الأعمال صور قائمة وأرواحها وجود سر الإخلاص فيها
"Amal-amal yang dhohir itu ibarat gambaran-gambaran yang berdiri, sedangkan ruhnya adalah wujudnya ikhlas di dalamnya"
Penjelasan Hikmah
Himah ini merupakan sepucuk hikmah yang menyempurnakan salah satu
hikmahnya Ibnu 'Atha'illah yang artinya : "Bermacam-macam jenisnya amal
karena bermacam-macam tujuannya".
Di dalam hikmah ini Ibnu 'Atha'illah mencoba mengulas tentang pentingnya
ikhlas. Setelah kita mengetahui bahwa amal-amal yang di gunakan seorang
muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tidak hanya terbatas
pada hal-hal yang wajib, melainkan mencakup semua hal yang bisa memberi
manfaat dan maslahah kepada individu maupun masyarakat. Dan setelah kita
mengerti bahwa Allah membagi amal-amal tersebut kepada para hamba-Nya
sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mereka, maka Ibnu 'Atha'illah
mengingatkan kita melalui hikmah ini, bahwa untuk mencapai ridla Allah
SWT, amal-amal ini di syaratkan harus di lakukan dengan ikhlas tanpa
tercampur dengan tujuan-tujuan lain kecuali hanya mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
Untuk mengetahui makna hikmah ini kita harus mengerti bahwa setiap
ibadah yang dilakukan oleh setiap muslim untuk mencapai ridla Allah SWT
itu tersusun dari dua komponen, yaitu amal dan tujuan (Qasdu). Sehingga
amal ibadah yang baik dan bermanfaat secara dhahirnya. Akan tetapi tidak
ada niat mencari ridla Allah SWT, maka amal tersebut tidak ada
harganya. Sedangkan niat yang baik tanpa di wujudkan dengan amal ibadah,
maka niat tersebut tidak ada harganya di dalam kebanyakan hal. Ini di
karenakan niat yang baik tanpa di wujudkan dengan amal terkadang bisa
bernilai ketika seseorang tidak mampu melakukannya. Contohnya adalah
orang miskin yang berniat untuk shadaqah, hanya saja dia tidak mampu
melakukannya, karena tidak memiliki uang dan harta.
Penjelasan dari Alqur'an Dan Hadits
قُلْ اِنّيْۤ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدّيْنَ. وَ اُمِرْتُ ِلاَنْ اَكُوْنَ اَوَّلَ الْمُسْلِمِيْنَ.
Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku
diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”.
[QS. Az-Zumar : 11-12]
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم
يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا
هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia
berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang
hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang
hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin
dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan.”
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim
bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin
Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya
yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)
Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan
amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat
(karena Allah ta’ala). Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah
dan tempatnya di hati. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena
Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah. Seorang mu’min
akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya. Semua perbuatan
yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari
keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah. Yang membedakan antara
ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat. Hadits di atas
menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan
pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah
membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan
perbuatan.
Surat al-baqarah ayat 139
قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (١٣٩)
Katakanlah: “Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah,
Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan
bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,
Surat Al-A’raf ayat 29
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ
مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ
تَعُودُونَ (٢٩)
Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. dan (katakanlah):
“Luruskanlah muka (diri)mu[A] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah
menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali
kepadaNya)”.
[A] Maksudnya: tumpahkanlah perhatianmu kepada sembahyang itu dan pusatkanlah perhatianmu semata-mata kepada Allah.
Tentang pengertian ikhlas dalam ajaran islam terbagi dalam 2 sudut
padang. Pengertian menurut bahasa dan pengertian berdasarkan istilah.
Menurut bahasa, pengertian ikhlas artinya tulus dan bersih.
Sedangkan menurut istilah, makna dan arti ikhlas adalah mengerjakan suatu kebaikan dengan semata-mata mengharap rida Allah SWT.
Bagi orang yang ikhlas, suatu perbuatan baik tidak harus dikaitkan
dengan imbalan atau balasan, apalagi hal itu diharapkannya dari manusia
atau orang yang diberi kebaikan oleh kita, melainkan hanya semata-mata
ingin mendapatkan rida Allah SWT. Jadi meskipun tidak mendapatkan
imbalan apa pun, dan dari pihak mana pun, ia akan tetap melakukan
perbuatan baiknya itu.
Ikhlas adalah sikap perbuatan yang timbul karena adanya keinginan
sendiri, bukan karena perintah atau paksaan orang lain. Jika mengerjakan
sesuatu karena mengharap imbalan dari suatu pihak tertentu maka belum
termasuk ikhlas. Misalnya, mengerjakan salat karena ingin dipuji oleh
orang tua, orang lain, atau pacar dan mengharap pujian yang lain berarti
ibadah salat tersebut tidak ikhlas, bahkan tidak mendapatkan pahala
karena termasuk perbuatan "riya".
Sikap ikhlas sangat penting dimiliki oleh setiap muslim, sebab hidup ini
akan terasa berat bagi orang yang tidak ikhlas. Namun sebaliknya akan
terasa ringan bagi mereka yang berhati ikhlas dan tulus. Selain itu,
perilaku ikhlas juga dapat mendatangkan berbagai keuntungan bagi
pelakunya.
Berikut ini adalah manfaat dan keuntungan dari sikap dan perilaku ikhlas antara lain sebagai berikut.
Pekerjaan terasa ringan dan menyenangkan, sebab dilakukan dengan senang hati dan sepenuh hati.
Bekerja tanpa beban dan paksaan karena yang memerintah hati nuraninya, bukan orang lain atau hawa nafsunya.
Semakin banyak berbuat kebaikan, semakin senang hatinya karena telah mampu menolong banyak orang atau pihak.
Mengerjakannya dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Bebas dari harapan untuk dipuji orang atau disanjung oleh pihak lain.
Melakukannya dengan penuh pengabdian.
Allah SWT. menyeru kita untuk selalu ikhlas dalam beramal, khususnya
dalam beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana dalil alam firman-Nya:
إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ
مُخۡلِصٗا لَّهُ ٱلدِّينَ . أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلۡخَالِصُۚ
Artinya: "Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu
(Muhammad) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan tulus
ikhlas beragama kepada-Nya. Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang
murni (dari syirik) ...." (Q.S. Az-Zumar: 2-3)
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (١١)
Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (١٤)
Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”.
Surat Al-Isra’ ayat 80
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا (٨٠)
dan Katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar
dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah
kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong[A].
[A] Maksudnya: memohon kepada Allah supaya kita memasuki suatu ibadah
dan selesai daripadanya dengan niat yang baik dan penuh keikhlasan serta
bersih dari ria dan dari sesuatu yang merusakkan pahala. ayat ini juga
mengisyaratkan kepada Nabi supaya berhijrah dari Mekah ke Madinah. dan
ada juga yang menafsirkan: memohon kepada Allah s.w.t. supaya kita
memasuki kubur dengan baik dan keluar daripadanya waktu hari-hari
berbangkit dengan baik pula.
Hadits Rosululloh tentang Pentingnya Sifat Ikhlas
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda,
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : اِنَّ اللهَ لاَ
يَنْظُرُ اِلىَ اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلىَ صُوَرِكُمْ وَ لٰكِنْ يَنْظُرُ
اِلىَ قُلُوْبِكُمْ. مسلم
“Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak
pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai)
keikhlasan hatimu”. [HR. Muslim]
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,
وَ رَوَى اْلبُخَارِيُّ وَ مُسْلِمٌ: لَوْ اَنَّ اَحَدُكُمْ يَعْمَلُ فىِ
صَخْرَةٍ صَمَّاءَ لَيْسَ لَهَا بَابٌ وَ لاَ كَوَّةٌ لَخَرَجَ عَمَلُهُ
كَائِنًا مَا كَانَ. متفق عليه
“Seandainya salah seorang di antara kamu melakukan suatu perbuatan di
dalam gua yang tidak ada pintu dan lubangnya, maka amal itu tetap akan
bisa keluar (tetap dicatat oleh Allah) menurut keadaannya”. [HR. Bukhari
dan Muslim]
Asy-Syaikhooni (Bukhari dan Muslim) meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW
pernah ditanya tentang orang yang berperang dengan gigih dan penuh
keberanian, orang yang berperang dengan semangat yang agak lemah dan
orang yang berperang karena riya’ (ingin dippuji orang).
Siapa diantara mereka itu yang termasuk dijalan Allah ?
Maka Rasulullah SAW menjawab,
وَ اَخْرَجَ الشَّيْخَانِ ، سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ ص عَنِ الرَّجُلِ
يُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَ يُقَاتِلُ رِيَاءً، اَيُّ
ذٰلِكَ فِى سَبِيْلِ اللهِ ؟ فَقَالَ ص: مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ
اللهِ هِيَ اْلعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ. متفق عليه
“Barangsiapa yang berperang agar supaya kalimat Allah itu yang paling
tinggi, maka dialah yang berperang dijalan Allah”. [HR. Bukhari dan
Muslim]
Dari Ibnu Umar RA ia berkata : “Rasulullah SAW telah bersabda :
“Apabila Allah menurunkan adzab kepada sekelompok kaum, maka adzab itu
akan menimpa orang-orang yang berada di dalamnya. Kemudian mereka akan
dibangkitkan berdasar niat mereka masing-masing” [HR. Bukhari dan
Muslim]
عَنْ سَعْدِ بْنِ اَبِى وَقَّاصٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اِنَّكَ
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللهِ اِلاَّ اُجِرْتَ
عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فَمِ امْرَأَتِكَ. البخارى
Dari Sa’ad bin Abi Qaqqash, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Sesungguhnya kamu, tidaklah menafkahkan suatu nafkah untuk mencari
ridlo Allah dengannya, melainkan kamu diberi pahala atasnya, hingga
sesuatu yang kamu berikan pada mulut isterimu”. [HR. Bukhari]
فَدَخَلُوْهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ اْلجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ
اْلغَارَ فَقَالُوْا: اِنَّهُ لاَ يُنْجِيْكُمْ مِنْ هٰذِهِ الصَّخْرَةِ
اِلاَّ اَنْ تُدْعُوا اللهَ تَعَالَى بِصَالِحِ اَعْمَالِكُمْ. قَالَ
رَجُلٌ مِنْهُمْ: اَللّهُمَّ كَانَ لِى اَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيْرَانِ وَ
كُنْتُ لاَ اَغْبِقُ قَبْلَهُمَا اَهْلاً وَ لاَ مَالاً فَنَأَى بِى
طَلَبُ الشَّجَرِ يَوْمًا فَلَمْ اُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا
فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوْقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ فَكَرِهْتُ
اَنْ اُوْقِظَهُمَا وَ اَنْ اَغْبِقَ قَبْلَهُمَا اَهْلاً اَوْ مَالاً،
فَلَبِثْتُ وَ اْلقَدَحُ عَلَى يَدِى اَنْتَظِرُ اسْتَيْقَظَهُمَا حَتَّى
بَرَقَ الْفَجْرُ وَ الصّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمِيَّ
فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوْقَهُمَا، اَللّهُمَّ اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ
ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هٰذِهِ
الصَّخْرَةِ. فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ اْلخُرُوْجَ
مِنْهُ. قَالَ اْلاٰخَرُ: اَللّهُمَّ اِنَّهُ كَانَتْ لِى ابْنَةُ عَمّ
كَانَتْ اَحَبَّ النَّاسِ اِلَيَّ. و فى رواية: كُنْتُ اَحَبُّهَا كَاَشَدّ
مَا يُحِبُّ الرّجَالُ النّسَاءَ فَاَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسِهَا
فَامْتَنَعَتْ مِنّى حَتَّى اَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السّنِيْنَ
فَجَاءَتْنِى فَاَعْطَيْتُهَا عِشْرِيْنَ وَ مِائَةَ دِيْنَارٍ عَلَى اَنْ
تُخَلّيَ بَيْنِى وَ بَيْنَ نَفْسِهَا فَفَعَلْتُ حَتَّى اِذَا قَدَرْتُ
عَلَيْهَا. و فى رواية: فَلَمَّا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتْ:
اِتَّقِ اللهَ وَ لاَ تَفُضَّ اْلخَاتَمَ اِلاَّ بِحَقّهِ. فَانْصَرَفْتُ
عَنْهَا وَ هِيَ اَحَبُّ النَّاسِ اِلَيَّ وَ تَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِى
اَعْطَيْتُهَا، اَللّهُمَّ اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ ابْتِغَاءَ
وَجْهِكَ فَاَفْرِجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ. فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ
غَيْرَ اَنَّهُمْ لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ مِنْهَا. وَ قَالَ
الثَّالِثُ: اَللّهُمَّ اسْتَأْجَرْتُ اُجَرَاءَ وَ اَعْطَيْتُهُمْ
اَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِى لَهُ وَ ذَهَبَ
فَثَمَّرْتُ اَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ اْلاَمْوَالَ، فَجَاءَنِى
بَعْدَ حِيْنٍ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللهِ، اَدّ اِلَيَّ اَجْرِى.
فَقُلْتُ: كُلُّ مَا تَرَى مِنْ اَجْرِكَ مِنَ اْلاِبِلِ وَ اْلبَقَرِ وَ
اْلغَنَمِ وَ الرَّقِيْقِ. فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللهِ، لاَ تَسْتَهْزِئُ
بِى. فَقُلْتُ: لاَ اَسْتَهْزِئُ بِكَ. فَاَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ
فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا، اَللّهُمَّ اِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذٰلِكَ
ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَاَفْرِجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيْهِ. فَانْفَرَجَتِ
الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوْا يَمْشُوْنَ. متفق عليه
Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab RA ia berkata : “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :
“Terjadi pada masa dahulu sebelum kamu, ada tiga orang berjalan-jalan
hingga terpaksa bermalam di dalam gua. Setelah mereka itu masuk ke dalam
gua itu, tiba-tiba jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutup
pintu gua itu, sehingga mereka tidak dapat keluar. Maka mereka berkata:
Sesungguhnya tidak ada yang bisa menyelamatkan kamu sekalian dari bahaya
batu ini, kecuali kalian berdo’a kepada Allah Ta’ala dengan amal-amal
shalih yang pernah kamu lakukan dahulu.
Lalu salah seorang di antara mereka berdo’a :
“Ya Allah, dahulu saya mempunyai ayah dan ibu yang sudah tua, dan saya
biasa tidak memberi minuman susu kepada seorangpun sebelum keduanya,
baik kepada keluarga atau hamba sahaya.
Dan pada suatu hari, saya menggembala agak jauh sehingga tidak bisa
kembali kepada keduanya kecuali telah malam dan ayah ibu saya telah
tidur. Lalu saya memerah susu untuk keduanya.
Aku mendapati keduanya sedang tidur nyenyak dan sayapun tidak mau
membangunkan keduanya, dan sayapun tidak mau memberikan minuman itu
kepada siapapun sebelum kepada keduanya, baik kepada keluarga maupun
kepada hamba sahaya.
Maka saya tetap menunggu bangunnya ayah dan ibuku dengan membawa bejana tempat susu itu hingga terbit fajar.
Maka ayah ibuku bangun lalu minum susu yang saya perah itu. Padahal
malam itu juga anak-anak saya menangis minta susu itu didekat kakiku. Ya
Allah, jika saya berbuat itu benar-benar karena mengharapkan
keridloan-Mu, maka lapangkanlah keadaan kami ini dari bahaya batu ini”.
Lalu batu itu bergeser sedikit, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu. Orang yang lain (orang yang kedua) :
“Ya Allah, dahulu saya pernah jatuh cinta pada seorang gadis anak paman saya”.
Dan dalam suatu riwayat,
“Saya sangat mencintainya sebagaimana orang-orang laki-laki jatuh cinta
kepada wanita, sampai saya ingin berzina padanya, tetapi dia selalu
menolak.
Sampailah pada suatu hari, tibalah tahun paceklik dan wanita yang sangat
saya cintai itu menderita kelaparan, lalu ia datang minta bantuan
kepadaku, maka aku berikan kepadanya uang seratus dua puluh dinar dengan
janji bahwa dia mau menyerahkan dirinya kepada saya, sehingga ketika
saya berleluasa padanya”,
dan dalam suatu riwayat disebutkan :
“Maka setelah saya berada diantara dua kakinya, tiba-tiba ia berkata :
“Takutlah kamu kepada Allah dan janganlah kau pecahkan tutup kecuali
dengan halal !”
Lalu saya bangun darinya meskipun saya sangat mencintainya, dan saya biarkan uang emas yang telah saya berikan kepadanya itu.
“Ya Allah, jika saya berbuat yang demikian itu semata-mata mengharap keridloan-Mu, maka hindarkanlah kami dari bahaya ini”
Lalu batu itu bergeser sedikit, tetapi mereka tetap belum bisa keluar dari gua itu.
Dan orang yang ketiga berdo’a :
“Ya Allah, dahulu saya mempunyai banyak buruh dan karyawan. Dan pada
waktu gajian saya telah memberikan gajinya kepada mereka itu, kecuali
satu orang yang belum saya berikan gajinya, karena dia pergi dan tidak
mengambil gajinya itu.
Kemudian gaji orang tersebut saya kembangkan sehingga menjadi harta yang
banyak. Kemudian setelah waktu yang lama, orang itu datang kepada saya
dan berkata : “Hai hamba Allah, berikan kepadaku gaji saya !”
Lalu saya menjawab :
“Semua yang kamu lihat itu dari gajimu, berupa onta, sapi, kambing dan budak penggem-bala itu”.
Dia berkata :
“Hai hamba Allah, janganlah kamu mengejek kepadaku”
Lalu saya berkata :
“Saya tidak mengejek kepadamu”
Lalu dia mengambil semuanya itu dan menggiringnya, dan dia tidak meninggalkan sedikitpun dari semua itu.
Ya Allah, jika saya berbuat yang demikian itu semata-mata mengharap keridloan-Mu, maka hindarkanlah kami dari bahaya ini”.
Kemudian batu itu bergeser lagi sehingga mereka bisa keluar, lalu mereka keluar dengan berjalan.
[HR. Muttafaq 'alaih]
Bentuk dan contoh perilaku ikhlas
Ikhlas artinya bersih dan tulus dalam melakukan sesuatu, tanpa adanya
harapan untuk mendapatkan imbalan dan balasan dari apa yang
dikerjakannya itu, selain mengharapkan rida Allah SWT. semata. Ikhlas
atau tidaknya seseorang dalam melakukan suatu perbuatan sangat
tergantung pada niatnya. Adapun niat itu tempatnya di dalam hati,
sehingga keikhlasan seseorang sukar untuk diketahui. Namun demikian,
dapat dilihat dari sikap perilaku, ucapan dan tindakannya. Bentuk
perilaku ikhlas ada dua, yaitu sebagai berikut.
Ikhlas dalam ucapan
Maksudnya ucapan yang disampaikan dengan tulus, tidak mengandung unsur
dusta, tidak bermaksud membuat orang lain celaka, dan tidak karena
terpaksa, melainkan atas dasar sukarela. Contoh orang yang ikhlas dalam
ucapan antara lain ucapan guru yang sedang mengajarkan ilmu kepada
murid- muridnya, ticapan orang tua ketika sedang menasihati anaknya, dan
ucapan suami yang sedang membimbing istrinya.
Ikhlas dalam perbuatan
Maksudnya perbuatan yang dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih dan
sepenuh hati. Orang yang ikhlas dalam beramal dan berbuat sesuatu, tidak
akan merasa terbebani atau terpaksa atas perbuatannya itu. Melainkan ia
merasa senang dan gembira telah dapat beramal atau berbuat demikian.
Contohnya, memberikan bantuan berupa barang atau jasa pekerjaan kepada
orang lain, meskipun terasa berat waktu mengerjakannya, namun tetap
dilaksanakannya dengan sukacita, karena senang melakukannya. Selain itu
juga, tidak membicarakan perihal bantuannya itu kepada orang lain,
apalagi mengungkit- ungkitnya di kemudian hari.
Contoh dan perumpamaan yang nyata bagi perilaku ikhlas dalam perbuatan,
ialah ketika kita mau buang air besar. Kita menjalankannya dengan senang
hati. Mulai dari berangkat menuju WC, duduk menungguinya sampai tuntas,
membersihkannya dengan air, dan meninggalkan apa yang telah kita buang
itu tanpa ada rasa penyesalan, dan tidak mengungkit-ungkitnya di
kemudian hari.
Demikian juga dengan perilaku ikhlas yang mesti dimiliki oleh setiap
muslim. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah SWT. dalam Al-Qur'an al
karim.
وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينٗا وَيَتِيمٗا
وَأَسِيرًا ٨ إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ
جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا
Artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang
miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan (sambil berkata),
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan
keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari
kamu”. (Q.S. Al-Insan: 8-9)
Nilai-nilai positif dari perilaku ikhlas
Ikhlas dan tulus atas apa yang dilakukan dan diucapkan merupakan sikap
terpuji, dan mengandung nilai-nilai yang sangat luhur dan mulia.
Nilai-nilai luhur berakhlak ikhlas dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Tidak mengharapkan imbalan suatu apa pun, kecuali rida Allah SWT. semata.
Mengerjakan sesuatu atas kesadaran sendiri, tidak karena adanya paksaan atau tekanan dari pihak lain.
Mengerjakan segala sesuatu dengan sepenuh hati, tanpa ada rasa sungkan dan malas apalagi meremehkan atas pekerjaannya tersebut.
Tidak girang ketika dipuji, dan tidak benci ketika dicela dan dicaci.
Bersedia menerima masukan, saran, dan kritik dari orang/pihak lain dengan senang hati.
Cara membiasakan diri berperilaku terpuji ikhlas
Bersikap perilaku ikhlas merupakan suatu perbuatan yang amat terpuji dan
harus dipegang teguh oleh setiap muslim. Oleh sebab itu, hendaknya kita
mulai membiasakan diri berperilaku ikhlas dalam setiap ucapan dan
perbuatan Berperilaku ikhlas sesungguhnya tidak sulit, jika terasa berat
itu hanyalah bisikan setan yang selalu menggoda manusia agar tidak
melakukan perbuatan baik. Jadi hendaknya kita berlatih sejak saat ini,
agar kelak menjadi terbiasi berakhlak ikhlas.
Dalam upaya membiasakan diri berakhlak ikhlas, ada baiknya diperhatikan beberapa hal sebagai berikut ini.
Tanamkan kesadaran dalam hati bahwa apa pun yang kita miliki hakikatnya hanya titipan dari Allah.
Hendaknya meluruskan niat pada setiap melakukan suatu amal perbuatan, semata-mata hanya ingin mendapatkan rida Allah SWT.
Dalam beramal jangan pilih kasih, melainkan semua orang harus dipandang sama.
Lupakan setiap amal kebaikan yang telah dilakukan, agar tidak memiliki rasa angkuh dan sombong.
Berdoalah kepada Allah SWT. agar diberi kekuatan dalam berakhlak ikhlas.
Takhtimah
Banyak sekali gambaran-gambaran yang kita temukan dalam kehidupan
masyarakat mengenai amal-amal yang tidak di dasari rasa ikhlas.
Diantaranya adalah seseorang yang bertumpuk hutang. Ketika tiba waktu
pelunasan dia melihat orang yang menghutanginya sedang menuju kepadanya
dari jauh. Sehingga dia bergegas menuju masjid yang terdekat dan
melakukan rantaian shalat sunnah yang banyak. Tidak bisa diragukan lagi
bahwa dia melakukan shalat bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT, melainkan semata-mata hanya ingin lari dan terbebas dari tagihan
hutang.
Contoh lain adalah, seorang pekerja yang tersibukkan oleh tugasnya di
perusahaan, ketika mendengar adzan dhuhur dia bergegas meninggalkan
pekerjaannya dengan dalih ingin melakukan shalat dhuhur. Lalu dia
berwudlu dengan waktu yang lama dan shalat dengan panjang, kemudian dia
mengambil tempat bersandar untuk istirahat dan memperbanyak dzikir dan
tilawatul Qur'an. Tentunya ibadah-ibadah dengan keadaan ini bukanlah
termasuk amal-amal yang mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena dia
melakukan ibadah-ibadah ini tidak lain hanyalah menjauihi tugasnya agar
bisa beristirahat.
Salah satu yang bisa menjadi contoh adalah kelompok jamaah haji. Dan
mereka sepakat untuk saling membantu dan menjaga kemaslahatan yang
kembali pada mereka. Diantara mereka ada seseorang yang ingin lari dari
pekerjaan yang memberi maslahat untuk sesama seperti menghidangkan
makanan, mencuci piring atau yang lain. Sehingga diapun menyibukkan diri
dengan selalu thawaf, shalat, membaca Al-Qur'an dan berdzikir, jelas
sekali sesungguhnya ibadah-ibadah ini dilakukan bukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT, akan tetapi agar bisa terbebas dari
pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan padanya.
Intisari dari keterangan di atas adalah kita harus mengetahui dan tidak
boleh lupa bahwa amal-amal shaleh yang diperintahkan oleh Allah SWT
kepada hamba-Nya di dalam Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada
perkara-perkara yang wajib dan rukun Islam, akan tetapi amal shaleh itu
juga mencakup semua hal yang bisa mewujudkan kemaslahatan. Baik
kemaslahatan individu maupun kemaslahatan sosial.
Adapun kemaslahatan-kkemaslahatan ini harus di jaga sesuai dengan
urutan-urutan yang telah di tetapkan syara', yaitu di awali dengan
mendahulukan kemaslahatan agama (hifdhu diin), kemudian kemaslahatan
hidup (hifdhu nafsi), lalu kemaslahatan akal (hifdhu 'aqli), kemudian
kemaslahatan keturunan (hifdhu nasab) dan terakhir adalah kemaslahatan
harta (hifdhu mal).
Jadi semua hal-hal tersebut merupakan ibadah-ibadah yang dilakukan
seorang muslim untuk mewujudkan makna ubudiyyah kepada Allah SWT.
Dan perlu kita ingat bahwa di dalam ummat Islam pasti akan selalu
terdapat segolongan yang benar dan ikhlas didalam beribadah, dan mereka
tidak mendapatkan madlarat dari orang-orang yang menentangnya. Hal ini
sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم حتى يأتي أمر الله وهم ظاهرون.(متفق عليه)
"Di dalam umatku selalu ada golongan yang memperlihatkan kebenaran dan
tidak mendapatkan bahaya dari orang-orang yang menentangnya sampai
datang hari Qiamat sedangkan mereka dalam kebenaran". Muttafaqun 'Alaih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar