Seorang lelaki diperbolehkan memanjangkan rambut kepalanya, disertai
dengan perhatian menyisir, kebersihan dan perhatian dari sisi
penampilannya. Tanpa berlebih-lebihan. Hal itu sebagiamana yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud (4195) Nasa’I (5048) dari Ibnu Umar
radhiallahu’anhuma,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى صَبِيًّا قَدْ
حُلِقَ بَعْضُ شَعْرِهِ وَتُرِكَ بَعْضُهُ فَنَهَاهُمْ عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ
: ( احْلِقُوهُ كُلَّهُ ، أَوْ اتْرُكُوهُ كُلَّه ) والحديث صححه الألباني
في صحيح النسائي
“Sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melihat anak-anak
memotong sebagian rambut dan membiarkan sebagian lainnya. Maka beliau
melarangnya akan hal itu dan bersabda, “Cukur semua rambutnya atau
biarkan semuanya.” Hadits ini dinyatakan shoheh oleh Al-Albany di Shoheh
Nasa’i.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, (4163) dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu
sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ ) وصححه الألباني في صحيح أبي داود
“Siapa yang mempunyai rambut, hendaknya memulyakannya.” Dinyatakan shoheh oleh Al-Albany di Shoheh Abi Dawud.
Dalam ‘Aunul Ma’bud’ dikatakan, “Maksudnya adalah agar dihiasi dan
dibersihkan dengan keramas, diberi minyak dan disisir. Jangan dibiarkan
acak-acakan. Karena kebersihan dan penampilan bagus itu disenangi.”
Tidak semua laki-laki yang memanjangkan rambut boleh langsung dituduh
menyerupai perempuan. Sebab kita mendapatkan banyak riwayat bahwa di
masa lalu Rasulullah SAW pernah berambut panjang. Bahkan hingga menutupi
telinga dan bahunya.
Dan tentunya hal itu tidak bisa dijadikan dasar bahwa setiap laki-laki
yang berambut panjang, pasti menyerupai wanita. Sebab kalau tidak, maka
kita akan menuduh Rasulullah SAW menyerupai wanita, nauzu billahi min
zalik.
Beberapa riwayat memang menunjukkan beliau SAW pernah berambut agak
panjang, namun hal itu tidak selalu terjadi. Terkadang beliau pun
berambut dengan potongan pendek.
Dalilnya adalah hadits:
كَانَ يَضْرِبُ شَعَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْكِبَيْهِ
“Rambut Nabi صلى الله عليه وسلم menyentuh pundaknya.” [HR Al Bukhari (5904) dan Muslim (2337)]
Imam Al Bukhari meriwayatkan hadits di atas dari Anas bin Malik
sedangkan Imam Muslim meriwayatkan dari Al Bara` bin ‘Azib radhiallahu
‘anhuma.
Dari Al Bara’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا مربوعا بعيد ما بين المنكبين عظيم الجمة إلى شحمة أذنيه
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu adalah seseorang yang memiliki tinggi
badan sedang, pundaknya lebar, rambutnya lebat panjang sampai ke kedua
cuping telinganya.”[HR Muslim (2337)]
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwasanya seorang lelaki itu boleh
memanjangkan rambutnya. Bila dia memanjangkan rambutnya dengan tujuan
untuk mencontoh amalan Rasulullah صلى الله عليه وسلم maka insya Allah
dia mendapatkan pahala atas niatnya tersebut.
وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال, " كان النبي يحب موافقة أهل الكتاب فيما لم يؤمر فيه، وكان
أهل الكتاب يُسدِلون أشعارهم وكان المشركون يَفرقون رؤوسهم، فسدل النبي صلى
الله عليه وسلم ناصيته ثم فرق بعد "، أخرجه البخاري ومسلم.
Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Nabi SAW suka menyamakan diri dengan
para ahli kitab pada hal-hal yang tidak diperintahkan di dalamnya. Para
ahli kitab membiarkan rambutnya menjuntai leluasa (sadala) sedangkan
orang-orang musyrikin menyibakkan rambutnya. Maka nabi SAW menjuntaikan
rambutnya kemudian menyibakkannya. (HR Bukhari dan Muslim)
وقال أنس بن مالك, " قبض- صلى الله عليه وسلم – وليس في رأسه ولحيته عشرون شعرة بيضاء
Anas bin Malik ra. berkata bahwa Rasulullah SAW wafat dan tidak ada di rambut atau jenggotnya 20 rambut yang berwarna putih.
Rambut beliau kadang mencapai setengah telinganya, kadang beliau
menguraikannya hingga mencapai telinganya atau antara telinga dan
bahunya. Paling panjangnya rambut menyentuh kedua pundaknya yaitu bila
telah lama tidak dicukur. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak
selamanya berada dalam panjang rambut tertentu. Terkadang panjang dan
terkadang pendek.
عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ يَقُوْلُ مَا رَأَيْتُ مِنْ ذِيْ لِمَّةٍ
أَحْسَنَ مِنْهُ وَفِيْ رِوَايَةٍ كَانَ يَضْرِبُ شَعْرَهُ مَنْكِبَيْهِ
Dari Bara’ bin Azib, dia berkata, “Aku tidak pernah melihat rambut
melampaui ujung telinga seorang pun yang lebih bagus dari (rambut)
Rasulullah.” Dalam suatu riwayat lain, “Rambut Rasulullah sampai
mengenai kedua bahunya.” (Hr. Muslim: 2337)
Adapun berkaitan dengan hukum memanjangkannya, maka para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa hal itu hukumnya sunnah.
Mereka berdalil bahwa hukum asal perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah ibadah, sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kiamat dan
dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al-Ahzab: 21)
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dalam
rangka meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bagus dan
dihukumi sebagai ibadah, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, beliau
mengatakan (dalam al-Mughni: 1/119), “Hal ini (memanjangkan rambut bagi
laki-laki) hukumnya sunnah. Seandainya kami mampu melakukannya, maka
akan kami lakukan, tetapi ada faktor kesibukan dan biaya yang
diperlukan.”
Pendapat ini dikuatkan oleh perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang memanjangkan rambutnya, padahal perbuatan ini perlu waktu
(sibuk mengurusnya) dan perlu biaya (untuk minyak rambut dan
semisalnya). Andaikan ini bukan sunnah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak akan susah payah melakukannya.
Dan atas dasar itu, maka orang yang ingin memanjangkan rambutnya dengan
berniat untuk iqtida’ (mengikuti) apa yang dilakukan oleh nabi SAW, akan
mendapat pahala. Dengan syarat mode dan potongannya tidak menyerupai
mode dan potongan yang lazim dipilih oleh para wanita. Demikian juga
bagi mereka yang ingin memendekkan rambutnya dengan niat juga
ber-iqtida‘ (mengikuti) nabi SAW, dia akan dapat pahala juga.
Namun baik memanjangkan atau memendekkan rambut, apabila tidak diiringi
dengan niat mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW,
tentu tidak akan mendapatkan pahala apa pun. Misalnya, hanya sekedar
mengikuti model yang terbaru.
Al-Imam An-Nawawi mengatakan, "Demikianlah, belum pernah nabi SAW
mencukur gundul rambutnya pada tahun-tahun hijrah kecuali di tahun
Hudaibiyah, ‘Umratul-qadha dan haji wada’.
Pendapat kedua mengatakan bahwa memanjangkan rambut hukumnya bukan
sunnah, tetapi hanya sekadar adat kebiasaan, dan hukumnya mubah (boleh
dilakukan dan boleh tidak).
Pendapat ini didasari oleh perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada orang yang mencukur sebagian rambut anaknya dan menyisakan
sebagian lainnya, beliau mengatakan, “Cukurlah semua atau jangan
dicukur semua!”
Andaikan memanjangkan rambut hukumnya sunnah, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk mencukur,
tetapi akan memerintahkan supaya dipanjangkan karena itu sunnah.
Adapun yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
beliau memanjangkan rambutnya karena adat-kebiasaan manusia saat itu
memang demikian. Beliau tidak menyelisihi kaumnya, karena apabila beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka dalam suatu perkara,
berarti perkara itu adalah perkara yang disayariatkan (sunnah).
Akan tetapi, pada kenyataannya justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyamai mereka. Ini menunjukkan bahwa perkara itu mubah (boleh
dilakukan dan boleh tidak dilakukan), namun bukan termasuk sunnah.
وكذا باطن عقده أي إن تعقد بنفسه وإن كثر ا ه حج وظاهره وإن قصر صاحبه بأن لم يتعهده بدهن ونحوه وهو ظاهر لعدم تكلفه تعهده
Begitu juga tdk wajib dibasuh yaitu bagian dlm rambut yg
terikat/gimbal,tp dgn syarat rambutnya mnggimbal dgn sendirinyawalaupun
gimbalnya byk/tebal,,mnurut ibnu hajar dhohir keterangan td itu walaupun
yg pny rambut sembrono contohnya rambutnya tdk dirawat dgn tdk dikasih
minyak,.dan perkara ini sudah jelas krn tidak ada perintah untuk merawat
rambut.
hasyiyah jamal juz 1 hal 475.
ج: ذهب جماهير الفقهاء إلى أن أفعال النبي صلى الله عليه وسلم التي لم
يقترن بها قول بالأمر منه صلى الله عليه وسلم، الصحيح أنها تدل على الإباحة
فقط، وهذا قول جماهير الفقهاء، ولم يخالف في ذلك إلا الظاهرية وبعض أهل
الحديث، وكان من الفقهاء الذين يقولون بأنها تدل على الإباحة فقط شيخ
الإسلام ابن تيمية ~،
Mayoritas ulama berpendapat bahwa perbuatan Nabi (yang tidak terkait
dengan ibadah mahdhoh, pent) yang tidak diiringi dengan perintah secara
lisan itu hanya menghasilkan hukum mubah. Demikian kaedah yang tepat
dalam masalah ini. Inilah pendapat mayoritas pakar fikih yang hanya
diselisihi oleh mazhab zhahiri dan sebagian ulama pakar hadits. Diantara
pakar fikih yang menganut kaedah ini adalah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.
وإذا قلنا إنها للإباحة وكان شُهْرَة في زمان أو مكان فإنه لا يجوز، فتجد
أن بعض الناس يطيل الشعر، ويعقد شعره، ويجعل له ضفائر، وربما جعله على
كتفيه ثم يقول: هذه سنة النبي صلى الله عليه وسلم.
Jika katakan bahwa hukum rambut gondrong bagi laki-laki yang merupakan
perbuatan Nabi itu mubah dan perkara mubah itu menyebabkan seorang itu
popular di masyarakat di sebagian tempat atau di suatu masa maka hukum
mubah ini berubah menjadi terlarang. Anda jumpai sebagian laki-laki
memanjangkan rambutnya dan mengucirnya lalu beralasan “Ini adalah sunnah
Nabi”.
والجواب أن هذه ليست سنة بالمعنى الأصولي والمصطلح الفقهي عند الفقهاء، فهي سنة أي طريقة صحيحة،
Komentar kita untuk orang ini adalah lelaki berambut gondrong bukanlah
sunnah Nabi dalam pengertian sesuatu yang berpahala jika dilakukan namun
dalam pengertian Nabi melakukannya.
ولكن قال العلماء: الفعل المحض الذي لم يقترن به أمر منه صلى الله عليه
وسلم فإنه لا يُعتبر له حكم الاستحباب فضلاً عن الوجوب، ولهذا نقول: إنه
مباح.
Namun ingat, para ulama mengatakanbahwa semata-mata perbuatan Nabi yang
non ibadah mahdhoh yang tidak diiringi perintah dari Nabi maka perbuatan
Nabi tersebut tidak menghasilkan hukum anjuran, apalagi hukum wajib.
Oleh karena itu kami katakan bahwa hukum gondrong untuk laki-laki adalah
mubah.
وإذا قلنا بإباحته فقد ينتقل إلى حكم الكراهة والحرمة إذا كان فيه شهرة،
كما يفعل بعض الشباب تديناً يظن أن هذا سنة من سنن النبي صلى الله عليه
وسلم،
Jika kita katakan bahwa hukumnya adalah mubah maka perkara mubah ini
bisa berubah menjadi makruh atau haram jika menyebabkan syuhror
[terkenal karena nyentrik dan aneh-aneh] sebagaimana kelakukan sebagian
anak muda yang beranggapan bahwa rambut gondrong adalah bagian dari
ajaran agama.
ويفعله شباب آخرون تقليداً للكفار والغرب ثم إذا نُوصِحَ بذلك قال: إن
النبي صلى الله عليه وسلم ترك شعره. وهذا هو الحكم الذي عليه أكثر الفقهاء.
والله أعلم.
Sedangkan sebagian anak muda yang lain berambut gondrong karena
ikut-ikutan orang kafir atau orang barat kemudian ketika diingatkan dia
beralasan bahwa Nabi juga gondrong. Inilah hukum masalah ini berdasarkan
kaedah yang dianut oleh mayoritas ahli fikih.
Takhtimah
Bila ingin membiarkan rambut di kepala, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam memerintahkan untuk memuliakannya, sebagaimana sabdanya:
مَنْ كَانَ لَهُ شَعْرٌ فَلْيُكْرِمْهُ رواه أبو داود
"Barangsiapa yang memiliki rambut, hendaknya dia memuliakannya". [HR.Abu Dawud dari Abu Hurairah].
Imam Al Munawi berkata,"Memuliakan rambut maksudnya merapikannya,
membersihkannya dengan cara membilasnya, memberinya minyak rambut dan
menyisirnya. Jangan membiarkan acak-acakan sehingga kelihatan kusut.
Karena kebersihan dan penampilan yang baik termasuk yang dicintai dan
diperintahkan (oleh agama), selama tidak berlebih-lebihan.”" [Al Allamah
Al Munawi, Faidul Qadir Syarh Al Jami’ush Shagir, Mesir, Mushthafa
Muhammad, 1352, Juz 6, hlm. 208]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi w asallam dalam kesibukannya sebagai
seorang Nabi (Rasul), pemimpin negara sekaligus pemimpin rumah tangga,
senantiasa memperhatikan kerapian rambutnya. Anas bin Malik Radhiyallahu
'anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُكْثِرُ دُهْنَ رَأْسِهِ وَتَسْرِيْحَ لِحْيَتِهِ
وَيُكْثِرُ الْقَنَاعَ حَتَّى كَأَنَّ ثَوْبَهُ ثَوْبُ زَيَّاتٍ
"Rasulullah sering meminyaki rambutnya dan menyisir jenggotnya dan
sering memakai tutup kepala, hingga bajunya seperti baju penjual
minyak". [HR Baihaqi dan Syarhu As Sunnah, no. 3.164].
Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
كُنْتُ أُرَجِّلُ رَأْسَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا حَائِضٌ رواه البخاري و مسلم
"Saya tarjil rambut Rasulullah dan saya sedang haid". [HR Bukhari no. 5.925 dan Muslim no. 297]
Men-tarjil rambut, maksudnya menyisirnya, merapikannya, meluruskannya
dan memberinya minyak rambut. Semua ini bermakna tarjil atau tarajjul. [
Majduddin Abi As Sa’adat yang dikenal dengan Ibnu Al Atsir, An Nihayah
Fi Garib Al Hadits Wal Atsar, Daar Ihyaa’ Al Kutub Al Arabiyah, Juz 2,
hlm. 203 ]
Berdasarkan beberapa hadits di atas, para ulama menganjurkan untuk
merawat rambut dan merapikannya, karena ia termasuk kebersihan dan
kebersihan bagian dari agama.[ Al Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar Al
Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari, Kairo, As Salafiyah,
tanpa tahun, Juz 10, hlm. 368 ]
Tidak Boleh Berlebih-Lebihan
Walaupun merawat rambut dianjurkan oleh agama, namun tidak boleh dengan
cara berlebih-lebihan. Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu 'anhu
berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا رواه النسائ و أبو داود
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menyisir rambut, kecuali ghibban". [HR Nasa'i dan Abu Dawud].
Ghibban berasal dari kata al ghib, yaitu memberikan minum onta sehari
dan membiarkannya tidak minum sehari. Itulah sebabnya Imam Ahmad
menafsirkan ghibban dengan menyisir sehari dan membiarkannya (tidak
menyisirnya) sehari. Al Hasan mengatakan,"Menyisir rambut sekali
seminggu". Intinya adalah larangan untuk terus menerus menyisir,
merapikan, meluruskan, memakai minyak rambut dan memperindah rambut
setiap saat. Sehingga ia disibukkan dengan rambutnya. Karena yang
demikian termasuk irfah (bermewah-mewahan) yang dilarang, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu 'anhu :
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَانَا عَنْ كَثِيرٍ مِنْ الْإِرْفَاهِ رواه أبو داود
"Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami untuk
banyak bermewah-mewahan". [HR Abu Dawud].[ Abdul Karim Zaidan, Al
Mufashshal Fi Ahkam Al Mar’ah, Beirut, Muassasah Ar Risalah, 1413, Juz
3, hlm. 370]
Irfah diambil dari kata al rafhu, yaitu onta mendatangi air kapan saja
dia mau. Dari sana diambil kata al rifahiyah, yang berarti kemewahan dan
kenikmatan.[ Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nailul Authar
Syarah Muntaqa Al Akhbar, Kairo, Utsmaniyah, 1357, Juz 1, hlm. 123-124 ]
Adapun bila menyisir rambut sesekali waktu atau tidak berlebihan, maka
tidaklah dicela bahkan dianjurkan. [Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al
‘Adzim Al Abadi, Aunul Ma’buud Syarah Sunan Abi Dawud, Cetakan Kedua,
Tahun 1389, Juz 11, hlm. 216]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka melihat rambut
panjang, acak-acakan dan tidak terurus. Wa’il bin Hijr berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِي شَعْرٌ
طَوِيلٌ فَلَمَّا رَآنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ ذُبَابٌ ذُبَابٌ قَالَ فَرَجَعْتُ فَجَزَزْتُهُ ثُمَّ
أَتَيْتُهُ مِنْ الْغَدِ فَقَالَ إِنِّي لَمْ أَعْنِكَ وَهَذَا أَحْسَنُ
رواه أبو داود
"Saya menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan rambut saya
panjang. Ketika melihat saya seperti itu, Beliau bersabda: “Zabaabun
(jelek).” Saya pulang dan mencukurnya. Keesokannya saya kembali menemui
Beliau. Beliau bersabda: “Saya bukan bermaksud (menjelek-jelekan)
dirimu, (penampilanmu) ini lebih baik." [HR Abu Dawud].
Rambut di kepala juga boleh dicukur dengan syarat memotong semua
bagian-bagiannya. Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang bayi yang dicukur sebagian
rambutnya dan membiarkan sebagiannya memanjang. Beliau melarangnya dan
bersabda:
احْلِقُوْا كُلَّهُ أَوْ اتْرُكُوْا كُلَّهُ رواه أبو داود
"Cukurlah semuanya atau biarkan semuanya". [HR Abu Dawud dengan sanad shahih sesuai dengan syarat Muslim].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الْقَزَعِ رواه البخاري و مسلم
"Rasulullah melarang dari Qaza". [Bukhari No. 5576 dan Muslim No. 2120]
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan beberapa bentuk qaza’ yang dilarang,
yaitu; mencukur rambutnya di sana sini dari kepalanya, mencukur di
tengahnya dan membiarkan di sampingnya, mencukur di bagian samping dan
membiarkan di bagian tengahnya, mencukur di bagian depan dan membiarkan
di bagian belakang.[ Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar Ibnul Qayyim Al
Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Ahkam Al Maulud, Beirut, Daar Al Jiil,
1988, hlm. 119]
Ibnu Abdil Baar menyebutkan ijma’ (kesepakatan) para ulama yang
membolehkan untuk mencukur rambut di kepala [ Abu Muhammad Abdullah bin
Ahmad Ibnu Qudamah Al Maqdisi, Al Mughni, Mesir, Idaratul Manar, 1367,
Juz 1, hlm. 95. ]. Adapun mencukur gundul kepala selain untuk ibadah
haji atau umrah dan kebutuhan lain yang mendesak, maka dimakruhkan
karena bertentangan dengan perintah
RasulullahShallallahu 'alaihi wa
sallam yang menyuruh memuliakan (menjaga) rambut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar