Rosululloh Sholallohu 'Alaihi Wasallam Bersabda
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا
قَالَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَا رَسُوْلَ
اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ
مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ
رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ
Dari ‘Abdullâh bin Busr Radhiyallahu anhu berkata, “Seorang Badui datang
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, ‘Wahai
Rasûlullâh, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami.
Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh
kepadanya ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah
lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (IV/188, 190);
at-Tirmidzi (no. 3375). Beliau berkata, “Hadits ini hasan gharib.”; Ibnu
Majah (no. 3793) dan lafazh ini miliknya. Ibnu Abi Syaibah (X/89, no.
29944); Al-Baihaqi (III/371)
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibbân (no. 811-at-Ta’lîqâtul Hisân)
dan al-Hâkim (I/495) dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Dishahihkan juga
oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul Jâmi’is Shaghîr (no. 7700), Shahîh
al-Kalimut Thayyib (no. 3), dan Shahîhut Targhîb wat Tarhîb (no. 1491)
SYARAH HADITS
Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya dari Mu’adz bin
Jabal Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ‘Amal apakah yang paling dicintai oleh
Allâh Azza wa Jalla ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Engkau mati dalam keadaan lidahmu basah karena berdzikir kepada Allâh
Azza wa Jalla .’”
Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin untuk banyak berdzikir
kepada-Nya dan Allâh memuji orang-orang yang banyak berdzikir. Allâh
Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ﴿٤١﴾ وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allâh, dengan mengingat
(nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu
pagi dan petang.” [al-Ahzâb/33:41-42]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman.
وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“… Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allâh, Allâh
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang
besar.“[al-Ahzâb/33:35]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبَقَ الْمُفَرِّدُوْنَ قَالُوْا: وَمَا الْمُفَرِّدُوْنَ يَا رَسُوْلَ
اللهِ ؟ قَالَ: اَلذَّاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتُ
“al-Mufarridûn telah mendahului.” Para sahabat berkata, “Siapa
al-Mufarridûn wahai Rasûlullâh?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Kaum laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada
Allâh.”
Dari hadits di atas, terlihatlah makna al-mufarridun, yaitu orang yang
terus-menerus berdzikir kepada Allâh dan menyukainya. Orang yang banyak
berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ikhlas karena Allâh Azza wa
Jalla , mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
hatinya ingat kepada Allâh Azza wa Jalla dan batas-batas-Nya, maka dia
termasuk orang yang bertakwa. Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu
anhu telah menjelaskan makna takwa ini pada saat beliau menafsirkan
firman Allâh Azza wa Jalla, yang artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kalian kepada Allâh dengan sebenar-benar takwa
kepada-Nya…” [Ali ‘Imrân/3:102]
Rasulullah Saw dalam suatu hadits menyebutkan,
إِنَّ الْإسْلَامَ بَدَأَ غَرِيْبًـا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا, فَطُوْبَا
لِلْغُرَبَآءِ. قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْغُرَبَآءُ؟ قَالَ:
الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.{رواه مسلم}
“Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dalam keadaan asing dan akan
kembali asing, maka berbahagialah bagi mereka yang dianggap asing itu.
Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah! Siapakah al-Guraba (yakni
orang yang dianggap asing) itu? Rasul menjawab: Merekalah yang berbuat
baik di kala orang-orang sedang rusak.” (HR Muslim)
Disebut asing (aneh) karena melakukan perubahan terhadap tradisi
jahiliyyah yang telah berkembang sejak lama. Kaum jahiliyyah yang
mayoritas bertahan atas keyakinannya itu, alias tidak mau berubah.
Di kemudian hari orang-orang yang menjalankan Islam dengan sesungguhnya
akan dianggap asing kembali. Rasulullah Saw mengapresiasi kemunculan
mereka, ‘Beruntunglah mereka yang dianggap asing!’ [Dianggap asing itu
bukan berarti asing sebenarnya]
Dianggap asingnya ajaran Islam disebabkan sudah banyaknya kezhaliman dan
kemungkaran. Sehingga kejahatan yang dilakukan oleh banyak pelaku
menjadi suatu perbuatan yang biasa saja. Merokok di tempat umum jika
sudah menjadi biasa tidak akan dianggap kesalahan. Padahal telah
menzhalimi diri sendiri dan orang lain. Jika kebanyakan orang berbuat
kejahatan di suatu tempat maka orang yang berbuat kebaikan dianggap
salah. Ini adalah suatu resiko dalam menyampaikan kebenaran.
Para Nabi dan Rasul seperti yang diutarakan dalam Al-Quran disebut
sebagai ‘orang gila’ [majnun] oleh kaumnya. Karena mereka hendak
melakukan perubahan di tengah kehidupan yang sudah statis dan dianggap
tidak akan berubah meskipun satu orang. Meskipun minoritas, tapi mereka
tidak takut menyampaikan kebenaran dan berani ‘tampil beda’.
Dalam istilah tasawuf disebut Jununul Uqala’ yakni orang-orang yang
berakal(menjalankan agama dengan benar) tapi dianggap tidak waras.
Kebanyakan manusia di setiap masa memilih menjadi orang gila tapi
dianggap waras. Sedikit yang memilih sebaliknya. Hal demikian terjadi di
setiap generasi.
Ada sebuah hadits shahih yang begitu menggelitik sekaligus sindiran
terhadap orang-orang munafiq. Dalam hadits ini Rasulullah memerintahkan
untuk perbanyak berdzikir. Banyak berdzikir ini akan memancing
orang-orang munafiq hingga mereka mengatakan orang yang banyak berdzikir
sebagai orang sinting / gila. Berikut hadits yang dishahihkan oleh Imam
Al Hakim.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال :
"أكثروا ذكر الله حتى يقولوا: مجنون. أخرجه أحمد وأبو يعلى وابن حبان
والحاكم وصححه
"Dari Abu Sa'id radliya Allahu 'anh bahwa Rosulullah sholla Allahu
'alaihi wa sallam bersabda : Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga
mereka (orang-orang munafiq ) mengatakan : (Engkau) orang gila". (HR.
Ahmad , Abu Ya'la , Ibnu Hibban dan Al-Hakim dan beliau menshohihkannya)
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (11674),
حَدَّثَنَا حَسَنٌ ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ ، حَدَّثَنَا دَرَّاجٌ ،
عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَنَّهُ قَالَ : أَكْثِرُوا ذِكْرَ
اللَّهِ ، حَتَّى يَقُولُوا مَجْنُونٌ
Hasan menuturkan kepada kami, Ibnu Lahi’ah menuturkan kepada kami,
Darraj menuturkan kepada kami, dari Abul Haitsam, dari Abu Sa’id, dari
Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda:
“perbanyaklah dzikrullah sampai orang-orang mengatakan anda gila”
Derajat hadits
Sanad hadits ini lemah karena memiliki dua masalah:
1. Pada perawi Ibnu Lahi’ah
Ibnu Lahi’ah diperselisihkan statusnya. Mayoritas ulama mendhaifkannya,
At Tirmidzi berkata: “ia dhaif dikalangan ahli hadits, Yahya bin Sa’id
Al Qathan mendhaifkannya dari sisi hafalannya”. Adz Dzahabi berkata:
“yang dipraktekkan adalah melemahkan haditsnya”. Imam Ahmad berkata: “ia
bukan hujjah”. An Nasa’i berkata: “dha’if, ia tidak tsiqah”.
Namun sebagian ulama juga men-tautsiq Ibnu Lahi’ah, Ahmad bin Shalih Al
Mishri berkata: “ia tsiqah kecuali jika mendiktekan hadits (dari
hafalannya)”. Yahya bin Hasan At Tunisi berkata: “belum pernah aku
melihat orang yang lebih bagus hafalannya setelah Hasyim selain Ibnu
Lahi’ah”.
Para ulama juga berselisih pendapat apakah kitab-kitab Ibnu Lahi’ah
terbakar ataukah tidak, juga diperselisihkan apakah beliau ikhtilath di
akhir usianya. Yang shahih, insya Allah, Ibnu Ma’in dalam Sualat Ibnu
Junaid (499) berkata: “penduduk Mesir berkata kepadaku, kitab Ibnu
Lahi’ah tidak ada yang terbakar satu pun”. Ibnu Sa’ad berkata: “adapun
penduduk Mesir, mereka mengatakan bahwa Ibnu Lahi’ah tidak ikhtilath dan
tidak hilang perkaranya dari awal sampai akhir walaupun hanya satu”.
Turunan dari khilaf ini, sebagian ulama berpendapat bahwa hadits-hadits
Ibnu Lahi’ah dhaif kecuali yang diriwayatkan oleh Al Abadilah Al
Arba’ah, karena mereka meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi’ah sebelum
terbakar kitab-kitabnya. Mereka adalah : (1) Abdullah bin Yazid Al Muqri
(2) Abdullah bin Wahb (3) Abdullah bin Al Mubarak (4) Abdullah bin
Maslamah. Yang berpendapat demikian diantaranya Syaikh Al Albani,
beliau membuat judul dalam Ash Shahihah: “shahihnya hadits Ibnu Lahi’ah
jika diriwayatkan oleh salah satu Abadilah” (Ash Shahihah, 3/32).
Namun yang rajih wallahu a’lam, adalah pendapat yang menyatakan Ibnu
Lahi’ah statusnya dhaif secara mutlak sebagaimana pendapat jumhur. Dan
ini dikuatkan oleh Syaikh Muqbil’ bin Hadi Al Wadi’i, beliau berkata:
“yang shahih adalah mendhaifkan Ibnu Lahi’ah secara mutlak”. Terlebih
dalam kasus kasus ini, hadits Ibnu Lahi’ah tidak diriwayatkan oleh salah
satu Abadilah.
2. Pada perawi Darraj
Ia diperselisihkan statusnya. Sebagian ulama melemahkannya, Abu Hatim
berkata: “dalam haditsnya ada kelemahan”. Imam Ahmad berkata:
“hadits-haditsnya munkar”. An Nasa-i berkata: “munkarul hadits”.
Sebagian ulama menyatakan shaduq, Ibnu Hajar berkata: “shaduq, namun
haditsnya dari Abul Haitsam ada kelemahan”. Yahya bin Ma’in berkata: “ia
tidak mengapa”. Abu Daud As Sijistani berkata: “hadits-haditsnya
mustaqim kecuali yang diriwayatkan dari Abul Haitsam dari Abu Sa’id”.
Sehingga Darraj dalam sanad ini statusnya lemah.
Hadits ini dikeluarkan juga oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak (1839),
Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (817), Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman
(523),
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ ، أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ ، أَنَّ
أَبَا السَّمْحِ حَدَّثَهُ ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،
قَالَ : ” أَكْثِرُوا ذِكْرَ اللَّهِ ، حَتَّى يَقُولُوا : مَجْنُونٌ
Ibnu Wahb menuturkan kepada kami, ‘Amr bin Al Harits, bahwa Abu Samh
(Darraj) menuturkan kepada kami, dari Abul Haitsam, dari Abu Sa’id Al
Khudri bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“perbanyaklah dzikrullah sampai orang-orang mengatakan anda gila“.
namun dalam jalan ini pun terdapat periwayatan Darraj dari Abul Haitsam.
Berdzikir itu tidak sebatas menyebut. Berdzikir yang komprehensif
(menyeluruh) adalah jiwanya selalu menghadap kepada Allah. Jika jiwa
sudah menghadap kepada Allah, segala pekerjaan akan dijalankan dengan
baik. Usahanya mencari rizki dilakukan dengan cara yang halal walaupun
kebanyakan orang sudah tidak mempedulikan cara mendapatkannya, apakah
halal atau haram. Inilah yang disebut banyak dzikir kepada Allah
(dzikron katsiiroo).
Tandanya adalah banyak latihan dzikir di masjid, mendapatkan dampak
psikologis jiwanya terus menghadap kepada Allah, memilih pekerjaan yang
halal, ia bersikap jujur sementara banyak orang menyuarakan
ketidakjujuran, ia tidak melakukan korupsi ketika banyak orang telah
melakukannya. Resikonya adalah disebut gila.
Anjuran dzikir dalam riwayat tersebut adalah anjuran bagi seorang hamba
untuk senantia berdzikir kapanpun dan dimanapun, bahkan pelaksanaan
dzikir harus dilakukan dengan khusyu’ dan penuh pengharapan yang
terkadang pelaku dzikir itu terlihat seperti orang gila karena harus
berteriak-teriak sambil geleng-geleng kepala sebagai tanda bahwa ia
sedang menyatukan pikiran dan hatinya untuk terpusat pada allah SWT.
Adapun terkait Hadist diatas, yang dimaksud sampai gila adalah cinta
yang luar biasa. Sebab, bila zikir dibaca dengan baik, ia mampu
menumbuhkan cinta yang amat kuat kepada Allah, juga tumbuh rasa khawf
(takut) bila imannya meluntur atau tipis, yang berakibat dirinya jauh
dari Allah dan Rasul-Nya. Maka gandengan kalimat khawf adalah raja'
(peng-harapan) yang penuh. Tiada yang bisa diharapkan terkecuali Allah,
baik untuk bersandar, berteduh, berlindung maupun memohon. Yang
ditakutkan adalah mati dalam keadaan su'ul khatimah (akhir kehidupan
yang jelek), dan yang diharapkan yaitu mati dalam keadaan husnul
khatimah (akhir kehidupan yang baik). Selain dan khawf, raja', ada
jugahaya', yang artinya malu kepada Allah. Dia malu bila berbuat
maksiat, malu bila akhlaknya dan budi pekertinya tidak terpuji kepada
Allah, Rasul-Nya, para sahabat, para wali, dan para ulama. Itulah yang
terkandung dalam Hadist tersebut. Jadi bukan gila dalam pengertian
penyakit dan bukan pula gila dalam pengertian meninggalkan syariat atau
sunnah, akhlak dan adab Nabi (saw).
Orang yang gila (tergila-gila) atau gandrung kepada Allah jauh berbeda
dibanding gila karena maksiat. Biasanya orang yang gandrung dengan
pacarnya, akan berpakaian rapi, menggunakan parfum, berbuat apa saja
untuk mendapat simpati dan cintanya. Padahal bila sudah tercapai, orang
yang dicintai dan dinikaihnya itu, tidak bisa menjamin akan selamatdari
api neraka, atau menjadi jaminan masuk surga-Tetapi, kalau kita gandrung
dengan Yang Menciptakan surga, Pastilah kita akan didekatkan dengannya,
masuk surga.
Jabatan yang tidak naik-naik jika tidak kong kali kong (menyuap),
ditekan bos agar mark-up anggaran, adalah resiko kehidupan. Semuanya
memiliki konssekuensi yang mesti ditanggung. Pilihannya hanya 2 saja,
menjadi orang gila dianggap waras atau menjadi orang waras tapi dianggap
gila. Dan kebanyakan manusia memilih menjadi orang gila yang dianggap
waras oleh kebanyakan manusia. Walaakinna aktsaron naasi laa ya’lamuun.
Manusia kebanyakan mengikuti aturan yang ada dan tidak mau mengambil
resiko.
Agama bukan sekedar jargon dan platform. Agama adalah pengusung
perubahan mikro dan makro. Perubahan sikap individu dan sosial.
Perubahan dari skala kecil hingga kepada skala besar menuju cahaya Allah
(An-Nur). Oleh karenanya mesti siap menanggung resiko. Bagi para
Kekasih Allah menghadapi resiko adalah merupakan kebahagiaan tersendiri,
lebih baik dianggap orang gila daripada gila sebenarnya (jununul
’uqala).
Inilah kelompok yang ditunggu-tunggu oleh Bangsa dan Negara ini
sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa (founding fathers)
dalam Undang-Undang ’45. Yakni mencapai bangsa yang penuh keadilan dan
kesejahteraan. Melalui figur orang-orang yang berani ‘tampil beda’
(meski dianggap gila) inilah Bangsa dan Negara ini bisa terselamatkan.
Tanda (indikator) orang gila adalah tidak takut dan malu. Orang yang
ingin terlepas dari jeratan hukum dengan berpura-pura gila juga memiliki
rasa takut. Jika seseorang berani menjalankan agama dan tidak mengenal
rasa malu dengan orang lain maka orang tersebut adalah orang yang berani
mengambil resiko dianggap gila.
Sekarang ini banyak orang salah kaprah, tidak meletakkan rasa malu pada
tempat sebenarnya yakni merasa malu melakukan kebaikan atau menegakkan
kebenaran. Sedangkan dalam urusan kejahatan tidak merasa malu lagi.
Meski sudah mengenakan baju tahanan KPK, penampilannya masih percaya
diri (PeDe). Manusia banyak yang gila dunia, jabatan, harta, sanjungan,
tapi anehnya mereka dianggap hebat.
Supaya benar-benar beribadah, banyak menyebut Nama Allah dan
mengaplikasikan kesadaran kita dengan menjalankan ketetapan Allah walau
berbeda dengan kebanyakan manusia, Allah akan memberikan tanda kegilaan
kepada Allah berupa rasa berani dan tidak malu kepada manusia. Tidak ada
kekhawatiran atasnya dan tidak merasa sedih dicaci maki orang dalam
menjalankan kebenaran.
Orang yang melakukan kebenaran itu tidak hanya disebut gila, tapi juga
akan mengalami keterasingan atau terpinggirkan (ter-marginal-kan).
Mereka yang jujur dan bertanggungjawab sering terpinggirkan oleh sistem
yang ada. Firman Allah menyatakan,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿يونس: ٦٢﴾
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Orang waras dianggap gila itu ternyata termasuk Awliya Allah. Karena
mereka tidak peduli dengan keberadaan orang di sekelilingnya yang
berbeda dengan dirinya. Mereka tidak mengenal rasa takut dan bersedih
kepada selain-Nya.
Gaya hidup dan tradisi orang awam sekarang sama dengan kebanyakan
manusia. Anak muda zaman sekarang tidak cukup mengidolakan artis luar,
hingga didatangkan artis luar negeri. Meski harga tiketnya yang mahal
pun dibeli. Cara joget dan berpakaian diikuti, karena terseret arus
gelombang besar orang-orang yang jauh dari kebenaran. Mereka tidak mampu
melawan arus tersebut. Dan hanya orang-orang yang jiwanya belajar cinta
kepada Allah.
Dalam menjalankan agamanya telah melampaui batas kecintaan. Jika ibadah
sholat, puasa hanya sebatas fiqih (tidak menembus relung jiwanya)
sehingga merasa Allah terus mengawasi jiwanya, berarti belum dikatakan
cinta kepada Allah. Orang yang belum cinta kepada Allah masih takut
kepada manusia. Ia takut disebut gila, takut terpinggirkan, takut tidak
bisa makan.
Orang yang belajar cinta kepada Allah akan diberikan jiwa yang tangguh.
Dalam menjalankan agama, mereka sudah masuk ke dalam penghayatan
(memasuki alam rasa). Terjadi komunikasi antara dirinya dengan Allah
sehingga jiwanya terus menyambung . Inilah awal seorang hamba mencintai
Allah.
Dalam konteks cinta, seseorang yang mencintai akan menyatu jiwanya
dengan yang dicintainya. Ke manapun ia melangkah akan selalu terbayang
yang dicintainya. Saat makan, bekerja, hingga terbawa ke alam mimpi.
Semestinya dalam menjalankan ajaran keagamaan tidak hanya sebatas
fisiknya semata, tapi menyentuh aspek penghayatan jiwa (tasawuf). Ia
selalu menjiwai berbagai pelaksanaan ibadahnya.
Kita mesti terus belajar menghayati agama dengan penuh kesadaran.
Caranya adalah melalui media majelis dzikir dan ilmu. Melalui media
tersebut lisan dilatih untuk berdzikir. Lidah yang basah menyebut Nama
Allah karena banyaknya akan menyebabkan makna Asma tersebut masuk ke
dalam jiwanya. Jiwanya akan bergerak menangkap sesuatu yang ghaib. Ia
merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya. Inilah jalan awal
mencintai Allah.
Jika terus belajar mencintai Allah maka Allah akan memberikan tanda
kegilaan. Begitu besar cinta menyebabkan tergila-gila. Dalam Al-Quran
disebut dengan Asyaddu Hubbal lillaah. Orang-orang yang beriman itu
tidak sebatas cinta, tapi tergila-gila kepada Allah. Tergila-gila itu
melampaui sekedar cinta.
Tanda kegilaan adalah laa khoufu ’alayhim, jiwanya tidak dilanda rasa
takut. Yakni takut miskin, difitnah dan dihinakan orang. Tapi takut akan
ancaman (murka) Allah, takut menjalankan sesuatu yang dilarang Allah.
Ia menghindar dan memutus rantai media yang akan menyebabkan dirinya
terperosok ke jurang kehinaan dan siksa akibat melakukan dosa atau
larangan Allah.
Sebaliknya Orang yang tergila-gila dengan dunia dan kehidupannya takut
tidak makan padahal ia sedang makan, takut tidak menjabat padahal ia
sedang menjabat. Para Hakim kalah dengan suap, para politisi takut tidak
mendapat jabatan. Manusia semakin serakah, tamak, dan takut
ditinggalkan dunia. Inilah yang menyebabkan negara bahkan dunia
porakporanda (hancur).
Allah mengisyaratkan jika ingin dibukakan barokah dari langit dan bumi, mesti diisi dengan orang-orang yang gila kepada Allah.
Kita lihat diri kita apakah sudah laa khoufun sebagaimana karakter para
kekasih Allah atau masih dihinggapi ketakutan dan kekhawatiran hidup.
Allah mencabut rasa takut dan kekhawatiran dalam hati orang beriman,
sehingga timbullah keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan tampil
beda karena kebenaran. Inilah yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan
yang besar, diawali melalui diri dan keluarga.
Indikator kedua adalah walaa hum yahzanuun, jiwanya tidak merasa sedih,
galau, bingung, gundah gulana dalam urusan dunia. Tenang, tenteram dan
penuh kepastian selalu menyelimuti jiwanya. Ini merupakan deskripsi jiwa
yang mencicipi kebahagiaan hakiki sebelum datangnya akhirat. Hidupnya
terasa nikmat, karena jiwanya senantiasa menghadap dan mengabdi kepada
Allah.
Fungsi agama adalah sebagai perubahan, yakni merubah sikap, pikiran, dan
tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Resiko menjalankannya
adalah dituding gila (tapi bukan gila sebenarnya), karena mereka adalah
kelompok minoritas yang berani tampil beda demi kebenaran. Mereka yang
mampu melakukannya adalah orang-orang yang tidak mengenal rasa takut dan
khawatir dalam urusan dunia ini, karena jiwanya selalu menghadap
kepadaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar