Sebagai seorang muslim, penting kiranya saya menginterospeksi diri saya
sendiri. Terutama dalam melakukan kegiatan ibadah sebagai media bagi
saya untuk berkontak dengan Sang Maha Pencipta. Salah satu hal utama
yang saya jadikan instropeksi adalah ketika saya melakukan shalat, baik
itu shalat wajib maupun shalat sunnah. Saya merasa belum bisa begitu
khusyuk ketika melakukan ibadah yang merupakan kebutuhan bagi saya,
yaitu shalat. Ya, shalat bagi saya itu adalah sebuah kebutuhan
sebagaimana saya butuh udara untuk bernapas setiap harinya. Bukan lagi
saya anggap sebagai kewajiban, karena kata ‘kewajiban’ bagi saya lebih
kepada seseorang yang ingin menuntut hak dari-Nya. Padahal Allah telah
memberikan hak-hakNya untuk semua manusia, baik untuk orang muslim
maupun non-muslim. Kata 'kebutuhan’ lebih mendalam bagi saya, karena
dengan begitu kita dapat bersyukur atas karunia Allah setiap harinya.
Kembali kepada kekurang khusyuk-an yang saya alami, saya mencoba mencari
penyebab kekurang khusyuk-an tersebut. Saya menyadari bahwa setan dan
iblis selalu berada di dekat manusia dan telah bersumpah bahwa dia akan
mengganggu manusia dari segala arah. Ketika iblis di usir oleh Allah,
dia bersumpah akan menggoda manusia dari segala arah.
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ
الْمُسْتَقِيمَ ( ) ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ
خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ
أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang
lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. Al-A’raf: 16 – 17)
Sungguh kerasnya tekad setan dan iblis untuk menyesatkan manusia. Hal
ini juga dilakukan setan dan iblis untuk berusaha membuat shalat seorang
muslim menjadi tidak khusyuk. Tanpa saya sadari, penyebab-penyebab
kekurang khusyuk-an yang saya alami adalah hal-hal yang biasanya saya
anggap sepele. Akan tetapi, ternyata hal sepele itulah yang dimanfaatkan
setan dan iblis untuk mengganggu kekhusukan dalam shalat.
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan memakai baju
bergaris. Di tengah shalat, beliau melihat corak garis itu. Setelah
salam, beliau bersabda,
اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي
بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ
صَلاَتِي
“Berikan bajuku ini ke Abu Jahm, dan bawakan aku baju Ambijaniyah.
Karena barusan, baju ini telah mengganggu kekhusyuanku ketika shalat.”
(HR. Bukhari 373 & Muslim 556).
Dari Uqbah bin al-Harits radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Saya pernah menjadi makmum di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada saat shalat asar. Ketika beliau salam, beliau langsung
berdiri dan masuk ke rumah salah satu istrinya. Kemudian beliau keluar,
dan terlihat di wajah para sahabat suasana keheranan karena beliau
buru-buru. Beliau bersabda,
ذَكَرْتُ وَأَنَا فِي الصَّلاَةِ تِبْرًا عِنْدَنَا، فَكَرِهْتُ أَنْ يَبِيتَ عِنْدَنَا فَأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ
“Ketika saya shalat, saya teringat seonggok emas yang kami miliki. Saya
tidak ingin emas itu menetap di rumah kami malam ini, sehingga aku
perintahkan agar dibagikan.” (HR. Ahmad 16151 & Bukhari 1221)
Hadis ini menjadi dalil bahwa bisikan hati tidak membatalkan shalat.
Karena shalat 100% khusyu, hampir tidak mungkin dilakukan manusia.
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ وَمَا كُتِبَ لَهُ إِلَّا عُشْرُ صَلَاتِهِ
تُسْعُهَا ثُمْنُهَا سُبْعُهَا سُدْسُهَا خُمْسُهَا رُبْعُهَا ثُلُثُهَا
نِصْفُهَا
”Sesungguhnya seseorang selesai shalat, sementara pahala yang dia
dapatkan hanya sepersepuluh shalatnya, sepersembilannya,
seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya,
seperempatnya, sepertiganya, dan setengahnya.” (HR. Ahmad 18894, Abu
Daud 796, dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).
Bagaimana Jika yang Terlintas adalah Pikiran Kotor?
An-Nawawi (w. 676 H) mengatakan,
يستحب الخشوع في الصلاة والخضوع وتدبر قراءتها وأذكارها وما يتعلق بها
والإعراض عن الفكر فيما لا يتعلق بها، فإن فكر في غيرها وأكثر من الفكر لم
تبطل صلاته لكن يكره سواء كان فكره في مباح أو حرام كشرب الخمر، … وقد نقل
الإجماع على أنها لا تبطل، وأما الكراهة فمتفق عليها
Dianjurkan untuk khusyu, tunduk, dan merenungi bacaan al-Quran serta
dzikir yang dibaca ketika shalat. Dan berusaha berpaling dari lintasan
pikiran yang tidak ada hubungannya dengan shalat. Memikirkan yang lain
ketika shalat dan banyak lintasan pikiran, tidak membatalkan shalat,
namun statusnya makruh. Baik yang dipikirkan masalah yang mubah atau
masalah yang haram, seperti minum khamr…. dan terdapat keterangan adanya
ijma’ ulama bahwa lintasan semacam ini tidak membatalkan shalat.
Sedangkan hukum makruh, ini disepakati ulama. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab,
4/102)
Cara Mengobati Lintasan Pikiran ketika Shalat
Dalam hadis dari Utsman bin Abil ‘Ash radhiallahu ‘anhu, Beliau
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan gangguan
yang dia alami ketika shalat. Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ذاك شيطان يقال له خنزب فإذا أحسسته فتعوذ بالله منه واتفل على يسارك ثلاثاً
“Itu adalah setan. Namanya Khinzib. Jika kamu merasa diganggu, mintalah
perlindungan kepada Allah dari gangguannya dan meludahlah ke kiri tiga
kali.”
Kata Utsman, “Aku pun melakukannya, kemudian Allah menghilangkan gangguan itu dariku.” (HR. Muslim 2203)
Hukum Meludah dalam Shalat
Ada beberapa hadits yang berkaitan dalam permasalahan ini, yaitu :
Hadits Pertama
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى بُصَاقًا فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ فَحَكَّهُ،
ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ
يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقُ قِبَلَ وَجْهِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ
إِذَا صَلَّى "
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah melihat ludah di dinding kiblat (masjid), lalu beliau
menggosoknya (agar hilang). Kemudian menghadap ke orang-orang dan
bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, janganlah
meludah ke arah depan karena Allah berada di hadapannya ketika seseorang
sedang shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 406, Muslim no. 547,
An-Nasaa’iy no. 724, dan yang lainnya].
Hadits Kedua
عَنْ حُذَيْفَةَ أَظُنُّهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ تَفْلُهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ....... "
Dari Hudzaifah – aku menyangkanya – dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang meludah ke arah kiblat,
maka ia akan datang di hari kiamat dengan membawa ludah di antara dua
matanya….” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3824, Ibnu Khuzaimah no.
925 & 1314 & 1663, Ibnu Hibbaan no. 1639, dan yang lainnya;
dishahihkan sanadnya oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij-nya terhadap Shahiih
Ibni Hibbaan 4/518].
Hadits Ketiga
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ،
وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا "
Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Meludah di masjid adalah kesalahan,
dan kaffaratnya adalah menimbunnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
415, Muslim no. 552, Abu Daawud no. 475, At-Tirmidziy no. 572, dan yang
lainnya].
Hadits Keempat
عَنْ أَنَسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى
نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي
وَجْهِهِ، فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ، فَقَالَ: " إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا
قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ، فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ
قِبْلَتِهِ، وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ
طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ، ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ،
فَقَالَ: أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا "
Dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
melihat dahak di kiblat (dinding masjid). Beliau merasa terganggu akan
hal tersebut hingga terlihat di wajah beliau. Lalu beliau berdiri dan
menggosoknya dengan tangan beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila berdiri
dalam shalatnya, maka ia sedang bermunajat kapada Rabbnya – atau
Rabbnya berada antara dia dan kiblat - . Maka, janganlah salah seorang
di antara kalian meludah ke arah kiblat. Akan tetapi hendaklah ia
meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya”. Lalu beliau memegang
ujung selendangnya dan meludah padanya, kemudian menggosok-gosokkan
kainnya tersebut. Setelah itu beliau bersabda : “Atau melakukan yang
seperti ini” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 405, Muslim no. 551,
dan yang lainnya].
Hadits Kelima
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي جِدَارِ الْمَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَ
حَصَاةً فَحَكَّهَا، فَقَالَ: " إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ، فَلَا
يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ، وَلَا عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَبْصُقْ عَنْ
يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى "
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’iid : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di dinding masjid. Lalu beliau
mengambil kerikil dan membersihkannya (dengannya). Kemudian beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di
antara kalian ingin membuang dahak, janganlah membuangnya ke arah depan
(kiblat). Dan hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kaki
kirinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 409 & 411].
Hadits Keenam
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
" عُرِضَتْ عَلَيَّ، أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا،
فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا، الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ،
وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِي أَعْمَالِهَا، النُّخَاعَةَ، تَكُونُ فِي
الْمَسْجِدِ، لَا تُدْفَنُ "
Dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “Diperlihatkan kepadaku amal-amal umatku yang baik dan yang
buruk. Lantas aku dapati di antara amal-amal yang baik tersebut adalah
menghilangkan gangguan dari jalan. Dan aku dapati di antara amal-amal
yang buruk tersebut adalah meludah di masjid tanpa menguburnya
(membersihkannya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 553, Ibnu Maajah no.
3683, dan yang lainnya].
Hadits Ketujuh
عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ،
فَلْيُغَيِّبْ نُخَامَتَهُ، أَنْ تُصِيبَ جِلْدَ مُؤْمِنٍ أَوْ ثَوْبَهُ
فَتُؤْذِيَهُ "
Dari Sa’d, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallambersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berdahak di
masjid, hendaklah ia hilangkan dahaknya itu agar tidak mengenai kulit
atau pakain orang lain sehingga menyakitinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad
1/179, Ibnu Khuzaimah no. 1311, dan yang lainnya; hasan].
BEBERAPA FAEDAH :
1. Haram hukumnya meludah ke arah kiblatketika shalat, baik di dalam
masjid atau di luar masjid sesuai keumuman hadits no. 1,2, 4, dan 5.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini.
2. Haram hukumnya meludah di masjid tanpa menimbunnya atau membersihkannya berdasarkan hadits no. 3, 6, dan 7.
3. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meludah ke sebelah kiri
atau di bawah kaki di dalam masjid dengan niat membersihkannya. Ibnu
Hajar rahimahullah menukil :
قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : إِنَّمَا يَكُون خَطِيئَة إِذَا لَمْ يَدْفِنهُ ،
وَأَمَّا مَنْ أَرَادَ دَفْنه فَلَا . وَرَدَّهُ النَّوَوِيُّ فَقَالَ :
هُوَ خِلَافُ صَرِيحَ الْحَدِيثَ
Al-Qaadliy ‘Iyaadl berkata : ‘Perbuatan tersebut hanyalah menjadi
kekeliruan apabila tidak ditimbun. Adapun orang yang berniat menimbunnya
(membersihkannya), maka tidak mengapa’. An-Nawawiy membantahnya denga
perkataannya : ‘Pendapat itu menyelisihi kejelasan hadits (yang
menyatakan bahwa meludah di masjid adalah satu kekeliruan meski ia
berniat untuk membersihkannya)” [Fathul-Baariy, 1/511].
Kemudian Ibnu Hajar memberikan penjelasan dasar perbedaan keduanya
tentang keumuman dalil yang dipakai beserta pengkhususannya. An-Nawawiy
mengambil hadits no. 3 sebagai dalil yang umum (tentang larangan meludah
di masjid); dan mengambil hadits no. 5 sebagai pengkhususan jika
terjadi di luar masjid.
Yaitu sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَاره أَوْ تَحْت قَدَمه
“Dan hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kaki kirinya”.
Hadits ini – menurut An-Nawawiy – berlaku di luar masjid, dan ini kurang
tepat karena hadits tersebut diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam saat melihat dahak/ludah yang ada di dinding masjid.
Faedah :
Tidak boleh meludah ke sebelah kanan dalam shalat karena di sebelah
kanannya ada malaikat, sebagaimana riwayat lain dari hadits Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu :
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَلَا يَبْصُقْ أَمَامَهُ،
فَإِنَّمَا يُنَاجِي اللَّهَ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ وَلَا عَنْ
يَمِينِهِ، فَإِنَّ عَنْ يَمِينِهِ مَلَكًا، وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ
أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ فَيَدْفِنُهَا "
“Apabila salah seorang di antara kalian berdiri melaksanakan shalat,
janganlah meludah ke arah depannya, karena ia sedang bermunajat Allah
selama ia mengerjakan shalat. Jangan pula meludah ke samping kanan,
karena di samping kanannya ada malaikat. Hendaklah ia meludah ke sebelah
kirinya atau di bawah kaki, lalu (setelah selesai shalat) menimbunnya
(membersihkannya)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 416].
Adapun Al-Qaadliy ‘Iyaadl menjadikan hadits no. 5 sebagai dalil yang
umum (yaitu boleh meludah di sebelah kiri atau di bawah kaki); dan
hadits no. 3 sebagai pengkhususan bagi orang yang tidak
menimbun/membersihkannya (setelah meludah). Pendapat Al-Qaadliy tersebut
disepakati sekelompok ulama diantaranya Ibnu makkiy dalam At-Tanqiib,
Al-Qurthubiy dalam Al-Mufhim, dan yang lainnya. Pendapat mereka
(Al-Qaadliy, Ibnu Makkiy, Al-Qurthubiy, dan yang lainnya) dikuatkan oleh
hadits no. 7 dari Sa’d bin Abi Waqqaash dan hadits Abu Umaamah secara
marfuu’ :
مَنْ تَنَخَّعَ فِي الْمَسْجِدِ فَلَمْ يَدْفِنْهُ فَسَيِّئَةٌ، وَإِنْ دَفَنَهُ حَسَنَةٌ
“Barangsiapa yang mengeluarkan dahak di masjid tanpa
menimbun/membersihkannya, maka itu adalah kekeliruan. Dan apabila ia
menimbunnya, maka itu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy
dalamAl-Kabiir no. 8092 – dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam
Fathul-Baariy, 1/512].
Kejelekan dalam hadits di atas di-taqyid jika tidak menimbun/
membersihkannya. Dikuatkan lagi penunjukkan maksud tersebut dalam hadits
no. 6 dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu.
[silakan lihat selengkapnya dalam Fathul-Baariy, 1/511-512].
Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat Al-Qaadliy ‘Iyaadl
rahimahullah. Akan tetapi, keluar dari khillaf dengan tidak meludah di
(lantai) masjid adalah lebih utama.
4. Ludah atau ingus, meskipun suci , dapat menyakiti orang lain jika
mengenai badan atau baju mereka sebagaimana dalam hadits no. 7; dan
menyakiti orang lain itu terlarang. Sebagaimana riwayat :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ:
أَمِطْهُ عَنْكَ، قَالَ أَحَدُهُمَا: بِعُودٍ، أَوْ إِذْخِرَةٍ، وَإِنَّمَا
هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ، أَوِ الْمُخَاطِ.
Dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia pernah berkata tentang mani yang
mengenai pakaian : “Hilangkan ia darimu, dengan kayu atau idzkhir. Air
mani itu hanyalah seperti kedudukan ludah atau ingus” [Diriwayatkan oleh
Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/69; sanadnya shahih].
5. Jika ingin meludah ke sebelah kiri, harus dipastikan tidak ada
orang di sebelah kirinya agar tidak mengenainya sehingga menyakitinya.
Menyakiti orang lain dengan langsung meludahinya lebih besar dosanya
daripada menyakitinya karena terkena ludah atau dahak secara tidak
langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar