Tahlilan bukanlah sebuah kewajiban, jika ditinggalkan berdosa atau
bukanlah perkara yang diwajibkanNya atau ditetapkanNya atau bukanlah
perkara syariat, syarat sebagai hamba Allah.
Jika berkeyakinan bahwa tahlilan adalah sebuah kewajiban yang jika
ditinggalkan berdosa maka keyakinan seperti itu termasuk bid’ah dholalah
karena yang mengetahui atau menetapkan sesuatu perkara atau perbuatan
ditinggalkan berdosa (kewajiban) atau dikerjakan / dilanggar berdosa
(larangan/pengharaman) hanyalah Allah ta’ala
Firman Allah Azza wa Jalla;
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ
الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (32)قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ
بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنزلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (33)
“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang
telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu?
Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang
timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang
tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan
sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Tahlilan adalah amal kebaikan, perkara diluar apa yang diwajibkanNya dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Tahlilan adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselenggarakan oleh
keluarga ahli kubur sedangkan peserta tahlilan bersedekah diniatkan
untuk ahli kubur dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil, pembacaan surah
Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa
Menurut pendapat ahli sunnah pahala, doa dan sodaqoh bisa sampai kepada
orang yang sudah meninggal dan dapat bermanfaat bagi mereka.
Kalangan Ahlusunnah berhujjah dengan beberapa firman Allah Swt dan beberapa hadits shohih diantaranya :
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعْهُمْ ذُرِّيَّتَهُمْ بِاِيْمَانٍ
اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا اَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ
مِنْ شَيْئٍ كُلُّ إمْرِئٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنٌ (تاطور ٣١)
Dan orang – orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti dalam
keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada
mengurangisedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap – tiap manusia
terpikat dengan apa yang dikerjakannya.
Allah juga berfirman :
أَبَائُكُمْ وَأَبْنَائُكُمْ لَاتَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا (النساء :١١)
Tentang orang tuamu dan anak –anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ
عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ
رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي
افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ
أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku
Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu
‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara
mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan
bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab:
Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Tahlilan hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli
kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika
dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang
memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan
bahaya atasnya.
Membaca Surat Yasin
Hadis-hadis dan amaliyah sahabat dalam membaca Yasin diulas lengkap oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
قال الإمام أحمد: حدثنا عارم، حدثنا ابن المبارك، حدثنا سليمان التيمي، عن
أبي عثمان –وليس بالنهدي-عن أبيه، عن مَعْقِل بن يَسَار قال: قاَلَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اِقْرَؤُوْهَا عَلَى
مَوْتَاكُمْ" –يَعْنِي: يس. ورواه أبو داود، والنسائي في "اليوم والليلة"
وابن ماجه من حديث عبد الله بن المبارك، به إلا أن في رواية النسائي: عن
أبي عثمان، عن معقل بن يسار. وَلِهَذَا قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: مِنْ
خَصَائِصِ هَذِهِ السُّوْرَةِ: أَنَّهَا لاَ تُقْرَأُ عِنْدَ أَمْرٍ
عَسِيْرٍ إِلاَّ يَسَّرَهُ اللهُ. وَكَأَنَّ قِرَاءَتَهَا عِنْدَ
الْمَيِّتِ لِتُنْزَلَ الرَّحْمَةُ وَالْبَرَكَةُ، وَلِيَسْهُلَ عَلَيْهِ
خُرُوْجُ الرُّوْحِ، وَاللهُ أَعْلَمُ. قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ
اللهُ: حَدَّثَنَا أَبُوْ الْمُغِيْرَةِ، حَدَّثَنَا صَفْوَانُ قَالَ:
كَانَ الْمَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ: إِذَا قُرِئَتْ –يَعْنِي يس-عِنْدَ
الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا (تفسير ابن كثير / دار طيبة –6 / 562)
"Imam Ahmad berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Bacakanlah surat
Yasin kepada orang-orang yang meninggal (HR Abu Dawud dan al-Nasai).
Oleh karenanya sebagian ulama berkata: diantara keistimewaan surat yasin
jika dibacakan dalam hal-hal yang sulit maka Allah akan memudahkannya,
dan pembacaan Yasin di dekat orang yang meninggal adalah agar turun
rahmat dan berkah dari Allah serta memudahkan keluarnya ruh. Imam Ahmad
berkata: Para guru berkata: Jika Yasin dibacakan di dekat mayit maka ia
akan diringankan (keluarnya ruh)" (Ibnu Katsir V/342-343)
Membacakan Surat al-Fatihah
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ
الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي
وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي
غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ
وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ
فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ
ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)
"(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang
mempelajarinya agar secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya
dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari
teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri
melakukan hal tersebut" (Tafsir al-Razi 18/233-234)
Tahlil 7 Hari
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ مَالِكِ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ
بْنَ حَنْبَلَ ثَنَا أَبِي ثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا
اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ (الثَّوْرِيّ) قَالَ قَالَ طَاوُوْسٌ إِنَّ
الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا
يَسْتَحِبُّوْنَ أْنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ (المطالب
العلية للحافظ ابن حجر 5 / 330 وحلية الأولياء لابي نعيم الاصبهاني ج 4 /
11 وصفة الصفوة لأبي الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20
والبداية والنهاية لابن كثير 9 / 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271
وعمدة القاري شرح صحيح البخارى للعيني 12 / 277)
"Imam Ahmad mengutip pernyataan Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang
mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat
senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut" (Ibnu Hajar dalam
al-Mathalib al-Aliyah V/330, Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya' IV/11,
Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah I/20, Ibnu Katsir (murid Ibnu
Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah IX/270, Ibnu
Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini dalam Umdat al-Qari
Syarah Sahih al-Bukhari XII/277)
Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit
yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara
melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk
mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh
mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu
sampai dan bermanfaat bagi mayyit. Kegiatan semacam ini juga berlangsung
pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz
as-Suyuthiy ;“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah
sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan
dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka
secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para
shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan
sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini
dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam
kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka
mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya
selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’.
Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari
diperbolehkan dalam syari’at Islam. Keterangan diambila dari kitab
“Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2
halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن
القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى
قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو
نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل
حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان
الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya: “Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang
menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin
Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan
sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in,
wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M):
Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah
dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang
masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang
sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah
menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah
menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku
al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus:
Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah
dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang
masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang
sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر
أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى
الصدر الأول ِ
Artinya: “Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama
tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu
masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas
kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai
sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi
pertama, yaitu sahabat.
Tahlilan sampai tujuh hari ternyata tradisi para sahabat Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam dan para tabi’in Siapa bilang budaya
berssedekah dengan menghidangkan makanan selama mitung dino (tujuh hari)
atau empat puluh hari pasca kematian itu budaya hindu ? Di Indonesia
ini banyak adat istiadat orang kuno yang dilestarikan masyarakat.
Semisal Megangan, pelepasan anak ayam, siraman penganten, pitingan jodo,
duduk-duduk di rumah duka dan lainnya.
Akan tetapi bukan berarti setiap adat istiadat atau tradisi orang kuno itu tidak boleh atau haram dilakukan oleh seorang muslim.
Tidak semua budaya itu lantas diharamkan, bahkan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam sendiri mengadopsi tradisi puasa ‘Asyura yang
sebelumnya dilakukan oleh orang Yahudi yang memperingati hari
kemenangannya Nabi Musa dengan berpuasa. Syare’at telah memberikan
batasannya sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat
ditanya tentang maksud kalimat “ Bergaullah kepada masyarakat dengan
perilaku yang baik “, maka beliau menjawab: “Yang dimaksud perkara yang
baik dalam hadits tersebut adalah :
هو موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي “
Beradaptasi dengan masyarakat dalam segala hal selain maksyiat “.
Tradisi atau budaya yang diharamkan adalah yang menyalahi aqidah dan
amaliah syare’at atau hukum Islam. Telah banyak beredar dari kalangan
salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari
diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi
mereka ini? Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak
berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari
dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi
Muhammad Saw dan para tabi’in.
Perhatikan dalil-dalilnya berikut ini :
------------------------------------------
Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :
قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام “ Thowus berkata:
“Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan
mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah)
menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal
dunia pada hari-hari tersebut “. Sementara dalam riwayat lain :
عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا “
Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan
seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia
difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama
empat puluh hari “. Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi
menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk
kategori perawi hadits-hadits shohih. Thowus yang wafat tahun 110 H
sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri
Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang
sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang
dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di
kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.
Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat
melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah
seorang sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam Sementara bila
ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama
ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw
yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa
diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah
Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang
terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).
Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;
ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام
berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam
kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar
(bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah
meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw
telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw
sendiri.
(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).
Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh
hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan
sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bahkan telah dilihat dan
diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.
Sedekah Keluarga Kepada Pelayat
Sayyidina Umar berwasiat agar memberi hidangan makanan untuk para pelayat:
عَنِ اْلأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْقُرَيْشٍ فيِ بَابٍ إِلاَّ دَخَلَ
مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِي مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَ فَأَمَرَ صُهَيْبًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ
يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا
فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ
الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ
فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا وَمَاتَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ فَأَكَلْنَا وَشَرَبْنَا . أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِنْ
هَذَا الطَّعَامِ فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ
فَأَكَلُوْا فَعَرَفْتُ تَأْوِيْلَ قَوْلِهِ (رواه الطبراني وقال الهيثمي
وفيه علي بن زيد وحديثه حسن وبقية رجاله رجال الصحيح مجمع الزوائد ومنبع
الفوائد 5 / 354 والمطالب العالية بزوائد المسانيد للحافظ ابن حجر ج 1 / ص
286 واتحاف الخيرة المهرة بزوائد المسانيد العشرة للحافظ البوصيري 2 / 153
وتاريخ بغداد للخطيب البغدادي 12 / 3574 ومناقب لابن الجوزي 233 بدون
إسناد)
"Dari Ahnaf bin Qais, ia berkata: Saya mendengar Umar berkata: 'Tidak
ada seorang pun dari suku Quraisy yang masuk melalui satu pintu kecuali
akan diikuti oleh orang-orang yang lain'. Saya tidak mengerti apa maksud
ucapan beliau hingga ketika Umar ditusuk, maka beliau memerintahkan
kepada Shuhaib agar disalatkan sebanyak tiga kali, dan memerintahkan
agar pelayat dibuatkan makanan. Maka ketika para sahabat pulang dari
pemakaman, mereka telah disiapkan hidangan, namun mereka terdiam karena
mereka merasa sedih. Kemudian Abbas bin Abdul Muthallib datang dan
berkata: Wahai manusia, sungguh Rasulullah telah wafat, maka kita makan
dan minum. Abu Bakar telah wafat, maka kita makan dan minum. Wahai
manusia makanlah hidangan ini! Kemudian Abbas menggapai makanan dengan
tangannya, dan orang-orang juga turut memakannya. (Ahnaf berkata) Maka
saya tahu apa maksud perkataan Umar" (Diriwayatkan oleh al-Thabrani,
al-Hatsami berkata: Dalam riwayat tersebut terdapat perawi Ali bin Zaid
(bin Judz'an) ia hadisnya berstatus Hasan, dan perawi lainnya adalah
perawi Sahih. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib
al-Aliyah I/286, al-Bushiri dalam Ithaf al-Khiyarah II/153, Khatib
al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad XII/357 dan Ibnu al-Jauzi dalam
al-Manaqib 233, tanpa mencantumkan sanad)
Aisyah, Istri Rasulullah membuat hidangan untuk orang-orang yang bertakziyah:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ
إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ
ثمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ
تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ
عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : التَّلْبِينَةُ مَجَمَّةٌ لِفُؤَادِ
الْمَرِيضِ تَذْهَبُ بِبَعْضِ الْحُزْنِ (رواه البخاري 10 / 123 و 124 في
الطب ، باب التلبينة للمريض ، وفي الأطعمة ، باب التلبينة ، ومسلم رقم
(2216) في السلام ، باب التلبينة مجمة لفؤاد المريض)
"Diriwayatkan bahwa ketika keluarga Aisyah ada yang wafat maka
wanita-wanita berkumpul, kemudian mereka pulang kecuali keluarga dan
orang-orang tertentu saja. Aisyah memerintahkan untuk memasak semacam
makanan adonan yang disebut Talbinah. Aisyah berkata: Makanlah! Karena
saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Talbinah dapat
memperteguh hati orang yang sakit dan dapat menghilangkan sebagian
kesusahannya" (HR al-Bukhari dan Muslim)
Mengiringi Janazah Dengan Tahlil
أَخْرَجَ ابْنُ عَدِيٍّ فِي "الْكَامِلِ" عَنْ إبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي
حُمَيْدٍ ثَنَا أَبُو بَكْرَةَ عَبْدُ الْعَظِيمِ بْنُ حَبِيبٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجِنَازَةِ، إلَّا
قَوْلُ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، مُبْدِيًا، وَرَاجِعًا، انْتَهَى.
وَضَعَّفَ إبْرَاهِيمَ هَذَا، وَجَعَلَهُ مِنْ مُنْكَرَاتِهِ. وَأَعَادَهُ
فِي "تَرْجَمَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ"،
وَضَعَّفَهُ تَضْعِيفًا يَسِيرًا.(نصب الراية 2 / 292)
"Ibnu Umar berkata: Tidak terdengar dari Rasulullah ketika mengiringi
janazah dari belakang kecuali kalimat tahlil, baik ketika mengantar atau
pulangnya" (HR Ibnu Adi dalam al-Kamil dengan sedikit dlaif)
Mengirim Pahala Tahlil Kepada Mayit
Meski tidak ada keterangan secara jelas bahwa Ibnu Taimiyah adalah
pengamal tahlilan, tapi setidaknya ia setuju dan tidak menyalahkan
orang-orang yang tahlilan. Inilah fatwa Ibnu Taimiyah:
وَسُئِلَ : عَمَّنْ " هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ
لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ " حَدِيثٌ
صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى
الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ
الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ .
وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا
صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ(مجموع الفتاوى –24 / 165)
"Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang yang membaca tahlil tujuh puluh
ribu kali dan dihadiahkan kepada mayit sebagai pembebas dari api
neraka, apakah ini hadis sahih atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Jika
seseorang membaca tahlil sebanyak tujuh puluh ribu, atau kurang, atau
lebih banyak, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka Allah akan
menyampaikannya. Hal ini bukan hadis sahih atau dlaif" (Majmu' al-Fatawa
24/165)
Di bagian lain Ibnu Taimiyah juga mengeluarkan fatwa yang seharusnya
juga dijadikan pedoman bagi pengikutnya untuk turut mengamalkan
tahlilan:
وَسُئِلَ : عَنْ قِرَاءَةِ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَصِلُ إلَيْهِ ؟
وَالتَّسْبِيحُ وَالتَّحْمِيدُ وَالتَّهْلِيلُ وَالتَّكْبِيرُ إذَا
أَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهَا أَمْ لَا ؟ فَأَجَابَ
: يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ قِرَاءَةُ أَهْلِهِ وَتَسْبِيحُهُمْ
وَتَكْبِيرُهُمْ وَسَائِرُ ذِكْرِهِمْ لِلَّهِ تَعَالَى إذَا أَهْدَوْهُ
إلَى الْمَيِّتِ وَصَلَ إلَيْهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ(مجموع الفتاوى –24 /
165)
"Ibnu Taimiyah ditanya mengenai bacaan keluarga mayit yang terdiri dari
tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila mereka menghadiahkan kepada
mayit apakah pahalanya bisa sampai atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab:
Bacaan kelurga mayit bisa sampai, baik tasbihnya, takbirnya dan semua
dzikirnya, karena Allah Ta'ala. Apabila mereka menghadiahkan kepada
mayit, maka akan sampai kepadanya" (Majmu' al-Fatawa 24/165)
Bahkan, Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahhabi, di dalam
kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut hal. 74 mencantumkan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan yang lain dari Ibnu Abbas secara
Marfu':
" مَا الْمَيِّتُ فِي قَبْرِهِ إِلاَّ كَالْغَرِيْقِ الْمُتَغَوِّثِ
يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ أَبٍ أَوْ مِنْ أَخٍ أَوْ صَدِيْقٍ
فَإِذَا لَحِقَتْهُ كَانَتْ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا
فِيْهَا وَاِنَّ اللهَ لَيُدْخِلُ عَلَى اَهْلِ اْلقُبُوْرِ مِنْ دُعَاءِ
اَهْلِ اْلاَرْضِ اَمْثَالَ الْجِبَالِ وَإِنَّ هَدَايَا اْلأَحْيَاءِ
لِلْأَمْوَاتِ اْلاِسْتِغْفَارُ لَهُمْ"
"Keadaan mayit di dalam kuburnya tak lain seperti orang tenggelam yang
meminta pertolongan. Ia menunggu doa dari bapaknya, saudaranya dan
temannya. Jika doa telah sampai kepadanya, maka baginya lebih berharga
daripada dunia dan seisinya. Sesungguhnya Allah memasukkan doa dari
orang hidup ke dalam alam kubur laksana sebesar gunung-gunung. Dan
sesungguhnya hadiah dari orang yang hidup kepada orang yang mati adalah
istighfar (minta ampunan bagi mereka)"
Susunan Dzikir dalam Tahlil
وَسُئِلَ : عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ :
هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ
يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ
لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ
وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ
وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالْمُنْكِرُ يُعْمِلُ السَّمَاعَ مَرَّاتٍ بِالتَّصْفِيقِ وَيُبْطِلُ
الذِّكْرَ فِي وَقْتِ عَمَلِ السَّمَاعِ " فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ
لِذِكْرِ اللَّهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ
وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي
الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ
قَالَ : { إنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا
مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى
حَاجَتِكُمْ } وَذَكَرَ الْحَدِيثَ (مجموع الفتاوى –22 / 302)
"Ibnu Taimiyah ditanya tentang seseorang yang ingkar terhadap kelompok
ahli dzikir. Ia berkata bahwa dzikir ini bid'ah, suara keras dalam
dzikir juga bid'ah. Kelompok ahli dzikir ini memulai dengan bacaan
al-Quran dan mengkhatamkannya, kemudian berdoa untuk umat Islam baik
yang masih hidup atau yang sudah mati. Mereka mengumpulkan bacaan
tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah dan bershalawat kepada
Rasulullah Saw….? Ibnu Taimiyah menjawab: Berkumpul untuk berdzikir
kepada Allah, mendengarkan bacaan al-Quran dan doa, adalah amal shaleh
dan bentuk pendekatan diri atau ibadah yang paling utama dalam beberapa
waktu. Dalam hadis sahih Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah
memiliki malaikat yang berpatroli di bumi. Apabila mereka berjumpa
dengan kaum yang berdzikir kepada Allah, maka malaikat tersebut berseru:
Kemarilah untuk memenuhi hajat kalian…" (Majmu' al-Fatawa 22/302)
Baca al-Quran di Kuburan
Membaca al-Quran di kuburan berdasarkan dalil hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ
تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ
رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ
الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ(رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في
الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
"Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw
bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah
diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya
dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan
penutup surat al-Baqarah di kuburnya" (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No
13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin
Maid 4/449)
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184)
"HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)
Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi'iyah tentang membaca al-Quran di kuburan:
وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ
وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ
عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)
"Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya
dan mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan
oleh al-Syafi'i dan disepakati oleh ulama Syafi'iyah" (al-Nawawi,
al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab V/311)
قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ : يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ
شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ ، قَالُوْا : فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ
كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية -1 / 162)
"Imam Syafii dan para sahabatnya berkata: Disunahkan membaca sebagian
dari al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka
mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus"
(al-Adzkar dan al-Majmu' karya Imam al-Nawawi)
وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ
الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ
بِهَا (الروح لابن القيم –1 / 11)
Al-Za'farani bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di
kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشُّعْبِي قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا
مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اِخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ
عِنْدَهُ الْقُرْآنَ (الروح لابن القيم - 1 / 11)
"Al-Khallah mengutip dari al-Syu'bi bahwa jika salah seorang dari
sahabat Anshar meninggal, maka mereka bergiliran membaca al-Quran di
kuburannya" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ
حَدَّثَنِى عَلِىُّ بْنُ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقًا قَالَ
كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ وَمُحَمَّدٍ بْنِ قُدَامَةَ
الْجَوْهَرِى فِي جَنَازَةٍِ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ
ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ
اْلقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ
الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ ِلأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ يَا
أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِي مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيّ قَالَ ثِقَةٌ
قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا ؟ قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ اْلعَلاَءِ اللَّجَّاجِ عَنْ أَبِيْهِ
أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ
الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِي
بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ
(الروح لابن القيم - 1 / 10)
"Ali bin Musa al-Haddad (orang yang sangat jujur) berkata: Saya bersama
Ahmad bin Hanbal dan Muhammad Ibnu Qudamah al-Jauhari menghadiri
pemakaman janazah. Setelah dimakamkan, ada orang laki-laki buta membaca
al-Quran di dekat kubur tersebut. Ahmad berkata kepadanya: Wahai
saudara! Membaca di dekat kubur adalah bid'ah. Setelah kami keluar dari
kuburan, Muhammad ibnu Qudamah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: Wahai
Abu Abdillah. Apa penilaianmu tentang Mubasysyir al-Halabi? Ahmad
menjawab: Ia orang terpercaya. Ibnu Qudamah bertanya lagi: Apakah engkau
meriwayatkan hadis dari Mubasysyir? Ahmad bin Hanbal menjawab: Ya. Saya
mendapatkan riwayat dari Mubasysyir bin Abdirrahman dari ayahnya, bahwa
ayahnya berpesan agar setelah dimakamkan dibacakan di dekat kepalanya
dengan pembukaan al-Baqarah dan ayat akhirnya. Ayahnya berkata bahwa ia
mendengar Ibnu Umar berwasiat seperti itu juga. Kemudian Imam Ahmad
berkata kepada Ibnu Qudamah: Kembalilah, dan katakan pada lelaki tadi
agar membacanya!" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ
حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي
عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ
أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ
أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ
كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ
صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً
وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ
عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl
Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah
menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail
dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa
beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh
pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa
seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau
pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada
kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap
kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah,
setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah
sedekah (HR Muslim 1674)
Imam Syafi’i ra , ulama yang telah diakui oleh jumhur ulama dari dahulu
sampai sekarang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Ulama yang
paling baik dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah dan Beliau masih
bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh, sebagaimana yang
disampaikan oleh Imam Nawawi
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ
شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً
“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca
sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan
al-Qur’an disisi quburnya maka itu bagus” (Riyadlush Shalihin [1/295]
lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ;
al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar
Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai seandainya dibacakan al-Qur’an
disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal
Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Begitupula Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’
قال الحافظ بعد تحريجه بسنده إلى البيهقى قال حدثنا أبو عبدالله الحافظ قال
حدثنا ابو العباس بن يعقوب قال حدثنا العباس بن محمد قال سألت يحي بن معين
عن القرأءة عند القبر فقال حدثنى مبشر بن أسماعيل الحلبي عن عبد الرحمن بن
اللجلاج عن أبيه قال لبنيه إذا أنا مت فضعونى فى قبرى وقولوا بسم الله
وعلى سنه رسول الله وسنوا على التراب سنا ثم إقرأوا عند رأسى أول سوره
البقرة وخاتمتها فإنى رأيت إبن عمر يستحب ذلك ,قال الحافظ بعد تخريجه هذا
موقوف حسن أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان
صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند
القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له
محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال
كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه
أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر
يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه
al-Hafidh (Ibnu Hajar) berkata setelah mentakhrijnya dengan sanadnya
kepada al-Baihaqi, ia berkata ; telah menceritakan kepada kami Abu
Abdillah al-Hafidz, ia berkata telah menceritakan kepada kami Abul
‘Abbas bin Ya’qub, ia berkata, telah menceritakan kepada kami al-‘Abbas
bin Muhammad, ia berkata, aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in tentang
pembacaan al-Qur’an disamping qubur, maka ia berkata ; telah
menceritakan kepadaku Mubasysyir bin Isma’il al-Halabi dari ‘Abdur
Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata kepada putranya, apabila
aku telah wafat, letakkanlah aku didalam kuburku, dan katakanlah oleh
kalian “Bismillah wa ‘alaa Sunnati Rasulillah”, kemudian gusurkan tanah
diatasku dengan perlahan, selanjutnya bacalah oleh kalian disini
kepalaku awal surah al-Baqarah dan mengkhatamkannya, karena sesungguhnya
aku melihat Ibnu ‘Umar menganjurkan hal itu. Kemudian al-Hafidh (Ibnu
Hajar) berkata setelah mentakhrijnya, hadits ini mauquf yang hasan, Abu
Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari Abu
Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur.
Ia berkata : kami shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala
telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca
al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini,
sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala
kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu
Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad
berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya
?”, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah
menceritakan kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia
berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan
mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu
‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu
“lanjutkanlah bacaaanmu”.
Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar
–radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah
disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah
al-Mu’alla bin Abdurrahman
Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut :
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
Hal yang perlu kita ingat selalu adalah yang dapat memahami dan
menjelaskan perkataan Imam Mazhab yang empat adalah pengikut Imam Mazhab
yang empat bukan pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, pengikut
ulama Ibnu Taimiyyah ataupun pengikut ulama Al Albani dan
lain-lainnya.Pengikut Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang
sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam
Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah
dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Imam An Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan
Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al
Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil
pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat
Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai.
Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu
riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.
Hal ini dijelaskan contohnya oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :
أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل
ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل
إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور
المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو
نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن
إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh
Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan
al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami
menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa
sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa,
pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai
qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di
hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau
meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ;
“yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits
berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan
(ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara
yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”.
(Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari
asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له
“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila
pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak
meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj
lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].) Anjuran sedekah untuk yang telah
wafat
Dari kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:
قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن
القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى
قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو
نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل
حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان
الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
Artinya:
“Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang
menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin
Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari Sufyan
sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in,
wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang
meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7
hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan
makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari
tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah
menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah
menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku
al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus:
Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah
dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang
masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang
sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر
أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى
الصدر الأول
ِArtinya:
“Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari
merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam
Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan
tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang,
dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama,
yaitu sahabat.
Kaiatnnya dengan firman Alloh dalam Sura an-Najm ayat 39 yang sering
dijadikan sebagai dalail bagi orang yang mengatakanbahwa do’a atau
pahala yang tidak sampai kepada mayit yaitu:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى (النجم: ٣٩)
“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS,an-Najm:39)
Berikut ini beberapa penafsiran para ulama ahli tafsir mengenai ayat di atas:
1. Syekh Sulaiman bin Umar Al-‘Ajili menjelaskan
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِي
هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ أَيْ وَإِنَّمَا هُوَ فِي صُحُفِ مُوْسَى
وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ بِقَوْلِهِ“وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِيَّتَهُمْ” فَأُدْخِلَ اْلأَبْنَاءُ فِي اْلجَنَّةِ بِصَلَاحِ
اْللأَبَاءِ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ إِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ إِبْرَاهِيْمَ
وَمُوْسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَأَمَّا هَذِهِ اْلأُمَّةُ فَلَهُمْ مَا
سَعَوْا وَمَا سَعَى لَهُمُ غَيْرُهُمْ (الفتوحات الإلهية,٤.٢٣٦)
“Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau
diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam
syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi
Muhammad SAW kandungan QS. Al-Najm 39 tersebut dihapus dengan firman
Allah SWT وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ Ayat ini menyatakan bahwa
seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah
mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku
dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat
Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri
atau amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain” (Al-Futuhat
Al-Ilahiyyah, Juz IV, hal 236)
2. Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :
وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَلَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى
فَهُوَ مُقَيًدٌ بِمَا إِذَالَمْ يَهَبِ الْعَامِلُ ثَوَابَ عَمَلِهِ
لِغَيْرِهِ وَمَعْنىَ ألْاَيَةِ أَنًهُ لَيْسَ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي
الْأَخِرَةِ إِلًا مَا عَمِلَهُ فِي الدُّنْيَا مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ
غَيْرُهُ عَمَلًا وَيَهَبَهُلَه فَاِّنَهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم
الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٢٣-٢٤ )
“Firman Allah SWT وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى perlu
diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak
menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah,
bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan
yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang
menghadiahkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang
mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada
orang yang meninggal dunia tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi
Ma’tam Al-Arbai’n, 23-24)
3. Menurut Syekh Muhammad Al-Arabi:
أُرِيْدُ اْلِإنْسَانُ اْلكَافِرُ وَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَلَهُ مَاسَعَى أَخُوْهُ (اسعاف المسلمين والمسامات,٤٧)
“Yang dimaksud dengan kata “al-insan” ialah orang kafir. Sedangkan
manusia yang beriman, dia dapat menerima usaha orang lain. (Is’af
Al-Muslimin wa Al-Muslimat, 47).
Di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39 yang paling mudah
dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak
mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa
seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang
yang hidup, adalah tafsir dari Abi Al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Baghdadi
Al-Hanbali (431-531 H) sebagai berikut:
اَلْجَوَابُ الْجَيِّدُ عِنْدِيْ أَنْ يُقَالَ أَلْإِنْسَانُ بِسَعْيِهِ
وَحُسْنِ عُشْرَتِهِإِكْتَسَبَ اَلْأَصْدِقَاءَ وَأَوْلَدَ اْلأَوْلَادَ
وَنَكَحَ اْلأَزْوَاجَ وَأَسْدَى اْلخَيْرَوَتَوَدَّدَ إِلَى النَّاسِ
فَتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَأَهْدَوْا لَهُ اْلعِبَادَاتِ وَكَانَ ذَلِكَ
أَثَرُسَعْيِهِ (الروح, صحيفه: ١٤٥)
“Jawaban yang paling baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya
sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia
akan memperolehbanyak teman, melahirkan keturunan,menikahi perempuan,
berbuat baik, serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan
dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala
ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada
hakikatnyamerupakan hasil usahanya sendiri.” (Al-Ruh, 145).
Dr. Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqh kontemporer dari Mesir menjelaskan:
وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّمَاسَعَى فَإِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ
يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ بَارًا بِهِمْ فِى
حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّمُوْا عَلَيْهَ وَلَاتَطَوَّعُوْا مِنْ أَجْلِهِ
فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَإِحْسَانِهِ
(الفقه الوضح,ج: ١,ص: ٤٤٩)
“Menghadiah pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan
dengan ayat وان ليس للإنسا الإماسعى karena pada hakikatnya pahala yang
dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya
sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu
tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya.
Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang
telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang
dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (Al-Fiqh Al-Wadlih, juz I, hal
449).
Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas jelaslah bahwa QS.
Al-Najm ayat 39 bukanlah dalil yang menjelaskan tentang tidak sampainya
pahala kepada orang yang sudah meninggal, QS. Al-Najm ayat 39 tersebut
bukanlah ayat yang melarang kita untuk mengirim pahala, do’a, shodaqoh
kepada orang yang telah meninggal.
Adapun hadits Abu Hurairoh RA yang sering dijadikan dalil untuk melarang
orang yang tahlilan, berdo’a, dan bersodaqoh untuk orang yang sudah
meninggal yaitu hadits yang berbunyi:
عَنْ أَبِِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى
الله عليه وسلّم قَالَ, إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ إِنْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (صحيح مسلم,ص:٣٠٨٤ )
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Jika
manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua
orang tuanya” (Shahih Muslim, 3084).
Yang dimaksud dengan ‘terputus’ dalam hadits di atas adalah amalnya sendiri, sedangkan amal orang lain tidak terputus.
Mengenai hadits tersebut Ibnu Al-Qayyim berpendapat:
فَإِنَّهُ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَقُلْ اِنْتِفَاعُهُ, وَإِنَّمَا
أَخْبَرَ عَنِ انْقِطَاعِعَمَلِهِ وَأَمَّا عَمَلُ غَيْرِهِ
فَهُوَلِعَامِلِهِ فَإِنْ وَهَبَهُ لَهُ وَصَلَ إِليْهِ ثَوَابُ عَمَلِ
الْعَامِلِ (الروح : ١٤٦)
“Dari hadits tersebut Rasulullah SAW tidak bersabda “ … akan terputus
manfaatnya …”. Beliau hanya menjelaskan bahwa amalnya akan terputus.
Amal orang lain adalah tetap menjadi milik pelakunya, tapi bila
dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, maka pahala amalan
itu akan sampai kepadanya. (Al-Ruh, 146).
Ibnu Hazm juga berpendapat:
أَنَّهُ لَايُفِيْدُ إِلَّا انْقِطَاعَ عَمَلِ الْمَيِّتِ لِنَفْسِهِ
فَقَطْ وَلَيْسَ فِيْهِ دِلَالَةٌ عَلَى انْقِطَاعِ عَمَلِ غَيْرِهِ عَنْهُ
أَصْلًا وَلَا اْلمَنْعَ مِنْ ذَلِكَ(حكم الشريعة الإسلامية في مأتم
الأربعين : ٤٣ )
“Hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah
meninggal dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal
orang lain yang dihadiahkan kepadanya serta tidak juga melarang hal
tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arba’in, 43)
Dari sini maka kita harus yaqin bahwa menghadiahkan pahala ibadah kepada
orang yang meninggal dunia itu ada manfaatnya, karena dengan izin Alloh
SWT akan sampai kepada orang yang dimaksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar