Al-Qur'an dan As-sunnah adalah pedoman bagi umat manusia dalam menjalani
kehidupan. Al-qur’an didalamnya membahas tentang berbagai hal, tidak
hanya membahas mengenai manusia saja tapi juga membahas tentang hewan,
tumbuhan serta makhluk ciptaan Alloh lainnya. Al-qur’an memberi tahu apa
yang belum dialami ataupun yang belum diketahui oleh akal pikiran
manusia.
Didalamnya mengatur seluruh hal yang ada pada manusia mulai dari hal
yang kecil sampai hal yang besar tak ada yang terlupakan. Manusia
diperintahkan untuk mentaati semua perintah Alloh dan untuk menjauhi
segala larangan-Nya. Dalam hal larangan, manusia harus mampu menjauhkan
diri dari sifat-sifat tercela, perkataan buruk maupun perbuatan tercela.
Nabi Muhammad SAW menjadi tauladan bagi kita semua agar menjadi manusia
yang lebih baik. Perkatan, sifat serta perbuatan Nabi Muhammad SAW
harus diterapkan dalam diri manusia.
Banyak orang dari kita yang bermalas-malasan tak ingin susah. Dengan
demikian mereka mengambil jalan yang mudah bagi mereka tanpa
memeperdulikan itu hal yang baik atau hal yang buruk. Sebenarnya mereka
mampu jasmani dan rohaninya untuk melakukan sesuatu, namun terkadang
godaan datang dengan rayuan hebat menjadikan manusia merasakan malas.
Disekitar kita di lingkungan masyarakat banyak orang lebih memilih
meminta-minta kepada orang lain daripada memperoleh hasil dari keringat
sendiri. Mereka beranggapan dengan begitu mereka akan lebih mudah untuk
memperoleh harta. Itu sebab karena mereka tidak memahami ajaran islam
serta tidak memahami isi dari al-Qur’an. Sebagai seorang hamba manusia
wajib memahami serta mentaati perintah-Nya serta menjauhi segala
larangan-Nya agar menjadi manusia yang termasuk golongan yang mulia
disisi Alloh SWt.
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ ؛ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم
قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ
وَالتَّعَفُّفَ عَنِ الْمَسْأَلَةِ : اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ
الْيَدِ السُّفْلَى. وَالْيَدُ الْعُلْيَا اَلْمُنْفِقَةُ. وَالسُّفْلَى
اَلسَّائِلَةُ
“Hadits riwayat Abdullah bin Umar Radhiyallahu’anhu: Bahwa Rasulullah
Shallallahu alaihi wassalam ketika berada di atas mimbar, beliau
menuturkan tentang sedekah dan menjaga diri dari meminta. Beliau
bersabda: Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.
Tangan yang di atas adalah yang memberi dan yang di bawah adalah yang
meminta”.
Dari hadis diatas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi
lebih baik dari pada orang yang meminta-minta, karena perbuatan
meminta-minta merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi
tercela dan hina. Sebenarnya meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi
boleh disini diartikan bila seseorang dalam keadaan tidak mempunyai
apa-apa pada saat itu. Dengan kata lain yaitu dalam keadaan mendesak
atau sangat terpaksa sekali. Dan perbuatan meminta-minta itu dikatakan
hina jika orang yang melakukan pekerjaan itu dalam keadaan cukup,
sehingga akan merendahkan dirinya baik di mata manusia maupun pada
pandangan Allah swt di akhirat nanti.
Orang yang memberi lebih utama dibandingkan orang yang meminta-minta
saja. Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus diamalkan bagi
orang yang membutuhkan,sebab islam telah memberi tanggung jawab kepada
orang muslim untuk memelihara orang-orang yang karena alasan tertentu
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui zakat, maupun
sedekah. Dan islam tidak menganjurkan hidup dari belas kasihan orang
lain atau dengan kata lain islam tidak menyukai pengangguran dan
mendorong manusia untuk berusaha. Membuka jalan atas dirinya untuk
meminta-minta dalam arti kata meminta dengan ketiadaan mudharat maka
Allah akan membuka pintu kemiskinan atas dirinya.
Kehidupan Individualis Dikhwatirkan Melanda Umat Islam
Manusia adalah makhluk sosial yang tak lepas dari bantuan orang lain.
Oleh karena itu islam mengajarkan untuk selalu menolong orang lain yang
mana manusia saling bertukar pikiran, berhubungan, dan saling menolong.
Dalam pandangan islam seseorang tidaklah sempurna imannya sehingga dia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Yang
dimaksud dengan saudara bukanlah sanak familinya saja, melainkan kaum
muslimin.
Dalam pandangan islam juga mengajarkan bahwa muslimin bagaikan satu
tubuh. Apabila dikalangan umat islam banyak yang bersifat individualisme
maka tak jarang terjadi pencurian, pembunuhan, pemerkosaan dan
lain-lain.
Dalam hadits Rasulullah juga menjelaskan tentang sifat buruk individualisme
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ الدُّنْيَ نَفَّسَ اللهُ عَنْ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ
فِى عَوْنِ أَخِيْهِ. (أخرجه مسلم)
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: barang siapa
melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan
di dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan dihari
kiamat. Dan barang siapa memberi kelonggaran kepada orang yang susah,
niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan
barang siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah menutupi aib
dia didunia dan akhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama
hamba-Nya menolong saudaranya. (H.R.Muslim).
Hadits di atas mengajarkan kepada umat islam untuk selalu memberi
partolongan kepada orang yang mesti di tolong, dan juga menutupi aib
orang lain, dan sesuai dengan hadits di atas terdapat empat poin penting
yaitu:
Membantu kesusahan sesama muslim, dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan tentang manfaat menolong sesama muslim.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ.
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia
akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.’’(QS. Muhammad : 7)
Dalam ayat di atas menerangkan bahwa apabila menolong agama Allah termasuk muslimin maka Allah juga akan menolongnya.
Memudahkan kesulitan orang lain, adakalanya kesulitan tersebut hanya
bisa diatasi oleh seseorang yang bersangkutan, terhadap masalah seperti
ini seorang muslim ikut memberi solusi meskipun ia sendiri tidak dapat
mengatasinya sendiri, dengan cara seperti ini seseorang yang kesulitan
pasti akan melonggarkan kesulitannya.
Menutupi aib orang lain dan mencegah orang berbuat dosa, sebagai orang
islam, kita wajib menjaga aib orang lain yang mana orang tersebut pasti
akan malu apabila aibnya tersebar kepada orang lain. Dalam Hadits
menjelaskan yang artinya “barang siapa yang menutupi aib seorang muslim
maka Allah akan menutupi aibnya”.
Menutupi aib orang lain bukan berarti menutupi kesalahan orang lain,
kebanyakan orang sekarang sudah menyamakan antara aib dan kesalahan.
Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya,
seseorang yang menolong orang lain denagn materi hendaknya ia tidak
boleh merasa khawatir akan jatuh miskin, sebaliknya Allah akan
menggantikan jauh kali lipat apabila dia ikhlas karena Allah maha kaya,
pengasih lagi maha penyayang.
Pada hakikatnya Allah menjadikan adanya perbedaan seseorang dengan yang
lainnya yaitu untuk saling melengkapi, saling membantu, saling tolong
menolong. Sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur’an:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ
مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ
بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ
رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ.
Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan
Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’’
Pengemis
Profesi mengemis bagi sebagian orang, lebih diminati daripada
profesi-profesi lainnya, karena cukup hanya dengan mengulurkan tangan
sambil keliling masyarakat, dia bisa mendapatkan sejumlah uang yang
cukup banyak tanpa harus bersusah payah.
Melihata fenomena ‘ngemis’ pada umumnya, kebanyakan masyarakat memandang
bahwa pengemis itu identik dengan orang yang berpenampilan tidak rapi,
rambutnya tidak terawat, wajahnya kusam, pakaiannya serba kumal atau
robek-robek, yang dengannya dapat dijadikan sarana untuk mengungkapkan
‘kesengsaraan hidupnya’, serta menarik rasa belas kasihan masyarakat
kepada dirinya.
Sebut saja, ‘model’ pengemis di atas adalah gaya pengemis konvensional.
Di zaman beredarnya iPhone saat ini, pengemis tidak lagi berpenampilan
kuno seperti itu. Pengemis telah berubah model dan penampilan, dengan
target penghasilan yang lebih besar. Mereka berpakaian rapi, memakai jas
berdasi dan sepatu, bahkan kendaraannya pun lumayan bagus. Ada yang
menjalankannya sendirian dan ada pula yang berupa team pencari dana.
Yang lebih mengherankan, sebagian orang bersemangat mencari sumbangan
atau bantuan dana demi memperkaya diri dan keluarganya dengan cara
membuat proposal-proposal untuk kegiatan tertentu, baik nyata atau
fiktif. Setelah memperoleh dana, mereka tidak menyalurkan sebagaimana
mestinya, tetapi justru digunakan untuk kepentingannya sendiri. Apapun
itu, mereka semua statusnya sama, pengemis.
Minta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik
kepada perorangan atau lembaga. Mengemis itu identik dengan penampilan
pakaian serba kumal, yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan
apa adanya. Hal-hal yang mendorong seseorang untuk mengemis –salah satu
faktor penyebabnya- dikarenakan mudah dan cepatnya hasil yang
didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat
agar memberikan bantuan atau sumbangan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG SESEORANG UNTUK MENGEMIS DAN MINTA-MINTA
Ada banyak faktor yang mendorong seseorang mencari bantuan atau
sumbangan. Faktor-faktor tersebut ada yang bersifat permanen, dan ada
pula yang bersifat mendadak atau tak terduga. Contohnya adalah sebagai
berikut:
1. Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh
orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga
sehari-hari. Karena mereka memang tidak memiki gaji tetap,
santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan yang lain.
Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau keahlian
khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang. Sama
seperti mereka ialah anak-anak yatim, orang-orang yang menyandang cacat,
orang-orang yang menderita sakit menahun, janda-janda miskin,
orang-orang yang sudah lanjut usia sehingga tidak sanggup bekerja, dan
selainnya.
2. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi oleh orang-orang yang
mengalami kerugian harta cukup besar. Contohnya seperti para pengusaha
yang tertimpa pailit (bangkrut) atau para pedagang yang jatuh bangkrut
atau para petani yang gagal panen secara total. Mereka ini juga
orang-orang yang memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan
ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa menghidupi keluarganya.
Apalagi jika mereka juga dililit hutang yang besar sehingga terkadang
sampai diadukan ke pengadilan.
3. Faktor musibah yang menimpa suatu keluarga atau masyarakat seperti
kebakaran, banjir, gempa, penyakit menular, dan lainnya sehingga mereka
terpaksa harus minta-minta.
4. Faktor-faktor yang datang belakangan tanpa disangka-sangka
sebelumnya. Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus
menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya,
menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan yang
semisalnya. Mereka ini juga adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan,
dan biasanya tidak punya simpanan harta untuk membayar tanggungannya
tersebut tanpa uluran tangan dari orang lain yang kaya, atau tanpa
berusaha mencarinya sendiri walaupun dengan cara mengemis.
JENIS-JENIS PENGEMIS
Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan,
hukum, dan keadilan, maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua
kelompok:
1. Kelompok pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuan
Secara riil (kenyataan hidup) yang ada para pengemis ini memang
benar-benar dalam keadaan menderita karena harus menghadapi kesulitan
mencari makan sehari-hari.
Sebagian besar mereka ialah justru orang-orang yang masih memiliki harga
diri dan ingin menjaga kehormatannya. Mereka tidak mau meminta kepada
orang lain dengan cara mendesak sambil mengiba-iba. Atau mereka merasa
malu menyandang predikat pengemis yang dianggap telah merusak nama baik
agama dan mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi tradisi
masyarakat di sekitarnya. Allah Ta’ala berfirman:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا
يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ
مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ
إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
"(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang
(usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha
di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah
orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau
(Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta
secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu
infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [al-Baqarah/2 : 273].
2. Kelompok pengemis gadungan yang pintar memainkan sandiwara dan tipu muslihat
Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga
memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan
(mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang
strategis. Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang
dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan
orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang
mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak
jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis
dengan mengamen atau bermain musik yang jelas hukumnya haram, ada juga
yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan
puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia.
PANDANGAN SYARIAT TERHADAP MINTA-MINTA (MENGEMIS)
Islam tidak mensyari’atkan meminta-minta dengan berbohong dan menipu.
Alasannya bukan hanya karena melanggar dosa, tetapi juga karena
perbuatan tersebut dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak
orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan. Bahkan hal itu
merusak citra baik orang-orang miskin yang tidak mau minta-minta dan
orang-orang yang mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam
golongan orang-orang yang meminta bantuan. Padahal sebenarnya mereka
tidak berhak menerimanya, terlebih kalau sampai kedok mereka terungkap.
Banyak dalil yang menjelaskan haramnya meminta-minta dengan menipu dan
tanpa adanya kebutuhan yang mendesak. Diantara hadits-hadits tersebut
ialah sebagai berikut.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan
datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di
wajahnya“. (Shohih. HR. Bukhari no. 1474, dan Muslim no. 1040 ).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk
memperbanyak hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah sedang meminta
bara api. Maka silahkan dia kurangi ataukah dia perbanyak ”.
(Shohih. HR. Muslim II/720 no.1041, Ibnu Majah I/589 no. 1838, dan Ahmad
II/231 no.7163).
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ
“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan,
maka seolah-olah ia memakan bara api“. (HR. Ahmad IV/165 no.17543, Ibnu
Khuzaimah IV/100 no.2446, dan Thabrani IV/15 no.3506).
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْأَعْلَى بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
مُسْلِمٍ أَخِي الزُّهْرِيِّ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي
وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ و حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنِي
إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَخِي
الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ مُزْعَةُ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] telah
menceritakan kepada kami [Abdul A'la bin Abdul A'la] dari [Ma'mar] dari
[Abdullah bin Muslim] saudaranya Zuhri, dari [Hamzah bin Abdullah] dari
[bapaknya] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah
salah seorang dari kalian yg terus meminta-minta, kecuali kelak di hari
kiamat ia akan menemui Allah sementara di wajahnya tak ada sepotong
daging pun. Dan telah menceritakan kepadaku Amru An Naqid telah
menceritakan kepadaku Isma'il bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami
Ma'mar dari saudaranya Az Zuhri dgn isnad ini, namun ia tak menyebutkan
muz'ah (sepotong). [HR. Muslim No.1724].
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَوَاصِلُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا
حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي
زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا
فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib] dan [Washil bin Abdul A'la]
keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami [Ibnu Fudlail] dari
[Umarah bin Al Qa'qa'] dari [Abu Zur'ah] dari [Abu Hurairah] ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yg
meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti
dia hanya meminta bara api. Sama saja halnya, apakah yg diterimanya
sedikit atau banyak. [HR. Muslim No.1726].
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ
يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.
"Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya
dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas
suatu hal atau perkara yang sangat perlu"
Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran.
Penguasa adalah orang yang memegang baitul maal harta kaum Muslimin.
Seseorang yang mengalami kesulitan, boleh meminta kepada penguasa karena
penguasalah yang bertanggung jawab atas semuanya.
Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan
hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Aku meminta
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau
memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ
بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ
نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا
يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa
mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya.
Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka
Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang
meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia
tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas
(yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".
Kemudian Hakîm berkata: "Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu
dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu
hingga aku meninggal dunia”.
Ketika Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm
Radhiyallahu 'anhu untuk memberikan suatu bagian yang berhak ia terima.
Namun, Hakîm tidak mau menerimanya, sebab ia telah berjanji kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika ‘Umar menjadi khalifah,
ia memanggil Hakîm untuk memberikan sesuatu namun ia juga tidak mau
menerimanya. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata
di hadapan para sahabat: "Wahai kaum Muslimin! Aku saksikan kepada
kalian tentang Hakîm bin Hizâm, aku menawarkan kepadanya haknya yang
telah Allah berikan kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), namun
ia tidak mau menerimanya. Dan Hakîm Radhiyallahu 'anhu tidak mau
menerima suatu apa pun dari seorang pun setelah Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam sampai ia meninggal dunia”.
Hadits ini menunjukkan tentang bolehnya meminta kepada penguasa. Akan
tetapi tidak boleh sering, seperti kejadian di atas, yaitu Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihati Hakîm bin Hizâm. Hadits ini
juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada
manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu 'anhu pada
waktu itu tidak mau meminta dan tidak mau menerima.
Jangan Manjakan Pengemis
Kami hanya nasehatkan jangan manjakan pengemis apalagi pengemis yang
malas bekerja seperti yang berada di pinggiran jalan. Kebanyakan mereka
malah tidak jelas agamanya, shalat juga tidak, begitu pula hanya sedikit
yang puasa. Carilah orang yang sholeh yang lebih berhak untuk diberi,
yaitu orang yang miskin yang sudah berusaha bekerja namun tidak
mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan keluarganya. Dari Abu
Hurairah, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِى تَرُدُّهُ الأُكْلَةُ وَالأُكْلَتَانِ ،
وَلَكِنِ الْمِسْكِينُ الَّذِى لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِى أَوْ لاَ
يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
“Namanya miskin bukanlah orang yang tidak menolak satu atau dua suap
makanan. Akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya kecukupan,
lantas ia pun malu atau tidak meminta dengan cara mendesak.” (HR.
Bukhari no. 1476)
ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu
'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ
ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ
اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ
قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ
قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ
الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ :
سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ
، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,
(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan
(3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang
yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa
kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran
hidup.
Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.
KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA
Firman Allah dalam QS.Al-Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;”
(QS. Al-Baqarah : 168)
Bekerja merupakan salah satu perintah Allah swt. yang harus dilakukan
oleh manusia dalam kehidupannya. Hal itu terihat dari rincinya aturan
yang diberikan Allah dan Rosul tentang tata cara bekerja atau berusaha
yang sesuai dengan tuntunan Islam.
Dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 10:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”
Dari ayat Al-Qur’an diatas dapat kita ketahui bahwa Allah memerintahkan
kepada manusia untuk berusaha mencari rezki Allah kemana dan dimana
saja. Allah telah menciptakan seluruh isi alam ini untuk dapat
dimanfaatkan oleh manusia. Semua itu harus dicari dan diupayakan untuk
mendapatkannya.
Allah dalam Al-Qur’an telah memberikan jaminan bahwa setiap hambaNya
ditanggung rezkinya. Di sisi lain, ada perintah untuk bekerja untuk
mendapatkan rezki yang telah dijanjikan itu. Untuk mengetahui lebih jauh
tentang pekerjaan yang dapat dilakukan dan bahkan mendapatkan peniaian
khusus dari Rosulullah saw. dapat dilihat hadis berikut:
عن ر فعة بن رافع ان النبي صلى اللّٰه عليه و سلم وسٔل أي اْلكَسْبِ
اَطْيَبُ قَاَل عَمَل الرَّ جُلُ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ.
“Rifa’ah bin Rafi’ mmenyatakan bahwa Rosulullah saw. pernah ditanya
tentang pekerjaan yang paling baik. Rosul menjawab pekerjaan yang paling
baik adalah pkerjaan yang dilakukan dengan tenaga atau dengan tangan
sendiri (memproduksi sesuatau) dan jual beli yang mabrur (bersih dari
tipu daya).”(HR. Al-Bazzar )
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita
untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal
dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan
meminta-minta. Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri
dari minta-minta), sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam
firman-Nya.
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا
يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ
مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ
إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
"(Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang
(usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha
di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah
orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau
(Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara
paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan,
sungguh, Allah Maha Mengetahui" [al-Baqarah/2 ayat 273].
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى
ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ
أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.
"Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat
kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga
dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya
daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau
tidak memberinya".
Islam sendiri memerintahkan pada kita untuk bekerja keras dan meminta-minta alias pengemis adalah suatu pekerjaan yang hina.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
“Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di
punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis)
lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR.
Bukhari no. 2074)
Bekerja keras dengan menggunakan tangan, itu adalah salah satu pekerjaan
terbaik bahkan inilah cara kerja para nabi ‘alaihimush sholaatu wa
salaam. Dari Al Miqdam, dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda;
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ
يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak ada seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan
hasil kerja keras tangannya sendiri. Dan Nabi Daud ‘alaihis salam makan
dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari no. 2072)
Seseorang yang menjual kayu bakar yang ia ambil dari hutan adalah lebih
baik daripada ia harus meminta-minta kepada orang lain. Nabi n
menjelaskan jalan yang terbaik karena meminta kepada orang lain hukumnya
haram dalam Islam, baik mereka (orang yang dimintai sumbangan) itu
memberikan atau pun tidak. Tetapi yang terjadi pada sebagian kaum
muslimin dan thâlibul-‘ilmi (para penuntut ilmu) adalah meminta kepada
orang lain, dan menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa dan wajar.
Padahal, hal ini hukumnya haram dalam Islam. Jadi, yang terbaik ialah
kita mencari nafkah, kemudian setelah itu kita makan dari nafkah yang
kita dapat, baik sedikit maupun banyak, dan sesuatu yang kita dapat itu
lebih mulia daripada minta-minta kepada orang lain.
Seorang anak yang minta kepada kedua orang tuanya, atau orang tua kepada
anaknya, atau isteri kepada suaminya, ini tidak termasuk dalam hadits
ini. Karena, orang tua wajib memberikan nafkah kepada anaknya. Jadi,
kalau anak meminta kepada orang tuanya, tidak termasuk dalam hadits ini,
begitu pun sebaliknya. Karena pada hakikatnya harta anak itu milik
orang tuanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنْتَ وَمَالُكَ ِلِأَبِيْكَ.
"Engkau dan hartamu adalah milik bapakmu".
Sebagian dari para sahabat adalah orang-orang miskin, tetapi mereka
tidak meminta-minta kepada orang lain walaupun mereka sangat
membutuhkan. Tetapi, orang-orang yang tidak mengetahui menyangka bahwa
mereka adalah orang-orang kaya disebabkan mereka menjaga kehormatan diri
mereka dengan tidak meminta-minta kepada orang lain.
Orang yang paling berbahagia dan yang paling beruntung dalam hidup ini
adalah orang yang merasa cukup dengan apa yang Allah berikan. Contohnya,
orang yang hanya mendapat rizki Rp 5000,- (Lima ribu rupiah) sehari,
kemudian ia merasa cukup dengannya, maka ia adalah orang yang paling
beruntung dan bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan apa yang Allah
berikan kepadanya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.
"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup,
dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya".
Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ
، وَمَنْ أَنْزَلَهَا بِاللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ بِالْغِنَى: إِمَّا
بِمَوْتٍ عَاجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
"Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada
manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang
mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya
salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan
yang cepat".
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yang mendapat kesulitan dan
kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka kefakirannya
tidak akan tertutupi. Kita dapat saksikan betapa banyaknya kaum
Muslimin yang tertimpa musibah dan kesulitan mereka adukan semuanya
kepada orang lain, baik dengan mengatakan bahwa ia sedang sakit atau
sedang bangkrut usahanya atau selainnya. Tetapi, apabila mereka sedang
mendapatkan senang dan mendapat keuntungan, mereka tidak mengadukannya
kepada orang lain. Seseorang yang mengadukan kefakiran dan kesulitannya
agar orang lain merasa kasihan kepadanya, maka hal itu tetap tidak akan
menutup kefakirannya. Namun jika ia merasa cukup dengan karunia yang
Allah Ta’ala berikan, dan ia mengadukan segala kesulitannya kepada
Allah, maka Dia akan menutupi kefakirannya itu dan akan menambah karunia
yang telah diberikan-Nya kepadanya. Apabila Allah Ta’ala mentakdirkan
kita mengalami kesulitan, lalu kita adukan kesulitan yang kita alami
kepada Allah, maka Dia akan memberikan kepada kita jalan keluar yang
baik dan rizki, baik cepat maupun lambat.
Kita harus mengimani, memahami, dan mengamalkan hadits ini dalam
kehidupan kita. Kita harus yakin bahwa hanya Allah-lah yang mendengar
kesulitan kita. Adapun manusia, mereka tidak suka mendengar kesulitan
orang lain. Islam menganjurkan kita untuk berusaha, berdasarkan
ayat-ayat dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan usaha ini tidak mengurangi waktu kita, baik dalam menuntut ilmu
maupun mengajar dan mendakwahkan ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar