telah
menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi
dan Sa'id (yakni Al-Maqbari), dari Abu Hurairah r.a., ia pernah
mengatakan, "Janganlah kalian katakan Ramadan, karena sesungguhnya
Ramadan itu merupakan salah satu dari asma Allah Swt. Tetapi katakanlah
bulan Ramadan."
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah diriwayatkan juga dari Mujahid dan
Muhammad ibnu Ka'b hal yang semisal dengan asar di atas. Akan tetapi,
Ibnu Abbas dan Zaid ibnu Sabit membolehkan sebutan tersebut.
Menurut kami, Abu Ma'syar adalah Najih ibnu Abdur Rahman Al-Madani,
seorang imam ahli dalam Bab "Magazi dan Sirah", tetapi daif (dalam
periwayatan hadis); anak lelakinya yang bernama Muhammad mengambil
riwayat hadis darinya. Dialah yang me-rafa'-kan hadis ini sampai kepada
Abu Hurairah. Periwayatan hadisnya ditolak oleh Al-Hafiz Ibnu Addi, dan
ia memang berhak untuk ditolak karena predikatnya matruk; sesungguhnya
dia hanya menduga-duga saja akan predikat marfu' hadis ini. Tetapi Imam
Bukhari di dalam kitab-nya mendukung Abu Ma'syar, untuk itu ia
mengatakan dalam kitabnya bahwa ini adalah bab mengenai sebutan Ramadan,
lalu ia mengetengahkan hadis-hadis yang menyangkut hal tersebut, antara
lain ialah hadis yang mengatakan:
"مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ"
Barang siapa yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan rida Allah, niscaya diampuni baginya semua dosanya yang terdahulu.
Dan hadis-hadis lainnya yang semisal.
Firman Allah Swt.:
{فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ}
Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
(Al-Baqarah: 185)
Hukum wajib ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan
hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya
ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat,
maka dia harus mengerjakan puasa.
Ayat ini me-nasakh ayat yang membolehkan tidak berpuasa bagi orang yang
sehat lagi mukim, tetapi hanya membayar fidyah, memberi makan seorang
miskin untuk setiap harinya, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
Ada beberapa cara mengetahui awal bulan Ramadhan:
Pertama: Penglihatan orang terhadap hilal I Ramadhan.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي الله عَنْهمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُومُوا حَتَّى
تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ
عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ (رواه البخارى/ الصوم/ 1773 و مسلم/ الصيام /
1795)
Hadits yang bersumber dari Ibnu Umar r.a. katanya: Nabi SAW telah
menyebut tentang bukan Ramadhan dan bersabda:"Janganlah kamu berpuasa
sebelum kamu melihat anak bulan Ramadhan dan janganlah kamu berbuka
sebelum kamu melihat aanak bulan Syawal. Jika hilal tertutup aan, maka
hendaklah kamu menghitungnya (genap 30 hari)."(HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Kedua: Kesaksian orang yang adil dan jujur.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَلَ قَالَ
أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ
يَصُومُوا غَدًا (رواه الترمذى/ الصوم/ 627)
Menurut Ibnu Abbas, seorang Arab Badwi mendatangi Nabi SAW, lalu
berkata:Sesungguhnya aku melihat hilal. Nabi SAW bersabda: "Apakah
engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad Rasul Allah
?" Lelaki itu menjawab: Ya! Nabi SAW bersabda: Wahai Bilal, umumkan
kepada orang banyak supaya mereka mulai berpuasa besok!" (HR.
At-Turmudzi)
Ketiga: Menggenapkan bulan Sya'ban sampai 30 hari apabila berawan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ
يَوْمًا (رواه مسلم/ الصيام/ 1808)
Hadits yang bersumber dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: "Apabila kamu melihat anak bulan Ramadhan, maka hendaklah kamu
berpuasa. Apabila kamu melihat anak bulan Syawal, hendaklah kamu
berbuka. Jika hilal tertutup dari pandanganmu, maka berpuasalah selama
tiga puluh hari." (HR. Muslim)
Keempat: Perhitungan Ilmu Hisab.
Firman Allah:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ
مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللهُ
ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ(5)
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui.(QS. Yunus: 5)
Setelah masalah puasa dituntaskan ketetapannya, maka disebutkan kembali
keringanan bagi orang yang sakit dan orang yang bepergian. Keduanya
boleh berbuka, tetapi dengan syarat kelak harus mengqadainya. Untuk itu
Allah Swt. berfirman:
{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}
dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. (Al-Baqarah: 185)
Maknanya, barang siapa yang sedang sakit hingga puasa memberatkannya
atau membahayakannya, atau ia sedang dalam perjalanan, maka dia boleh
berbuka. Apabila berbuka, maka ia harus berpuasa sebanyak hari yang
ditinggalkannya di hari-hari yang lain (di luar Ramadan). Karena itu,
dalam firman selanjutnya disebutkan:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. (Al-Baqarah: 185)
Dengan kata lain, sesungguhnya diberikan keringanan ini bagi kalian
hanya dalam keadaan kalian sedang sakit atau dalam perjalanan, teta-pi
puasa merupakan suatu keharusan bagi orang yang mukim lagi se-hat. Hal
ini tiada lain hanyalah untuk mempermudah dan memperi-ngan kalian
sebagai rahmat dari Allah Swt. buat kalian.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan ayat ini
Pertama: Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa orang yang sejak
permulaan Ramadan masuk masih dalam keadaan mukim, kemudian di tengah
bulan Ramadan ia mengadakan perjalanan (bepergian), maka tidak
diperbolehkan baginya berbuka karena alasan bepergian selama ia berada
dalam perjalanannya, karena firman Allah Swt.: Karena itu, barang siapa
di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185) Sesungguhnya
berbuka itu hanya diperbolehkan bagi orang yang melakukan perjalanannya
sebelum bulan Ramadan masuk, sedangkan dia telah berada dalam
perjalanannya.
Tetapi pendapat ini aneh, dinukil oleh Abu Muhammad ibnu Hazm di dalam
kitabnya yang berjudul Al-Mahalli, dari sejumlah sahabat dan tabi'in.
Hanya riwayat yang dikemukakannya dari mereka masih perlu
dipertimbangkan kebenarannya, karena sesungguhnya telah ditetapkan di
dalam sunnah dari Rasulullah Saw. bahwa beliau pernah melakukan suatu
perjalanan di dalam bulan Ramadan untuk melakukan Perang Fatah
(penaklukan kota Mekah). Beliau Saw. berjalan bersama pasukannya sampai
di Kadid. Ketika di Kadid, beliau berbuka dan memerintahkan kepada
orang-orang untuk berbuka mengikuti jejaknya. Demikianlah menurut apa
yang diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Kedua: Segolongan sahabat dan tabi'in lainnya berpendapat, wajib berbuka
dalam perjalanan karena berdasarkan firman-Nya: maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. (Al-Baqarah: 185) Akan tetapi, pendapat yang benar ialah yang
dikatakan oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yaitu bahwa masalah berbuka
dalam perjalanan ini berdasarkan takhyir (boleh memilih) dan bukan suatu
keharusan. Karena mereka berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan
Ramadan, lalu menurut salah seorang di antara mereka yang terlibat, "Di
antara kami ada orang yang tetap berpuasa dan di antara kami ada pula
yang berbuka. Maka Nabi Saw. tidak mencela orang yang tetap berpuasa dan
tidak pula terhadap orang yang berbuka. Seandainya berbuka merupakan
suatu keharusan, niscaya beliau Saw. mencela orang-orang yang berpuasa
di antara kami. Bahkan telah dibuktikan pula dari perbuatan Rasulullah
Saw. sendiri bahwa beliau pernah dalam keadaan demikian (berada dalam
suatu perjalanan), tetapi beliau tetap berpuasa."
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Abu Darda yang menceritakan:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ
يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ من شدة، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ
رَوَاحَةَ
Kami berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam bulan Ramadan, cuaca saat
itu sangat panas hingga seseorang di antara kami ada yang meletakkan
tangannya di atas kepalanya karena teriknya panas matahari, dan tiada
seorang pun di antara kami yang tetap berpuasa selain Rasulullah Saw.
sendiri dan Abdullah ibnu Rawwahah.
Ketiga: Segolongan ulama yang antara lain ialah Imam Syafii mengatakan
bahwa puasa dalam perjalanan lebih utama daripada berbuka karena
berdasarkan perbuatan Nabi Saw., seperti yang disebutkan di atas tadi.
Segolongan ulama lainnya mengatakan, bahkan berbuka lebih baik daripada
berpuasa karena berpegang kepada rukhsah (keringanan), juga karena ada
sebuah hadis dari Rasulullah Saw. yang menceritakan bahwa beliau Saw.
pernah ditanya mengenai puasa dalam perjalanan. Maka beliau menjawab:
«مَنْ أَفْطَرَ فَحَسَنٌ، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ»
Barang siapa yang berbuka, maka hal itu baik; dan barang siapa yang tetap berpuasa, maka tiada dosa atasnya.
Di dalam hadis yang lain disebutkan:
«عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ التِي رَخَّصَ لَكُمْ»
Ambillah oleh kalian rukhsah (keringanan) Allah yang diberikan-Nya kepada kalian.
Segolongan ulama yang lainnya lagi mengatakan bahwa keduanya (berbuka
dan puasa dalam perjalanan) sama saja, karena berdasarkan hadis Siti
Aisyah yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Amr Al-Aslami pernah bertanya,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang sering berpuasa,
maka bolehkah aku berpuasa dalam perjalanan?" Rasulullah Saw. menjawab:
«إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»
Jika kamu menginginkan puasa, berpuasalah. Dan jika kamu menginginkan berbuka, berbukalah.
Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain.
Menurut pendapat yang lain, apabila puasa memberatkannya, maka berbuka
adalah lebih utama, berdasarkan kepada hadis Jabir yang mengatakan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا
قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟ " قَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ:
" لَيْسَ مِنَ الْبَرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ".
Bahwa Rasulullah Saw. pernah melihat seorang lelaki yang dinaungi
(dikerumuni oleh orang banyak), maka beliau bertanya, "Ada apa?"Mereka
menjawab, "Orang yang berpuasa." Maka beliau Saw. bersabda, "Bukanlah
merupakan suatu kebaktian melakukan puasa dalam perjalanan." (Hadis
diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Jika orang yang bersangkutan tidak menyukai sunnah dan ia tidak suka
berbuka, maka merupakan suatu ketentuan baginya berbuka, dan haram
baginya melakukan puasa bila ia dalam perjalanan. Hal ini berdasarkan
sebuah hadis di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan lain-lainnya, dari
Ibnu Umar dan Jabir serta selain keduanya yang mengatakan:
مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَةَ اللَّهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ جِبَالِ عَرَفَةَ
Barang siapa yang tidak mau menerima keringanan Allah, maka atas dirinya
dibebankan dosa yang besarnya semisal dengan Bukit Arafah.
Keempat: Mengenai masalah qada, apakah wajib berturut-turut atau boleh terpisah-pisah? Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
Pendapat pertama mengatakan wajib berturut-turut, karena qada merupakan pengulangan dari ada'an.
Menurut pendapat kedua, tidak wajib berturut-turut. Jika orang yang
bersangkutan ingin memisah-misahkannya, maka ia boleh
memisah-misahkannya. Jika ingin berturut-turut, ia boleh berturut-turut
dalam mengerjakannya. Demikianlah menurut pendapat jumhur ulama Salaf
dan Khalaf —dan didukung oleh dalil-dalil yang kuat— karena
berturut-turut itu hanyalah diwajibkan dalam bulan Ramadan, mengingat
puasa harus dilakukan dalam bulan itu secara tuntas. Bila bulan Ramadan
telah lewat, maka makna yang dimaksud hanyalah wajib membayar hari-hari
yang ditinggalkannya saja, tanpa ikatan harus berturut-turut. Karena
itulah disebutkan di dalam firman-Nya: maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
(Al-Baqarah : 185) Kemudian Allah Swt. berfirman: Allah menghendaki
kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian.
(Al-Baqarah: 185)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ الْخُزَاعِيُّ،
حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ
أَبِي قَتَادَةَ، عَنِ الْأَعْرَابِيِّ الذِي سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "إن خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ،
إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah
Al-Khuza'i, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Humaid ibnu
Hilal Al-Adawi, dari Abu Qatadah, dari Al-A'rabi yang mendengarnya
langsung dari Nabi Saw.: Sesungguhnya sebaik-baik (peraturan) agama
kalian ialah yang paling mudah, sesungguhnya sebaik-baik (peraturan)
agama kalian ialah yang paling mudah.
قَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا
عَاصِمُ بْنُ هِلَالٍ، حَدَّثَنَا غَاضِرَةُ بْنُ عُرْوة الفُقَيْمي،
حَدَّثَنِي أَبِي عُرْوَة، قَالَ: كُنَّا نَنْتَظِرُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ رَجلا يَقْطُرُ رَأْسُهُ مِنْ وُضُوءٍ
أَوْ غُسْلٍ، فَصَلَّى، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ جَعَلَ النَّاسُ
يَسْأَلُونَهُ: عَلَيْنَا حَرَجٌ فِي كَذَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ دِينَ اللَّهِ فِي يُسْرٍ"
ثَلَاثًا يَقُولُهَا
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu
Harun, telah menceritakan kepada kami Asim ibnu Hilal, telah
menceritakan kepada kami Amir ibnu Urwah Al-Faqimi, telah menceritakan
kepadaku Abu Urwah yang menceritakan: Ketika kami sedang menunggu Nabi
Saw., maka keluarlah beliau dengan kepala yang masih meneteskan air
karena habis wudu atau mandi, lalu beliau salat. Setelah beliau selesai
dari salat-nya, maka orang-orang bertanya kepadanya, "Apakah kami
berdosa jika melakukan demikian?" Maka Rasulullah Saw. bersabda,
"Sesungguhnya agama Allah itu berada dalam kemudahan." Beliau
mengucapkannya sebanyak tiga kali.
Imam Abu Bakar ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula dalam tafsir ayat ini
melalui hadis Muslim ibnu Abu Tamim, dari Asim ibnu Hilal dengan lafaz
yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو التَّيَّاحِ، سَمِعْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وسلم قَالَ: "يَسِّرُوا، وَلَا تُعَسِّرُوا، وسكِّنُوا وَلَا تُنَفِّروا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan
kepada kami Abut Tayyah; ia pernah mendengar sahabat Anas r.a.
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Mudahkanlah dan
janganlah kalian mempersulit, serta bersikap simpatilah kalian dan
janganlah kalian bersikap tidak disenangi.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya di dalam kitab Sahih
masing-masing. Di dalam kitab Sahihain disebutkan pula bahwa ketika
Rasulullah Saw. mengutus sahabat Mu'az ibnu Jabal dan Abu Musa ke negeri
Yaman, beliau bersabda kepada keduanya:
"بَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا"
Sampaikanlah berita gembira (kepada mereka) dan janganlah kamu berdua
bersikap yang membuat mereka antipati kepadamu; permudahkanlah oleh kamu
dan janganlah kamu berdua mempersulit; dan saling bantulah kamu berdua
dan jangan sampai kamu berdua berselisih pendapat.
Di dalam kitab Sunan dan kitab Masanid disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"بُعِثْتُ بالحنيفيَّة السَّمْحَةِ"
Aku diutus membawa agama yang cenderung kepada perkara yang hak dan penuh dengan toleransi.
Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsirnya mengatakan:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا
يَحْيَى ابْنُ أَبِي طَالِبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ،
حَدَّثَنَا أَبُو مَسْعُودٍ الجُرَيري، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ،
عَنْ مِحْجَن بْنِ الْأَدْرَعِ: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رَأَى
رَجُلًا يُصَلِّي فَتَرَاءَاهُ بِبَصَرِهِ سَاعَةً، فَقَالَ: "أَتُرَاهُ
يُصَلِّي صَادِقًا؟ " قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا أَكْثَرُ
أَهْلِ الْمَدِينَةِ صَلَاةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا تُسْمِعْه فَتُهلِكَه". وَقَالَ: "إِنَّ اللَّهَ
إِنَّمَا أَرَادَ بِهَذِهِ الْأُمَّةِ اليُسْر، وَلَمْ يَرِدْ بِهِمُ
العُسْر"
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ishaq ibnu Ibrahim, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Talib, telah menceritakan kepada
kami Abdul Wahhab ibnu Ata, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud
Al-Hariri, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Mihjan ibnul Adra' yang
menceritakan: Bahwa Rasulullah Saw. melihat seorang lelaki yang sedang
salat, lalubeliau menatapnya dengan pandangan mata yang tajam selama
sesaat, kemudian bersabda, "Bagaimanakah menurutmu, apakah lelaki ini
salat dengan sebenarnya?" Perawi berkata, "Aku menjawab, "Wahai
Rasulullah, orang ini adalah penduduk Madinah yang paling banyak
mengerjakan salat'." Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah kamu
memperdengarkan jawabanmu kepadanya, karena akan membinasakannya
(membuatnya bangga dan riya)!" Dan Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya
Allah hanya menghendaki kemudahan belaka bagi umat ini, dan Dia tidak
menghendaki mereka kesulitan."
Firman Allah Swt:
{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ}
Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesulitan
bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya. (Al-Baqarah:
185)
Yakni sesungguhnya Aku memberikan keringanan kepada kalian boleh berbuka
bagi orang yang sakit dan yang sedang dalam perjalanan serta uzur
lainnya, tiada lain karena Aku menghendaki kemudahan bagi kalian. Dan
sesungguhnya Aku memerintahkan kalian untuk mengqadainya agar kalian
menyempurnakan bilangan bulan Ramadan kalian.
Firman Allah Swt.:
{وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ}
dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya. (Al-Baqarah: 185)
Yakni agar kalian ingat kepada Allah di saat ibadah kalian selesai.
Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً
Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah
dengan menyebut Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut
(membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah
lebih banyak dari itu. (Al-Baqarah: 200)
فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian
beruntung. (Al-Jumu'ah: 10)
Dan firman Allah Swt.:
سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ. وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبارَ السُّجُودِ
Dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan
sebelum terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari
dan setiap selesai salat. (Qaf: 39-40)
Karena itulah maka disebutkan di dalam sunnah bahwa disunatkan membaca
tasbih, tahmid, dan takbir setiap sesudah mengerjakan salat lima waktu.
Sahabat Ibnu Abbas mengatakan, "Kami tidak mengetahui selesainya salat
Nabi Saw. melainkan melalui takbirnya."
Karena itulah banyak kalangan ulama yang mengatakan bahwa membaca takbir
disyariatkan dalam Hari Raya Idul Fitri atas dasar firman-Nya:Dan
hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan-Nya kepada kalian.
(Al-Baqarah: 185) Hingga Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri berpendapat
wajib membaca takbir dalam Hari Raya Idul Fitri berdasarkan makna
lahiriah perintah yang terkandung di dalam firman-Nya: dan hendaklah
kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada
kalian. (Al-Baqarah: 185)
Lain halnya dengan mazhab Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa membaca
takbir dalam Hari Raya Fitri tidak disyariatkan. Sedangkan Imam lainnya
mengatakan sunat, tetapi masih ada perbedaan pendapat di kalangan
mereka dalam sebagian cabang-cabangnya.
Firman Allah Swt.:
{وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ}
Supaya kalian bersyukur. (Al-Baqarah: 185)
Artinya, apabila kalian mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah
kepada kalian (yakni taat kepada-Nya dan mengerjakan semua yang
difardukan-Nya dan meninggalkan semua apa yang diharamkan-Nya serta
memelihara batasan-batasan-Nya), barangkali kalian akan menjadi
orang-orang yang bersyukur kepada-Nya karena mengerjakan hal tersebut.
Firman Alloh Subhanahu Wata'ala
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku,
agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah
menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada
kami Jarir, dari Abdah ibnu Abu Barzah As-Sukhtiyani, dari As-Silt ibnu
Hakim ibnu Mu'awiyah (yakni Ibnu Haidah Al-Qusyairi), dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa ada seorang penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah,
apakah Tuhan kita dekat, maka kita akan bermunajat (berbisik)
kepada-Nya; ataukah Dia jauh, maka kita akan menyeru-Nya?" Nabi Saw.
diam, tidak menjawab. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi
(segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku.
(Al-Baqarah: 186)
Dengan kata lain, apabila kamu perintahkan mereka untuk berdoa
kepada-Ku, hendaklah mereka berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan
mengabulkan mereka.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Humaid
Ar-Razi, dari Jarir dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu
Murdawaih serta Abusy Syekh Al-Asbahani, melalui hadis Muhammad ibnu Abu
Humaid, dari Jarir dengan lafaz yang sama.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu
Sulaiman, dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan bahwa para sahabat
bertanya kepada Rasulullah Saw., "Di manakah Tuhan kita?" Maka Allah
Swt. menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku.
(Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, telah sampai kepada Ata bahwa ketika
firman-Nya ini diturunkan: Dan Tuhan kalian berfirman, "Berdoalah
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian." (Al-Mumin: 60) Maka
orang-orang bertanya, "Sekiranya kami mengetahui, saat manakah yang
lebih tepat untuk melakukan doa bagi kami?" Maka turunlah firman-Nya:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan
orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ
الْمَجِيدِ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي
عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: كُنَّا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاة
فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا، وَلَا نَعْلُو شَرَفًا، وَلَا نَهْبِطُ
وَادِيًا إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا بِالتَّكْبِيرِ. قَالَ: فَدَنَا
مِنَّا فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أرْبعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ؛
فإنَّكم لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّمَا تَدْعُونَ
سَمِيعًا بَصِيرًا، إِنَّ الذِي تَدْعُونَ أقربُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ
عُنُق رَاحِلَتِهِ. يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ
كَلِمَةً مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا
بِالْلَّهِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu
Abdul Majid As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hazza,
dari Abu Usman An-Nahdi, dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan,
"Ketika kami (para sahabat) bersama Rasulullah Saw. dalam suatu
peperangan, tidak sekali-kali kami menaiki suatu tanjakan dan berada di
tempat yang tinggi serta tidak pula kami menuruni suatu lembah melainkan
kami mengeraskan suara kami seraya mengucapkan takbir." Abu Musa
melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. mendekat ke arah kami dan
bersabda: 'Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya
kalian bukan berseru kepada orang yang tuli, bukan pula kepada orang
yang gaib; sesungguhnya kalian hanya berseru kepada Tuhan Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru lebih
dekat kepada seseorang di antara kalian daripada leher unta
kendaraannya. Hai Abdullah ibnu Qais, maukah kamu kuajarkan suatu
kalimat (doa) yang termasuk perbendaharaan surga? (Yaitu) la haula wala
quwwata ilia billah (tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah)'."
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan jamaah lainnya
melalui hadis Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya ialah Abdur Rahman
ibnu Ali, dari Abu Musa Al-Asy'ari dengan lafaz yang semisal.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ،
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
"يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا
مَعَهُ إِذَا دَعَانِي"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu
Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada
kami Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku menurut dugaan hamba-Ku mengenai
diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika dia berdoa kepada-Ku."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ،
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ
بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ
كَرِيمَةَ بِنْتِ الْخَشْخَاشِ الْمُزَنِيَّةِ، قَالَتْ: حَدَّثَنَا أَبُو
هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: "قَالَ اللَّهُ: أَنَا مَعَ عَبْدِي مَا ذَكَرَنِي،
وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu
Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan
kepada kami Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, telah menceritakan
kepada kami Ismail ibnu Ubaidillah, dari Karimah binti Ibnu Khasykhasy
Al-Muzaniyyah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu
Hurairah yang pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt.
berfirman, "Aku selalu bersama hamba-Ku selagi ia ingat kepada-Ku dan
kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku."
Menurut kami, hadis ini sama pengertiannya dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128)
Sama pula dengan firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, yaitu:
إِنَّنِي مَعَكُما أَسْمَعُ وَأَرى
Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Thaha: 46)
Makna yang dimaksud dari kesemuanya itu adalah, Allah Swt. tidak akan
mengecewakan doa orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak sesuatu pun yang
menyibukkan (melalaikan) Dia, bahkan Dia Maha Mendengar doa. Di dalam
pengertian ini terkandung anjuran untuk berdoa, dan bahwa Allah Swt.
tidak akan menyia-nyiakan doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Sehubungan
dengan hal ini Imam Ahmad mengatakan:
حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا رَجُلٌ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عُثْمَانَ
-هُوَ النَّهْدِيُّ -يُحَدِّثُ عَنْ سَلْمَانَ -يَعْنِي الْفَارِسِيَّ
-رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيَسْتَحْيِي أَنْ
يَبْسُطَ الْعَبْدُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ يَسْأَلُهُ فِيهِمَا خَيْرًا
فَيَرُدُّهُمَا خَائِبَتَيْنِ". قَالَ يَزِيدُ: سَمَّوْا لِي هَذَا
الرَّجُلَ، فَقَالُوا: جَعْفَرُ بْنُ مَيْمُونٍ
telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami
seorang lelaki yang pernah mendengar dari Abu Usman (yakni An-Nahdi)
ketika ia menceritakan hadis berikut dari Salman (yakni Al-Farisi r.a.),
bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. benar-benar
malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu
kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua
tangan yang hampa. Yazid berkata, "Sebutkanlah kepadaku nama lelaki
itu." Mereka menjawab bahwa dia adalah Ja'far ibnu Maimun.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah
melalui hadis Ja'far ibnu Maimun (pemilik kitab Al-Anbat) dengan lafaz
yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh sebagian dari mereka, tetapi dia tidak
me-rafa'-kannya. Syekh Al-Hafiz Abul Hajjah Al-Mazi di dalam kitab
Atraf-nya mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti pula oleh Abu
Hammam Muhammad ibnu Abuz Zabarqan, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu
Usman An-Nahdi dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula:
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَليّ بْنُ دُؤاد أَبُو
الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللَّهَ
عَزَّ وَجَلَّ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ،
إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ
يعجِّل لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدّخرها لَهُ فِي الْآخِرَةِ،
وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا" قَالُوا: إِذًا
نُكْثِرُ. قَالَ: "اللَّهُ أَكْثَرُ "
telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami
Ali ibnu Abul Mutawakkil An-Naji, dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw. pernah
bersabda: Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa kepada
Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan
tidak pula memutuskan silaturahmi, melainkan Allah pasti memberinya
berkat doa itu salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya
permohonannya itu segera dikabulkan, adakalanya permohonannya itu
disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari kemudian, dan adakalanya
dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya
itu. Mereka (para sahabat) berkata, "Kalau begitu, kami akan
memperbanyak doa." Nabi Saw. menjawab, "Allah Maha Banyak(Mengabulkan
Doa)."
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا
ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَير بْنِ
نُفَيْرٍ، أَنَّ عُبَادة بْنَ الصَّامِتِ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ
مِنْ رَجُلٍ مُسْلِم يَدْعُو اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، بِدَعْوَةٍ إِلَّا
آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا، أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا، مَا
لَمْ يَدعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ"
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami
Ishaq ibnu Mansur Al-Kausaj, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sauban, dari ayahnya,
dari Makhul, dari Jubair ibnu Nafir, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah
menceritakan hadis berikut kepada mereka, yaitu Nabi Saw. pernah
bersabda:tiada seorang lelaki muslim pun di muka bumi ini berdoa kepada
Allah Swt. memohon sesuatu melainkan Allah pasti mengabulkan
permintaannya itu atau mencegah darinya keburukan yang seimbang dengan
permintaannya, selagi dia tidak meminta hal yang berdosa atau memutuskan
hubungan silaturahmi.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu Abdur
Rahman Ad-Darami,dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, dari Ibnu Sauban
(yaitu Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih bila ditinjau dari jalur yang terakhir ini.
وَقَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ
-مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ -عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: "يُسْتَجَاب لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجل،
يَقُولُ: دعوتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي".
Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid maula Ibnu
Azhar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:Dikabulkan bagi seseorang di antara kalian selagi dia tidak
tergesa-gesa mengatakan, "Aku telah berdoa, tetapi masih belum
diperkenankan juga bagiku."
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui
hadis Malik dengan lafaz yang sama. Hadis ini menurut apa yang ada pada
Imam Bukhari rahimahullah.
قَالَ مُسْلِمٌ أَيْضًا : حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ
وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ ربيعة ابن يَزِيدَ،
عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الخَوْلاني، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَزَالُ
يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الاستعجال؟ قال:
"يقول: قددعوتُ، وَقَدْ دَعَوتُ، فَلَمْ أرَ يستجابُ لِي، فَيَسْتَحسر
عِنْدَ ذَلِكَ، وَيَتْرُكُ الدُّعَاءَ"
Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan
kepadaku Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah
menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Rabi'ah, dari Yazid,
dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda: Doa .seorang hamba masih tetap dikabulkan selagi dia tidak
mendoakan hal yang berdosa atau yang memutuskan silaturahmi, bilamana
dia tidak tergesa-gesa. Lalu ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang
dimaksud dengan tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Seorang hamba
mengatakan, 'Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tetapi masih belum
diperkenankan juga bagiku,' lalu saat itu dia merasa kecewa dan
menghentikan doanya."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا ابْنُ
هِلَالٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا
لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قَالُوا: وَكَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: "يَقُولُ:
قَدْ دعوتُ رَبِّي فَلَمْ يَسُتَجبْ لِي"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah
menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Anas, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang hamba masih tetap berada dalam
kebaikan selagi dia tidak tergesa-gesa. Mereka (sahabat) bertanya,
"Bagaimanakah pengertian tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Dia
mengatakan, 'Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tetapi masih belum
diperkenankan juga bagiku'."
Imam Abu Ja'far At-Tabari di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah
menceritakan kepadaku Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, bahwa Yazid ibnu
Abdullah ibnu Qasit telah menceritakan kepadanya, dari Urwah ibnuz
Zubair, dari Siti Aisyah r.a. yang pernah mengatakan bahwa tidak
sekali-kali seorang hamba yang mukmin berdoa kepada Allah memohon
sesuatu, lalu doanya itu disia-siakan, sebelum disegerakan baginya di
dunia atau ditangguhkan baginya untuk di akhirat, selagi dia tidak
tergesa-gesa atau putus asa. Urwah bertanya, "Wahai bibi, apakah yang
dimaksud dengan tergesa-gesa dan putus asa itu?" Siti Aisyah menjawab,
"Dia mengatakan, 'Aku telah meminta, tetapi tidak diberi; dan aku telah
berdoa, tetapi tidak dikabulkan'."
Ibnu Qasit mengatakan pula bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul
Musayyab mengatakan hal yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Siti
Aisyah r.a.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة،
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُليّ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله
عليه وسلم قال: "الْقُلُوبُ أَوْعِيَةٌ، وَبَعْضُهَا أَوْعَى مِنْ بَعْضٍ،
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ فَاسْأَلُوهُ وَأَنْتُمْ
مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ، فَإِنَّهُ لَا يَسْتَجِيبُ لِعَبْدٍ دَعَاهُ
عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ غَافِلٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami
Bakr ibnu Amr, dari Ibnu Abdur Rahman Al-Jaili, dari Abdullah ibnu Amr,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hati manusia itu bagaikan wadah,
sebagian di antaranya lebih memuat daripada sebagian yang lain. Karena
itu, apabila kalian meminta kepada Allah, hai manusia, mintalah
kepada-Nya, sedangkan hati kalian merasa yakin diperkenankan; karena
sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan bagi hamba yang berdoa
kepada-Nya dengan hati yang lalai.
Allah sangat dekat kepada hamba-hambaNya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ(16)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat
lehernya,(QS. Qaaf: 16)
Tidak perlu berteriak memohon kepadaNya:
قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ
تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ
الشَّاكِرِينَ (63)
Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di
darat dan di laut, yang kamu berdo`a kepada-Nya dengan berendah diri dan
dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): "Sesungguhnya jika Dia
menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang
yang bersyukur."(QS. Al-An'am: 66)
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdo`alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS.
Al-A'raf: 55)
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ
مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ
(205)
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan
rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan
petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.(QS.
Al-A'raf: 205)
Kemudian dijelaskan pula tentang syarat dikabulkan do'a:
أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku,
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ(186)
maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.(186)
Jadi, bila kita mengharapkan agar do'a kita dikabulkan Allah, maka
hendaklah kita (1) memenuhi segala perintahNya… (2) beriman kepada Allah
dengan keimanan yang mantap… sedangkan buah dari memenuhi perintah
Allah dan dari keimanan yang mantap ini adalah "la'allahum yarsyuduun
(semoga mereka cerdas)"… yaitu; cerdas yang berdasar kepada hidayah
Ilahi dan mendorongnya untuk selalu berada dalam kebajikan dan
kebenaran!
Ayat berikutnya kembali membincang tentang ibadah puasa:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.
عَلِمَ اللهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu.
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللهُ لَكُمْ
Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا
Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ(187)
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(187)
Hal ini merupakan suatu keringanan dari Allah buat kaum muslim, dan
Allah menghapuskan apa yang berlaku di masa permulaan Islam. Karena
sesungguhnya pada permulaan Islam, apabila salah seorang di antara
mereka berbuka, ia hanya dihalalkan makan dan minum serta bersetubuh
sampai salat Isya saja. Tetapi bila ia tidur sebelum itu atau telah
salat Isya, maka diharamkan baginya makan, minum, dan bersetubuh sampai
malam berikutnya. Maka dengan peraturan ini mereka mengalami masyaqat
yang besar.
Ar-Rafas, dalam ayat ini artinya bersetubuh. Demikianlah menurut Ibnu
Abbas, Ata, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Tawus, Salim ibnu Abdullah, Amr
ibnu Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ad-Dahhak, Ibrahim An-Nakha'i,
As-Saddi, Ata Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.
Firman Allah Swt.:
{هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ}
Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah: 187)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah,
As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, makna yang dimaksud ialah 'mereka
adalah ketenangan bagi kalian, dan kalian pun adalah ketenangan bagi
mereka'.
Menurut Ar-Rabi' ibnu Anas, maksud ayat ialah 'mereka adalah selimut bagi kalian dan kalian pun adalah selimut bagi mereka'.
Pada kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya
bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka
amatlah sesuai bila diringankan bagi mereka boleh bersetubuh dalam malam
Ramadan, agar tidak memberatkan mereka dan menjadikan mereka berdosa.
Seorang penyair mengatakan:
إِذَا مَا الضَّجِيعُ ثَنَى جِيدَهَا ... تَدَاعَتْ فَكَانَتْ عَلَيْهِ لِبَاسَا
Bilamana teman tidur melipatkan lehernya, berarti dia mengajak, maka jadilah dia seperti pakaiannya.
Latar belakang turunnya ayat ini telah disebutkan di dalam hadis Mu'az
yang panjang yang telah disebutkan sebelumnya. Abu Ishaq meriwayatkan
dari Al-Barra ibnu Azib, tersebutlah sahabat Rasulullah Saw. bila
seseorang dari mereka puasa, lalu ia tidur sebelum berbuka, maka ia
tidak boleh makan sampai keesokan malamnya di waktu yang sama.
Sesungguhnya Qais ibnu Sirman dari kalangan Ansar sedang melaksanakan
puasa. Pada siang harinya ia bekerja di lahannya. Ketika waktu berbuka
telah tiba, ia datang kepada istrinya dan mengatakan, "Apakah kamu
mempunyai makanan?" Si istri menjawab, "Tidak, tetapi aku akan pergi
dahulu untuk mencarikannya buatmu." Ternyata Qais sangat lelah hingga ia
tertidur. Ketika istrinya datang, si istri melihatnya telah tidur; maka
ia berkata, "Alangkah kecewanya engkau, ternyata engkau tertidur."
Ketika keesokan harinya, tepat di siang hari Qais pingsan, lalu hal itu
diceritakan kepada Nabi Saw. Kemudian turunlah ayat ini, yaitu:
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan
istri-istri kalian, —sampai dengan firman-Nya— dan makan minumlah hingga
jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
(Al-Baqarah: 187) Maka mereka amat gembira dengan turunnya ayat ini.
Lafaz hadis Imam Bukhari dalam bab ini diketengahkan melalui Abu Ishaq,
dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika ayat puasa bulan Ramadan
diturunkan, mereka tidak menggauli istri-istri mereka sepanjang bulan
Ramadan, dan kaum laki-laki berkhianat terhadap dirinya sendiri. Maka
Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian
tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan
memberi maaf kepada kalian. (Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa
kaum muslim pada mulanya dalam bulan Ramadan bilamana mereka telah
salat Isya, maka diharamkan atas mereka wanita dan makanan sampai dengan
waktu yang semisal pada keesokan malamnya. Kemudian ada segolongan kaum
muslim yang menggauli istri-istri mereka dan makan sesudah salat Isya
dalam bulan Ramadan, di antaranya ialah Umar ibnul Khattab. Maka mereka
mengadukan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Lalu Allah menurunkan
firman-Nya: Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu
kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada
kalian. Maka sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir
ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.
Musa ibnu Uqbah telah meriwayatkan dari Kuraib, dari Ibnu Abbas yang
menceritakan bahwa sesungguhnya orang-orang itu sebelum diturunkan
perintah puasa seperti apa yang telah diturunkan kepada mereka sekarang,
mereka masih tetap boleh makan dan minum serta dihalalkan bagi mereka
menggauli istri-istrinya. Tetapi apabila seseorang di antara mereka
tidur, maka ia tidak boleh makan dan minum serta tidak boleh menyetubuhi
istrinya hingga tiba saat berbuka pada keesokan malamnya. Kemudian
sampailah suatu berita kepada kami bahwa Umar ibnul Khattab sesudah dia
tidur dan wajib baginya melakukan puasa, maka ia (bangun) dan
menyetubuhi istrinya. Kemudian ia datang menghadap Nabi Saw. dan
berkata, "Aku mengadu kepada Allah dan juga kepadamu atas apa yang telah
aku perbuat." Nabi Saw. bertanya,"Apakah yang telah kamu lakukan?" Umar
menjawab, "Sesungguhnya hawa nafsuku telah menggoda diriku, akhirnya
aku menyetubuhi istriku sesudah aku tidur, sedangkan aku berkeinginan
untuk puasa." Maka mereka (para sahabat) menduga bahwa Nabi Saw. pasti
menegurnya dan mengatakan kepadanya, "Tidaklah pantas kamu lakukan hal
itu." Maka turunlah firman-Nya yang mengatakan: Dihalalkan bagi kalian
pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah:
187)
Sa'id ibnu Abu Arubah meriwayatkan dari Qais ibnu Sa'd, dari Ata ibnu
Abu Rabah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan takwil
firman-Nya:Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan
istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187) Bahwa kaum muslim sebelum ayat
ini diturunkan, apabila mereka telah salat Isya, diharamkan atas mereka
makan, minum, dan wanita hingga mereka berbuka lagi di malam
berikutnya. Sesungguhnya Umar ibnul Khattab menyetubuhi istrinya sesudah
salat Isya.
Sedangkan Sirmah ibnu Qais Al-Ansari tertidur sesudah salat Magrib; dia
belum makan apa pun, dan ia masih belum bangun kecuali setelah
Rasulullah Saw. salat Isya; maka ia bangun, lalu makan dan minum.
Kemudian pada pagi harinya ia datang kepada Rasulullah Saw. dan
menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya berkenaan dengan peristiwa itu, yakni: Dihalalkan bagi kalian
pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah:
187) Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh dengan istri.mereka
itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu
kalian. (Al-Baqarah: 187) Yakni kalian menyetubuhi istri-istri kalian
dan kalian makan serta minum sesudah Isya. karena itu Allah mengampuni
kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah:
187) Maksudnya, campurilah istri-istri kalian dan ikutilah apa yang
telah ditetapkan oleh Allah buat kalian, yakni memperoleh anak. dan
makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.
(Al-Baqarah: 187) Maka hal ini merupakan keringanan dan rahmat dari
Allah.
Hisyam meriwayatkan dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Abdur Rahman
ibnu Abu Laila yang menceritakan bahwa sahabat Umar ibnul Khattab r.a.
pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi malam
menginginkan istriku sebagaimana layaknya seorang lelaki mengingini
istrinya. Tetapi ia menjawab bahwa dirinya telah tidur sebelum itu,
hanya aku menduga dia sedang sakit. Akhirnya aku setubuhi dia." Maka
berkenaan dengan Umar r.a. turunlah ayat berikut, yakni firman-Nya:
Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan
istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187)
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Syu'bah, dari Amr ibnu Murrah, dari Ibnu Abu Laila dengan lafaz yang sama.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Suwaid, telah menceritakan
kepada kami Ibnul Mubarak, dari Abu Luhai'ah, telah menceritakan
kepadaku Musa ibnu Jubair maula Bani Salamah, bahwa ia pernah mendengar
Abdullah ibnu Ka'b ibnu Malik menceritakan sebuah hadis kepadanya dari
ayahnya, bahwa orang-orang dalam bulan Ramadan, bila seorang lelaki di
antara mereka puasa dan pada petang harinya dia tertidur, maka
diharamkan atasnya makan, minum, dan menggauli istri hingga saat berbuka
pada besok malamnya. Di suatu malam Umar ibnul Khattab r.a. pulang ke
rumahnya dari rumah Nabi Saw. yang saat itu begadang di rumah beliau.
Lalu Umar menjumpai istrinya telah tidur, dan ia menginginkannya. Tetapi
istrinya menjawab, "Aku telah tidur." Maka Umar menjawab, "Kamu belum
tidur," lalu ia langsung menyetubuhinya. Ka'b ibnu Malik melakukan hal
yang sama pula. Pada pagi harinya Umar berangkat ke rumah Nabi Saw. dan
menceritakan hal tersebut kepadanya. Kemudian turunlah firman-Nya: Allah
mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena
itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka
sekarang campurilah mereka. (Al-Baqarah: 187), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan pula dari Mujahid, Ata, Ikrimah, Qatadah, dan
lain-lainnya dalam asbabun nuzul ayat ini. Yaitu berkenaan dengan
perbuatan Umar ibnul Khattab dan orang-orang yang melakukan seperti apa
yang diperbuatnya, juga berkenaan dengan Sirmah ibnu Qais. Maka
diperbolehkanlah bersetubuh, makan, dan minum dalam semua malam Ramadan
sebagai rahmat dan keringanan serta belas kasihan dari Allah.
Firman Allah Swt.:
{وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ}
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187)
Menurut Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadi, Mujahid,
Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, Zaid ibnu
Aslam, Al-Hakam ibnu Utbah, Muqatil ibnu Hayyan, Al-Hasan Al-Basri,
Ad-Dahhak, Qatadah, dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah anak.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan takwil
firman-Nya: Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian.
(Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud ialah jimak (persetubuhan).
Amr ibnu Malik Al-Bakri telah mengatakan dari Abul Jauza, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan takwil ayat ini: dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Makna yang dimaksud
ialah lailatul qadar (malam yang penuh dengan kemuliaan). Demikianlah
menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ma'mar,
bahwa Qatadah pernah mengatakan, "Ikutilah oleh kalian keringanan yang
telah ditetapkan oleh Allah buat kalian ini!" Yakni atas dasar bacaan ma
ahallallahu lakum (bukan ma kataballahu lakum), artinya 'apa yang telah
dihalalkan oleh Allah buat kalian'.
Abdur Razzaq telah mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ata ibnu Abu Rabah yang pernah
bercerita bahwa ia pernah berkata kepada Ibnu Abbas mengenai bacaan ayat
ini, yakni firman-Nya: dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untuk kalian. (Al-Baqarah: 187) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Mana saja
yang kamu sukai boleh, tetapi pilihlah olehmu bacaan yang pertama,
(yakni kataba, bukan ahal-la)." Akan tetapi, Ibnu Jarir memilih pendapat
yang mengatakan bahwa makna ayat lebih umum daripada hal tersebut.
Firman Allah Swt.:
{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ}
dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dan benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.
(Al-Baqarah: 187)
Allah Swt. memperbolehkan pula makan dan minum di samping boleh
menggauli istri dalam malam mana pun yang disukai oleh orang yang
berpuasa, hingga tampak jelas baginya cahaya waktu subuh dari gelapnya
malam hari. Hal ini diungkapkan di dalam ayat dengan istilah 'benang
putih' yang berbeda dengan 'benang hitam', kemudian pengertian yang
masih misteri ini diperjelas dengan firman-Nya:
{مِنَ الْفَجْرِ}
Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)
Seperti yang disebutkan di dalam hadis riwayat Imam Abu Abdullah Al-Bukhari:
حَدَّثَنَا ابن أبي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّان مُحَمَّدُ بْنُ
مُطَرِّف، حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ:
أُنْزِلَتْ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} وَلَمْ يُنزلْ {مِنَ الْفَجْرِ}
وَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ، رَبَطَ أحدُهم فِي رِجْلَيْهِ
الْخَيْطَ الْأَبْيَضَ وَالْخَيْطَ الْأَسْوَدَ، فَلَا يَزَالُ يَأْكُلُ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتَهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ: {مِنَ
الْفَجْرِ} فَعَلِمُوا أَنَّمَا يَعْنِي: اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada
kami Abu Gassan (yakni Muhammad ibnu Mutarrif), telah menceritakan
kepada kami Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa ketika
ayat berikut ini diturunkan: Dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian
benang putih dari benang hitam. (Al-Baqarah: 187) Sedangkan
kelanjutannya masih belum diturunkan, yaitu firman-Nya: Yaitu fajar.
(Al-Baqarah: 187) Maka orang-orang apabila hendak berpuasa, seseorang
dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam pada kakinya; dia
masih tetap makan dan minum hingga tampak jelas baginya kedua benang
itu. Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)
Maka mengertilah mereka bahwa yang dimaksud dengan istilah benang putih
dan benang hitam ialah malam dan siang hari.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ
الشَّعْبِيِّ، أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ
هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ،
أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ، قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ
وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا فَلَا تَبَيَّن لِي
الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ الْأَسْوَدِ،
فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ
وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ
اللَّيْلِ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam, telah
menceritakan kepada kami Husain, dari Asy-Sya'bi, telah menceritakan
kepadaku Addi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa ketika ayat ini
diturunkan, yakni firman-Nya:dan makan minumlah hingga jelas bagi kalian
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187) (Addi
ibnu Hatim berkata), "Maka aku sengaja mencari dua buah tali, yang satu
berwarna hitam, sedangkan yang lain berwama putih; lalu aku letakkan di
bawah bantalku, dan aku tinggal melihat keduanya. Dan ketika tampak
jelas di mataku perbedaan antara benang putih dan benang hitam, maka aku
mulai imsak (menahan diri). Pada keesokan harinya aku datang menghadap
Rasulullah Saw., lalu aku ceritakan kepadanya apa yang telah kulakukan
itu, maka beliau bersabda: 'Sesungguhnya bantalmu kalau demikian
benar-benar lebar. Sesungguhnya yang dimaksud dengan demikian itu
hanyalah terangnya siang hari dan gelapnya malam hari'."
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari berbagai jalur dari Addi.
Makna 'sesungguhnya bantalmu kalau demikian benar-benar lebar' ialah
bantalmu memang lebar jika dapat memuat dua buah tali, yakni tali yang
berwama hitam dan yang berwarna putih. Makna yang dimaksud dijelaskan
oleh ayat berikutnya, bahwa sesungguhnya keduanya itu adalah terangnya
siang hari dan gelapnya malam hari. Hal ini berarti bantal Addi sama
lebarnya dengan ufuk timur dan ufuk barat. Demikianlah menurut apa yang
tercatatkan di dalam riwayat Imam Bukhari, yakni ditafsirkan seperti
ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، أَخْبَرَنَا حُصَين، عَنِ
الشَّعْبِيِّ، أَخْبَرَنِي عَديّ بْنُ حَاتِمٍ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ
هَذِهِ الْآيَةُ: {وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ} عَمَدت إِلَى عِقَالَيْنِ،
أحدُهما أَسْوَدُ وَالْآخَرُ أَبْيَضُ، قَالَ: فَجَعَلْتُهُمَا تَحْتَ
وِسَادَتِي، قَالَ: فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمَا فَلَا تَبَيَّن لِي
الْأَسْوَدُ مِنَ الْأَبْيَضِ، وَلَا الْأَبْيَضُ مِنَ الْأَسْوَدِ،
فَلَمَّا أَصْبَحْتُ غَدَوْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ. فَقَالَ: "إِنَّ
وِسَادَكَ إِذًا لَعَرِيضٌ، إِنَّمَا ذَلِكَ بَيَاضُ النَّهَارِ وَسَوَادُ
اللَّيْلِ"
Telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan
kepada kami Abu Uwwanah, dari Husain, dari Sya'bi, dari Addi yang
menceritakan bahwa dia mengambil tali yang berwarna putih dan tali yang
berwarna hitam. Ketika sebagian dari malam hari telah berlalu, ia
memandang ke arah kedua tali itu, tetapi dia masih belum dapat
membedakannya. Ketika pagi harinya ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku
telah meletakkan dua buah tali di bawah bantalku." Maka Rasulullah Saw.
menjawab: Sesungguhnya bantalmu (tengkukmu) benar-benar lebar kalau
demikian, yakni jika tali putih dan tali hitam itu berada di bawah
bantalmu. Menurut lafaz lainnya disebutkan: Sesungguhnya kamu ini
benar-benar memiliki tengkuk yang lebar.
Sebagian di antara mereka menafsirkannya dengan pengertian orang yang
dungu; tetapi riwayat ini daif, melainkan pengertian yang benar ialah
'apabila bantalnya lebar, maka berarti tengkuknya lebar pula (yakni
bukan makna kinayah, melainkan makna menurut lahiriah)'.
Imam Bukhari menafsirkan pula melalui riwayat lainnya, yaitu:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُطَرّف، عَنِ
الشَّعْبِيِّ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، مَا الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ، أَهُمَا
الْخَيْطَانِ؟ قَالَ: "إِنَّكَ لَعَرِيضُ الْقَفَا إِنْ أَبْصَرْتَ
الْخَيْطَيْنِ". ثُمَّ قَالَ: "لَا بَلْ هُوَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ
النَّهَارِ"
telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami
Jarir, dari Mutarrif, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang
menceritakan: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud
dengan benang putih dari benang hitam, apakah keduanya memang benang?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Sesungguhnya tengkukmu benar-benar lebar jika
kamu memahami makna kedua benang itu." Kemudian Nabi Saw. bersabda
lagi, "Tidak, bahkan yang dimaksud ialah gelapnya malam hari dan
terangnya siang hari."
Ketetapan Allah Swt. yang membolehkan seseorang makan sampai fajar
terbit menunjukkan sunat bersahur, karena sahur termasuk ke dalam bab
rukhsah, dan mengamalkannya merupakan hal yang dianjurkan. Karena itulah
di dalam sunnah Rasul Saw. terdapat anjuran bersahur.
Di dalam kitab Sahihain, dari Anas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحور بَرَكَةٌ"
Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur terkandung barakah.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Amr ibnul As r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إن فَصْل مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَر"
Sesungguhnya perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab ialah makan sahur.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى هُوَ ابْنُ
الطَّبَّاعِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "السَّحور أكْلُهُ بَرَكَةٌ؛
فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَجْرَع جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ،
فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa
(yaitu Ibnut Tabba'), telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Zaid, dari ayahnya, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Sa'id yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sahur adalah makanan
yang mengandung berkah, maka janganlah kalian melewatkannya, sekalipun
seseorang di antara kalian hanya meminum seteguk air, karena
sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk orang-orang
yang makan sahur.
Di dalam Bab "Anjuran Bersahur" banyak hadis yang menerangkannya,
sehingga disebutkan bahwa sekalipun hanya dengan seteguk air, karena
disamakan dengan orang-orang yang makan.
Mengakhirkan sahur sunat hukumnya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا
إِلَى الصَّلَاةِ. قَالَ أَنَسٌ: قُلْتُ لِزَيْدٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ
الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
dari Anas ibnu Malik, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan, "Kami
makan sahur bersama Rasulullah Saw., kemudian kami bangkit mengerjakan
salat." Anas bertanya kepada Zaid, "Berapa lamakah jarak antara azan
(salat Subuh) dan sahur?" Zaid menjawab, "Kurang lebih sama dengan
membaca lima puluh ayat."
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا
ابْنُ لَهِيعة، عَنْ سَالِمِ بْنِ غَيْلَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَبِي
عُثْمَانَ، عَنْ عَديّ بْنِ حَاتِمٍ الْحِمْصِيِّ، عَنْ أَبِي ذَرّ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: "لا تَزَالُ أُمَّتِي
بِخَيْرٍ مَا عَجَّلوا الْإِفْطَارَ وأخَّروا السُّحُورَ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud,
telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Salim ibnu Gailan,
dari Sulaiman ibnu Abu Usman, dari Addi ibnu Hatim Al-Hamsi, dari Abu
Zar yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Umatku
masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka
(puasa) dan mengakhirkan makan sahur(nya).
Banyak hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. menamakan makan
sahur ini dengan sebutan jamuan yang diberkati. Di dalam sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah:
مِنْ رِوَايَةِ حَمَّادِ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ،
عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ:
تسحَّرْنا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَكَانَ النَّهَارُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ
melalui riwayat Hammad ibnu Salamah, dari Asim ibnu Bahdalah, dari Zaid
ibnu Hubaisy, dari Huzaifah yang menceritakan: Kami makan sahur bersama
Rasulullah Saw., maka hari pun mulai pagi, hanya matahari belum terbit.
Hadis ini menurut Imam Nasai hanya ada pada Asim ibnu Abun Nujud, dan
Imam Nasai menginterpretasikannya dengan pengertian dekat pagi hari.
Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
فَإِذا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
Apabila mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik. (At-Talaq: 2)
Yakni masa idah mereka mendekati akhirnya, maka sebagai jalan keluarnya
ialah adakalanya mereka dirujuki dengan baik atau dilepaskan dengan baik
pula.
Apa yang dikatakan oleh Imam Nasai ini merupakan takwil makna hadis ini,
dan takwil ini merupakan suatu pilihan yang terbaik karena mereka (para
sahabat) terbukti melakukan sahur, sedangkan mereka belum yakin akan
terbitnya fajar; hingga sebagian dari kalangan mereka ada yang menduga
bahwa fajar telah terbit, dan sebagian yang lainnya belum dapat
membuktikannya.
Firman Allah Swt.:
{ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ}
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Makna ayat ini menunjukkan bahwa berbuka puasa itu di saat matahari
tenggelam sebagai ketetapan hukum syar'i, seperti yang telah disebutkan
di dalam kitab Sahihain, dari Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a.
yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ"
Apabila malam tiba dari arah ini dan siang hari pergi dari arah ini, berarti telah tiba waktu berbuka bagi orang yang puasa.
Dari Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ"
Orang-orang masih tetap dalam keadaan baik selagi mereka menyegerakan berbuka. (Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim)
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ،
حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنَا قُرّة بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ،
عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ
وَجَلَّ: إِنَّ أَحَبَّ عِبَادِي إِلِيَّ أعجلُهم فِطْرًا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu
Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, telah menceritakan
kepada kami Qurrah ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah,
dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang bersabda: Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya orang yang paling Aku cintai di antara hamba-hamba-Ku
ialah orang yang paling segera berbuka."
Imam Turmuzi meriwayatkannya pula melalui bukan hanya dari satu jalur,
bersumber dari Al-Auza'i dengan lafaz yang sama, dan ia mengatakan bahwa
hadis ini hasan garib.
وَقَالَ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ
اللَّهِ بْنُ إِيَادٍ، سَمِعْتُ إِيَادَ بْنَ لَقِيطٍ قَالَ: سَمِعْتُ
لَيْلَى امْرَأَةَ بَشِير بْنِ الخَصَاصِيَّة، قَالَتْ: أَرَدْتُ أَنْ
أصومَ يَوْمَيْنِ مُوَاصَلَةً، فَمَنَعَنِي بَشِيرٌ وَقَالَ: أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْهُ. وَقَالَ: "يَفْعَلُ ذَلِكَ النَّصَارَى،
ولكنْ صُوموا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ، وَأَتِمُّوا الصيامَ إِلَى
اللَّيْلِ، فَإِذَا كَانَ اللَّيْلُ فَأَفْطِرُوا"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Iyad yang mendengarnya dari
Ibnu Laqit, bahwa ia pernah mendengar dari Laila (istri Basyir ibnul
Khasasiyah) yang menceritakan bahwa ia pernah hendak melakukan puasa dua
hari berturut-turut, tetapi Basyir melarangnya dan mengatakan bahwa
sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang hal seperti itu dan bersabda: Yang
melakukan demikian hanyalah orang-orang Nasrani, tetapi berpuasalah
kalian sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, "Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam" (Al-Baqarah: 187). Apabila malam
tiba (magrib), maka berbukalah kalian.
Karena itulah telah disebutkan di dalam hadis-hadis sahih larangan
ber-wisal, yakni melanjutkan puasa dengan hari berikutnya tanpa makan
sesuatu pun di antara keduanya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، حَدَّثَنَا
مَعْمَر، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا
تُوَاصِلُوا". قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُوَاصِلُ. قَالَ:
"فَإِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ، إِنِّي أبِيتُ يُطْعمني رَبِّي
وَيَسْقِينِي". قَالَ: فَلَمْ يَنْتَهُوا عَنِ الْوِصَالِ، فَوَاصَلَ
بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَيْنِ
وَلَيْلَتَيْنِ، ثُمَّ رَأَوُا الْهِلَالَ، فَقَالَ: "لَوْ تَأَخَّرَ
الْهِلَالُ لَزِدْتُكُمْ" كالمُنكِّل بِهِمْ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq,
telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah,
dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: "Janganlah kalian ber-wisal." Mereka bertanya, "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya engkau pun melakukan wisal." Nabi Saw.
menjawab, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku
menginap seraya diberi makan dan minum oleh Tuhanku." Abu Hurairah
melanjutkan kisahnya, bahwa mereka tidak mau menghentikan wisalnya
(karena mengikut Nabi Saw.). Nabi Saw. meneruskan wisal-nya bersama
mereka selama dua hari dua malam. Kemudian mereka melihat hilal (bulan
Syawwal), maka Nabi Saw. bersabda, "Seandainya hilal datang terlambat,
niscaya aku tambahkan kepada kalian," seperti orang yang menghukum
mereka.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab
Sahihain melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang sama. Demikian pula
keduanya mengetengahkan hadis tentang larangan wisal ini melalui hadis
Anas dan Ibnu Umar.
Dari Siti Aisyah r.a., disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melarang mereka
melakukan puasa wisal karena kasihan kepada mereka, ketika mereka
berkata, "Sesungguhnya engkau pun ber-wisal? Maka beliau Saw. menjawab:
"إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي"
Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum oleh Tuhanku.
Larangan melakukan wisal ini telah dibuktikan melalui berbagai jalur
periwayatan, dan telah ditetapkan pula bahwa wisal merupakan salah satu
keistimewaan Nabi Saw. Beliau Saw. kuat melakukan hal tersebut dan
mendapat pertolongan dari Allah untuk melakukannya. Tetapi menurut
pendapat yang kuat, makanan dan minuman yang diberikan khusus kepada
Nabi Saw. hanyalah berupa makanan dan minuman maknawi (abstrak), bukan
hissi (konkret). Jika tidak demikian, berarti Nabi Saw. bukanlah orang
yang ber-wisal bila ditinjau dari segi hissi, melainkan perihalnya sama
dengan apa yang diungkapkan oleh seorang penyair, yaitu:
لَهَا أَحَادِيثُ مِنْ ذِكْرَاكَ تَشْغَلُهَا ... عَنِ الشَّرَابِ وَتُلْهِيهَا عَنِ الزَّادِ
Dia mempunyai banyak cerita kenangan bersamamu yang membuatnya sibuk, lupa makan dan lupa kepada perbekalannya.
Bagi orang yang senang melakukan imsak sesudah matahari tenggelam hingga
waktu sahur, diperbolehkan baginya melakukan hal itu seperti apa yang
disebutkan di dalam hadis Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang menceritakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ إِلَى
السَّحَرِ". قَالُوا: فَإِنَّكَ تواصِل يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ:
"إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي أَبَيْتُ لِي مُطْعِم يُطْعِمُنِي،
وَسَاقٍ يَسْقِينِي".
Janganlah kalian ber-wisal. Barang siapa di antara kalian ingin
melakukan wisal, ber-wisal-lah sampai waktu sahur. Mereka berkata,
"Wahai Rasulullah, tetapi engkau pun ternyata ber-wisal." Rasulullah
Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku tidaklah seperti keadaan kalian.
Sesungguhnya aku menginap, sedangkan aku ada yang memberi makan dan yang
memberi minum."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan pula hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا أَبُو كُريْب، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ،
حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ العَبْسي عَنْ أَبِي بَكْرِ ابن حَفْصٍ،
عَنْ أُمِّ وَلَدِ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتعة: أَنَّهَا مَرَّتْ بِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَسَحَّرُ،
فَدَعَاهَا إِلَى الطَّعَامِ. فَقَالَتْ: إِنِّي صَائِمَةٌ. قَالَ:
وَكَيْفَ تَصُومِينَ؟ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: "أين أنت من وِصَالِ آلِ مُحَمَّدٍ، مِنَ
السَّحَر إِلَى السَّحَر"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Abu
Israil Al-Anasi, dari Abu Bakar ibnu Hafs, dari ibu anaknya Hatib ibnu
Abu Balta'ah yang menceritakan: Bahwa ia bersua dengan Rasulullah Saw.
ketika beliau sedang makan sahur. Beliau memanggil untuk ikut makan,
tetapi ia berkata, "Sesungguhnya aku sedang puasa." Nabi Saw. bersabda,
"Bagaimanakah cara puasamu?" Lalu ia menceritakan hal tersebut kepada
Nabi Saw. Maka Nabi Saw. bersabda, "Puasamu itu bukan termasuk wisal
yang dilakukan oleh keluarga Muhammad, (wisal) ialah dari sahur ke sahur
yang lain'.'
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}
(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah: 187)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal ini berkenaan
dengan seorang lelaki yang sedang melakukan i'tikaf di dalam masjid,
baik dalam bulan Ramadan ataupun di luar Ramadan. Diharamkan baginya
menyetubuhi istrinya, baik di siang maupun di malam hari sebelum dia
selesai dari i'tikaf.
Ad-Dahhak mengatakan, apabila seorang lelaki melakukan i'tikaf di dalam
masjid, lalu ia keluar, maka ia boleh menyetubuhi istrinya jika
menghendakinya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: (tetapi)
janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian ber-i'tikaf dalam
masjid. (Al-Baqarah: 187)
Dengan kata lain, janganlah kalian mendekati mereka (istri-istri kalian)
selagi kalian masih dalam keadaan i'tikaf di dalam masjid, baik dalam
bulan Ramadan ataupun dalam bulan lainnya. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Mujahid, Qatadah, dan bukan hanya seorang dari kalangan mereka,
bahwa pada mulanya mereka melakukan hal tersebut (yakni menyetubuhi
istri mereka selagi mereka masih dalam i'tikaf) hingga ayat ini
diturunkan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Muhammad
ibnu Ka'b, Mujahid, Ata, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, As-Saddi,
Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil, bahwa mereka pernah mengatakan,
"Janganlah seseorang mendekati istrinya, sedang dia dalam keadaan
i'tikaf."
Riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dari mereka ini merupakan
hal yang telah disekapati di kalangan semua ulama. Yaitu orang yang
beri'tikaf diharamkan menyetubuhi istrinya selagi ia masih dalam i'tikaf
di masjid. Sekiranya dia pergi ke rumahnya untuk suatu keperluan yang
tak dapat dielakkan, tidak halal baginya tinggal di dalam rumah kecuali
sekadar waktu seperlunya sesuai dengan kepentingannya, misalnya buang
air besar atau makan; dan tidak diperbolehkan mencium istri, tidak boleh
pula memeluknya, dan tidak boleh menyibukkan diri dengan urusan lain
kecuali i'tikafnya. Ia tidak boleh menjenguk orang yang sakit, tetapi
boleh baginya menanyakan perihal si sakit bila ia mengambil jalan yang
melewati si sakit.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Safiyyah binti Huyayyin
mengunjungi Nabi Saw. yang sedang i'tikaf di dalam masjid, lalu Safiyyah
berbicara sesaat dengan Nabi Saw., kemudian ia bangkit untuk pulang ke
rumahnya; hal tersebut terjadi di malam hari. Maka Nabi Saw. bangkit
untuk mengantarkannya sampai ke rumahnya.
Tersebutlah bahwa rumah Siti Safiyyah binti Huyayyin berada di
perkampungan rumah Usamah ibnu Zaid di sebelah Madinah. Ketika berada di
tengah jalan, Nabi Saw. bersua dengan dua orang lelaki dari kalangan
Ansar. Ketika keduanya melihat Nabi Saw., maka keduanya berjalan dengan
cepat.
Menurut riwayat yang lain, kedua lelaki itu bersembunyi karena malu
kepada Nabi Saw., mengingat Nabi Saw. sedang bersama istrinya (Siti
Safiyyah binti Huyayyin). Maka Nabi Saw. bersabda, "Perlahan-lahanlah
kamu berdua, sesungguhnya dia adalah Safiyyah binti Huyayyin,"yakni
istrinya. Maka kedua lelaki itu berkata, "Subhanallah (Mahasuci Allah),
wahai Rasulullah." Maka Rasulullah Saw. bersabda;
"إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي
خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا" أَوْ قَالَ: "شَرًّا"
Sesungguhnya setan itu merasuk ke dalam diri anak Adam melalui aliran
darahnya, dan sesungguhnya aku merasa khawatir bila timbul suatu
kecurigaan di dalam hati kamu berdua atau beliau Saw. Bersabda suatu
keburukan.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan bahwa Nabi Saw. bermaksud
mengajarkan kepada umatnya membebaskan diri dari tuduhan di tempat
kejadian, agar keduanya tidak terjerumus ke dalam hal yang dilarang,
padahal kedua orang tersebut adalah orang yang bertakwa-kepada Allah dan
jauh dari kemungkinan bila ia mempunyai prasangka yang buruk terhadap
diri Nabi Saw.
Yang dimaksud dengan istilah mubasyarah dalam ayat ini ialah bersetubuh
dan semua pendahuluan yang menjurus ke arahnya, seperti ciuman, pelukan,
dan lain sebagainya. Saling serah terima sesuatu dan hal lainnya yang
semisal, hukumnya tidak mengapa. Sesungguhnya telah disebutkan di dalam
kitab Sahihain, dari Siti Aisyah r.a., bahwa Rasulullah Saw. pernah
mendekatkan kepalanya ke tubuh Siti Aisyah, lalu Siti Aisyah menyisirkan
rambutnya, sedangkan Siti Aisyah dalam keadaan berhaid. Nabi Saw. tidak
memasuki rumah (dalam i'tikafnya) melainkan karena keperluan
sebagaimana layaknya seorang manusia. Siti Aisyah r.a. mengatakan, "Dan
pernah ada orang yang sedang sakit di dalam rumahnya, maka aku tidak
menanyakan tentang keadaannya melainkan sambil lewat (menuju masjid)."
Firman Allah Swt.:
{تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ}
Itulah batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187)
Yakni apa yang telah Kami terangkan, yang telah Kami wajibkan dan Kami
bataskan menyangkut puasa dan hukum-hukumnya serta hal-hal yang Kami
perbolehkan di dalamnya; dan hal-hal yang Kami haramkan serta Kami
sebutkan tujuan-tujuan, rukhsah-rukhsah, dan 'azaim-nya. Semua itu
adalah batasan-batasan yang telah disyariatkan oleh Allah dan
diterangkan-Nya sendiri.
Firman Allah Swt.:
{فَلا تَقْرَبُوهَا}
maka janganlah kalian mendekatinya. (Al-Baqarah: 187)
Maksudnya, janganlah kalian melampaui dan menabraknya.
Sedangkan menurut Ad-Dahhak dan Muqatil, makna firman-Nya: Itulah
batasan-batasan Allah. (Al-Baqarah: 187) Yakni melakukan persetubuhan
dalam i'tikaf. Sedangkan menurut Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, yang
dimaksud ialah batasan-batasan yang empat, lalu ia membacakan
firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur
dengan istri-istri kalian —sampai dengan firman-Nya— Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (Al-Baqarah: 187)
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayahnya dan orang
lain dari kalangan guru-gurunya mengatakan hal yang sama dan
mengajarkannya kepada dia (dan murid-murid lainnya).
Firman Allah Swt.:
{كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ}
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia. (Al-Baqarah: 187)
Yakni sebagaimana Allah menjelaskan masalah puasa berikut hukum-hukum
syariat dan rinciannya, Dia pun menjelaskan pula semua hu-kum lainnya
melalui lisan hamba dan Rasul-Nya —yaitu Nabi Muhammad Saw.— kepada umat
manusia.
لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
supaya mereka bertakwa. (Al-Baqarah: 187)
Artinya, agar mereka mengetahui bagaimana jalan hidayah itu dan
bagaimana cara mereka bertaat. Perihalnya sama dengan makna yang
terkandung di dalam firman-Nya:
هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلى عَبْدِهِ آياتٍ بَيِّناتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ
الظُّلُماتِ إِلَى النُّورِ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَؤُفٌ رَحِيمٌ
Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang
(Al-Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang
terhadap kalian. (Al-Hadid: 9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar