Sungguh para ‘ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah
subhanahu wata’ala. Sangat banyak pujian dan sanjungan terhadap mereka
dalam Al-Qur’an. Di antaranya firman Allah :
((إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ)) فاطر: ٢٨
“Hanyalah yang memiliki khasy-yah (takut) kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ‘ulama.” [Fathir : 28]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : Yakni, hanya yang
khasy-yah terhadap-Nya dengan sebenarnya adalah para ‘ulama yang
mengenal-Nya / berilmu tentang-Nya. Karena setiap kali ma’rifah
(pengenalan) terhadap Dzat yang Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Berilmu,
yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama yang indah, bila
ma’rifah terhadap-Nya semakian sempurna dan ilmu tentang-Nya makin
lengkap, maka makin bertambah besar dan bertambah banyak pula khasy-yah
terhadap-Nya.”
Dalam kitab Tanqih al-Qaul, al-Imam al-Hafidz Jalaluddin bin Abdurrahman
bin Abubakar as-Suyuthi menuliskan dalam kitabnya sebuah hadits bahwa
Rasulullah Saw. bersabda:
وقال عليه الصلاة والسلام: {مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ} قالها ثلاث مرات
“Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik.”
Menangislah, karena meninggalnya seorang ulama adalah sebuah perkara
yang besar di sisi Allah. Sebuah perkara yang akan mendatangkan
konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan
orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah, jika
kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para
ulama.
عن ابن عباس ، في قوله تعالى : أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ
نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا سورة الرعد آية 41 قال : موت علمائها .
وللبيهقي من حديث معروف بن خربوذ ، عن أبي جعفر ، أنه قال : موت عالم أحب
إلى إبليس من موت سبعين عابدا .
Ibnu Abbas Ra. berkata tentang firman Allah: “Dan apakah mereka tidak
melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami
kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?”
(QS. ar-Ra’d ayat 41). Beliau mengatakan tentang (مِنْ أَطْرَافِهَا =
dari tepi-tepinya) adalah wafatnya para ulama.”
Dan menurut Imam Baihaqi dari hadits Ma’ruf bin Kharbudz dari Abu Ja’far
Ra. berkata: “Kematian ulama lebih dicintai Iblis daripada kematian 70
orang ahli Ibadah.”
Al-Quran secara implisit mengisyaratkan wafatnya ulama sebagai sebuah
penyebab kehancuran dunia, yaitu firman Allah Swt. yang berbunyi:
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا
وَاللَّهُ يَحْكُمُ لا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. ar-Ra’d ayat 41).
Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini
berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya). Sedangkan kehancuran
bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama. (Tafsir Ibnu
Katsir juz 4 halaman 472).
Rasulullah Saw. yang menegaskan ulama sebagai penerusnya, juga
menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah. Rasulullah Saw.
bersabda:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ ,
وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah
kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang
padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada
meninggalnya satu orang ulama.” (HR. ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir
dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda).
Tentu kita mnegenal kitab fenomenal karangan Imam Ghozali; Ihya’ Ulum
Al-Diin [إحياء علوم الدين]. Bisa dibilang kitab bidayah Hidayah itu
kitab resensinya, kitab yang isinya sama seperti kitab ihya' tapi dengan
penjelasan yang lebih singkat dan padat. Karena setiap akhir pembahasan
bab, Imam Ghozali selalu mengatakan:
وهذا قد بيناه تفصيلا في كتابنا الإحياء, فمن أراد قليراجع
“Dan pembahasan ini telah kami bahasa secara rinci dalam kitab kami,
Ihya’. Siapa yang ingin menambah keterangan, hendaklah ia merujuknya”.
Ketika membahas keutamaan ilmu dan ulama, Imam Nawawi mengeluarkan
"hadits" itu, sayangnya beliau tidak menuliskan sanad ataupun nama
perawinya. Jadi cukup sulit bagi para penuntut ilmu untuk mencari
rujukan hadits ini (kalau memang benar hadits) dalam kitab-kitab hadits
yang masyhur.
Lalu bagaimana mensikapinya?
Prinsip seorang muslim, kalau itu dari Nabi maka harus sam’an wa thoatan
(dengar dan mentaati). Akan tetapi kalau itu bukan dari Nabi, maka
boleh diambil dan boleh juga menolak kalau memang tidak ada kebaikannya.
Akan tetapi kalau ada kebaikan dalam pernyataan tersebut kenapa tidak
diambil manfaatnya?
Walaupun itu bukan hadits, tapi kalau dilihat lebih jauh lagi,
pernyataan itu ada benarnya juga. Maksudnya memang sangat layak kita
bersedih jika ada seorang ulama yang meninggal dunia.
Ulama itu para ahli waris Nabi, dan Nabi tidak mewarisi apa-apa kecuali
ilmu. Berarti memang ulama itu jalan kita untuk menuju apa yang
diajarkan oleh Nabi karena para ulama itu semua yang terwarisi ilmu Nabi
saw.
Makin banyak ulama yang meninggal, makin banyak pula nantinya ilmu yang
tidak tersampaikan kepada ummat. Akhirnya banyak yang tidak paham agama,
tidak punya penuntun yang menuntunnya dalam masalah agama karena ahli
warisnya terhenti.
Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu
Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang
agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu
kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya.
Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Hal
inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.:
خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ” ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ
الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ
يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
“Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi.” Sahabat bertanya:
“Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?”
Rasulullah Saw. menjawab: “Perginya ilmu adalah dengan perginya
(wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama).” (HR. ad-Darimi,
ath-Thabarani no. 7831 dari Abu Umamah).
Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, diantaranya munculnya
pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehinga dapat
menyesatkan umat.
Masa iya kita tidak bersedih dengan terputusnya ilmu? Dan kematian ulama
itu adalah salah satu cara Allah mengangkat ilmuNya dari bumi.
Sebagaimana hadits Nabi saw:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ
الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى
إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
"Allah tidak mengambil ilmu dengan menariknya dari bumi akan tetapi
Allah mengambil ilmuNya dengan mewafatkan para ulamanya. Sehingga ketika
Allah swt tidak menyisakan orang-orang ‘alim di situ, para manusia
menjadikan orang-orang bodoh (bukan ahli ilmu) sebagai tempat bertanya,
maka ia berfatwa tanpa ilmu lalu sesatlah dan menyesatkan" (HR. Bukhari
no. 100).
Hadis ini menerangkan bahawa jika manusia tidak mahu menerima ajaran
Allah, maka Allah akan mencabut ilmu itu. Tidak ada gunanya ilmu Allah
swt itu berada di kalangan manusia jika manusia tidak mahu menurutnya.
Atau ilmu hanya digunakan untuk kepentingan hawa nafsu semata-mata.
Oleh itu Allah akan menarik ilmu yang ada pada manusia itu. Ilmu yang
dimaksudkan ialah ilmu yang boleh membawa manusia beriman dan mengakui
kebesaran Allah serta menjalankan peraturanNya. Jika manusia merasakan
bahawa mereka tidak perlu kepada ilmu tersebut, maka Allah akan
menariknya kembali kerana ilmu yang ada pada manusia adalah
pemberianNya. Allah sentiasa mengajar mereka apa sahaja yang tidak
diketahuinya ( surah Al-‘Alaq : ayat:5 ).
Dijelaskan juga bahawa Allah swt tidak menarik ilmu itu dengan
mencabutnya dari manusia, walaupun Allah berkuasa melakukan apa sahaja.
Allah menarik ilmu dari manusia ialah dengan mematikan ulama, iaitu
ulama yang jujur dan ikhlas kerana Allah. Mereka dimatikan untuk menjadi
ingatan kepada manusia agar apabila seorang dari orang-orang alim
meninggal dunia, mereka harus sedar bahawa di sebalik kematian itu ada
erti yang amat dalam bagi kehidupan seluruhnya. Matinya seorang ulama
bererti hilanglah sebahagian dari tenaga untuk menyampaikan ilmu itu
kepada manusia.
Apabila semua mati, maka tidaklah ada lagi orang yang dapat memberikan
pimpinan kepada masyarakat. Manusia perlukan pimpinan seterusnya.
Orang-orang jahil pun diangkat menjadi ketua. Ketua-ketua ini memimpin
berdasarkan apa yang mereka ketahui. Pelbagai pertanyaan masyarakat akan
diberikan fatwa dengan kejahilan pemimpin. Maka jadilah sesat dan
mereka menyesatkan orang lain pula. Pemimpin tanpa ilmu , ia sendiri
sesat dan apabila memberi fatwa dengan keadaan itu secara langsung
menyesatkan orang lain.
Inilah gambaran kehidupan manusia dan hubungannya dengan peranan
ulama-ulama dalam memberikan pimpinan kepada masyarakat. Ulama di sini
ialah mereka yang mengetahui dengan mendalam terutama ilmu-ilmu yang
membawa kepada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah juga ilmu-ilmu yang
dipelajari dan dikuasai dengan berpandukan al-Quran dan sunnah RasulNya.
Kesimpulan :
1. Jika manusia tidak menggunakan ilmunya bagi menurut ajaran Allah maka Allah akan menarik ilmu yang ada pada manusia.
2. Allah menarik ilmu ialah dengan mematikan ulama.
3. Ulama menurut pandangan Islam, mempunyai peranan yang besar dalam memberikan pimpinan kepada masyarakat.
4. Kematian ulama menyebabkan hilangnya tenaga bagi menghayati ilmu
Allah swt, maka manusia akan kehilangan pimpinan. Dengan itu mereka akan
mengambil orang-orang jahil menjadi pemimpin.
5. Orang-orang yang jahil itu adalah sesat dan apabila mereka menjadi pemimpin , mereka akan menyesatkan pula.
Jadi memang harus kita bersedih kalau ada ulama yang wafat. Itu ancaman
buat keilmuan islam, buat umat yang bakal kehilangan penuntun. Ulama itu
bagaikan penerang bagi umatnya, dan umat itu mendapat penerangan dari
ilmu para sang ulama. Bayangkan bagaimana kalau tidak ada ulama?
Bagaimana bisa umat beribadah tanpa ilmu?
"Kan ulama banyak! Ngga cuma dia doang" mungkin ada yang bilang begitu.
Tapi tidak seperti itu berfikirnya. Coba bayangkan ada jalan yang
panjangnya kira-kira berkilo-kilo meter. Setiap sekian ratus meter
didirikan pos sebagai tempat lampu penerang supaya orang dan rumah yang
ada sekitar bisa mendapat cahaya.
Kalau di salah satu pos ada lampu yang mati, bagaimana keadaan orang
sekitar pos itu? Pasti kesusahan. Dan dia harus berjjalan jauh guna
mendapat cahaya yang masih menyala di pos lain. Ini jelas menyulitkan.
Begitu juga kiranya sang ulama. Ulama memang banyak tapi kesemuanya
sudah punya pos dan bidang yang didalami masing-masing. Kalau ulama satu
meninggal memang ada uda ulama lain yang masih ada, tapi belum tentu
ulama yang tersisa itu menekuni sesuai apa yang ditekuni oleh ulama yang
wafat itu. Kalau beliau sudah wafat maka satu pos keilmuan hilang. Dan
bagaimana juga nasib para murid serta warganya yang selama ini berguru
dan mendapat tuntunan beliau.
Bahkan sayyidina Umar pernah berkata dalam sebuah atsar yang dikutip oleh Imam Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya’:
موت ألف عابد قائم الليل صائم النهار أهون من موت عالم بصير بحلال الله وحرامه
"kematian seribu org ahli ibdah yang rajin sholat malam dan puasa
disiangnya itu tdk sebanding dengan kematian seorang ulama yang mengerti
halal haramnya aturan Allah swt (syariah)"
Karena memang manfaatnya sangat jauh berbeda, dan ulama punya kredit
poin yang jauh lebih baik dari pada seorang ahli ibadah. Orang ahli
ibadah manfaatnya buat dia sendiri, karena ibadahnya hanya bisa
menyelamatkan dirinya dan pahalanya pun hanya khusus sendiri.
Berbeda dengan seorang ulama, yang manfaatnya dirasa oleh banyak orang.
Bayangkan saja berapa banyak orang yang akhirnya bisa beribadah dgn baik
karena tuntunan si ulama tersebut. Ini juga yang telah dijelaskan oleh
Nabi saw dalam haditsnya:
وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ
الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ
"Keutamaan orang berilmu dibanding orang yang beribadah itu seperti
keutamaan bulan malam purnama diatas bintang-bintang. Dan ulama ialah
ahli para waris Nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewarisi dinar dan
dirham akan tetapi mewarisi ilmu" (HR Ibnu Majah, Tirmidzi dan Abu Daud)
Orang alim seperi bulan, orang yang ahli ibadah hanya seperti bintang
yang sinarnya tidak cukup menerangi semesta bumi. Berbeda dengan seorang
alim yang Nabi saw gambarkan layaknya bulan purnama yang menyinari
seluruh isi bumi. Jadi ya memang sangat layak kita bersedih untuk
kematian seorang ulama.
Tapi dari itu semua, sangat tidak layak kalau tiba-tiba kita mengatakan
seseorang itu munafiq hanya karena tidak terlihat sedih. Karena
sejatinya, kesedihan bukan terpancar dari linangan air mata saja.
Kesedihan banyak bentuknya dan tidak melulu dengan tangisan. Pelabelan
munafiq bukanlah perkara yang sepele, terlebih lagi bahwa jika itu
dilabelkan kepada saudara muslimnya sendiri.
Kendatipun telah banyak kyai atau ulama yang telah wafat, dan wafatnya
kyai atau ulama adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita
adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Aamiin
Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra.:
إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه
“Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak
dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.” (Ihya ‘Ulumiddin juz 1
halaman 15).
Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingatkan dan menasehatkan :
عليكم بالعلم قبل أن يرفع، ورفعه هلاك العلماء، فوالذي نفسي بيده ليودن
رجال قتلوا في سبيل الله شهداء أن يبعثهم الله علماء لما يرون من كرامتهم،
وإن أحدا لم يولد عالما، وإنما العلم بالتعلم
“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut
dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para ‘ulama. Demi
Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di
jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah
membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ‘ulama,
karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ‘ulama. Sungguh
tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu
itu tidak lain didapat dengan cara belajar.” [lihat Al-’Imu Ibnu Qayyim,
no. 94].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar