Ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Sehubungan dengan
itu, Allah SWT mengajarkan kepada adam dan semua keturunannya. Dengan
ilmu pengetahuan itu, manusia dapat melaksanakan tugasnya dalam
kehidupan ini, baik tugas sebagai khalifah maupun tugas ubudiah . Oleh
karena itu, Rasulullah SAW menyuruh, menganjurkan, dan memotivasi
umatnya agar menuntut ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan ini ditemukan
hadis, yaitu sebagai berikut.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ تَعَلَّمُوا
الْفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلَّمُوْهُ
النَّاسَ فَاءِنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ وَالْعِلْمُ سَيُنْتَقَصُ
وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اثْنَا نِ فِى فَرِ يضَةٍ لاَ
يَجِدَانِ أَ حَدًا يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ‘Tuntutlah
ilmu pengetahuan dan ajarkanlah kepada oraang lain. Tuntutlah ilmu
kewarisan dan ajarkanlah kepada orang lain. Pelajarilah Al-Quran dan
ajarkanlah kepada orang lain. Saya ini akan mati. Ilmu akan berkurang
dan cobaan akan semakin banyak, sehingga terjadi perbedaan pendapat
antara dua orang tentang suatu kewajiban, mereka tidak menemukan seorang
pun yang dapat menyelesaikannya.’”(HR. Ad-Daruquthni, dan Al-bahaqi) .
Dalam hadis ini ada tiga perintah belajar, yaitu perintah mempelajari
al-‘ilm, al-fara’id, dan Al-Quran. Menurut Ibnu Mas’ud, ilmu yang
dimaksudkan di sini adalah ilmu syariat dan segala jenisnya. Al-Fara’id
adalah ketentuan-ketentuan, baik ketentuan islam secara umum maupun
ketentuan tentang harta warisan. Mempelajari Al-Quran mencakup
menghafalnya. Setelah dipelajari ajarkan pula kepada orang lain supaya
lebih sempurna. Beliau memerintahkan agar sahabat mempelajari ilmu
karena beliau sendiri adalah manusia seperti manusia pada umumnya. Pada
suatu saat, beliau akan wafat. Dengan adanya orang mempelajari ilmu,
ilmu pengetahuan itu tidak akan hilang.
Mengingat pentingnya ilmu pengetahuan dalam hadis di atas, setelah
mempelajari, ilmu harus diajarkan kepada orang lain. Rasulullah SAW
mengkhawatirkan apabila beliau telah wafat dan orang-orang tidak peduli
dengan ilmu pengetahuan,maka tidak ada lagi orang yang mengerti agama,
sehingga umat akan kebingungan.
Selain perintah menuntut ilmu pengetahuan dalam hadis di atas, masih ada
lagi hadis yang lebih tegas tentang kewajiban menuntut ilmu, yaitu
sebagai berikut.
عَنْ حُسَيْن بنِ عَلِّي قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Husain bin Ali meriwayatkan bahwa rasulullah SAW bersabda, “Menuntut
ilmu wajib bagi setiap orang Islam.” (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabrani, abu
Ya’la, Al-Qqudha’i, dan Abu Nu’aim Al-Ashbahani) .
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menegaskan dengan dengan menggunakan
kata faridhah (wajib atau harus). Hal ini menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan itu memang benar-benar urgen dalam kehidupan manusia,
terutama orang yang beriman. Tanpa ilmu pengetahuan, seorang mukmin
tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik menurut ukuran ajaran
Islam. Apabila ada orang yang mengaku beriman tetapi tidak mau mencari
ilmu, maka ia dipandang telah melakukan suatu pelanggaran, yaitu tidak
mengindahkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Akibatnya, tentu mendapatkan
kemurkaan-Nya dan akhirnya akan masuk ke dalam neraka. Karena pentingnya
ilmu pengetahuan itu, Rasulullah mewajibkan umatnya belajar .
Adapun hadis-hadis lain yang berhubungan dengan keutamaan menuntut ilmu antara lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ سَلَكَ طَرِ يقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ
اللَّهُ لَهُ طَرِ يقًا إِ لَى الْجَنَّةِ
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Barang siapa
yang menempuh jalan menuntut ilmu, akan dimudahkan Allah SWT untuknya ke
surga.”( HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Baihaqi) .
Menurut Ibnu Hajar, Kata طَرِيْقًا diungkapkan dalam bentuk nakirah
(indefinit), begitu juga dengan kata ilmu agama, baik sedikit maupun
banyak.
Kalimat سَهَّل اللَّهُ لَهُ طَرِ يقًا (Allah memudahkan baginya jalan),
yaitu Allah memudahkan baginya jalan di akhirat kelak atau memudahkan
baginya jalan di dunia dengan cara memberi hidayah untuk melakukan
perbuatan baik yang dapat mengantarkan menuju surga.
Hal ini mengandung berita gembira bagi orang yang menuntut ilmu, bahwa
Allah memudahkan mereka untuk mencari dan mendapatkannya, karena
menuntut ilmu adalah salah satu jalan menuju surga .
عَنْ أَ بِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا
سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِ لَى الْجَنَّةِ وَ إِنَّ الْمَلَا ئِكَىةَ
لَتَضَعُ أَ جْنِحَـَهَا رِضَاءً لِطَا لِبِ الْعِلْمِ وَ إِنَّ الْعَلِمَ
لَييَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى
الحِيتَا نُ فِي الْمَاءِوَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِكَفَضْلِ
الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَا
ءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوادِينَارًاوَلَا دِرْ هَمًا
إِنَّمَا وَرَّ ثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَ خَذَ بِحَظًّ وَافِرٍ
Abu Ad-Darda’, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda,’Barang siapa yang menempuh jalan menari ilmu, akan dimudahkan
Allah jalan untuknya ke surga. Sesungguhnya , malaikat merentangkan
sayapnya karena senang kepada pencari ilmu. Sesungguhnya, pencari ilmu
dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada dilangit dan bumi, bahkan ikan
yang ada dalam air. Keutamaan alim terhadap abid adalah bagaikan
keutamaan bulan diantara semua bintang. Sesungguhnya ulama adalah
pewaris para nabi. Mereka tidak mewariskan emas dan perak, tetapi ilmu.
Siapa yang mencari ilmu, hendaklah ia cari sebanyak-banyaknya.”’ (HR
At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Daud, dan Ad- Darimi)
Dalam hadis di atas terdapat lima keutamaan orang menuntut ilmu, yaitu
(1) mendapat kemudahan untuk menuju sorga, (2) disenangi oleh para
malaikat, (3) dimohonkan ampun oleh makhluk Allah yang lain, (4) lebih
utama daripada ahli ibadah, dan (5) menjadi pewaris nabi. Menurut ilmu
yang dimaksud di sini, menurut pengarang Tuhfah Al-Ahwazi adalah mencari
ilmu, baik sedikit maupun banyak dan menempuh jarak yang dekat atau
jauh .
Ayat Al-Quran yang berhubungan dengan keutamaan menuntut ilmu antara lain:
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢
ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ
ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, 2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS.Al-‘Alaq :
1-5)
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبُِٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن
كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١ قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا
عَلَّمۡتَنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ ٣٢ قَالَ يَٰٓـَٔادَمُ
أَنۢبِئۡهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡۖ فَلَمَّآ أَنۢبَأَهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡ قَالَ
أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ
وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ ٣٣
31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!, 32. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak
ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada
kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”,
33. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
benda ini”. Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda
itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?( QS. Al-Baqarah:
31-33)
أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ
ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ
يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ
ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut
kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah:
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran (Q.S Az-zumar :9)
Anjuran Menuntut Ilmu
عَنْ أَ نَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اُطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ فَإِنَّ طَلَبَ
الْعِلْمِ فَرِ يْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَضَعُ
أَجْنِحَـتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًابِمَا يَطْلُبُ (أخرحه ابن عبد
البر)
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda :”Carilah ilmu
walaupun dinegeri Cina. Sesungguhnya mencari ilmu itu wajib atas setiap
muslim. Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya bagi pencari ilmu
karena rida dengan apa yang dicari.” (HR. Ibnu Abd al-Barr) .
وفى روا يت : طَلَبُل عِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ إِنَّ طَا
لِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْئٍ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِى
الْبَحْرِ (ابن عبد البرفي العلم عن أنس حد يث صحيح)
Dalam riwayat:”Mencari Ilmu wajib terhadap setiap orang Islam.
Sesungguhnya pencari ilmu dimohonkan kepadanya oleh segala sesuatu
sehingga ikan dalam lautan.”(HR. Ibn Abdil Barr dari Anas Hadis Shahih).
Hadis diatas ditampilkan dalam hadis tarbawi sebagai referensi sekalipun
di perselisihkan kualitasnya oleh para ulama tetapi terkenal dikalangan
para pelajar, santri dan mahasiswa dimana saja berada. Dalam ilmu hadis
disebut masyhur non-isthilahiy artinya terkenal dikalangan kelompok
tertentu sekalipun perawinya kurang dari tiga orang pada setiap
tingkatan sanad .
Ada beberapa pokok pesan dalam hadis di atas, sebagi berikut:
اُطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ
“Carilah ilmu walaupun di negeri China.”
Mencari ilmu suatu keajaiban sekalipun dimana saja dan dalam keadaan
bagaimanapun pula, tidak ada alasan seseorang meninggalkan ilmu atau
tidak mencarinya. Makna walaw dalam bahasa Arab menunjuk batas maksimal
apapun yang terjadi (li al-ghayah). para ulama memberi penjelasan makna
walaupun dinegeri china dalam hadis tersebut antara lain:
1. Al-Manawiy
dalam kitab al-Taysir Syarah al-Jami’ al-Shaghir memberikan arti
kesimpulan sangat jauh (mubalaghah fi al-bu’di) dengan alasan kewajiban
menuntutnya sebagaimana hadis lanjutannya. Oleh karena itu, Jabir bin
Abdillah seorang sahabat Rasulullah mengadakan rihlah (perjalanan) yang
jauh dari Madinah ke Mesir hanya untuk mendapatkan satu hadis dari
seseorang disana selama satu bulan.
2. Faydh
al-Qadir memberikan arti yang sama, yakni walaupun tercapainya ilmu
harus mengadakan perjalanan yang sangat jauh seperti perjalanan ke China
dan sangat menderita. Orang yang tidak sabar penderitaan dalam mencari
ilmu kehidupannya buta dalam kebodohan dan orang yang sabar atasnya akan
meraih kemuliaan dunia akhirat.
3. Abdullah
bin Baz dalam Majmu’ Fatawanya; anjuran mencari ilmu walaupun di tempat
yang sangat jauh bukan berarti Chinanya. Hadis menyebutkan walau di
negeri China, karena China negeri yang jauh dari Arab. Ini jika benar
khabar shahih.
4. Muhammad
Abduh dalam al-Manar memberikan komentar mencari ilmu dengan siapa saja
atau darimana saja sekalipun bukan negeri muslim. Di China pada saat
itu belum ada seorang Muslim, penduduknya penyembah berhala (watsaniyun)
tidak Majusi. Bahkan Syekh Yusuf al-Qardhawi menunjuk makna hadis
belajar ilmu pengetahuan sekalipun di Barat atau negara maju tingkat
ilmu pengetahuan atau sains dan tekhnologinya .
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna mencari
ilmu sekalipun di negeri China adalah sekalipun jauh dari tempat
tinggal, sekalipun menderita dan sulit, sekalipun datang dari non-Muslim
atau sekalipun dinegara minoritas muslim yang sudah maju. Sebagian
pendapat China sudah mengalami kemajuan pada waktu itu seperti membuat
kertas dan lain-lain. Komentar bahwa matan hadis ini banyak
dipertanyakan dan diragukan orang dengan mempertanyakannya, benarkah
Nabi Muhammad SAW mengetahuinya adalah sangat besar. Pertama, dari sudut
sejarah, baginda adalah pedangang antar bangsa, beliau waktu usia muda
pernah dua kali minimal pergi ke Syam sebagai kota perdagangan. Di kota
itu sudah ada kebudayaan Romawi dan tentu saja sudah berinteraksi dengan
budaya lain. Jadi, tidak mustahil dalam perjalanan itu baginda
mendengar tentang peradaban negeri Cina yang sudah tinggi .
Kedua, apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, tidaklah berhenti pada
pengetahuan beliau saja, tetapi ada unsur wahyu Allah yang berperan.
Jika kemungkinan ini diambil, dan hal ini sangatlah mungkin, maka unsur
kejanggalan matan. Hadis ini tidak akan muncul lagi. Banyak hikmah yang
dapat dipetik dari kata negeri China disini.
Pertama, negeri atau kekaisaran yang populer dikalangan awam pada saat
itu adalah Romawi dan Kisra. Jarak kekuasaan kedua kekaisaran ini
tidaklah terlalu jauh dari dunia islam. Bahkan Rasulullah sendiri pernah
menuliskan surat untuk mereka dan kerajaan dan kekaisaran
lain.Walhasil, Nabi ingin memberitakan kepada umat islam bahwa ada
negeri lain yang juga sudah memiliki peradaban yang maju .
Hukum menuntut ilmu sebagaimana disebutkan pada hadis berikut:
طَلَبُل عِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Sesungguhnya mencari ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”
Hukum mencari ilmu wajib bagi seluruh kaum Muslimin baik laki-laki dan
perempuan, makna wajib disini adakalanya wajib’ ain dan adakalanya wajib
kifayah. Kata “Muslim” berbentuk mudzakar (laki-laki), tetapi maknanya
mencakup mudzakar dan muannats (perempuan). Maksudnya orang Muslim yang
mukalaf yakni Muslim, berakal, balig, laki-laki, dan perempuan. Dari
sekian banyak buku hadis penulis tidak menjumpai kata muslimatiin
setelah kata Muslim diatas. Hukum mencari ilmu fardhu bagi setiap orang
islam baik laki-laki maupun perempuan.
Hukum mencari ilmu wajib sebagaimana hadis diatas. Masa mencari ilmu
seumur hidup (long life of education) sebagaimana kata Ki Hajar
Dewantara, bahwa menuntut ilmu sejak lahir sampai mati. Sebagian ulama
salaf berkata:
اُطْلُبِ الْعِلْمِ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
“Carilah ilmu dari ayunan sampai lubang kubur.”
Sedang diantara manfaat menuntut ilmu untuk memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat. Imam Syafi’i berkata sebagaimana yang dikutip oleh
al-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma wa al-Lughat (1): 74):
مَنْ أَرَادَ الْدَّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَا دَالْآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
“Barang siapa yang menghendaki dunia hendaknya dengan ilmu dan barang siapa yang menghendaki akhirat hendaknya dengan ilmu”.
Maksud ilmu di sini secara umum baik ilmu Syara’ maupun ilmu
pengetahuan. Keduanya penting untuk mencari kemaslahatan dunia dan
akhirat. Sedang maksud ilmu yang wajib dituntut sebagaimana hadis diatas
adalah ilmu syara’ dan kewajibannya adakalanya fardu’ain dan adkalanya
fardu kifayah. Ibn al-Mubarak ketika ditanya tentang makna hadis di atas
menjawab; maknanya tidak seperti yang mereka duga, tetapi apa yang
terjadi pada seseorang dari urusan agamanya akan dimintai
pertanggungjawaban sehingga ia harus mengetahui ilmunya. Al-Baydhawiy
menjelaskan bahwa maksud ilmu disini adalah ilmu yang tidak ada jalan
lain kecuali harus mengetahuinya seperti mengetahui sang pencipta alam
dan ke-Esaan-Nya, mengetahui kenabian Muhammad SAW dan mengetahui cara
shalat, semua ini hukumnya fardu’ain.
Al-Gazali dalam al-Manhaj menjelaskan bahwa mencari ilmu ada tiga ilmu sebagai berikut :
1. Ilmu
tauhid, ilmu mengetahui pokok-pokok agama seperti mengetahui sifat-sifat
Tuhan Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Hidup, Maha Menghendak, dan
Maha Mendengar. Tuhan memiliki segala sifat kesempurnaan dan suci dari
segala sifat alam. Ilmu juga mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan
Allah dan membenarkan segala apa yang disampaikan.
2. Ilmu
sirr, ilmu hati dan pergerakannya, yakni mengetahui kewajiban hati serta
mengetahui larangan-larangan sehingga mendapatkan keikhlasan niat dan
keabsahan amal.
3. Ilmu
Syari’ah, segala ilmu yang wajib diketahui untuk melaksanakan syari’ah
dan ibadah. Selain tiga di atas hukumnya wajib kifayah.
Di antara para ulama seperti al-Zarnuzjiy dalam kitabnya Ta’alim
al-Muta’allim, al-Gazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-din dan al-Manawiy
dalam al-Taysir bi Syarh al-Jami al-Shaghir membagi hukum mencari ilmu
adakalanya wajib, haram, sunah, mubah, dan makruh bergantung manfaat dan
mudaratnya. Hukum wajib’ain seperti ilmu wudhu’, puasa, dan lain-lain
yang menyangkut amal wajib. Seseorang yang berharta wajib mengetahui
ilmu zakat, seorang yang melakukan transaksi jual beli wajib mengetahui
hukum muamalah, seorang beristri wajib mengetahui pergaulan dengan
wanita dengan baik dan lain-lain.
Al-Zarnujiy menyebutnya ilmu al-hal, yakni ilmu yang wajib dilakukan
sekarang baik menyangkut akidah, ibadah, dan akhlak atau diartikan ilmu
tingkah laku. Sedang wajib kifayah, jika sudah ada sebagian di antara
umat islam yang melakukannya, maka yang lain gugur dosanya seperti ilmu
falak atau ilmu astronomi untuk mengetahui rukyat al-hilal melihat bulan
sebagai penetapan awal bulan dan lain-lain, ilmu saintek atau pendukung
tegaknya pelaksanaan agama atau untuk kemajuan umat islam dan
lain-lain. Menurut al-Zarnujiy termasuk wajib kifayah adalah ilmu
mustaqbal, yakni belajar ilmu yang tidak segera dikerjakan seperti orang
miskin belajar tentang zakat dan haji atau mempelajari ilmu sekalipun
syara’ tetapi tidak untuk diamalkan segera. Penyebutan istilah ilmu itu
tersebut ahli didik beragam Ibnu Khaldun menyebut ilmu aqliyah dan
naqliyah, al-Gazali menyebut ilmu syariat dan aqliyah, al-Attas
menyebutkan ilmu fardu’ain dan ilmu fardu kifayah, sedangkan seminar
pendidikan internasional di Mekkah al-Mukarramah 1977 menyebutkan ilmu
wahyu dan ilmu muktasab (ilmu yang diperoleh hasil research).
Demikian urgensi ilmu yang amat tinggi bagi keselamatan jiwa manusia dan
alam jagad raya. Dengan ilmu alam tenang dan jika lenyap ilmu, maka
lenyap pula alam. Karena ilmu inilah pencari dan pengajarnya dimuliakan
Allah dan dimuliakan seluruh makhluk, diampuni segala dosanya dan
didengar doanya .
Adab Menuntut Ilmu
Ta’dib secara Etimologi merupakan bentuk masdar kata kerja addaba yang
berari ‘mendidik, melatih berdisiplin, memperbaiki, mengambil tindakan,
beradab, sopan, berbudi baik, mengikuti jejak akhlaknya.
Dalam salah satu hadis Rasulullah bersabda:
أدًّبّي رَبِّي فأحْسَنَ تَأديي(أخر جه العسكري عن علي)
“Tuhanku mengajarkan adab kepadaku maka Dialah yang memperindah adabku.”(HR. al-‘Askariy dari Ali)
Al-Zarkasiy dalam Faydh al-Qadir Syarah al-Jami ‘al-Shaghir menyebutkan bahwa Hadis ini sekalipun dha’if tetapi maknanya shahih.
Kata ta’dib pada umumnya lebih banyak digunakan pada pendidikan yang
bersifat keterapilan lahir yakni latihan dan keterampilan. Ia berasal
dari kata adab, yang berarti etika, sopan santun, dan budi pekerti lebih
tepat diartikan mengajarkan adab atau diartikan memberi pelajaran atau
hukuman .
Ayat Al-Quran yang berhubungan dengan adab menuntut ilmu antara lain:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي
ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ
ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ
وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ
خَبِيرٞ ١١
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah
dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadillah:11)
Menurut Ibn Qayyim, kata adab berasal dari kata ma’dubah. Kata ma’dubah
berarti’jamuan atau hidangan’, dengan kata kerja ”adaba-ya’dibu’’ yang
berarti ‘menjamu atau menghidangkan makanan. Kata adab dalam tradisi
Arab kuno merupakan symbol kedermawanan, dimana al-Adib (pemiik
hidangan) mengundang banyak orang untuk duduk bersana menyantap hidangan
di rumahnya. Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin
Abdul Bakri al-Wa’illi, “Pada musim paceklik (musim kesulitan pangan),
kami mengundang orang-orang ke perjamuan makan, dan engkau tidak akan
melihat para penjamu dari kalangan kami memilih-milih orang yang
diundang”.
Kemudian kata ini berkembang seiring dengan perkembangan peradaban
islam, sebagai sebuah simbol nilai agung yang ada dalam islam. Hal ini
bisa kita lihat dalam hadist berikut ini, yang menjelaskan kata adab
sebagai hidangan yang ada di dalamnya syarat dengan nilai. “sesungguhnya
Al-Qur’an ini adalah hidangan Allah dimuka bumi, oleh karena itu
Belajarlah kalian pada sumber peradaban-nya.”
Kata ta’dib atau al-adab ini dipopulerkan oleh Imam al-Bukhari dalam
adab al-mufrad, al-mawardi dalam kitabnya Adab al-Muallimin wa al-Rawi
wa Adab al-sami’ serta Ibn Jama’ah dalam kitabnya Tadzkirah al- sami’ wa
al-Mutakallim fii Adab al-Alim wa al-Muta’allim.
Sementara itu, kata adab juga sering dipakai dalam hadits untuk menunjuk
kata pendidikan. Hal itu sebagaimana sabda Nabi saw. Berikut ini,
“Tuhan telah mendidikku, dan telah membuat pendidikanku itu
sebaik-baiknya”, “Setiap pendidik akan menyukai diberikan alat mendidik,
dan sesungguhnya pendidikan dari Allah itu adalah Al-Qur’an, aka
janganlah kalian menjauhinya”.
Menurut al-attas, istilah ta’dib adalah istilah yang paling tepat
digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, karena pada
dasarnya pendidikan Islam bertujuan untuk melahirkan manusia yang
beradab. Sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan,
dalam istilah ini mencakup pendidikan untuk hewan. Selanjutnya, ia
menjelaskan bahwa istila Ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba yang
berarti pendidikan. Kemudian, dari kata addaba ini diturunkan juga kata
adabun. Menurut al-attas, adabun berarti pengenalan dan pengakuan
tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara
hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan
tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat
itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun
rohaniyah seseorang. Al-attas mengatakan bahwa adab adalah pengenalan
serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam
rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu
hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu;
pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan, seperti ilmu
tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu.
Keduanya sia-sia karena yang satu menyifatkan ketiadasadaran dan
kejahilan .
Berdasarkan pengerian adab seperti itu, al-Attas mendifinisikan
pendidikan menurut islam sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang
tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud, sehingga hal ini
membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat tuhan yang tepat
didalam tatanan wujud tersebut.
Pendapat al-Attas mengenai Ta’dib, dikuatkan oleh Sa’dudin Mansur
Muhammad. Ia beralasan bahwa istilah Ta’dib merupakan istilah yang
mencakup semua aspek dalam pendidikan baik unsure tarbiyah maupun
taklim. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa istilah ta’dib sudah dikenal
sejak zaman jahiliah dan dikuatkan setelah datangnya Nabi Muhammad saw.
Alasan yang lebih mendasar yang melatar belakangi al-Attas memilih
istilah ta’dib adalah, adab berkaitan erat dengan ilmu, sebab ilmu tidak
dapat diajarkan atau ditularkan kepada anak didik, kecuali jika orang
tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam
berbagai bidang.
Kemudian, konsep pendidikan Islam yang hanya terbatas pada makna
tarbiyah dan taklim itu telah dirasuki pandangan hidup barat yang
berlandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanism, dan sofisme,
sehingga nilai-nilai adab menjadi kabur dan semakin jauh dari
nilai-nilai hikmah Ilahiah. Kekaburan makna adab tersebut mengakibatkan
kezaliman, kebodohan, dan kegilaan. Kezaliman yang dimaksud disini
adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, sementara kebodohan
adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu,
dan kegilian adalah perjuangan yang berdasarkan tujuan dan maksud yang
salah.
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah yang identik dengan
pendidikan akhlak, bahkan Ibn Qayyim berpendapat bahwa adab adalah inti
dari akhlak, karena didalamnya mencakup semua kebaikan. Lebih dari itu,
konsep adab ini, pada akhirnya berperan sebagai pembeda antara
pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak. Orang berkarakter tidaklah
cukup, karena pendidikan karakter hanya berdimensi pada nilai-nilai dan
norma-norma kemanusian aja (makhluk), tanpa memperhatikan dimensi
ketauhidan Ilahiyah (khaliq).
Sehingga orang berkarakter belum bias disebut berakhlak, karena bisa
jadi orang berkarakter “toleransi” ia mengikuti paham pluralism sehingga
memukul rata semua agama tanpa batasan norma syari’at. Sementara dalam
pendidikan akhlak mengintegrasikan kedua dimensi tersebut, yakni nilai
kemanusiaan (makhluk) dan nilai uluhiyah (khaliq) adalah hal yang wajib,
dan tidak boleh dipisah-pisahkan. Sehingga orang berakhlak, secara
langsung mencakup orang yang berkarakter. Dengan demikian, pendidikan
akhlak atau adab adalah lebih syumul ‘mencakup’ daripada pendidikan
karakter.
Adab menuntut ilmu terbagi antara lain,
1. Adab Penuntut Ilmu terhadap Dirinya Sendiri (Adab al-Muta’allim fii Nafsihi)
a. Menyucikan hati dari segala sifat-sifat tercela, agar mudah menyerap ilmu.
b. Meluruskan niat dalam mencari ilmu, yakni ikhlas hanya karena ingin mendapat ridha Allah.
c. Menghargai waktu, dengan cara mencurahkan segala perhatian untuk urusan ilmu.
d. Memiliki
sifat qana’ah dalam kehidupannya, dengan menerima apa adanya dalam
urusan makan dan pakaian, serta sabar dalam kondisi kekurangan.
e. Membuat jadwal kegiatan harian secara teratur, sehingga alokasi waktu yang dihabiskan jelas dan tidak terbuang sia-sia.
f. Hendaknya
memperhatikan makanan yang dikonsumsi, harus dari yang halal dan tidak
terlalu kenyang sehingga tidak berlebih-lebihan. Karena, makanan haram
dan mengkonsumsi berlebihan menyebabkan terhalang dari ilmu.
g. Bersifat wara’, yaitu menjaga diri dari segala sifatnya syubhat dan syahwat hawa nafsu.
h. Menghindari diri dari segala makanan yang dapat menyebabkan kebodohan dan lemahnya hafalan, seperti apel, asam, dan cuka.
i. Mengurangi waktu tidur, karena terlalu banyak tidur dapat menyia-nyiakan usia dan terhalang dari faedah.
j. Menjaga
pergaulan, yaitu hanya bergaul dengan orang-orang saleh yang memiliki
antusias dan cita-cita tinggi dalam ilmu, dan meninggalkan pergaulan
dengan orang yang buruk akhlaknya, karena hal itu berdampak buruk
terhadap perkembangan ilmunya.
Adab menuntut ilmu sangat banyak, diantaranya yang paling penting adalah:
1. Menuntut ilmu adalah ibadah.
Dan ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali dengan dua syarat:
A. Ikhlas karena untuk mencari ridho Allah ta’ala.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan semua agama kepadaNya(Al-Bayyinah:5)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallambersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي . فمن كانت هجرته الي الله
ورسوله فهجرته الي الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة
ينكحها فهجرته إلي ما هاجر إليه
“Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang
hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang
hijrah karena cinta kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya akan
sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena
menginginkan perkara dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya,
maka hijrahnya (hanya) mendapatkan apa yang dia inginkan.” (HR. Bukhari
[Kitab Bad'i al-Wahyi, hadits no. 1, Kitab al-Aiman wa an-Nudzur, hadits
no. 6689] dan Muslim [Kitab al-Imarah, hadits no. 1907])
Maka ketika Al-Fudhail bin ‘Iyadh menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“…untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Beliau berkata, “Yakni, yang paling ikhlas dan paling benar.
Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan
diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan
diterima. Jadi harus ikhlas dan benar.
Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Allah, dan yang
benar itu apabila sesuai Sunnah Rasulullahsholallohu’alaihi wasallam.”
(Kitab Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam I/36).
Ikhlas ini mahal dan berat, makanya para sahabat dahulu berusaha
bagaimana supaya ikhlas. Maka sebagaimana perkataan Imam Ats-sauri
:”tidak ada yang lebih sulit bagi diriku kecuali niatku” (mengikhlaskan
niat).
Kalaulah imam yang besar seperti imam ats-sauri mengeluh atas susahnya ikhlas lalu bagaimana dengan kita-kita yang awam?
Sampai menuntut ilmu saja kalau tidak karena mengharapkan ganjaran Alloh
‘azza wa jalla, tidak akan mencium bau surga sebagaimana hadits dari
Abu Hurairoh Rasulullah sholallohu’alaihi wasallambersabda :
"Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk
mencari wajah Allah 'Azza wa Jalla tetapi dia justru berniat untuk
meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada
hari kiamat" (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dishahihkan oleh Al-Hakim)
Amal kebaikan yang tidak terdapat keikhlasan di dalamnya hanya akan
menghasilkan kesia-siaan belaka. Bahkan bukan hanya itu, ingatkah kita
akan sebuah hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa tiga orang yang akan
masuk neraka terlebih dahulu adalah orang-orang yang beramal kebaikan
namun bukan karena Allah?
Ya, sebuah amal yang tidak dilakukan ikhlas karena Allah bukan hanya
tidak dibalas apa-apa, bahkan Allah akan mengazab orang tersebut, karena
sesungguhnya amalan yang dilakukan bukan karena Allah termasuk
perbuatan kesyirikan yang tak terampuni dosanya kecuali jika ia
bertaubat darinya, Allah berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh
ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 48)
Imam Adzahabi dalam kitabnya Kitab Siyar A'lam An-Nubala (Perjalanan
Hidup Orang-orang Mulia) menceritakan Seorang yang alim yang mengatakan “
aku belum pernah mengatakan aku menuntut ilmu ini semata-mata karena
Alloh”, karena takutnya akan jatuh ria. Dan beliau Azahabi berkomentar
‘Wallohi wala anaa’. Demi Alloh, aku pun juga demikian…
Hal ini menggambarkan akan beratnya para ulama berusaha untuk berbuat ikhlas.
Dalam Hadits Qudsi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
” قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ
الشِّرْكِ؛ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي(*)،
تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ”.
(رواه مسلم (وكذلك ابن ماجه
Diriwayatkan dari Abi Hurairah radiyallohu’anhu, beliau berkata, Telah
bersabda Rasulullah Sholallohu’alaihi wasallam, “Telah berfirman Allah
tabaraka wa ta’ala (Yang Maha Suci dan Maha Luhur), Aku adalah Dzat Yang
Maha Mandiri, Yang Paling tidak membutuhkan sekutu; Barang siapa
beramal sebuah amal menyekutukan Aku dalam amalan itu(*), maka Aku
meninggalkannya dan sekutunya”
Diriwayatkan oleh Muslim (dan begitu juga oleh Ibnu Majah). *). Adalah
juga termasuk syirik jika seseorang beramal dengan amalan disamping
ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Taála juga ditujukan kepada yang
selain-Nya.
Maka Ikhlas merupakan asas dalam beramal. Seorang hamba akan terus
berusaha untuk melawan iblis dan bala tentaranya hingga ia bertemu
dengan Sang Khalik kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh
amal perbuatannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk
mengetahui hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita agar dapat
mengikhlaskan seluruh amal perbuatan kita kepada Allah semata, dan di
antara hal-hal tersebut adalah dengan banyak berdo’a.
Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا،وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً
“Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki
yang baik dan amal yang diterima.” (HR Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul Yaum
wal Lailah, no. 54, dan Ibnu Majah n0. 925. Isnadnya hasan menurut Abdul
Qadir dan Syu’aib al-Arna’uth dalam taqiq Zad Al-Maad 2/375).
B. Mutaba’ah (Mengikuti petunjuk Rosulillah).
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka ikutilah
aku niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian. (Ali
‘Imron:31)
Rosulullah bersabda : “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan tanpa petunjuk kami maka amalan tersebut tertolak”. (H.R Muslim)
2. Berjalan diatas metode para Ulama Salaf (Ahlus Sunah Wal Jama’ah)
Muhamad Bin Sirin berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah agama maka
lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian”. (Muqodimah Shohih
Muslim:1/14)
Beliau juga berkata : “Dahulu para ulama sahabat tidak pernah bertanya
tentang Sanad (tali rantai para Rowi), dan ketika terjadi fitnah (wafat
Utsman) maka mereka bertanya: ‘Siapa Rowi-Rowi kalian?’. Maka dilihat,
jika Rowinya seorang Ahlus Sunah maka mereka akan mengambil haditsnya,
dan jika rowinya Ahlul Bid’ah maka mereka menolak haditsnya”. (Modimah
Shohih Muslim:1/15)
3. Hati-hati dalam memilih pengajar dan guru.
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat
orang: Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang
berilmu), Ahlil bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, Orang yang
terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak
berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan Orang yang sholeh, mulia dan
rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan
disampaikan”. (Siyar ‘Alamun Nubala’:8/61)
Imam Al-Khotib Al-Baghdadi berkata: “Seyogyanya bagi para penuntut ilmu
untuk belajar kepada ulama’ yang ma’ruf akan agama dan amanahnya”.
(Al-Faqif Wal Mutafaqqif:2/96)
4. Menghiasi diri dengan Taqwa, Takut dan Muroqobah (merasa dalam awasan Allah).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ
فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ
وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian bertaqwa kepada Allah maka
niscaya Allah akan memberikan kepada kalian Furqon (ilmu sebagai
pembeda) dan juga Allah akan hapuskan dosa-dosa kalian. (Al-Anfal:29)
Imam Ahmad berkata: “Pondasi ilmu agama adalah perasaan takut kepada Allah”. (Hilyah:13)
5. Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari sekuat tenaga.
Hal ini sangat penting karena ilmu syar’i yang telah dipelajari adalah
untuk diamalkan, bukan sekedar untuk dihafalkan. Para ulama menasehati
kita bahwa menghafal ilmu dengan cara mengamalkannya. Hendaklah seorang
penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk menghafalkan ilmu syar’i
ini dengan mengamalkannya dan ittiba’. Sebagian Salaf mengatakan, “Kami
biasa memohon bantuan dalam menghafalkan ilmu dengan cara
mengamalkannya.”
[Lihat kitab Miftaah Daaris Sa’aadah (1/344) dan lqtidha’ al-’llmi al-’Amal (no. 149).]
Menuntut ilmu syar’i bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai pengantar
kepada tujuan yang agung, yaitu adanya rasa takut kepada Allah, merasa
diawasi oleh-Nya, takwa kepada-Nya, dan mengamalkan tuntutan dari ilmu
tersebut. Dengan demikian, maka siapa saja yang menuntut ilmu bukan
untuk diamalkan, niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu,
kemuliaannya, dan ganjaran pahalanya yang besar.
[Kaifa Tatahammas li Thalabil ‘Ilmi Syar’i (hal. 74),]
Allah Ta’ ala berfirman:
“Dan katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (QS. At-Taubah: 105)
Dan Surga diwariskan bagi orang yang mengamalkan Islam dengan benar, sebagaimana firman-Nya:
“Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamtelah mewanti-wanti agar kita
mengamalkan ilmu yang sudah diketahui (dipelajari), beliau bersabda,
“Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari Kiamat hingga ia
ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan; tentang ilmunya, apa
yang telah diamalkan; tentang hartanya darimana ia peroleh dan ke mana
ia habiskan; dan tentang tubuhnya-capek dan’ letihnya-untuk apa ia
habiskan.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2417), dari Shahabat
Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid al-Aslamiradhiyallaahu ‘anhu, At-Tirmidzi
mengatakan, "Hadits hasan shahih, lihat Ash-Shohihah no:946"]
6. Sabar dalam menuntutnya.
Imam Yahya Bin Abi Katsir berkata : “Ilmu tidak diperoleh dengan jiwa yang enak (santai)”. ( Al-Jami’ : 1/91)
Imam As-Syafi’I berkata: “Seseorang Tidak akan sampai pada ilmu ini
sampai ia ditimpa kefakiran (kemiskinan), dan kefaqiran tersebut lebih
ia utamakan dari pada yang lainnya”. (Siyar:10/89)
Imam Abu Ahmad Nasr Bin Ahmad Bin Abbas Al-‘Iyadhi berkata: “Tidak akan
memperoleh ilmu ini kecuali orang yang menutup warungnya, menghancurkan
sawahnya, meninggalkan teman-temannya, dan meninggal dunia (wafat) salah
satu diantara keluarganya tetapi ia tidak bisa menghadiri jenazahnya”.
(Al-Jami’ Li Adabir Rowi no:1571)
7. Hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia.
Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata : “Sesungguhnya seseorang jika menuntut
ilmu, maka tidaklah berjalan beberapa waktu kecuali akan nampak pengaruh
ilmu tersebut pada khusyu’nya, mata, lisan, tangan, sholat, dan
zuhudnya”. (Al-Jami’:1/60)
Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As-Sa’di berkata: “Dan perkara yang harus
ada pada orang yang berilmu adalah menghiasi dirinya dengan kandungan
ilmu yang ia pelajari dari akhlaq yang mulia, mengamalkan ilmunya dan
menyebarkannya kepada manusia. Orang yang berilmu adalah orang yang
paling berhaq untuk menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia dan
menjauhi dari akhlaq yang tidak baik, dia juga merupakan orang yang
paling berhaq untuk mengamalkan kewajiban baik yang dhohir maupun yang
batin dan menjauhi perkara yang haram, hal ini disebabkan karena mereka
memiliki ilmu dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang lain,
mereka adalah Qudwah (sori tauladan) bagi manusia dan manusia akan
mengikuti mereka, dan juga dikarenakan mereka akan mendapatkan celaan
lebih banyak ketika mereka tidak mengamalkan ilmunya dari pada orang
yang tidak berilmu.
Dan sesungguhnya ulama-ulama salaf senantiasa menjadikan amal sebagai
alat untuk menghafal ilmu, karena ilmu jika diamalkan maka akan kokoh
dan dihafal, demikian juga akan semakin bertambah dan banyak barokahnya.
Akan tetapi jika ilmu tidak diamalkan maka ia akan pergi dan barokahnya
akan hilang. Maka ruh kehidupan ilmu adalah pengamalannya baik dengan
akhlaq, mengajarkan, ataupun berda’wah”. (‘Awa’iqut Tholab:90 karya
Syaikh Abdus Salam Bin Barjas)
8. Senantiasa meningkatkan semangat dalam menuntut ilmu.
Imam Ibnul Jauzi berkata: “Selayaknya bagi orang yang berakal untuk
mencurahkan semua kemampuan dia (dalam menggapai cita-cita). Jika
seandainya manusia mampu naik ke langit, maka kamu akan melihat bahwa
orang yang paling hina adalah orang yang senantiasa puas dengan bumi.
Jika engkau mampu menyaingi para ulama maka lakukanlah, karena mereka
adalah manusia dan engkau juga manusia yang memiliki akal, dan tidak ada
orang yang selalu puas dengan apa yang sudah didapatkan kecuali orang
yang paling malas dan lemah semangatnya.
Ketahuilah bahwa engkau sekarang berada di medan pertandingan dan waktu
yang engkau miliki semakin habis, maka janganlah engkau
bermalas-malasan. Sungguh tidaklah luput dari apa yang luput melainkan
karena kemalasan, dan tidak diperoleh dari apa yang sudah tercapai
kecuali disebabkan karena usaha dan semangat”. (Shoidul Khotir:159-161)
Dalam menuntut ilmu syar’i diperlukan kesungguhan. Tidak layak para
penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan
ilrnu yang berrnanfaat -dengan izin Allah- apabila kita
bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.
Imam asy-Syafi’i rahimahullaah pemah mengatakan dalam sya’irnya,
Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara.
Kukabarkan kepadamu rinciannya dengan jelas
Kecerdasan, kemauan keras, bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, bimbingan ustadz, dan waktunya yang lama.
[Diwaan lmam asy-Syafi’i (hal. 378). Cet. Daml Fikr, th. 1415 H.]
9. Mengikat ilmu dengan menulis dan sering Muroja’ah (mengulang-ulang) hafalan.
Dari Abdullah Bin Amr, Rosulullah bersabda: “Ikatlah ilmu!”, para
Sahabat berkata: “Wahai Rosulullah apa pengikat ilmu?”. Beliau bersabda:
“Tulisan”. (dihasankan oleh Syaikh Salim Bin Ied Al-Hilali dalam
Manhajul Ambiya’ Fi Tazkiyatun Nufus:120)
Imam Asy-Syafi’i berkata:
Ilmu bagaikan binatang buruan sedang tulisan adalah tali kekang
Ikatlah binatang buruan kalian dengan tali yang kokoh lagi kencang
Sungguh termasuk kedunguan adalah ketika kamu berhasil mendapatkan kijang
Lalu di tengah orang kamu biarkan tanpa ikatan sehingga lepas dan melayang.
(Kitabul Ilmi:62)
Syaikh Utsaimin berkata: “Wajib atas para penuntut ilmu untuk semangat
dalam mengulang-ulang dan mengikat pelajaran baik dengan menghafal atau
menulisnya, hal ini disebabkan karena manusia adalah tempat untuk lupa.
Maka jika seseorang belajar akan tetapi tidak muroja’ah maka ilmu yang
ia dapatkan akan hilang dan lupa”. (Kitabul Ilmi:62)
10. Berdo’a kepada Allah ta’ala agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Diantara do’a yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ucapkan adalah:
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilrnu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Humaidi (1/143, no. 299), Ahmad
(VI/322), Ibnu Majah (no. 925), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah (no. 110), dan an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 102),
dari Shahabivah Ummu Salamahradhiyallaahu ’anha. Lihat Shahiih lbnu
Majah (1/152, no. 753).]
Imam Ahmad berkata : “Sesungguhnya ilmu adalah pemberian (nikmat) yang
Allah berikan kepada yang dikehendaki, dan tidaklah seseorang
memperolehnya dengan kemuliaan nasabnya. Jika seandainya ilmu bisa
diperoleh dengan nasab maka niscaya orang yang paling berhaq
mendapatkanya adalah Ahli Bait Rosulillah”. (Ma’alim Fi Thoriq Tolabil
Ilmi:56)
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Wahai para penuntut ilmu! Tingkatkan
harapan kalian, kembalilah kepada Allah dengan berdo’a dan menghinakan
diri dihadapanNya. Sungguh Syaikul Islam Ibnu Taimiyah sering sekali
jika susah di dalam memahami tafsir suatu ayat dalam Al-Qur’an, beliau
mengucapkan dalam do’anya: “wahai Allah Dzat yang telah meng’ajarkan
Nabi Adam dan Ibrohim ajarkanlah saya, wahai Allah Dzat yang telah
memahamkan Nabi Sulaiman fahamkanlah saya”, kemudian setelah berdo’a
seperti ini maka beliau diberikan kemudahan dalam memahami tafsirnya”.
(Hilyah:58-59)
Juga do’ a beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Ya Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau
ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku. Dan
tambahkanlah ilmu kepadaku.”
[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3599) dan ibnu Majah
(no. 251, 3833), dari Shahabat Abu Hurairahradhiyallaahu’anhu. Lihat
Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 2845) dan Shahiih Sunan lbni Majah (no.
203).]
11. Mengajarkan ilmu yang sudah didapatkan.
Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As-Sa’di berkata: “Dan diantara adab bagi
orang yang berilmu dan para penuntut ilmu adalah saling menasehati dan
menyebarkan ilmu yang bermanfaat sesuai dengan kemampuan. Walaupun
seseorang hanya mengetahui satu masalah saja, kemudian ia ajarkan dan
sebarkan maka ini adalah tanda barokah dari ilmunya, karena buah ilmumu
adalah ketika manusia mengambil ilmu tersebut darimu.
Dan barang siapa yang bakhil dengan ilmunya, maka ilmunya akan mati
dengan kematiannya, bahkan terkadang dia akan lupa dari ilmunya walupun
dia masih hidup. Akan tetapi seseorang yang menyebarkan ilmunya, maka
inilah kehidupan ilmunya yang kedua dan sebagai wacana untuk menghafal
ilmunya, dan Allah akan mengganjarnya sesuai dengan amalannya”.
(‘Awa’iqut Tholab:93)
Ilmu syar’i yang telah kita peroleh dan fahami bukanlah untuk kita sendiri. Namun, kita harus mendakwahkannya.
Dakwah ini harus dengan mengetahui syari’at Allah ‘Azza wa Jalla
sehingga dakwah tersebut tegak di atas ilmu dan bashirah, berdasarkan
firrnan Allah Ta’ala,
“Katakanlah (Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah,
dan aku tidak termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Yang dimaksud bashirah dalam dakwah adalah seorang da’i harus mengetahui
hukum syar’i, cara berdakwah, dan mengetahui keadaan orang yang menjadi
objek dakwah.
[Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 22).]
Objek dakwah yang paling utama adalah keluarga dan kerabat kita karena Allah Ta’ ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharah dirimu dan keluargamu dari
api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
Malaikat-Malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahriim: 6)
Mengenai pengertian ayat ini ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Didik dan ajarkanlah mereka.”
Ibnu ‘Abbas (wafat th. 68 H) radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Lakukanlah
ketaatan kepada Allah, takutlah berbuat maksiat kepada-Nya, dan suruhlah
keluarga kalian berdzikir, niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari
Neraka.”
Adab Penuntut Ilmu terhadap Gurunya (Adab al-Muta’allim Ma,a Syaikhihi)
a. Memilih guru yang berkualitas, baik dari segi keilmuan dan akhlaknya.
b. Menaati perintah dan nasihat guru, sebagaimana taatnya pasien terhadap dokter sepesialis.
c. Mengagungkan
dan menghormati guru sebagaimana para ulama salaf mengagungkan para
guru mereka. Sebagai contohnya adalah apa yang pernah dilakukan oleh
Imam Syafi’i terhadap gurunya (Imam Malik), dimana beliau membuka buku
pelajaran secara perlahan-lahan tanpa terdengar suara lembaran kertas,
karena mengagungkan gurunya, dan agar tidak mengganggu konsentrasi
gurunya yang sedang melangsungkan pengajarannya. Bahkan, di antara ulama
salaf ada yang bersedekah terlebih dahulu sebelum berangkat ke majelis
gurunya, seraya berdo’a, “yea Allah, tutupilah aib guruku dan jangan
engkau halangi keberkahan ilmunya untukku.”
d. Menjaga
hak-hak gurunya dan mengingat jasa-jasanya, sepanjang hidupnya, dan
setelah wafatnya, seperti mendoakan kebaikan bagi sang guru dan
menghormati keluarganya.
e. Sabar
terhadap perlakuan kasar atau akhlak yang buruk dari gurunya. Jika hal
seperti ini terjadi pada dirinya, hendaknya ia bersikap lapang dada dan
memaafkannya serta tidak berlaku su’uzhan terhadap gurunya tersebut.
f. Menunjukan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada gurunya yang telah mengasuhnya dalam naungan keilmuan.
g. Meminta izin terlebih dahulu kepada guru, jika ingin mengunjunginya atau duduk di majelisnya.
h. Hendaknya
duduk dengan sopan di hadapan guru. Ibn Jama’ah mencontohkan duduk
sopan tersebut, dengan cara duduk bersila dengan penuh tawadhu’, tenang,
diam, sedapat mungkin mengambil posisi terdekat dengan guru, penuh
perhatian terhadap penjelasan guru, tidak dibenarkan menoleh
kesana-kemari tanpa keperluan yang jelas, dan seterusnya.
i. Berkomunikasi dengan guru secara santun dan lemah lembut.
j. Ketika
guru menyampaikan suatu pembahasanyang telah didengar atau sudah dihafal
oleh murid, hendaknya ia tetap mendengarkannya dengan penuh antusias,
seakan-akan dirinya belum pernah mendengar pembahasan tersebut.
k. Penuntut
ilmu tidak boleh terburu-buru menjawab atas pertanyaan, baik dari guru
atau dari peserta, sampai ada isyarat dari guru untuk menjawabnya.
l. Dalam hubungan membantu guru, hendaknya sang murid melakukannya dengan tangan kanan.
m. Ketika
bersama dengan guru dalam perjalanan, hendaknya murid berlaku sopan dan
senantiasa menjaga keamanan serta kenyamanan perjalanan sang guru.
Takhtimah
Ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai
kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Sehubungan dengan
itu, Allah SWT mengajarkan kepada adam dan semua keturunannya. Dengan
ilmu pengetahuan itu, manusia dapat melaksanakan tugasnya dalam
kehidupan ini, baik tugas sebagai khalifah maupun tugas ubudiah. Oleh
karena itu, Rasulullah SAW menyuruh, menganjurkan, dan memotivasi
umatnya agar menuntut ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan ini ditemukan
hadis, yaitu sebagai berikut.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَعَلَّمُوا الْعِلْمَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ تَعَلَّمُوا
الْفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلَّمُوْهُ
النَّاسَ فَاءِنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ وَالْعِلْمُ سَيُنْتَقَصُ
وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اثْنَا نِ فِى فَرِ يضَةٍ لاَ
يَجِدَانِ أَ حَدًا يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Rasulullah SAW bersabda kepadaku, ‘Tuntutlah
ilmu pengetahuan dan ajarkanlah kepada oraang lain. Tuntutlah ilmu
kewarisan dan ajarkanlah kepada orang lain. Pelajarilah Al-Quran dan
ajarkanlah kepada orang lain. Saya ini akan mati. Ilmu akan berkurang
dan cobaan akan semakin banyak, sehingga terjadi perbedaan pendapat
antara dua orang tentang suatu kewajiban, mereka tidak menemukan seorang
pun yang dapat menyelesaikannya.’”(HR. Ad-Daruquthni, dan Al-bahaqi)
“ carilah ilmu walawpun di negeri cina”.
Mencari ilmu suatu keajaiban sekalipun dimana saja dan dalam keadaan
bagaimanapun pula, tidak ada alasan seseorang meninggalkan ilmu atau
tidak mencarinya. Makna walaw dalam bahasa Arab menunjuk batas maksimal
apapun yang terjadi.
Adab menuntut ilmu ada dua macam yaitu adab menuntut ilmu terhadap dirinya sendiri dan adab menuntut ilmu terhadap gurunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar