Di antara tradisi umat Islam adalah membaca surat al-Fatihah dan
menghadiahkan pahalanya untuk Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.
Para ulama mengatakan bahwa hukum perbuatan ini adalah boleh. Ibnu
'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali mengatakan,
"Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi saw.”
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk
bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang
yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma)
karena semua semua amal umatnya otomatis masuk dalam timbangan amal
Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat
terhadap Nabi saw. kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat
kepada Nabi.
Al Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam
al-Matin, hhm. 270, mengatakan, "Menurut saya boleh saja seseorang
menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi saw.,
meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan
oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa
para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu
dilarang.”
Lantas Bagaimana Hukum Hadiah Fatihah Untuk orang Wafat Selain Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam
Sebelumnya kita perlu memahami bahwa ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba, ibadah dibagi menjadi 3,
Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua ibadah yang modal utamanya gerakan fisik.
Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca al-Quran, dst.
Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang pengorbanan utamanya harta.
Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara ibadah fisik dan harta
sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah.
Ulama sepakat bahwa semua ibadah yang bisa diwakilkan, seperti ibadah
maliyah atau yang dominan maliyah, seperti sedekah, atau haji, atau
ibadah yang ditegaskan bisa diwakilkan, seperti puasa, maka semua bisa
dihadiahkan kepada mayit.
Imam Zakariya al-Anshari mengatakan,
وينفعه أي الميت من وارث وغيره صدقة ودعاء، بالإجماع وغيره
Sedekah atau doa baik dari ahli waris maupun yang lainnya, bisa
bermanfaat bagi mayit dengan sepakat ulama. (Fathul Wahhab, 2/31).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,
أما الدعاء والاستغفار والصدقة وقضاء الدين وأداء الواجبات فلا نعلم فيه خلافاً إذا كانت الواجبات مما يدخله النيابة
Doa, istighfar, sedekah, melunasi utang, menunaikan kewajiban (yang
belum terlaksana), bisa sampai kepada mayit. Kami tidak tahu adanya
perbedaan pendapat di kalangan ulama, apabila kewajiban itu bisa
diwakilkan. (as-Syarhul Kabir, 2/425).
Sementara itu, ulama berbeda pendapat untuk hukum mengirim pahala ibadah
yang tidak bisa diwakilkan kepada mayit, seperti bacaan al-Quran. Kita
akan sebutkan secara ringkas,
Pertama, madzhab hanafi
Ulama hanafiyah menegaskan bahwa mengirim pahala bacaan al-Quran kepada
mayit hukum dibolehkan. Pahalanya sampai kepada mayit, dan bisa
bermanfaat bagi mayit. Dalam
Imam Ibnu Abil Izz – ulama Hanafiyah – menuliskan,
إن الثواب حق العامل، فإذا وهبه لأخيه المسلم لم يمنع من ذلك، كما لم يمنع
من هبة ماله له في حياته، وإبرائه له منه بعد وفاته. وقد نبه الشارع بوصول
ثواب الصوم على وصول ثواب القراءة ونحوها من العبادات البدنية
Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Ketika dia hibahkan
pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak jadi masalah.
Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain ketika
masih hidup. Atau membebaskan tanggungan temannya muslim, yang telah
meninggal.
Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit, yang
itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan al-Quran, atau ibadah
badaniyah lainnya. (Syarh Aqidah Thahawiyah, 1/300).
Kedua, madzhab Malikiyah
Imam Malik menegaskan, bahwa menghadiahkan pahala amal kepada mayit
hukumnya dilarang dan pahalanya tidak sampai, dan tidak bermanfaat bagi
mayit. Sementara sebagian ulama malikiyah membolehkan dan pahalanya bisa
bermanfaat bagi mayit.
Dalam Minah al-Jalil, al-Qarrafi membagi ibadah menjadi tiga,
Ibadah yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah, hanya berlaku
untuk pemiliknya. Dan Allah tidak menjadikannya bisa dipindahkan atau
dihadiahkan kepada orang lain. Seperti iman, atau tauhid.
Ibadah yang disepakati ulama, pahalanya bisa dipindahkan dan dihadiahkan kepada orang lain, seperti ibadah maliyah.
Ibadah yang diperselisihkan ulama, apakah pahalanya bisa dihadiahkan
kepada mayit ataukan tidak? Seperti bacaa al-Quran. Imam Malik dan Imam
Syafii melarangnya. (Minan al-Jalil, 1/509).
Selanjutnya al-Qarrafi menyebutkan dirinya lebih menguatkan pendapat yang membolehkan. Beliau menyatakan,
فينبغي للإنسان أن لا يتركه، فلعل الحق هو الوصول، فإنه مغيب
Selayaknya orang tidak meninggalkannya. Bisa jadi yang benar, pahala itu
sampai. Karena ini masalah ghaib. (Minan al-Jalil, 7/499).
Ada juga ulama malikiyah yang berpendapat bahwa menghadiahkan pahala
bacaan al-Quran tidak sampai kepada mayit. Hanya saja, ketika yang
hidup membaca al-Quran di dekat mayit atau di kuburan, maka mayit
mendapatkan pahala mendengarkan bacaan al-Quran. Namun pendapat ini
ditolak al-Qarrafi karena mayit tidak bisa lagi beramal. Karena
kesempatan beramal telah putus (Inqitha’ at-Taklif). (Minan al-Jalil,
1/510).
Ketiga, Pendapat Syafiiyah
Pendapat yang masyhur dari Imam as-Syafii bahwa beliau melarang menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit dan itu tidak sampai.
An-Nawawi mengatakan,
وأما قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت
Untuk bacaan al-Quran, pendapat yang masyhur dalam madzhab as-Syafii,
bahwa itu tidak sampai pahalanya kepada mayit. Sementara sebagian ulama
syafiiyah mengatakan, pahalanya sampai kepada mayit. (Syarh Shahih
Muslim, 1/90).
Salah satu ulama syafiiyah yang sangat tegas menyatakan bahwa itu tidak
sampai adalah al-Hafidz Ibnu Katsir, penulis kitab tafsir.
Ketika menafsirkan firman Allah di surat an-Najm,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (an-Najm: 39).
Kata Ibnu Katsir,
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة
لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“Dari ayat ini, Imam as-Syafii –rahimahullah – dan ulama yang mengikuti
beliau menyimpulkan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan al-Quran tidak
sampai kepada mayit. Karena itu bukan bagian dari amal mayit maupun
hasil kerja mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/465).
Ada beberapa catatan terkait pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H), yang
sering dinukil oleh mereka yang menyatakan tidak sampai ini.
Pertama, pernyataan tak sampainya bacaan al-Quran kepada mayyit dengan
keadaan apapun, dari Imam as-Syafi’i ini secara jelas susah dilacak,
kalaupun ada ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i.
Terlebih ini adalah pernyataan yang sepotong. Apakah dalam semua
keadaan, bacaan al-Qur’an kepada mayyit itu tidak sampai, atau ada
syarat khusus dan kriteria tertentu agar bisa bermanfaat kepada mayyit.
Karena Imam as-Syafi’i (w. 204 H) pernah juga menyatakan sendiri dalam kitabnya al-Umm:
وأحب لو قرئ عند القبر، ودعي للميت
Saya menyukai jika dibacakan al-Quran di kuburnya, dan juga didoakan.
(Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i w. 204 H, al-Umm, h. 1/ 322)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H):
قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا
Imam as-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an
kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu
lebih baik.(Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h.
295)
Ada hal menarik disini. Jika dikatakan menurut Imam as-Syafi’i (w. 204
H) muthlak tidak sampai dalam keadaan apapun, kenapa Imam as-Syafi’i (w.
204 H) malah menganjurkan mengkhatamkan al-Qur’an kepada mayit setelah
di kuburkan? Atau bahasa lainnya, Imam as-Syafi’i (w. 204 H) malah
menganjurkan khataman al-Qur’an di kuburan. Perlu dicatat, Imam
as-Syafi’i (w. 204 H) tak pernah menyatakan bahwa menghadiahkan pahala
bacaan al-Quran kepada mayyit itu bid’ah yang sesat.
Imam as-Syafi’i (w. 204 H) juga tak pernah menyatakan bahwa membaca
al-Quran di kuburan itu bid’ah. Beda dengan yang mengaku mengikuti Imam
as-Syafi’i (w. 204 H) dalam hal tak sampainya bacaan saja. Tetapi
giliran menjelaskan hukum membaca al-Qur’an di kuburan, malah
membid’ah-bid’ahkan.
Syeikh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Baghdadi (w.
311 H) mempunyai kitab khusus terkait membaca al-Quran di kuburan.
Kitab itu berjudul: al-Qiraah Inda al-Qubur.
Beliau menukil pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H) dari Hasan bin
as-Shabbah az-Za’farani (w. 260 H); salah seorang murid Imam as-Syafi’i
(w. 204 H) dan guru dari sekian banyak Muhaddits, seperti Imam
al-Bukhari, Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Huzaimah. (ad-Dzahabi
w. 748, Siyar A’lam an-Nubala’, h. 12/ 262).
Disebutkan dalam kitab al-Qira’ah Inda al-Qubur:
أخبرني روح بن الفرج، قال: سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني، يقول: سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال: لا بأس به
al-Hasan bin as-Shabbah az-Za’farani (w. 260 H) bertanya kepada Imam
as-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di kuburan. Beliau menjawab: Iya,
tidak apa-apa (Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal
al-Baghdadi w. 311 H, al-Qiraah inda al-Qubur, h. 89)
Kedua, tentu yang lebih paham tentang fiqih Syafi’i adalah para ulama
asli madzhab as-Syafi’I, bukan ulama dari non Syafi’iyyah pastinya.
Karena sangat rentan mutilasi pernyataan atau kesalahan dalam memahami
perkataan.
Syaikh al-Islam Zakaria Al-Anshari as-Syafi’i (w. 926 H) dan Ibnu Hajar
Al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H), sebagai ulama dalam madzhab as-Syafi’i
menyimpulkan bahwa, maksud bacaan al-Quran itu tidak sampai jika tidak
diniatkan atau tidak dibacakan di hadapan si mayit. (lihat: Syaikh
al-Islam Zakaria al-Anshori w. 926 H,Fath al-Wahhab, h. 2/ 23, dan Ibnu
Hajar Al-Haitami w. 974 H, Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro, 2/ 27).
Ketiga, ini yang terpenting. Memang masalah ini menjadi perbedaan
diantara para ulama sejak dahulu. Hanya saja perbedaan mereka terkait,
“Sampai atau tidak”, bukan pada “Boleh atau tidak boleh” atau “Ada
tuntunannya atau tidak” atau “Rasulullah melakukannya atau tidak”.
Sebenarnya ikhtilaf ini bisa menjadi mudah, jika masih dalam tataran
sampai atau tidak sampai. Bagi yang mengikuti ulama yang menyatakan
sampai, ya silahkan dilanjutkan, yang menyatakan tidak sampai ya, sudah
tak usah mengamalkan.
Keempat, Pendapat Hambali
Dalam madzhab hambali, ada dua pendapat. Sebagian ulama hambali
membolehkan dan sebagian melarang, sebagaimana yanng terjadi pada
madzhan Malikiyah. Ada 3 pendapat ulama madzhab hambali dalam hal ini,
Boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit dan itu bisa
bermanfaat bagi mayit. Ini pendapat yang mayhur dari Imam Ahmad.
Tidak boleh menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit, meskipun
jika ada orang yang mengirim pahala, itu bisa sampai dan bermanfaat bagi
mayit. Al-Buhuti menyebut, ini pendapat mayoritas hambali.
Pahala tetap menjadi milik pembaca (yang hidup), hanya saja, rahmat bisa sampai ke mayit.
Al-Buhuti mengatakan,
وقال الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله
Mayoritas hambali mengatakan, pahala bacaan al-Quran tidak sampai kepada
mayit, dan itu milik orang yang beramal. (Kasyaf al-Qana’, 2/147).
Sementara Ibnu Qudamah mengatakan,
وأي قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك
Ibadah apapun yang dikerjakan dan pahalanya dihadiahkan untuk mayit yang
muslim, maka dia bisa mendapatkan manfaatnya. (as-Syarhul Kabir,
2/425).
Ibnu Qudamah juga menyebutkan pendapat ketiga dalam madzhab hambali,
وقال بعضهم إذا قرئ القرآن عند الميت أو اهدي إليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها فترجى له الرحمة
Ada sebagian ulama hambali mengatakan, jika seseorang membaca al-Quran
di dekat mayit, atau menghadiahkan pahala untuknya, maka pahala tetap
menjadi milik yang membaca, sementara posisi mayit seperti orang yang
hadir di tempat bacaan al-Quran. Sehingga diharapkan dia mendapat
rahmat. (as-Syarhul Kabir, 2/426).
Abu Bakar Al-Marrudzi al-Hanbali (w. 275 H); salah seorang murid
terdekat Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pernah mendengar sendiri Imam
Ahmad berkata:
قال المروذي: سمعت أحمد يقول: إذا دخلتم المقابر فاقرءوا بفاتحة الكتاب
والمعوذتين، وقل هو الله أحد، واجعلوا ثواب ذلك إلى أهل المقابر؛ فإنه يصل
إليهم، وكانت هكذا عادة الأنصار في التردد إلى موتاهم؛ يقرءون القرآن.
Saya (al-Marrudzi) pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jika
kalian masuk ke kuburan, maka bacalah Surat al-Fatihah, al-Muawwidzatain
dan al-Ikhlas. Lantas jadikanlah pahala bacaan itu untuk ahli kubur,
maka hal itu akan sampai ke mereka. Dan inilah kebiasaan kaum Anshar
ketika datang ke orang-orang yang telah wafat, mereka membaca al-Qur’an.
(Mushtafa bin Saad al-Hanbali w. 1243 H, Mathalib Ulin Nuha, h. / 935).
Disini ada 2 hal penting: Pertama, Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Kedua, Membaca al-Qur’an di kuburan itu bukan hal yang dilarang, bahkan
ini perbuatan para kaum Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H).
Hal itu bisa kita temukan di kitab Mathalib Ulin Nuha, karangan Mushtafa
bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama madzhab Hanbali
kontemporer, seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus sejak tahun 1212 H
sampai wafat. Kitab Mathalib Ulin Nuha itu sendiri adalah syarah atau
penjelas dari kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf
al-Karmi (w. 1033 H). (Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, al-A’lam, h. 7/
234)
Kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf (w. 1033 H) ini
juga banyak mengambil dari 2 kitab ulama Hanbali sebelumnya; al-Iqna’ li
Thalib al-Intiqa’ karya Musa bin Ahmad Abu an-Naja al-Hajawi (w. 968 H)
dan Muntaha al-Iradat karya Taqiyuddin Ibn an-Najjar al-Futuhi (w. 972
H). Artinya Kitab Mathalib Ulin Nuha diatas, secara sanad keilmuan fiqih
Hanbali, bisa dipertanggungjawabkan silsilah sanadnya.
Hadis membaca surat Al Fatihah untuk yang meninggal dunia
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ
تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ
رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ
الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في
الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw
bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah
diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya
dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan
penutup surat al-Baqarah di kuburnya” (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No
13613, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin
Main 4/449)[2]
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184)
“HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan” (Fath al-Bari III/184)
Surat Fatihah Adalah Doa
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa beberapa sahabat Nabi
pernah singgah di sebuah kabilah, yang kepala sukunya terkena gigitan
hewan berbisa. Lalu sahabat melakukan doa ruqyah dengan bacaan Fatihah
(tanpa ada contoh dan perintah dari Nabi). Kepala suku pun mendapat
kesembuhan dan sahabat mendapat upah kambing. Ketika disampaikan kepada
Nabi, beliau tersenyum dan berkata:
وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَصَبْتُمُ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
“Dari mana kalian tahu bahwa surat Fatihah adalah doa? Kalian benar.
Bagikan dan beri saya bagian dari kambing itu” (HR al-Bukhari dan
Muslim, redaksi diatas adalah hadis al-Bukhari)
Di hadis ini sahabat membaca al-Fatihah untuk doa ruqyah adalah dengan
ijtihad, bukan dari perintah Nabi. Mengapa para sahabat melakukannya,
sebab hal ini tidak dilarang oleh Rasulullah. Sebagaimana dijelaskan
oleh Allah dalam al-Hasyr: 7
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”
Yang harus ditinggalkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah,
bukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah! Dalam masalah
al-Fatihah ini tidak ada satupun hadis yang melarang membaca al-Fatihah
dihadiahkan untuk mayit!
Bahkan membaca al-Fatihah untuk orang yang telah wafat juga telah diamalkan oleh para ulama, diantara ulama ahli Tafsir berikut:
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ
الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي
وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي
غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ
وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ
فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ
للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)
“(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang
mempelajarinya agar secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya
dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari
teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri
melakukan hal tersebut” (Tafsir al-Razi 18/233-234)
Sunnah Membaca Al Quran Di Kuburan
Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi’iyah tentang membaca al-Quran di kuburan:
وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ
وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ
عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)
“Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya
dan mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan
oleh al-Syafi’i dan disepakati oleh ulama Syafi’iyah” (al-Nawawi,
al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab V/311)
Di bagian lain Imam Nawawi juga berkata:
قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ
شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ
كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع للشيخ النووي 5 / 294)
“Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian
dari al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka
mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus”
(al-Adzkar I/162 dan al-Majmu’ V/294)
Murid Imam Syafi’i yang juga kodifikator Qaul Qadim[3], al-Za’farani, berkata:
وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ
الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ
بِهَا (الروح لابن القيم 1 / 11)
“Al-Za’farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam
Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak
apa-apa”
Ibnu Hajar mengulas lebih kongkrit:
ِلأَنَّ الْقُرْآنَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ وَالذِّكْرُ يَحْتَمِلُ بِهِ
بَرَكَةٌ لِلْمَكَانِ الَّذِي يَقَعُ فِيْهِ وَتَعُمُّ تِلْكَ الْبَرَكَةُ
سُكَّانَ الْمَكَانِ وَأَصْلُ ذَلِكَ وَضْعُ الْجَرِيْدَتَيْنِ فِي
الْقَبْرِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ فَائِدَتَهُمَا أَنَّهُمَا مَا دَامَتَا
رَطْبَتَيْنِ تُسَبِّحَانِ فَتَحْصُلُ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِهِمَا
لِصَاحِبِ الْقَبْرِ … وَإِذَا حَصَلَتِ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِ
الْجَمَادَاتِ فَبِالْقُرْآنِ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ مِنَ
اْلآدَمِيِّ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الْحَيَوَانِ أَوْلَى بِحُصُوْلِ
الْبَرَكَةِ بِقِرَاءَتِهِ وَلاَ سِيَّمَا إِنْ كَانَ الْقَارِئُ رَجُلاً
صَالِحًا وَاللهُ أَعْلَمُ (الإمتاع بالأربعين المتباينة السماع للحافظ ابن
حجر 1 / 86)
“Sebab al-Quran adalah dzikir yang paling mulia, dan dzikir mengandung
berkah di tempat dibacakannya dzikir tersebut, yang kemudian berkahnya
merata kepada para penghuninya (kuburan). Dasar utamanya adalah
penanaman dua tangkai pohon oleh Rasulullah Saw di atas kubur, dimana
kedua pohon itu akan bertasbih selama masih basah dan tasbihnya terdapat
berkah bagi penghuni kubur. Jika benda mati saja ada berkahnya, maka
dengan al-Quran yang menjadi dzikir paling utama yang dibaca oleh
makhluk yang paling mulia sudah pasti lebih utama, apalagi jika yang
membaca adalah orang shaleh” (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Imta’ I/86)
Dan hadis dari Ali secara marfu’:
وَحَدِيْثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرْفُوْعًا مَنْ مَرَّ عَلَى
الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ أَحَدَ عَشَرَ مَرَّةً
وَوَهَبَ اَجْرَهُ لِلاَمْوَاتِ اُعْطِىَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ
اْلأَمْوَاتِ رَوَاهُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ السَّمَرْقَنْدِي (التفسير المظهرى 1
/ 3733 وشرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور للحافظ جلال الدين السيوطي 1 /
303)
“Barangsiapa melewati kuburan kemudian membaca surat al-Ikhlas 11 kali
dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka ia
mendapatkan pahala sesuai bilangan orang yang meninggal. Diriwayatkan
oleh Abu Muhammad al-Samarqandi” (Tafsir al-Mudzhiri I/3733 dan
al-Hafidz al-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur I/303)
Imam Ahmad Menganjurkan Membaca Alfatihan
Hal ini diperkuat oleh madzhab Imam Ahmad:
(وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ بِمَقْبَرَةٍ) قَالَ الْمَرُّوْذِيُّ سَمِعْتُ
أَحْمَدَ يَقُوْلُ إذَا دَخَلْتُمُ الْمَقَابِرَ فَاقْرَءُوْا بِفَاتِحَةِ
الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَاجْعَلُوْا
ثَوَابَ ذَلِكَ إلَى أَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِنَّهُ يَصِلُ إلَيْهِمْ
وَكَانَتْ هَكَذَا عَادَةُ اْلأَنْصَارِ فِي التَّرَدُّدِ إلَى مَوْتَاهُمْ
يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ (مطالب أولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 9)
“(Dianjurkan membaca al-Quran di kuburan) Al-Marrudzi berkata: Saya
mendengar Imam Ahmad berkata: Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah
surat al-Fatihah, al-Falaq, al-Nas dan al-Ikhlash. Jadikan pahalanya
untuk ahli kubur, maka akan sampai pada mereka. Seperti inilah tradisi
sahabat Anshar dalam berlalu-lalang ke kuburan untuk membaca al-Quran”
(Mathalib Uli al-Nuha 5/9)
2 hal penting:
Pertama, Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Kedua, Membaca al-Qur’an di kuburan itu bukan hal yang dilarang, bahkan
ini perbuatan para kaum Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H).
Hal itu bisa kita temukan di kitab Mathalib Ulin Nuha, karangan Mushtafa
bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama madzhab Hanbali
kontemporer, seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus sejak tahun 1212 H
sampai wafat. Kitab Mathalib Ulin Nuhaitu sendiri adalah syarah atau
penjelas dari kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf
al-Karmi (w. 1033 H). (Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, al-A’lam, h. 7/
234)
Bahkan menurut Imam Ahmad hal diatas adalah konsensus para ulama:
قَالَ أَحْمَدُ الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ
لِلنُّصُوْصِ الْوَارِدَةِ فِيْهِ وَلأَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ يَجْتَمِعُوْنَ
فِي كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُوْنَ وَيَهْدُوْنَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ
نَكِيْرٍ فَكَانَ إجْمَاعًا (كشاف القناع عن متن الإقناع للبهوتي الحنبلي 4
/ 431 ومطالب اولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 10)
“Imam Ahmad berkata: Setiap kebaikan bisa sampai kepada mayit
berdasarkan dalil al-Quran dan hadis, dan dikarenakan umat Islam
berkumpul di setiap kota, mereka membaca al-Quran dan menghadiahkan
untuk orang yang telah meninggal diantara mereka, tanpa ada
pengingkaran. Maka hal ini adalah ijma’ ulama (Kisyaf al-Qunna’ IV/ 431
dan Mathalib Uli al-Nuha V/10)
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H): Yang Benar Adalah Semua Pahalanya Sampai, Bahkan Termasuk Shalat
Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) memang disatu sisi menjadi panutan
utama beberapa kalangan yang membid’ahkan pengiriman pahala bacaan
al-Qur’an.
Hanya dalam kaitan pengiriman pahala bacaan al-Qur’an ini, Fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tak begitu dihiraukan.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa juz 24 halaman 367 :
وأما القراءة والصدقة وغيرهما من أعمال البر فلا نزاع بين علماء السنة
والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة والعتق كما يصل إليه أيضا
الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة والدعاء عند قبره. وتنازعوا
في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة والقراءة. والصواب أن الجميع يصل
إليه
Adapun bacaan Al-Quran, shodaqoh dan ibadah lainnya termasuk perbuatan
yang baik dan tidak ada pertentangan dikalangan ulama ahli sunnah wal
jamaah bahwa sampainya pahala ibadah maliyah seperti shodaqoh dan
membebaskan budak. Begitu juga dengan doa, istighfar, sholat dan doa di
kuburan. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang sampai atau
tidaknya pahala ibadah badaniyah seperti puasa, sholat dan bacaan.
Pendapat yang benar adalah semua amal ibadah itu sampai kepada mayit.
Serunya dalam fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) ini, beliau menyebut bahwa
baik puasa, bacaan al-Qur’an bahkan shalat sekalipun itu akan sampai
transferan pahalanya kepada mayyit.
Tentang hadiah pahala, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa
mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka
ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia
menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat
dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam
agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’
(konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia
termasuk ahli bid’ah
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H): Perkataan Bahwa Tak Ada Tuntunannya
Dari Ulama Salaf, Itu Adalah Perkataan Dari Orang Yang Tak Ada Ilmunya
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H) sebagai murid Ibnu Taimiyyah (w. 728
H) bahkan menjelaskan panjang lebar masalah ini. So, jika ingin tahu
dalilnya, baca saja kitab ar-Ruh.Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H)
menyebut:
وأي فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك بين وصول ثواب
القراءة والذكر، والقائل أن أحدا من السلف لم يفعل ذلك قائل مالا علم له به
Apa bedanya sampainya pahala puasa dengan bacaan al-Qur’an dan dzikir.
Orang yang mengatakan bahwa ulama salaf (bukan salafi) tak pernah
melakukan hal itu, berarti orang itu tak ada ilmunya (Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah w. 751 H, ar-Ruh, h. 143)
Agak pedas memang pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) ini.
Kata beliau, justru para salaf-lah yang melakukan hal itu. Mereka yang
mengatakan para salaf tak pernah melakukannya, berarti perkataan itu
muncul dari orang yang tak ada ilmunya.
Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H): Kaum Muslimin di Tiap Waktu dan
Tempat, Mereka Berkumpul Untuk Menghadiahkan Bacaan al-Qur’an Untuk
Mayit
Ulama Hanbali yang lebih senior dari Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) adalah Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H).
Dengan jelas beliau menyebut bahwa, di tiap waktu dan di seluruh penjuru
negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas pahala
bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada orang yang telah wafat,
tanpa ada yang mengingkarinya. Dan itu adalah ijma’ kaum muslimin.
ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير
Ijma’ kaum muslimin menyatakan bahwa di tiap waktu dan di seluruh
penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas
pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada orang yang telah
wafat, tanpa ada yang mengingkarinya. (Ibnu Quddamah al-Hanbali w. 620
H, al-Mughni, h. 2/ 423)
Tentu pernyataan yang serius jika hal ini telah menjadi ijma’ kaum
muslimin, dimana hampir semua zaman dan setiap tempat, para kaum
muslimin melaksanakannya.
Bahkan lebih dari itu, mereka melakukannya dengan berkumpul berjamaah,
bareng-bareng membaca al-Qur’an untuk dikirimkan kepada mayyit, persis
seperti yang ada di negeri kita Indonesia ini.
Paling tidak, itulah yang dialami oleh Ibnu Quddamah al-Maqdisi (w. 620
H) dan kaum muslimin di Damaskus, sekitar 8 abad yang lalu di hampir
seantero negeri saat itu. Sekali lagi, penyebutan kata ijma’ ini keluar
dari Imam Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H).
Syaikh Abdullah al-Faqih
Bahkan ulama Salafi yang bernama Syaikh Abdullah al-Faqih berfatwa
berpendapat bahwa al-Fatihah bisa sampai kepada orang yang telah
wafat,:
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ، سَوَاءٌ الْفَاتِحَةُ أَوْ غَيْرُهَا وَإِهْدَاءُ
ثَوَابِ قِرَاءَتِهَا إِلَى الْمَيِّتِ جَائِزٌ وَثَوَابُهَا يَصِلُ إِلَى
الْمَيِّتِ –إِنْ شَاءَ اللهُ- مَا لَمْ يَقُمْ بِالْمَيِّتِ مَانِعٌ مِنَ
اْلاِنْتِفَاعِ بِالثَّوَابِ وَلاَ يَمْنَعُ مِنْهُ إِلاَّ الْكُفْرُ
(فتاوى الشبكة الإسلامية معدلة رقم الفتوى 18949 حكم قراءة الفاتحة بعد
صلاة الجنازة 3 / 5370)
“…. Membaca al-Quran baik al-Fatihah atau lainnya, dan menghadiahkan
bacaannya kepada mayit, maka akan sampai kepadanya –Insya Allah- selama
tidak ada yang menghalanginya, yaitu kekufuran (beda agama).” (Fatawa
al-Islamiyah 3/5370)
Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)
Beliau mengatakan bahwa bacaan al-Quran itu sampai dan boleh.
القول الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه
لفلان أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبا أو غير قريب. والراجح: القول
الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت
Pendapat kedua, adalah mayyit bisa mendapat manfaat dari apa yang
dikerjakan orang yang masih hidup. Hukumnya boleh, orang membaca
al-Quran lantas berkata; “Saya niatkan pahala ini untuk fulan atau
fulanah. Baik orang itu kerabat atau bukan. Ini adalah pendapat yang
rajih. (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin w. 1421 H, Majmu’ Fatawa wa
Rasail, h. 7/ 159)
Mari Ittiba’ Rasul!
Pernyataan ini benar, tapi tak jarang disalahgunakan. Suatu amalan yang
pernah dikerjakan Nabi atau belum pernah itu, bukan standar satu-satunya
sebuah amalan dikatakan boleh atau tidak boleh.
Justru kesalahan logika yang fatal, jika membuat sebuah kaidah ushul
fiqih baru bahwa, amalan yang tak pernah dijalankan Nabi pasti semuanya
bid’ah yang haram.
Tentu jika orang awam yang ditanya, “Memang Nabi pernah melakukannya?”
pasti akanmelongo,tak bisa jawab. Seolah dalil satu-satunya adalah
‘pernah dijalankan Nabi’. Padahal ada hal yang penting untuk dibahas
terlebih dahulu, yaitu mendefiniskan apa itu dalil, berikut kriteria dan
macam-macam dalil itu.
Kembali kepada judul tulisan, jika ingin tahu dalil sampai dan bolehnya
bacaan al-Quran kepada orang yang telah wafat, silahkan digali dari
ulama diatas.
Jika menganggap bahwa perbuatan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an
itu bid’ah, itu sama artinya menganggap Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
beserta ulama hanbali lainnya menganjurkan kebid’ahan.
Jika menganggap ulama salaf tak pernah menghadiahkan pahala bacaan
al-Quran, sepertinya harus sekali-kali piknik ke kitabnya Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah (w. 751 H).
Jika menanggap bahwa berkumpul untuk bersama-sama membaca al-Qur’an,
lalu pahalanya dikirimkan kepada mayyit hanya budaya Nusantara yang
diwarisi dari Agama Hindu, sepertinya harus piknik ke kitabnya Ibnu
Quddamah (w. 620 H).
Yuk kita piknik ke luasnya samudra ilmu para ulama! Dari situ kita ittiba’ Rosululloh Sholallohu alaihi wa sallam.
Takhtimah
Bacaan dzikir yang dihadiahkan kepada ahli kubur dapat sampai kepada mereka, sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari:
وَقَالَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِي يَصِلُ لِلْمَيِّتِ كُلُّ عِبَادَةٍ
تُفْعَلُ وَاجِبَةٍ أَوْ مَنْدُوْبَةٍ وَفِي شَرْحِ الْمُخْتَارِ
لِمُؤَلِّفِهِ مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ لِلاِنْسَانِ أَنْ
يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلاَتِهِ لِغَيْرِهِ وَيَصِلُهُ اهـ (حاشية
إعانة الطالبين 1 / 33)
“Semua ibadah yang dilakukan, baik ibadah wajib atau sunah, dapat sampai
kepada orang yang telah wafat. Dan disebutkan dalam kitab Syarah
al-Mukhtar bahwa dalam ajaran Aswaja hendaknya seseorang menjadikan
pahala amalnya dan salatnya dihadiahkan kepada orang lain (yang telah
wafat), dan hal itu akan sampai kepadanya” (I’anat al-Thalibin I/33)
Melihat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah
menghadiahkan pahala amal badaniyah kepada mayit, kita bisa menegaskan
bahwa masalah ini termasuk masalah ikhtilaf ijtihadiyah fiqhiyah, dan
bukan masalah aqidah manhajiyah (prinsip beragama). Sehingga berlaku
kaidah, siapa yang ijtihadnya benar maka dia mendapatkan dua pahala dan
siapa yang ijtihadnya salah, mendapat satu pahala.
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu: Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan
benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu
berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”. (HR. Bukhari 7352 &
Muslim 4584)
Kaitannya dengan ini, ada satu sikap yang perlu kita bangun, ketika kita
bersinggungan dengan masalah yang termasuk dalam ranah ijtihadiyah
fiqhiyah, yaitu mengedepankan sikap dewasa, toleransi dan tidak
menjatuhkan vonis kesesatan. Baik yang berpendapat boleh maupun yang
berpendapat melarang.
Masing-masing boleh menyampaikan pendapatnya berdasarkan alasan dan
dalil yang mendukungnya. Sekaligus mengkritik pendapat yang tidak sesuai
dengannya. Sampai batas ini dibolehkan.
Dan perlu dibedakan antara mengkritik dengan menilai sesat orang yang
lain pendapat. Dalam masalah ijtihadiyah, mengkritik atau mengkritisi
pendapat orang lain yang beda, selama dalam koridor ilmiyah,
diperbolehkan. Kita bisa lihat bagaiamana ulama yang menyampaikan
pendapatnya, beliau sekaligus mengkritik pendapat lain. Namun tidak
sampai menyesatkan tokoh yang pendapatnya berbeda dengannya.
Terkadang, orang yang kurang dewasa, tidak siap dikritik, menganggap
bahwa kritik pendapatnya sama dengan menilai sesat dirinya. Dan ini
tidak benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar