Dalam konteks apapun, tarikh (sejarah) dianggap sebagai entitas yang
sangat mendasar dalam kehidupan. Sejarah adalah gambaran riil dari
potret kehidupan yang sangat varian dan dinamis. Akumulasi perilaku
sosial keagamaan maupun perilaku sosial lainnya dalam kehidupan
masyarakat plural dapat diamati dan dikritisi melalui fakta empirik
peninggalan sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian semua perilaku
sosial, baik perilaku positif maupun negatif akan dapat dilacak melalui
data-data historis. Atas dasar ini, fungsi maupun kontribusi sejarah
bagi generasi kemudian adalah memberikan pelajaran mendasar bagi
kehidupannya yang tentu dianggap mampu memberikan inspirasi bagi praktik
kehidupan yang akan datang. Dengan demikian sejarah pada hakikatnya
tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sejarah akan menjadi inspirasi
kehidupan mereka, dan kehidupan mereka pada gilirannya juga akan menjadi
sejarah baru bagi generasi yang akan datang. Inilah potret sebuah
kehidupan yang selalu terdaur ulang (siklus), perputaran yang tiada
henti. Sejarah mewarnai realitas dan realitas mewarnai sejarah, sebuah
proses dialektik yang dinamis.
Oleh karena itu sangat beruntung bagi siapa saja yang dapat mengukir dan
mewarisi sejarah kehidupan ini dengan baik, sebaliknya celaka dan rugi
mereka yang hidupnya hanya mengotori sejarah kehidupan ini. Lebih-lebih
terkait dengan sejarah penetapan dan penentuan hukum fiqih dalam Islam.
Sebab dengan mengetahui sejarah penetapannya ( tarikh tasyri’) berarti
masyarakat telah memiliki ilmu yang sangat tepat untuk mengetahui
periodesasi perkembangann fiqih. Dimulai dari masa Rasulullah SAW hingga
masa kini, seperti yang kita rasakan sekarang ini. Pada bab ini, akan
diawali dengan kajian-kajian normatif-ontologis, menyangkut tentang
pengertian syari’ah dan tasyri’, macam-macam tasyri’, pengertian tarikh
tasyri’ al-Islami, periodesasi tarikh tasyri’, serta kegunaan
mempelajarinya.
Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal, hari, bulan dan
tahun. Lebih populer dan sederhana diartikan sebagai sejarah atau
riwayat. Sedangkan syariah adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk
manusia yang mencakup tiga bidang, yaitu keyakinan (aturan-aturan yang
berkaitan dengan aqidah), perbuatan (ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan tindakan hukum seseorang) dan akhlak (tentang nilai baik dan
buruk).
Sedangkan tasyri’ berarti penetapan atau pemberlakuan syariat yang
berlangsung sejak diutusnya Rasulullah saw dan berakhir hingga wafat
beliau. Namun para ulama kemudian memperluas pembahasan tarikh (sejarah)
tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh Islami dan proses
kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat
Islam. Oleh karena itu pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama
kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad saw hingga masa kini.Tasyri’
juga bermakna legislation, enactment of law, artinya penetapan
undang-undang dalam agama Islam. Kata Syariat secara bahasa berarti
al-utbah (lekuk liku lembah), dan maurid al- ma’i (sumber air) yang
jernih untuk diminum. Lalu kata ini digunakan untuk mengungkapkan
al-thariqah al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber air adalah tempat
kehidupan dan keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang
menunjuki manusia kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan
kebebasan dari dahaga jiwa dan akal. Sebagaiman firman Allah SWT dalam
surat al-Jatsiah ayat 18 di atas. Juga firman Allah SWT dalam surat
al-Syura ayat 13. Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa
yang Telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh. Dan firman Allah SWT dalam surat
al-Maidah ayat 48. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan
aturan dan jalan yang terang.
Syari’ah adalah“law statute” artinya hukum yang telah ditetapkan dalam
agama Islam. Syariat menurut fuqaha’ berarti hukum yang ditetapkan oleh
Allah SWT melalui Rasul untuk hamba-Nya agar mereka mentaati hukum ini
atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah, amaliah atau disebut
ibadah dan muamalah atau yang berkaitan dengan akhlak. Menurut Muhammad
Ali al-Tahanuwi, syariat adalah hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk
hamba-Nya yang disampaikan melalui para Nabi atau Rasul, baik hukum
yang berhubungan dengan amaliah atau aqidah.
Syariat disebut juga din (agama) dan millah. Syari’ah Islamiyah
didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah Taala untuk
hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem
kehidupan yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan
sesama makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pada masa dimana wafatnya rasul suatu kereta pemerintahan mulai di
kendalikan oleh sahabat-sahabatnya. Memang diakui atau tidak fakta
sejarah mengatakan bahwa rasul tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai
pengganti beliau dalam roda kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan
tetapi, sumbang kepedulian sahabat pada tatanan Islam yang memang sudah
dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh, mereka mulai berfikir
bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang sudah dibentuk tidak
pudar dan tetap langgeng. Dari situ, sahabat mulai memilih salah satu
sahabat dan Abu Bakarlah yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama
disusul kemudian oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang
terakhir adalah Ali Bin Abi Tholib.Sahabat adalah sebagai generasi Islam
pertama, yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam
menentukan hokum Islam selalu berpegang pada fatwa rasul yang telah ada.
Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat menemukan yang memang dalam
fatwa rasul tidak ada, mereka berupaya untuk berijtihad tetapi masih
dalam takaran syariat keislaman yang di sandarkan pada Al-Quran dan
Al-Hadits.
Tasyri’ pada masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa politik, dimana
suatu penetapan hokum juga sudah berbau politik. Dimana dulu ketika
rasul masih hidup semua permasalahan langsung di pertanyakan pada Rasul.
Dan mungkin pula ada banyak perbedaan penentuan hokum melihat pada
tatanan social politik kala itu. Mereka sudah mulai berinterpretasi
tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul umat yang di lihat pada
tatanan sosialnya.
Para fuqaha, ahli-ahli fiqh, hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah,
kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah
juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbathkan,
mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak
terdapat nash-nashnya yang jelas. Ringkasnya tarikh tasyri’ merupakan
kata lain dari sejarah fiqh.
Secara umum, kaidah-kaidah syari’at itu telah dikokohkan, ditegakkan
asasnya dan disempurnakan pokok-pokoknya pada zaman Nabi SAW. yang
menjadi saksinya adalah firman Allah:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا
“ Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Nabi SAW bersabda: “ Aku tinggalkan untukmu dua perkara, niscaya kamu
tidak akan tersesat selagi kamu berpegang pada keduanya, yaitu kitab
Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah nabi-Nya.”
Dari keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa Nabi SAW tidak akan
meninggalkan kehidupan ini kecuali setelah menyempurnakan pembangunan
syari’at. Adapun hukum setelah beliau wafat yang ditetapkan melalui
hasil ijtihad para sahabat dan tabi’in, pada hakikatnya adalah perluasan
terhadap kaidah-kaidah universal dan penyesuaian terhadap
peristiwa-peristiwa parsial yang baru muncul, serta merupakan hasil
pengambilan hukum-hukum dari nash yang dipahami mereka (sahabat dan
tabi’in), dan qiyas (analogi) terhadap nash dalam masalah yang tidak
terdapat dalam nash. Jadi, dengan demikian tidak ada sumber tasyri’ yang
melebihi Al-Qur’an dan Sunnah tingkat keuniversalannya, sekalipun sudah
lama berlaku.
Namun demikian banyak para fuqaha yang berbeda cara pandangnya dalam
memahami ruang lingkup dan rentang tarikh tasyri’. Ada beberapa pakar
yang memahami tarikh tasyrik tidak hanya berhenti pada era Rasul,
melainkan proses sejarah penetapan hukum Islam sejak Rasul hingga kini
disebut sebagai fenomena tarikh tasyri’ dalam Islam.
Ruang Lingkup Tarikh Tasyri’
Secara umum ruang lingkup kajian tarikh tasyri’ hanya dibatasi pada
keadaan perundang-undangan Islam dari zaman-ke zaman dimulai dari zaman
Rasul hingga zaman masa kini yang ditinjau dari sudut pertumbuhan
perundang-undangan Islam. Sementara itu menurut Kamil Musa dalam
al-Madkhal ila Tarikhi al-Tasyri’ al-Islami mengatakan bahwa ruang
lingkup tarikh tasyri’ tidak hanya terbatas pada sejarah pembentukan
al-Qur’an dan al-Sunnah, melainkan juga mencakup pemikiran, gagasan, dan
ijtihad para ulama pada kurun waktu tertentu. Secara spesifik ruang
lingkup kajian tarikh tasyri’ islami itu adalah sebagai berikut:
A. Ibadah
Bab Ibadah khusus berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan.
Pembentukan hukumnya bersumber pada nash-nash syariat langsung, oleh
karena itu ketetapan hukum yang berhubungan dengan lapangan ibadah ini
bersifat abadi, tidak memerlukan perubahan dan sesuai dengan segala
zaman dan tempat.
B. Hukum Keluarga
Lapangan pembahasan hukum keluarga adalah lebih luas daripada lapangan
munakahat, karena membahas masalah pernikahan, warisan, wasiat dan
wakaf.
C. Muamalat
Bab muamalat berisi tentang hak-hak manusia dalam hubungannya dengan satu sama lain.
D. Hukum Pidana
Hokum pidana ialah kumpulan aturan yang mengatur cara menjaga
keselamatan hak dan kepentingan masyarakatdari perbuatan-perbuatan yg
tidak dibenarkan.
E. Hukum Kenegaraan/Siyasah Syar’iyyah
Siyasah syar’iyyah (politik Islam) ialah politik yang mengatur
pemerintahan, teori-teori yg menimbulkan suatu negara, syarat-syarat
berdirinya suatu Negara serta keawajiban-kewajibannya.
F. Hukum Internasional
Lapangan pembahasan hukum internasional ini terdapat dua pembagian yang
spesifik, pertama berkenaan dengan hukum perdata Internasional, yaitu
aturan-aturan yang menerangkan hukum mana yang berlaku, dari dua hukum
atau lebih. Kedua adalah hukum publik Internasional, lapangan hukum ini
mengatur antara Negara Islam dengan Negara lain yang bukan dalam
lapangan keperdataan.
Urgensi Tarikh Tasyri’
1. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.
2. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui kesempurnaan dan
syumuliyah (integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan
yang tercermin dalam peradaban umat yang agung terutama di masa
kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti perhatian dan
kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan,
ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum, dan aspek-aspek
lainnya. Dengan demikian adalah keliru jika ada persepsi bahwa syariat
Islam hanyalah berisi hukum pidana seperti qishash, rajam, dan
sejenisnya.
3. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa
para ulama, mulai dari para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan
murid-murid mereka dalam mengisi khazanah ilmu dan peradaban kaum
muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian yang dibawa oleh
Rasulullah saw.
4. Melalui kajian tarikh tasyri’ akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan
terhadap Syariat Islam sekaligus optimisme akan kembalinya siyadah
al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan umat di masa depan.
Syariat Islam dan Hukum Wadh’i (Hukum Positif)
Antara syariat Islam yang bersumber dari Allah Taala dengan hukum dan
undang-undang buatan manusia sebenarnya tak dapat dibandingkan,
mengingat perbedaan antara Al-Khaliq yang Maha Sempurna dengan makhluk
yang maha lemah dan maha kurang. Keraguan terhadap kelaikan dan keadilan
syariat Islam berarti keraguan terhadap sifat Allah Taala yang Maha
Sempurna, Maha Tahu dan Maha Bijaksana, atau berarti keinginan kuat
untuk membebaskan hawa nafsu dari aturan-aturan Ilahi. Dan kedua hal ini
berarti kkekufuran.
Dalam kitab “Al-Tasyri’ Al-Jina-i fi Al-Islam” (Hukum Pidana dalam
Islam) menyebutkan beberapa keunggulan syariat Islam atas hukum dan
undang-undang buatan manusia, di antaranya:
1. Hukum wadh’i tidak mengandung keadilan yang hakiki karena dibuat oleh
manusia yang memiliki hawa nafsu serta kepentingan. Jiwa Manusia tunduk
dengan perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga produk hukum yang
dihasilkan pun tidak mungkin merealisasikan keadilan hakiki. Sedangkan
syariat Islam bersumber dari Allah Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan
makhluk-Nya sehingga keadilannya adalah sebuah kepastian.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ
يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi
Maha Terpuji. (Luqman: 12).
قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلا يَنْسَى
Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhanku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. (Thaha: 52).
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar
dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia
lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 115).
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ
اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ
أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ
لَفَاسِقُونَ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan
kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka
berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. (Al-Maidah: 49).
2. Manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, apa
lagi masa depan yang jauh. Pengetahuan manusia hanya didasari pengalaman
dan keadaan yang melingkupinya saat ini. Oleh karena itu, hukum dan
peraturan yang dibuatnya hanya mempertimbangkan ‘kekinian’ dan
‘kesinian’ serta pasti perlu diubah dan diperbaiki di lain tempat dan
waktu. Berbeda dengan syariat yang bersumber dari Dzat yang Maha
Mengetahui masa lalu, kini dan masa depan, pasti mampu menjawab
tantangan setiap tempat dan zaman.
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan
atau rahasiakan)?! Padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?
(Al-Mulk: 14).
3. Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang terbatas, diawali
kemunculannya dari aturan keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan
suku atau kabilah dan seterusnya. Dan baru memiliki teori-teori
ilmiahnya pada abad ke-19 M. Berbeda dengan syariat Islam yang sejak
masa kehidupan Rasulullah saw telah menjadi undang-undang yang lengkap
dan sempurna memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga, masyarakat,
negara serta hubungan internasional. Di samping itu, sejak diturunkan,
Syariat Islam tidak terbatas hanya untuk kaum atau bangsa tertentu
melainkan untuk semua umat manusia sepanjang zaman.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al-Anbiya: 107)
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا
ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ
لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib
dengan anak panah,(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan.Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk
(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai
Islam itu jadi agama bagi kalian. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa. sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 3).
4. Hukum wadh’i hanya mengatur hubungan sesama manusia tanpa memiliki
konsep aqidah tauhid yang menghubungkan semua itu dengan Allah Taala.
Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan keimanan kepada Allah
dan hari akhir yang menjadi motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada
syariat Allah Taala. Oleh karenanya hukum wadh’i kehilangan
kekuasaannya atas jiwa manusia di mana ia hanya mengandalkan sangsi
hukum semata dan ini memberi kesempatan kepada para penjahat untuk
mencari celah kelemahan hukum dan menggunakan berbagai tipu muslihat
agar lepas dari jeratan hukum. Sedangkan syariat Islam selalu
memperhatikan pembinaan aqidah umat sebelum, ketika, dan setelah
penegakan hukum-hukumnya, sehingga sanksi hukum hanyalah salah satu
faktor untuk membuat masyarakat menjadi baik dan tertib.
Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah Taala, rasa harap akan
ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi faktor utama ketaatan warga
negara terhadap hukum.
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزاؤُهُ جَهَنَّمُ خالِداً
فِيها وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذاباً
عَظِيماً
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
(An-Nisa: 93)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ
وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَمَنْ قَضَيْتُ
لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ
قِطْعَةً مِنْ النَّارِ فَلاَ يَأْخُذْهَا. (البخاري ومسلم).
Dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya
kalian mengadukan perkara di antara kalian kepadaku, boleh jadi salah
satu pihak lebih pandai berargumentasi dari pada pihak lain (sehingga
aku memenangkannya). Maka siapa yang aku menangkan perkaranya karena
kepandaiannya berargumentasi (padahal sebenarnya lawannya yang berhak
dimenangkan), berarti aku telah memberikan kepadanya bagian dari siksa
neraka, maka janganlah ia mengambilnya.” (H.R. Bukhari-Muslim).
5. Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor akhlaq dan menganggap
pelanggaran hukum hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan individu
atau masyarakat secara langsung. Namun hukum wadh’i tidak memberi
sangsi atas perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada unsur paksaan
dari salah satu pihak. Hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas peminum
minuman keras kecuali jika dilakukan di depan umum dan mengancam
keamanan orang lain. Hukum wadh’i tidak memberi sanksi bagi pezina
karena zina adalah perbuatan keji yang merusak moral, mengganggu
keutuhan rumah tangga, mengacaukan nasab keturunan, dan berpotensi
menimbulkan berbagai bahaya kesehatan serta tersebarnya kerusakan moral.
Hukum wadh’i tidak menghukum peminum arak karena arak dan semua yang
memabukkan itu merusak akal dan tubuh, merusak akhlaq, dan
menyia-nyiakan harta. Tetapi sekali lagi sangsi hukum hanya diberlakukan
jika perbuatan itu dianggap membahayakan orang lain secara langsung
dalam konteks fisik dan keamanan.
Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq yang memperhatikan
kebaikan mental dan fisik masyarakat secara umum, memperhatikan
kebahagiaan dunia akhirat sekaligus, sehingga Islam melarang dan
menetapkan sangsi atas zina karena ia adalah perbuatan keji yang
diharamkan Allah Swt dengan berbagai dampak negatifnya meskipun
dilakukan suka sama suka, begitu pula dengan minum minuman yang
memabukkan.
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Isra: 32).
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90) إِنَّمَا يُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي
الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ
الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (91)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum)
khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
menegakkan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan
itu). (Al-Maidah: 90-91)
Fase-fase Tarikh Tasyri’
1. Fase Tasyri’: dari awal kenabian Muhammad saw hingga wafat beliau (11 H).
2. Fase Perkembangan Fiqh Pertama: Masa Khulafa Rasyidin, 11-40 H.
3. Fase Perkembangan Fiqh Kedua: Masa Sahabat Yunior atau Tabi’in Senior sampai Permulaan Abad ke-2 Hijriyah.
4. Fase Perkembangan Fiqh Ketiga: dari Permulaan Abad ke-2 hingga Pertengahan Abad ke-4 Hijriyah.
5. Fase Perkembangan Fiqh Keempat: dari Pertengahan Abad ke-4 hingga Jatuhnya Baghdad tahun 656 H.
6. Fase Perkembangan Fiqh Kelima: dari Jatuhnya Baghdad hingga kini.
Definisi Ushul Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut
pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah,
kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya
Al-Ushul
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis
berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas,
atau akar).
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, ashluha (akarnya) teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24)
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan:
أصل هذا الحكم من الكتاب آية كذا
(Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud
adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum, sedangkan
dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.
Al-Fiqh
الفقه في اللغة: العلم بالشيء والفهم له
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.
Menurut istilah para ulama:
الفقه: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
الحكم: إسناد أمر إلى آخر إيجابا أو سلبا
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu
dari yang lain. Misalnya: kita telah menghukumi dunia bila kita
mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita
menisbatkan sifat fana kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya.
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status
perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), apakah
perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau
apakah perbuatannya itu sah, atau batal.
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan
kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika),
seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari
sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang
bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti
api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan
syara’.
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum
syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli fiqh), cukup baginya
mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu
kemampuan mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui
penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis)
atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau
muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat
i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat
Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena
ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu
tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus
diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam
terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya
tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah
berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum
tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari
kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i
dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini,
karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia
lakukan terhadap dalil-dalil.
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(Al-Baqarah: 278).
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun besarnya.
Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada pokok masalah yang bersifat praktis.
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:
معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam
menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta apa
syarat-syarat seorang mujtahid).
Penjelasan Definisi
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah
(sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya menunjukkan
sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat
dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan
dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui
mana hadits yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang berbicara
secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya
lebih rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang
bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu
masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada
dalil dan hukumnya, dan seterusnya.
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat mengambil kesimpulan sebuah
hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah
saw.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mendefinisikan ushul fiqh dengan:
العلم بالقواعد الكلية التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من أدلتها التفصيلية
(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk melakukan
istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap bagian yang ada di bawahnya.
Contoh kaidah umum:
الأصل في الأمر للوجوب
(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah mengandung
konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain yang menjelaskan
maksud lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt
dalam surat Al-Baqarah ayat 43:
((وآتوا الزكاة))
(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap perintah
pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada ayat lain ataupun
hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini
ayat tersebut adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah
dalil yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil
rinci lain yang sejenis.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari
sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan
kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana
metode berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat.
Cakupan Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya
dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan
tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi
(Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah,
dan lain-lain).
Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban
kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter
beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan
dan rahmat Allah.
Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami
lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat
Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits
dapat kita pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya
dengan ayat atau hadits lain.
Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya.
Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
Tujuan Ushul Fiqh
غاية أو ثمرة علم الأصول: الوصول إلى معرفة الأحكام الشرعية بالاستنباط
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah (tujuan) dan
tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat melakukan istinbath
hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara langsung.
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya:
Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.
Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.
Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.
Sandaran Ushul Fiqh
Aqidah/Tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah
serta kedudukannya sebagai sumber hukum/dalil syar’i bersumber dari
pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya
yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap
kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu
tauhid.
Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, maka untuk
memahami maksud setiap kata atau kalimat di dalam Al-Quran dan Sunnah
mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama
mengatakan bahwa:
الأمر يقتضي الفور
(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung tanpa
ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli bahasa
mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: “Ambilkan
saya air minum!” lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas
dicela.
Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:
الأصل في الأمر للوجوب
(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya adalah:
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu merasa
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63)
Akal, misalnya kaidah ushul:
إذا اختلف مجتهدان في حكم فأحدهما مخطئ
(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi suatu masalah,
maka salah satunya pasti salah) dalilnya adalah logika, karena akal
menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah
kemustahilan.
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara untuk
mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang
mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib
baginya untuk bertanya:
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh
terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak bisa
mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan,
sebab tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu
adalah ushul fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan
atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal
ini menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi
fardhu kifayah, wallahu a’lam.”
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung
berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya,
muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah
mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid
dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat
global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil
yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu
berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu
nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu
nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari
kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang
ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
Di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah
tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua permasalahan dapat
langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan beliau mengenai
Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Para sahabat ra menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya
Al-Qur’an dan mengetahui dengan baik sunnah Rasulullah saw, di samping
itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta
kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasulullah saw
mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) untuk dapat
berijtihad, meskipun kaidah-kaidah secara tidak tertulis telah ada dalam
dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan di saat memerlukannya.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah, umat Islam Arab banyak berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang
peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di
kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan
ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang
belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.
Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam berijtihad:
Madrasah ahlir-ra’yi di Irak dengan pusatnya di Bashrah dan Kufah.
Madarasah ahlil-hadits di Hijaz dan berpusat di Mekkah dan Madinah.
Perbedaan dua madrasah ini terletak pada banyaknya penggunaan hadits
atau qiyas dalam berijtihad. Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak
menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh:
Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak dan ketatnya seleksi
hadits yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu
yang beredar di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima
riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi
lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu
banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam
menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan
kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks.
Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.
Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam berfatwa dengan
qiyas, karena situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah:
Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad.
Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar
ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan
logika dalam berfatwa.
Perbedaan kedua madrasah ini melahirkan perdebatan sengit, sehingga
membuat para ulama merasa perlu untuk membuat kaidah-kaidah tertulis
yang dibukukan sebagai undang-undang bersama dalam menyatukan dua
madrasah ini. Di antara ulama yang mempunyai perhatian terhadap hal ini
adalah Al-Imam Abdur Rahman bin Mahdi rahimahullah (135-198 H). Beliau
meminta kepada Al Imam Asy-Syafi’i rahimahullah (150-204 H) untuk
menulis sebuah buku tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan
sebagai pedoman. Maka lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i
sebagai kitab pertama dalam ushul fiqh.
Hal ini tidak berarti bahwa sebelum lahirnya kitab Ar-Risalah prinsip
prinsip ushul fiqh tidak ada sama sekali, tetapi ia sudah ada sejak masa
sahabat ra dan ulama-ulama sebelum Syafi’i, akan tetapi kaidah-kaidah
itu belum disusun dalam sebuah buku atau disiplin ilmu tersendiri dan
masih berserakan pada kitab-kitab fiqh para ‘ulama. Imam Syafi’i lah
orang pertama yang menulis buku ushul fiqh, sehingga Ar Risalah menjadi
rujukan bagi para ulama sesudahnya untuk mengembangkan dan
menyempurnakan ilmu ini.
Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ra memang pantas untuk
memperoleh kemuliaan ini, karena beliau memiliki pengetahuan tentang
madrasah ahlil-hadits dan madrasah ahlir-ra’yi. Beliau lahir di Ghaza,
pada usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan
menghafal Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil
beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah
satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15
tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy - salah
seorang ulama Mekkah - untuk memberi fatwa.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk
Madinah, Imam Malik bin Anas ra (95-179 H) dalam selang waktu 9 tahun -
meskipun tidak berturut-turut - beserta ulama-ulama lainnya, sehingga
beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan fiqh
Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu
Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ra (80-150 H).
Dari latar belakangnya, kita melihat bahwa Imam Syafi’i memiliki
pengetahuan tentang kedua madrasah yang berbeda pendapat, maka beliau
memang orang yang tepat untuk menjadi orang pertama yang menulis buku
dalam ilmu ushul. Selain Ar-Risalah, Imam Syafi’i juga memiliki karya
lain dalam ilmu ushul, seperti: kitab Jima’ul-ilmi, Ibthalul-istihsan,
dan Ikhtilaful-hadits.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh:
Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.
Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan
memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian
mendesak.
Setelah Ar-Risalah, muncullah berbagai karya para ulama dalam ilmu ushul fiqh, di antaranya:
Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).
An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).
Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri (200-270 H).
Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H).
Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-478 H).
Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).
Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).
Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).
Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).
Ushul Al-jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).
Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).
Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).
Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-hanafi (wafat 694 H).
At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul Hammam (wafat 861 H).
Jam’ul-jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).
Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-gharnathi yang dikenal dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790 H).
Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H).
Metode Syafi’iyyah
Kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i adalah kitab pertama yang
menggunakan metode ini dalam penulisannya. Di antara ciri-ciri metode
ini adalah:
Pertama: Metode ini memusatkan diri pada kajian teoritis murni untuk
menghasilkan kaidah-kaidah ushul yang kuat, walaupun kaidah itu mungkin
tidak mendukung mazhab fiqh penulisnya.
Kedua: Dalam mengkaji dan menelurkan kaidah ushul, metode ini sangat
mengandalkan kajian bahasa Arab yang mendalam, menggunakan dalalah
(indikator) yang ditunjukkan oleh lafazh kata atau kalimat, logika akal,
dan pembuktian dalil-dalilnya.
Ketiga: Metode ini benar-benar terlepas dari pembahasan cabang-cabang
fiqh dan fanatisme mazhab, jika masalah fiqh disebutkan ia hanya sebagai
contoh penerapan saja. Metode ini juga menggunakan gaya perdebatan
ilmiah dengan ungkapan:
فإن قلتم… قلنا
“Jika Anda mengatakan…, maka jawaban kami adalah…”
Oleh karena itu para penulis Ushul Fiqh yang menggunakan metode ini
adalah mereka yang berasal dari mazhab yang berbeda: Syafi’iyyah,
Malikiyyah, Hanabilah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan lain-lain.
Kitab-kitab yang menggunakan Metode Syafi’iyyah
Ar-Risalah karya Imam Syafi’i (150-204 H).
At-Taqhrib karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H).
Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-syafi’i (wafat th 436 H).
Al-Burhan karya Abul-Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini Asy-Syafi’i/Imamul-haramain (410-478 H).
Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi’i (wafat 505 H).
Al-‘Uddah Fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad Al-Hambali (380-458 H).
At-Tamhid Fi Ushul Al-Fiqh karya Mahfuzh bin Ahmad bin Husain Abul
Khattab Al-Kalwadzani Al-Hambali – murid Abu Ya’la (432-510 H).
Raudhatun-Nazhir Wa Junnatul-Munazhir karya Muwaffaquddin Abdullah bin
Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali (541-620 H).
Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy Asy-Syafi’i (wafat 606 H).
Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi Asy-Syafi’i (wafat 631 H).
Metode Hanafiyah
Metode ini memiliki karakter sebagai berikut:
Pertama: Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang
Fiqh dimana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul
yang mereka buat. Apabila ada kaidah ushul yang bertentangan dengan
ijtihad fiqh para imam dan ulama mazhab Hanafi, mereka menggantinya
dengan kaidah yang sesuai.
Kedua: Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan hukum-hukum Fiqh
hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi dalam kaidah-kaidah ushul.
Ketiga: Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis.
Metode ini muncul karena para imam mazhab Hanafi tidak meninggalkan
kaidah ushul yang terkumpul dan tertulis bagi murid-murid mereka seperti
yang ditinggalkan Imam Syafi’i untuk murid-muridnya. Dalam buku para
imam mazhab Hanafi, mereka hanya menemukan masalah-masalah Fiqh dan
beberapa kaidah yang tersebar di sela-sela pembahasan Fiqh tersebut.
Akhirnya mereka mengumpulkan masalah-masalah Fiqh yang sejenis dan
mengkajinya untuk ditelurkan darinya kaidah-kaidah ushul.
Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah
Al-Ushul karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340 H).
Al-Ushul karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).
Al-Ushul karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi Al-Hanafi (wafat th 490 H).
Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H).
Ta’sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-Hanafi (wafat th 430 H).
Al-Manar karya Hafizhuddin Abdullah bin Ahmad An-Nasafi Al-Hanafi (wafat th 701 H).
At-Tamhid Fi Takhrij Al-Furu’ ‘alal-Ushul karya Jamaluddin Abdur Rahim bin Al-Hasan bin ‘Ali Al-Isnawi Asy-Syafi’i (704-772 H).
Metode Gabungan
Metode ini muncul pertama kali pada permulaan abad ke-7 Hijriyah melalui
seorang alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan
Muzhaffaruddin Ibnus Sa’ati (wafat th 694 H) dengan bukunya
Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam.
Di antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan
antara kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah
ushul dengan argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut
dalam kasus-kasus fiqh.
Buku-buku penting yang ditulis dengan metode gabungan
Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam karya Ibnus-Sa’ati.
Tanqih Al-Ushul karya Taj Asy-Syari’ah Ubaidullah bin Mas’ud Al-Bukhari
(wafat th 747 H), buku ini adalah ringkasan dari Ushul Bazdawi,
Al-Mahshul karya Ar-Razi, dan Mukhtashar Ibnul-Hajib.
At-Tahrir Fi Ushul Al-Fiqh karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid
yang dikenal dengan nama Ibnul-Hammam Al-Hanafi (790-861 H). Buku ini
lebih dekat ke metode Syafi’iyyah, meskipun penulisnya menyebutkan dalam
muqaddimah bahwa ia menulisnya dengan metode gabungan.
Jam’ul-Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahab bin Ali As-Subki Asy-Syafi’i (wafat th 771 H).
Al-Qawa’id wal-Fawaid Al-Ushuliyyah karya Ali bin Muhammad bin Abbas
al-Hambali yang terkenal dengan sebutan Ibnul-Lahham (752-803 H).
Musallam Ats-Tsubut karya Muhibbuddin bin Abdus-Syakur Al-Hanafi (wafat th 1119 H).
Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Abdullah Asy-Syaukani Asy-Syafi’i (wafat th 1250 H).
Al-Muwafaqat karya Imam Asy-Syathibi
Ada sebuah buku ushul yang patut dicermati karena memiliki gaya
tersendiri dalam penulisannya, yaitu kitab Al-Muwafaqat Fi Ushul
Al-Ahkam karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi Al-Maliki (wafat
790 H). Buku ini istimewa karena penulisnya menggabungkan antara
kaidah-kaidah ushul dengan maqashid (tujuan), asrar (rahasia), serta
hikmah syariat dengan bahasa yang mudah dan penjelasan yang gamblang.
Beberapa Buku Ushul Fiqh Kontemporer
Tas-hil Al-Wushul Ila Ilmil-Ushul karya Muhammad Abdur Rahman Al-Mahlawi Al-Hanafi (wafat 1920 M).
Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Al-Khudhari (wafat 1927 M).
Ushul Al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf (wafat 1955 M).
Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah (wafat 1974 M).
Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Zuhair Abun-Nur.
Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Syaikh Syakir Al Hambali.
Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Wahbah Zuhaili.
Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Zakiuddin Sya’ban.
Ushul At-Tasyri’ Al-Islami karya Ali Hasbullah dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar