Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah
sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad
sebagai rasulnya”
Kata Ridha berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata rodiya yang berarti
senang, suka, rela. Pengertian ridha juga ialah menerima dengan senang
segala apa yang diberikan oleh Allah Swt. baik berupa peraturan ( hukum )
atau pun qada’ atau sesuatu ketentuan dari Allah Swt.
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا
حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا
إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
Artinya:”Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan
Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi
kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian
(pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap
kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).(QS.
At-Taubah:59)
َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ
اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا
اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ )
أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
“Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridloan Allah tergantung
kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada
kemurkaan orang tua.” Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu
Hibban dan Hakim.”
“Abu Hurairoh juga meriwayatkan, bahwa ada seorang lelaki menghadap
Rasulullah SAW. Untuk menayakan siapakah orang yang lebih patut
dilakukan persahabatan dengan baik? Maka jawab Rasulullah SAW. Ibumu.
Kemudian ia pun bertanya lagi : lalu siapa lagi? Jawab beliau tetap :
Ibumu. Lalu ia bertanya lagi: Lalu siapa lagi: Maka kali ini jawab
beliau: Ayahmu” ( HR. Bukhari dan Muslim – Riyadhush Shalihin 9/319 )
Hanya Ridho Allah yang Kita cari, dan hanya murka-Nya yang kita Takuti
عائشة رضي الله عنها; أن رسول الله-صلى الله عليه وسلم قال: " مَنِ
الْتَمَسَ رِضَا اللَّهِ ، بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ،
وَأَرْضَى عَنْهُ النَّاسَ ، وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ
اللَّهِ ، سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ ".
Artinya: “Barangsiapa mencari keridhoan dari Allah (saja) meskipun
manusia benci kepadanya, niscaya Allah akan ridho kepadanya dan Dia akan
menjadikan manusia ridho kepadanya pula. Dan barangsiapa mencari
keridhoan dari manusia dengan membuat Allah murka kepadanya, niscaya
Allah akan murka kepadanya dan Dia akan menjadikan manusia murka
kepadanya pula.” (HR. Ibnu Hibban di dalam Shahihnya no.276 (I/497),
dari Aisyah. Syuaib Al-Arnauth berkata: “Sanadnya Hasan”).
Di dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ
وَمَنْ أَسْخَطَ النَّاسَ بِرِضَا اللهِ كَفَاهُ اللهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ
Artinya: “Barangsiapa mencari keridhoan manusia dengan membuat Allah
murka, maka ia diserahkan oleh Allah kepada manusia. Dan barangsiapa
membuat manusia murka dengan keridhoan Allah, maka Allah akan
mencukupinya dari kejahatan manusia.” (Shahih. HR. Ibnu Hibban no.277
(I/510), dari Aisyah. Dan dishohihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’ Ash-Shaghir no.6010).
BEBERAPA PELAJARAN PENTING DAN FAEDAH ILMIYAH DARI HADITS INI:
1) Wajib bagi setiap muslim mencari ridho Allah dalam setiap perkataan
dan perbuatan yang ia lakukan, meskipun manusia membencinya. Hal ini
dikarenakan hanya Allah satu-satunya Dzat yang mampu memberikan manfaat
dan kebaikan, dan mencegah mudharat dan keburukan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Barangsiapa yang
beramal demi mencari keridhoan Allah meskipun manusia membencinya, maka
sungguh ia telah bertakwa kepada-Nya, dan ia adalah hamba-Nya yang
sholih, dan Allah senantiasa mencintai dan menolong hamba-hamba-Nya yang
sholih."
2) Diharamkan bagi setiap muslim melakukan suatu perbuatan yang dibenci
dan dimurkai Allah, apalagi jika ia melakukannya dengan niat dan tujuan
mencari kecintaan dan keridhoan manusia.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Barangsiapa telah jelas baginya bahwa
setiap makhluk (manusia) yg ada di muka bumi adalah makhluk (ciptaan
Allah, pent). Maka bagaimana mungkin ia lebih mendahulukan ketaatan
kepada makhluk daripada ketaatannya kepada (Allah) Tuhannya segala
tuhan. Sungguh yang demikian ini adalah sesuatu yang mengherankan.
(Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamiid hal.436).
3) Mencari keridhoan n kecintaan manusia dalam setiap urusan adalah
tujuan yg mustahil tercapai. Oleh karena itu, hendaknya kita berkata n
beramal hanya mengharapkan keridhoan n balasan dari Allah semata. Tidak
mengharapkan sesuatu apapun dari manusia baik berupa pujian, imbalan,
popularitas dan ketenaran maupun lainnya.
Hal ini sebagaimana yang bisa kita petik dari do’a salah seorang istri
Fir’aun dalam al-Qur’an yang tetap teguh pada keyakinan dan keimanannya
kepada Allah. Ia berdo’a agar dibangunkan untuknya “baitan fil jannah”
(rumah di dalam surga), bukan “baitan fil ardhi (rumah di muka bumi)”
ataukah “prasasti di bumi yang dikenang orang lain”. Dia hanya berharap
pada Allah, diselamatkan jiwa, dan keyakinannya dari virus-virus orang
zhalim dan kafir. Allah ta’ala berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ
قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ
فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah
rumah di sisi-Mu dalam (surga) Firdaus, dan selamatkanlah Aku dari
Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim.”
(QS. At-Tahriim: 11)
Allah ta'ala berfirman pula:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhoan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula
(ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 9)
4) Keridhoan dan kebencian manusia bergantung pada keridhoan dan
kebencian Allah. Jika Allah meridhoi dan mencintai seorang hamba, maka
Dia akan menjadikan para makhluk seperti malaikat dan manusia meridhoi
dan mencintainya. Demikian pula sebaliknya.
Hal ini dikarenakan hati para hamba berada diantara 2 jari dari
jari-jemari Allah. Dia membolak-balikkan hati mereka kapan saja Dia
kehendaki. Sebagaimana dikabarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam di
dalam hadits beliau.
Dan dikabarkan di dalam hadits, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda (idza ahabballahu 'abdan naadaa Jibriila, faqoola, ya Jibriilu,
inni uhibbu fulaanan fa ahibbahu, fa yuhibbuhu Jibriilu...)
Artinya: "Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil
malaikat Jibril dan berkata; "wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai
hamba-Ku si fulan, maka cintailah ia. Maka Jibril pun mencintainya. Lalu
Jibril berkumandang (di langit, pent); sesungguhnya Allah mencintai
hamba-Nya si fulan, maka cintailah ia. Maka para malaikat penghuni
langit mencintainya. Lalu diletakkan rasa ridho (kpd hamba tsb) di muka
bumi."
5) Penetapan sifat ridho dan benci bagi Allah ta'ala sesuai dengan
keagungan-Nya, tanpa menyerupakan, menyamakan dan menggambarkan sifat
Allah sebagaimana sifat makhluk, dan tanpa menyelewengkan maknanya.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta'ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
"Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan-Nya, dan Dia adalah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syuura: 11).
Maka dari itu, perbuatan-perbuatan baik apapun yang kita lakukan, baik
yang hukumnya wajib, sunnah maupun mubah, hendaknya diniatkan
semata-mata karena mengharap keridhoan dan balasan dari Allah ta’ala.
Jangan sampai kita melakukan suatu amalan dengan niat dan tujuan supaya
dikenang dan dipuji oleh manusia karena akan menyebabkan kebinasaan di
dunia dan akhirat. Sebagaimana dikabarkan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam di dalam hadits yang diriwayatkan imam Muslim di dalam kitab
Shahihnya (no.1905) tentang golongan manusia yang pertama kali diadili
oleh Allah dan dicampakkan ke dalam api neraka pada hari kiamat, dan
mereka adalah orang yang berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu dan
mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an, dan orang yang bersedekah, namun
mereka mengerjakan ibadah-ibadah yang agung tersebut tanpa ikhlas
karena Allah.
Ridho adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja
yang sulit dilakukan. Ridho terhadap ketentuan Allah SWT secara mutlak
berarti tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap
takdir-Nya, manis atau pahit. Sayyid Abdullah ibn Alwi ibn Muhammad
al-Haddad al-Husaini mengatakan:
“Ridho terhadap ketetapan Allah adalah buah termulya dari Mahabbah dan
Ma’rifah. Salah satu ukuran cinta adalah ridho terhadap perbuatan
kekasihnya, baik itu manis ataupun pahit adanya. Oleh karenanya, ridho
dengan makna yang demikian adalah suatu keniscayaan untuk menyatakan
keimanan seseorang terhadap Tuhan-Nya.
Dalam makna yang lain, Ridho dimutlakkan sebagai sikap senang dan
bahagia bagaimanapun keadaan hidup yang dialami. Sebagaimana ucapan para
arif billah, “Ridho adalah mengeluarkan seluruh ketidaksukaan terhadap
ketentuan takdir dari dalam hati, sehingga tak ada padanya kecuali rasa
senang dan bahagia terhadap ketentuan itu atau ia adalah kebahagiaan
hati dalam merasakan pahitnya takdir sebagaimana merasakan manisnya atau
juga ia adalah menerima hukum ilahi dengan senang hati”
Al-Samarkandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” mengatakan:
“Keputusan Allah itu jauh lebih baik dari pada ketetapan seseorang
terhadap dirinya sendiri, (Ketahuilah wahai anak cucu Adam), apa yang
telah ditetapkan Allah, (namun) kamu benci itu (sesungguhnya) lebih baik
dari pada keputusanmu sendiri yang kamu sukai.
Rabi’ah al-Adawiyah, Seorang sufi wanita, pernah ditanya,” Kapankah
seorang hamba menjadi Ridho?”, Ia menjawab : “Bila ia merasa bahagia
oleh keburukan (takdir) sebagaimana ia merasa bahagia oleh kenikmatan”.
Sebagian Ulama’ salaf juga mengatakan: Jikalau tubuhku hancur karena
sebab penyakit kusta yang menggerogoti dagingku, itu lebih baik dari
pada saya harus mengatakan atas ketetapan Tuhan: “Seandainya hal ini
tidak terjadi?”.
Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua ketentuan
yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun ujian. Al-Ghazali
dalamIhya’ Ulum al-Dien dalam bab al-Qaul fi Ma’na al-Ridho bi Qadhai
Allah wa Haqiqatih wa Ma Warada fi Fadhilatih,menjelaskan bahwa Ridho
adalah buah dari cinta, Ia merupakanmaqam tertinggi yang dapat
mendekatkan diri pada Allah. Ridho merupakan sababu dawami raf’i
al-hijab atau sebab yang dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab
(penghalang) dalam mendekatkan diri pada Allah SWT.
Pandangan Para Tokoh Tentang Ridho
1. Al-Fudhoil bin Iyadh : Derajat ridho terhadap Allah setara
dengan derajat Al-Muqorobin (orang-orang yang mendekatkan diri); tidak
ada antara mereka dan Allah kecuali ketentraman dan rezeki bala’ bencana
dijauhkan dari umat manusia.
2. Dzun An-Nun Al-Mishri : jika kalian ingin menjadi wali abdal,
maka cintailah apa yang menjadi kehendak Allah, dan barangsiapa yang
menyukai apa yang menjadi kehendak Allah, maka tidak turun kepadanya
segala takdir dan hukum ketentuan Allah sedikit pun kecuali ( ia suka
terima dengan suka cita )
3. Muzhoffar Al-Qirmisini : Barang siapa yang diberi perlindungan
Allah ke dekat-Nya, maka ia harus ridho kepada-Nya dengan segala
ketentuan takdir yang berlaku padanya, sebab tidak ada sungut
kedongkolan (Tasakhuth) di atas hamparan qurbah (Kedekatan ).
4. Abdul Wahid bin Zaid : Ridho adalah pintu yang teragung, surga
dunia, dan tempat istirahat orang-orang ahli ibadah (Mustaraha
al-abidin).
5. Abu Al-Hasan Asy-Syadzili : Ada dua kebaikan yang tidak akan
membawa madhorot bersamanya keburukan sebanyak apapun: Ridho menerima
Qodho’ ketetapan Allah dan memaafkan hamba-hamba Allah.
6. Sa’id An-Nabbahi : Andai aku diberi do’a yang mustajab, aku
tidak akan memohon surga firdaus, akan tetapi aku hanya ingin memohon
keridhoan, sebab ia adalah penyegeraan surga di dunia.
7. Abu Abdullah Al-Baratsi : Tidak akan menolak kiamat para
pemuncak derajat dari kalangan orang-orang yang ridho, maka ia telah
mencapai derajat tertinggi.
8. Diriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq, ia berkata : salah seorang
ulama yang tidak disebut namanya pernah di tanya, “Dengan apa gerangan
ahli ridho mencapai keridhoan?” Ia menjawab, “Dengan makrifat, dan
sesunggunya ridho merupakan salah satu dahan makrifat,”.
Ridho Suami Syurga Bagi Istri
Dalam bingkai rumah tangga, pasangan suami dan istri masing-masing
memiliki hak dan kewajiban. Suami sebagai pemimpin, berkewajiban menjaga
istri dan anak-anaknya baik dalam urusan agama atau dunianya, menafkahi
mereka dengan memenuhi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat
tinggalnya.
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al Qur’an Surat An Nisaa’ (34):
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ
عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diriketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Tanggungjawab suami yang tidak ringan diatas, diimbangi dengan ketaatan seorang istri pada suaminya.
Kewajiban seorang istri dalam urusan suaminya setahap setelah kewajiban
dalam urusan agamanya. Hak suami diatas hak siapapun setelah hak Allah
dan Rasul-Nya, termasuk hak kedua orang tua. Mentaatinya dalam perkara
yang baik menjadi tanggungjawab terpenting seorang istri.
Suami, Surga atau Neraka Seorang Istri
Seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap
suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka. Sebagaimana dalam hadits dari
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke
tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan.
Selesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟
قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ
أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.”
“Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah
mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Lihatlah di mana
keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah
surga dan nerakamu.”(HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih
sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib
no. 1933)
Dengan demikian Jelaslah bahwa Ketaatan istri pada suami agar suaminya
ridho adalah jaminan surganya, seperti dalam hadits Nabi Shalallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « أيما امرأة ماتت وزوجها عنها راض دخلت الجنة »
(رواه إبن ماجه والترمذي)
"Wanita mana saja yang meninggal dunia, kemudian suaminya merasa ridho
terhadapnya, maka ia akan masuk surga". (HR Ibnu Majah, dan di hasankan
oleh Imam Tirmidzi). Dalam hadits yang lain, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan
shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia
akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” (HR Ibnu Hibban
dalam Shahihnya) 1.)
Dengan demikian, Ridho Suami Itu Surga Bagi Para Istri adalah sesuatu
yang ada dasarnya seperti dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits diatas.
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah
suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain,
meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka
perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam
perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no.
1840).
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR.
Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar