Yakin artinya nyata dan terang. Yakin itu ialah lawan dari syak dan
ragu-ragu. Maka tidaklah akan hilang syak dan ragu-ragu itu kalau tidak
ada dalil atau alasan yang cukup. Dan datangnya yakin itu setelah
memperoleh bukti-bukti yang terang. Keyakinan setelah datang
menyelidiki, kadang-kadang tidak diselidiki lagi karena dalil itu cukup
terbentang di hadapan mata. Cara mencapai dalil itu tidaklah sama di
antara manusia. Banyak perkara yang diyakini oleh seorang, masih diragui
oleh yang lain, sebab belum mendapat dalilnya. Tetapi dalam perkara
yang terang misalnya alasan bahwa hari telah siang, atau dua kali dua
empat, lekas orang meyakininya.
Syaikh Al-Jurjani menjelaskan;
اليقين : في اللغة: العلم الذي لا شك معه، (التعرفات : 85)
اليقين : في الاصطلاح: اعتقاد الشيء بأنه كذا مع اعتقاد أنه لا يمكن إلا كذا،مطابقاً للواقع غير ممكن الزوال (التعرفات : 85)
Bahwa Yakin menurut istilah adalah meyakini sesuatu itu seperti itu dan
meyakini bahwa hal itu tidak mungkin kecuali seperti itu, serta
senantiasa akan sesuai dengan kenyataan.
واليقين هو سكون النفس وثلج الصدر بما علم (الفروق اللغوية - (1 / 374))
Abu Hilal al-Askari mendefinisikan bahwa yakin adalah tetapnya jiwa dan dadanya merasa tenteram dengan apa yang ia ketahui.
Al-Baidhowi (W. 691 H) mengatakan bahwa yakin adalah mengokohkan ilmu
dengan meniadakan keraguan dan kesamaran tentangnya dengan cara Nadzr
(berfikir mendalam) dan Istidlal (menunjukkan dalil)
Makna Yakin Dalam Al-Qur’an
Allah Swt telah menunjukkan tanda-tanda kekuasaannya kepada manusia di
langit dan di bumi, Dia telah menundukkan matahari dan bulan, sehingga
keduanya beredar dengan waktu yang ditentukan, Dia pun mengurus
pergantian siang dan malam. Semua tanda-tanda yang telah Allah
perlihatkan kepada manusia seharusnya menjadikan dirinya semakin Yakin
kepada Allah dan kepada semua yang diterangkannya dalam Kitab-Nya. Allah
berfirman
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي
لِأَجَلٍ مُسَمًّى يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ
بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ [الرعد/2]
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari
dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah
mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya),
supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.
وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَابَّةٍ آَيَاتٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ [الجاثية/4]
Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang
bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk
kaum yang meyakini,
وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ [الذاريات/20]
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.
Sesuatu yang tidak ada keraguan
Ketika orang-orang Yahudi ingin menangkap Nabi Isa as, Allah telah
menyerupakan murid Nabi Isa yang berkhianat menjadi seperti Nabi Isa.
Kemudian Allah mengangkat nabi Isa kepadaNya. Sehingga yang mereka salib
itu bukanlah Nabi Isa, dan ternyata mereka ketika menyalibnya pun ada
dalam keraguan. Tidaklah mereka merasa yakin. Sebagaimana telah
diceritakan oleh Allah dalam Al-Qur’an.
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ
اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ
الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ
عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا [النساء/157]
Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih,
Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan
tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang
diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang
berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam
keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan
tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka,
mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.
Ketika burung Hud-hud terbang berkelana ke Negeri Saba, ia melihat
penduduk negeri itu dipimpin oleh seorang ratu bernama balqis. Dia
memperhatikan perbuatan penduduk saba itu dengan mata kepala sendiri,
bahwa mereka menyembah matahari. Kemudian ia pulang menuju kerajaan Nabi
Sulaiman untuk mengabarkan yang dia lihat kepada Nabi Sulaiman.
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ [النمل/22]
Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku
telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa
kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.
Dengan makna kematian
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ [الحجر/99]
dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).
حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ [المدثر/47]
hingga datang kepada kami kematian."
Tentang lafadz yakin dalam ayat ini, ada beberapa ulama memberi arti
kemenangan, tetapi banyak ulama yang memahaminya dalam arti kematian.
Jika kata tersebut dipahami dalam arti kemenangan, dapat timbul kesan
bahwa perintah melaksanakan shalat dan beribadah berakhir dengan
datangnya kemenangan. Berbeda halnya jika ia difahami dalam arti
kematian. Kematian dipersamakan dengan keyakinan karena ia adalah
sesuatu yang pasti, tidak seorang pun meragukannya. Setiap saat terlihat
ia terlihat, walau sekian banyak pula orang yang lengah menyangkut
keadaannya.
Ayat diatas menggambarkan datangnya kematian dengan kalimat “sampai
datang kepadamu keyakinan”. Itu berarti bukan manusia yang pergi
menemuinya karena memang semua manusia enggan mati dan, kalaupun dia
berusaha mengakhiri hidupnya, dia tidak akan berhasil jika seandainya
kematian belum datang menemuinya. Namun demikian, suka tau tidak suka,
cepat atau lambat, maut pasti datang menemui kita. Ia diibaratkan dengan
anak panah yang telah dilepas dari busurnya, ia terus akan mengejar
sasarannya, dan begitu ia tiba pada sasaran, saat itu pula kematian yang
ditujunya tiba. Kecepatan anak panah itu jauh melebihi kecepatan melaju
makhluk hidup sehingga betapa kencangnya ia berlari pada akhirnya anak
panah itu mengenainya juga.
Ayat di atas juga membuktikan bahwa shalat dan ibadah harus dilaksanakan
sepanjang hayat. Ia tidak boleh terhenti kecuali dengan kematian.
Jangankan manusia biasa, Rasulullah saw pun yang demikian suci jiwanya
dan demikian dekat lagi dicintai Allah swt. masih diperintahkan oleh
ayat ini untuk terus shalat dan beribadah, apalagi selain beliau.
Yakin itu diharuskan oleh Allah SWT pada orang-orang beriman
Allah Swt telah menunjukkan tanda-tanda kekuasaannya kepada manusia di
langit dan di bumi, Dia telah menundukkan matahari dan bulan, sehingga
keduanya beredar dengan waktu yang ditentukan, Dia pun mengurus
pergantian siang dan malam. Semua tanda-tanda yang telah Allah
perlihatkan kepada manusia seharusnya menjadikan dirinya semakin Yakin
kepada Allah dan kepada semua yang diterangkannya dalam Kitab-Nya. Allah
berfirman
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي
لِأَجَلٍ مُسَمًّى يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لَعَلَّكُمْ
بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ [الرعد/2]
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari
dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah
mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya),
supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.
وَفِي خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَابَّةٍ آَيَاتٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ [الجاثية/4]
Dan pada penciptakan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang
bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk
kaum yang meyakini,
وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ [الذاريات/20]
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.
Orang yang termasuk golongan orang-orang yang yakin
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ [الأنعام/75]
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan
(Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya)
agar dia termasuk orang yang yakin.
Kata al-Muqiniin adalah bentuk jamak dari kata muqin, yang terambil dari
kata yakin. kata ini mengandung makna pengetahuan yang tidak disentuh
oleh keraguan sedikitpun. Iman atau kepercayaan, apalagi pada
tahap-tahap awal, sering kali dibarengi oleh tanda tanya dan keraguan.
Nabi ibrahim as. Pernah mengalami hal itu. Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat
260 diuraikan permintaan Nabi Ibrahim as kepada Allah swt. agar di
tunjukkan kepada beliau bagaimana yang mahakuasa menghidupkan yang mati.
Ketika ditanya;“Apakah engkau belum beriman?” Beliau menjawab: “Aku
sudah beriman, tetapi permintaanku itu adalah untuk menenangkan hatiku."
Ketika menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab mengemukakan bahwa agaknya
tidak keliru bila kta berpendapat bahwa, saat menyampaikan permohonan
itu, Nabi Ibrahim as. Belum sampai pada satu tingkat keimanan yang
meyakinkan sehingga-ketika itu- masih ada semacam pertanyaan-pertanyaan
yang muncul dalam benak beliau. Kalaupun ketika itu beliau telah yakin,
itu baru sampai pada tingkat ‘Ilm al-Yakin, belum ‘Ain al-Yakin, apalagi
Haqq al-Yakin. Beliau baru sampai pada tingkat keyakinan yang sempurna
setelah malakut as-Samawati wa al-Ardh ditunjukkan kepadanya oleh Allah,
sebagaimana firmannya di atas.
Sifat yakin dan keteguhan hati adalah satu hal penting yang selalu
dirindukan oleh orang yang berakal sehat, sebagai penenang hati dalam
kesunyian, pemberi kekuatan saat ditimpa kelemahan, menjadi penerang
dalam kegelapan, penghilang dahaga saat kehausan. Ringkasnya, keteguhan
hati menyimpan banyak makna.
Barangsiapa memiliki sifat ini, maka ia akan memperoleh kewibawaan dan
kemuliaan, meski ia bukan dari keturunan bangsawan. Sifat ini tidak bisa
dibeli dengan harta dan tidak pula diraih dengan kekuatan. Sifat inilah
yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan
beliau tidak memerintahkan kita kecuali kepada kebaikan. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَلُوْا اللهَ اليَقِينَ وَالمُعَافَاةَ، فَإِنَّهُ لَمْ يُؤْتَ أَحَدٌ بَعْدَ اليَقِيْنُ خَيْرًا مِنَ المَعَافَاةِ
Mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaketeguhan hati dan keselamatan.
Sungguh, seseorang tidak diberi sesuatu yang lebih baik daripada
keselamatan setelah diberi keteguhan hati. (HR. Ahmad)
Dalam keyakinan yang benar yaitu keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang
sesuai pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat,
iman itu tidak cukup keyakinan dalam hati, tetapi harus diucapkan di
lisan dan dibuktikan dalam amal perbuatan anggota badan. Jadi, ada tiga
komponen di dalam iman. Jika seseorang mengucapkan laa ilaha illallah,
namun tiada amalan dalam hidupnya, seperti enggan untuk shalat sama
sekali, maka pengakuannya sebagai muslim hanyalah pengakuan yang dusta.
Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ
الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah
perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no. 9
dan Muslim no. 35).
Cabang Iman
Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara
istilah syar’i, iman adalah perkataan di lisan, keyakinan dalam hati,
amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan
berkurang dengan maksiat.
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa cabang iman yang tertinggi ialah
kalimat ‘laa ilaha illalah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah). Kalimat tersebut adalah pokok Islam dan Iman. Kalimat
tersebut merupakan rukun pertama dari Islam dan yang bisa membuat
seseorang masuk Islam.
Sedangkan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan
dari jalanan, yang dimaksud di sini adalah menyingkirkan setiap gangguan
apa pun. Sedangkan meletakkan gangguan di jalanan termasuk sesuatu yang
terlarang. Semisal memarkir mobil di tengah jalan dan mengganggu
kendaraan yang lalu lalang, ini termasuk meletakkan gangguan di jalan.
Mengalirkan air sehingga mengganggu orang lain di jalan, ini pun
termasuk yang terlarang. Begitu pula meletakkan batu sehingga mengganggu
di jalan, ini pun terlarang. Apalagi jika sampai meletakkan bom di
jalanan, meskipun disebut sebagai jihad! Jika seseorang menyingkirkan
gangguan-gangguan tadi dari jalanan, itu menunjukkan keimanannya.
Malu pun termasuk cabang iman. Seseorang yang memiliki sifat malu, maka
dirinya akan semakin mempesona dengan akhlaknya yang mulia tersebut.
Malu ada dua macam sebagaimana dijelaskan oleh guru kami,
1- Malu yang terpuji: Malu yang bisa mengantarkan pada kebaikan dan mencegah dari kejelekan.
2- Malu yang tercela: Malu yang menghalangi seseorang dair berbuat baik,
dari menuntut ilmu dan malu bertanya dalam perkara yang dibingungkan.
Cabang iman sebenarnya amatlah banyak, sebagaimana disebutkan ada 60
atau 70 sekian cabang. Bahkan Imam Al Baihaqi memiliki karya tulis dalam
masalah cabang-cabang iman ini, yaitu dalam kitab Syu’abul Iman dan
kitab ringkasannya pun sudah ada yang tercetak (dalam versi Arabic).
Beberapa Keyakinan dalam Masalah Iman
1- Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan dalam lisan dan amalan dengan anggota badan.
Dalil yang menunjukkan keyakinan ahlus sunnah adalah hadits Abu Hurairah
yang telah disebutkan di atas. Perkataan ‘laa ilaha illallah’
menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri
dari jalanan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan.
Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam
hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan
keyakinan ahlu sunnah di atas. Sehingga iman yang benar jika terdapat
tiga komponen di dalamnya yaitu (1) keyakinan dalam hati, (2) ucapan di
lisan, dan (3) amalan dengan anggota badan.
Secara jelas keyakinan Ahlus Sunnah mengenai iman termaktub dalam
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al ‘Aqidah Al
Wasithiyyah di mana beliau berkata,
فَصْلٌ : وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ الدِّينَ
وَالْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ ، قَوْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَعَمَلُ
الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ ، وَأَنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ
بِالطَّاعَةِ ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ .
“Fasal: Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa agama dan
iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan,
amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dengan
melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat.”
2- Murji’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati dan ucapan di lisan saja.
3- Karomiyah: Iman adalah ucapan di lisan saja.
4- Jabariyyah: Iman adalah pengenalan dalam hati saja.
5- Mu’tazilah: Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan dan amalan anggota badan.
Namun ada sisi yang membedakan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah. Mu’tazilah
menganggap bahwa pelaku dosa besar hilang darinya cap iman secara total
dan kekal di neraka. Sedangkan Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar masih
diberi cap iman, akan tetapi ia dikatakan kurang imannya dan tidak kekal
dalam neraka jika memasukinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar