Terkadang seseorang mengucapkan satu kalimat yang ia tidak menyadarinya
atau tanpa ada kesengajaan baik berupa sumpah atau ucapan-ucapan lainnya
maka tentunya hal itu ada konsekwensinya masing-masing, maka
bagaimanakah Allah Ta’ala mengajarkan akan hal-hal yang terkait dengan
sumpah atau ucapan tersebut…?
Larangan bersumpah dengan selain Nama Allah
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ
اْلخَطَّابِ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنَّ اللهَ عَزَّ وَ
جَلَّ يَنْهَاكُمْ اَنْ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ. قَالَ عُمَرُ: فَوَ
اللهِ مَا حَلَفْتُ بِهَا مُنْذُ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنْهَا،
ذَاكِرًا وَ لاَ آثِرًا. مسلم 3: 1266
Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya dia berkata : Aku pernah mendengar
Umar bin Khaththab mengatakan : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah ‘Azza wa Jalla melarang kalian bersumpah dengan menyebut
bapak-bapak kalian”. Selanjutnya Umar mengatakan, “Demi Allah, aku tidak
pernah bersumpah dengan itu sejak aku mendengar Rasulullah SAW
melarangnya, baik sumpah untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain”.
[HR. Muslim juz 3, hal. 1266]
عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص اَنَّهُ اَدْرَكَ عُمَرَ بْنَ
اْلخَطَّابِ فِى رَكْبٍ وَ عُمَرُ يَحْلِفُ بِاَبِيْهِ. فَنَادَاهُمْ
رَسُوْلُ اللهِ ص: اَلاَ اِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يَنْهَاكُمْ اَنْ
تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ. فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ
اَوْ لِيَصْمُتْ. مسلم 3: 1267
Dari ‘Abdullah (bin ‘Umar), dari Rasulullah SAW bahwa beliau pernah
mendapati Umar bin Khaththab berada diantara sekelompok orang-orang yang
mengendarai unta. Pada waktu itu Umar bersumpah dengan nama ayahnya.
Kemudian Rasulullah SAW memberitahukan kepada mereka, “Ingatlah,
sesungguhnya Allah 'Azza wa Jallamelarang kalian bersumpah dengan
menyebut bapak-bapak kalian. Maka barangsiapa bersumpah, hendaklah dia
bersumpah dengan Nama Allah, atau diam”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1267]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ كَانَ حَالِفًا
فَلاَ يَحْلِفْ اِلاَّ بِاللهِ. وَ كَانَ قُرَيْشٌ تَحِلْفُ بِآبَائِهَا.
فَقَالَ: لاَ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ. مسلم 3: 1267
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
bersumpah, maka janganlah dia bersumpah kecuali dengan Nama Allah”.
Dahulu orang-orang Quraisy biasa bersumpah dengan menyebut
bapak-bapaknya. Lalu beliau bersabda, “Janganlah kalian bersumpah dengan
menyebut bapak-bapak kalian”. [HR. Muslim juz 3, hal. 1267]
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
وَلا تَجْعَلُوا اللَّهَ عُرْضَةً لأيْمَانِكُمْ أَنْ تَبَرُّوا
وَتَتَّقُوا وَتُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (224)
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ
يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
(225)
Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian sebagai
penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa, dan mengadakan islah di
antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah
tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah
kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS Al-Baqoroh Ayat 224-225)
Allah Swt. berfirman bahwa janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah
kalian atas nama Allah menghalang-halangi kalian untuk berbuat kebajikan
dan silaturahmi, jika kalian bersumpah untuk tidak melakukannya.
Perihalnya sama dengan ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
وَلا يَأْتَلِ أُولُوا الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا
أُولِي الْقُرْبى وَالْمَساكِينَ وَالْمُهاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)
kepada kerabat(nya), orang-orang yang miskin, dan orang-orang yang
berhijrah pada jalan Allah; dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada, apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (An-Nur:
22)
Berpegang teguh pada sumpah yang demikian, pelakunya beroleh dosa.
Karena itu, ia harus melepaskan sumpahnya dan membayar kifarat.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Bukhari:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ،
أَخْبَرَنَا مَعْمَر، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، قَالَ: هَذَا مَا
حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قال: "نَحْنُ الْآخِرُونَ السَّابِقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ"،
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan
kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari
Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa kaiimat berikut merupakan
hadis yang diceritakan kepada kami oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi
Saw., yaitu bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Kami (umat Muhammad)
adalah orang-orang yang terakhir (adanya), tetapi orang-orang yang
paling dahulu (masuk surga) di hari kiamat.
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَاللَّهِ
لَأَنْ يلجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثمُ لَهُ عِنْدَ
اللَّهِ مِنْ أَنْ يُعطي كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللَّهُ
عَلَيْهِ".
Rasulullah Saw. bersabda pula: Demi Allah, sesungguhnya seseorang dari
kalian berpegang teguh pada sumpahnya terhadap keluarganya menjadi orang
yang berdosa menurut Allah daripada dia membayar kifarat yang telah
diwajibkan oleh Allah atas sumpahnya itu.
Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Muslim dari Muhammad ibnu
Rafi', dari Abdur Razzaq dengan lafaz yang sama. Imam Ahmad
meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi'.
Kemudian Imam Bukhari mengatakan:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ،
حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ، هُوَ ابْنُ سَلَّامٍ، عَنْ يَحْيَى، وَهُوَ ابْنُ
أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنِ اسْتَلَجَّ فِي
أَهْلِهِ بِيَمِينٍ، فَهُوَ أَعْظَمُ إِثْمًا، لَيْسَ تُغْنِي
الْكُفَّارَةُ".
telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan
kepada kami Yahya ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah
(yaitu Ibnu Salam), dari Yahya (yaitu ibnu Abu Kasir), dari Ikrimah,
dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Barang siapa yang bersitegang terhadap keluarganya dengan
sumpahnya, maka perbuatan itu dosanya amat besar, kifarat tidak cukup
untuk menutupinya.
Menurut riwayat yang lain, hendaklah ia melanggar sumpahnya, lalu membayar kifarat.
Ali ibnu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: Janganlah kalian jadikan (nama) Allah dalam sumpah kalian
sebagai penghalang. (Al-Baqarah: 224) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna
ayat ialah 'janganlah kamu jadikan sumpahmu menghalang-halangi dirimu
untuk berbuat kebaikan, tetapi bayarlah kifarat sumpahmu itu dan
berbuatlah kebaikan'.
Hal yang sama dikatakan pula oleh Masruq, Asy-Sya'bi, Ibrahim,
An-Nakha'i, Mujahid, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ata, lkrimah, Makhul,
Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ar-Rabi' ibnu Anas,
Ad-Dahhak, Ata Al-Kurrasani, dan As-Saddi rahimahumullah.
Pendapat mereka diperkuat oleh sebuah hadis di dalam kitab Sahihain:
عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنِّي وَاللَّهِ
-إِنْ شَاءَ اللَّهُ -لَا أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ فَأَرَى غَيْرَهَا
خَيْرًا مِنْهَا إِلَّا أَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَتَحَلَّلْتُهَا"
Dari Abu Musa Al-Asy'ari r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda: Sesungguhnya aku, demi Allah, insya Allah, tidak
sekali-kali mengucapkan sumpah, kemudian aku memandang bahwa hal lain
lebih baik darinya, melainkan aku akan melakukan hal yang lebih baik itu
dan aku ber-tahallul dari sumpahku (dengan membayar kifarat).
Telah disebutkan pula di dalam kitab Sahihain bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada Abdur Rahman ibnu Samurah:
"يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ،
فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا،
وَإِنَّ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِذَا
حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ خَيْرًا مِنْهَا فَأْتِ الَّذِي هُوَ
خَيْرٌ وَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ".
Hai Abdur Rahman ibnu Samurah, janganlah kamu meminta imarah (jabatan),
karena sesungguhnya jika kamu aku beri imarah tanpa ada permintaan dari
pihakmu, niscaya aku akan membantunya. Dan jika kamu diberi karena
meminta, maka imarah itu sepenuhnya atas tanggung jawabmu sendiri. Dan
apabila kamu mengucapkan suatu sumpah, lalu kamu melihat hal yang lain
lebih baik daripada sumpahmu itu, maka kerjakanlah hal yang lebih baik
darinya dan bayarlah kifarat sumpahmu.
Imam Muslim meriwayatkan melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَفْعَلِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ".
Barang siapa yang mengucapkan suatu sumpah, lalu ia melihat hal lainnya
lebih baik daripada sumpahnya, maka hendaklah ia membayar kifarat
sumpahnya dan melakukan hal yang lebih baik itu.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ مَوْلَى بَنِي
هَاشِمٍ، حَدَّثَنَا خَلِيفَةُ بْنُ خَيَّاطٍ، حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ
شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى
غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id maula
Bani Hasyim, telah menceritakan kepada kami Khalifah ibnu Khayyat, telah
menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya,
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan
suatu sumpah, lalu ia memandang hal lainnya lebih baik daripada
sumpahnya, maka meninggalkan sumpahnya itu merupakan kifaratnya.
Imam Abu Daud meriwayatkan melalui jalur Abu Ubaidillah ibnul Akhnas,
dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
"لَا نَذْرَ وَلَا يَمِينَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ ابْنُ آدَمَ، وَلَا فِي
مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا فِي قَطِيعَةِ رَحِمٍ، وَمَنْ حَلَفَ عَلَى
يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَدَعْهَا، وَلْيَأْتِ
الَّذِي هُوَ خَيْرٌ، فَإِنَّ تَرْكَهَا كَفَّارَتُهَا".
Tiada nazar dan tiada sumpah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak
Adam (orang yang bersangkutan), tidak pula dalam maksiat kepada Allah,
dan tidak pula dalam memutuskan silaturahmi. Barang siapa yang
mengucapkan suatu sumpah, lalu ia memandang hal lainnya lebih baik
daripada sumpahnya, maka hendaklah ia meninggalkan sumpahnya dan
hendaklah ia melakukan hal yang lebih baik, karena sesungguhnya
meninggalkan sumpah merupakan kifaratnya.
Kemudian Imam Abu Daud mengatakan bahwa hadis-hadis yang dari Nabi Saw. semuanya mengatakan:
" فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ"
Maka hendaklah ia membayar kifarat sumpahnya.
Riwayat inilah yang sahih.
وَقَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ سَعِيدٍ الْكِنْدِيُّ،
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِر، عَنْ حَارِثَةَ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ
عَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ حَلَفَ عَلَى قَطِيعَةِ رَحِمٍ أَوْ مَعْصِيَةٍ،
فَبِرُّهُ أَنْ يَحْنَثَ فِيهَا وَيَرْجِعَ عَنْ يَمِينِهِ".
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sa'id
Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari Harisah
ibnu Muhammad, dari Umrah, dari Aisyah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mengucapkan suatu
sumpah untuk memutuskan silaturahmi dan berbuat maksiat, maka untuk
menunaikan sumpahnya itu ialah hendaknya ia melanggarnya dan mencabut
kembali sumpahnya.
Hadis ini daif, mengingat Harisah adalah Ibnu Abur Rijal yang dikenal
dengan sebutan Muhammad ibnu Abdur Rahman; dia (Harisah) hadisnya tidak
dapat dipakai lagi dinilai lemah oleh semuanya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sa'id ibnu
Musayyab, Masruq serta Asy-Sya'bi, bahwa mereka mengatakan: Tidak ada
sumpah dalam maksiat, dan tidak ada kifarat atasnya.
Firman Allah Swt.:
{لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ}
Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225)
Yakni Allah tidak akan menghukum kalian dan tidak pula mewajibkan suatu
sanksi pun atas diri kalian karena sumpah yang tidak dimaksud untuk
bersumpah. Yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah
kalimat yang biasa dikeluarkan oleh orang yang bersangkutan dengan nada
yang tidak berat dan tidak pula dikukuhkan.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui hadis Az-Zuhri,
dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw.
pernah bersabda:
"مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ: وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى، فَلْيَقُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ"
Barang siapa yang bersumpah, lalu mengatakan dalam sumpah-nya, "Demi
Lata dan Uzza," maka hendaklah ia mengucapkan pula, "Tidak ada Tuhan
selain Allah."
Hal ini dikatakan oleh Nabi Saw. kepada orang-orang Jahiliah yang baru
masuk Islam, sedangkan lisan mereka masih terikat dengan kebiasaannya di
masa lalu, yaitu bersumpah menyebut nama Lata tanpa sengaja. Untuk
itu mereka diperintahkan mengucapkan kalimah ikhlas, mengingat
mereka mengucapkannya tanpa sengaja, dan kalimat terakhir (kalimat
tauhid) berfungsi meralat kalimat yang pertama. Karena itulah pada
firman selanjutnya disebutkan:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ }
tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 225)
Di dalam ayat yang lain disebutkan:
بِما عَقَّدْتُمُ الْأَيْمانَ
disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja.(Al-Maidah: 89)
Imam Abu Daud di dalam Bab "Sumpah yang Tidak Disengaja" mengatakan:
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الشَّامِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ
-يَعْنِي ابْنَ إِبْرَاهِيمَ -حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ -يَعْنِي الصَّائِغَ
-عَنْ عَطَاءٍ: فِي اللَّغْوِ فِي الْيَمِينِ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "هُوَ كَلَامُ
الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ: كَلَّا وَاللَّهِ وَبَلَى وَاللَّهِ".
telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Mas'adah Asy-Syami, telah
menceritakan kepada kami Hayyan (yakni Ibnu Ibrahim), telah menceritakan
kepada kami Ibrahim (yakni As-Saig), dari Ata mengenai sumpah yang
tidak disengaja; Siti Aisyah pernah menceritakan bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda: Sumpah yang tidak disengaja ialah perkataan seorang
lelaki di dalam rumahnya, "Tidak demikian, demi Allah; dan memang benar,
demi Allah."
Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh
Ibnul Furat, dari Ibrahim As-Saig, dari Ata, dari Siti Aisyah secara
mauquf.
Az-Zuhri, Abdul Malik, dan Malik ibnu Magul meriwayatkannya pula, semuanya melalui jalur Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.
Menurut kami, memang demikian telah diriwayatkan oleh Ibnu Juraij, Ibnu Abu Laila, dari Ata, dari Siti Aisyah secara mauquf.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hannad, dari Waki', Abdah dan Abu
Mu'awiyah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
sehubungan dengan firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan
sumpah kalian yang tidak dimaksud(untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225)
Yang dimaksud adalah seperti 'Tidak, demi Allah. Memarig benar, demi
Allah'.
Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Humaid,
dari Salamah, dari Ibnu Ishaq, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti
Aisyah.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari
Al-Qasim, dari Siti Aisyah. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ibnu
Ishaq, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Ata, dari Siti Aisyah, dan perkataan
Abdurrazzaq, yaitu Ma'mar telah menceritakan kepada kami dari Az-Zuhri,
dari Urwah, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: Allah tidak
menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa mereka
adalah kaum yang tergesa-gesa dalam suatu perkara. Maka Abdurrazzaq
mengatakan demikian, 'Tidak, demi Allah' dan 'Memang benar, demi Allah'
dan 'Tidak demikian, demi Allah', mereka adalah kaum yang tergesa-gesa
dalam suatu perkara, tidak ada kesengajaan dalam hati mereka.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun Ibnu
Ishaq Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu
Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah
sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian
disebabkan sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah).
(Al-Baqarah: 225) Siti Aisyah mengatakan, yang dimaksud adalah seperti
perkataan seorang lelaki, Tidak, demi Allah', 'Memang benar demi Allah'.
Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Abu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan kepadaku ibnu
Luhai'ah, dari Abul Aswad, dari Urwah yang menceritakan bahwa Siti
Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya sumpah yang tidak disengaja itu
hanya terjadi pada senda gurau dan berseloroh, yaitu seperti perkataan
seorang lelaki, Tidak, demi Allah,', dan 'Ya, demi Allah.' Maka hal
seperti itu tidak ada kifaratnya. Sesungguhnya yang ada kifaratnya ialah
sumpah yang timbul dari niat hati orang yang bersangkutan untuk
melakukannya atau tidak melakukannya."
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan
dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dalam salah satu pendapatnya, Asy-Sya'bi
dan Ikrimah dalam salah satu pendapatnya, serta Urwah ibnuz Zubair, Abu
Saleh, dan Ad-Dahhak dalam salah satu pendapatnya; juga Abu Qilabah dan
Az-Zuhri.
Pendapat yang kedua menyebutkan, telah dibacakan kepada Yunus ibnu Abdul
A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan
kepadaku orang yang siqah, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari Siti
Aisyah, bahwa ia mengemukakan takwilnya sehu-bungan dengan makna
firman-Nya: Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah kalian yang
tidak dimaksud(untuk bersumpah). (Al-Baqarah: 225) Menurutnya makna yang
dimaksud ialah jika seseorang di antara kalian mengemukakan sumpahnya
atas sesuatu hal, sedangkan dia tidak bermaksud, melainkan hanya
kebenaran belaka, tetapi kenyataannya berbeda dengan apa yang
disumpahkannya.
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas dalam salah satu pendapatnya,
Sulaiman ibnu Yasar, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid pada salah satu
pendapatnya, Ibrahim An-Nakha'i dalam salah satu pendapatnya, Al-Hasan,
Zararah ibnu Aufa, Abu Malik, Ata Al-Khurrasani, Bakr ibnu Abdullah,
salah satu pendapat Ikrimah, Habib ibnu Abu Sabit, As-Saddi, Makhul,
Muqatil, Tawus, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, Yahya ibnu Sa'id, dan
Rabi'ah.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الْحَرَشِيُّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَيْمُونٍ المرالي، حَدَّثَنَا عَوْفٌ
الْأَعْرَابِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ، قَالَ: مَرَّ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْمٍ يَنْتَضِلُونَ
-يَعْنِي: يَرْمُونَ -وَمَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَرَمَى رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ
فَقَالَ: أَصَبْتُ وَاللَّهِ وَأَخْطَأْتُ وَاللَّهِ. فَقَالَ الَّذِي مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَنِثَ الرَّجُلُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: "كَلَّا أَيْمَانُ الرُّمَاةِ لَغْوٌ لَا
كَفَّارَةَ فِيهَا وَلَا عُقُوبَةَ"
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musa
Al-Jarasyi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Maimun
Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Auf Al-A'rabi, dari Al-Hasan
ibnu Abul Hasan yang menceritakan: Rasulullah Saw. bersua dengan suatu
kaum yang sedang berlomba memanah, ketika itu Rasulullah Saw. ditemani
oleh salah seorang sahabatnya. Maka berdirilah salah seorang lelaki dari
kalangan kaum, lalu ia berkata, "Panahku mengenai sasaran, demi Allah;
dan panah yang lainnya melenceng dari sasaran, demi Allah." Maka
berkatalah orang yang menemani Nabi Saw. kepada Nabi Saw., "Wahai
Rasulullah, lelaki itu telah melanggar sumpahnya." Rasulullah Saw.
menjawab, "Tidaklah demikian, sumpah yang diucapkan oleh orang-orang
yang memanah merupakan sumpah yang tidak disengaja, tidak ada kifarat
padanya, tidak ada pula hukuman."
Hadis ini berpredikat mursal lagi hasan dari Al-Hasan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Siti Aisyah dua pendapat kesemuanya.
Telah menceritakan kepada kami Isam ibnu Rawwad, telah menceritakan
kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syaiban, dari Jabir,
dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan sumpah yang tidak disengaja ialah ucapan seseorang,
"Tidak, demi Allah; dan memang benar, demi Allah," dia menduga bahwa
apa yang dikatakannya itu benar, tetapi kenyataannya berbeda.
Pendapat-pendapat yang lain disebutkan oleh Abdur Razzaq, dari Hasyim,
dari Mugirah, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang tidak
disengaja ialah seseorang bersumpah atas sesuatu, kemudian ia lupa
kepada sumpahnya.
Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa sumpah tersebut adalah seperti ucapan
seorang lelaki, "Semoga Allah membutakan penglihatan-ku jika aku tidak
melakukan anu dan anu," atau "Semoga Allah melenyapkan hartaku jika aku
tidak datang kepadamu besok, yakni hartaku yang ini."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul
Husain, telah menceritakan kepada kami Musaddad ibnu Khalid, telah
menceritakan kepada kami Khalid, telah menceritakan kepada kami Ata,
dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak
disengaja ialah sumpah yang kamu ucapkan, sedangkan kamu dalam keadaan
emosi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah
menceritakan kepada kami Abul Jamahir, telah menceritakan kepada kami
Sa'id ibnu Basyir, telah menceritakan kepadaku Abu Bisyr, dari Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang tidak
disengaja ialah bila kamu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh
Allah bagimu, yang demikian itu tidak ada kifaratnya bagimu jika kamu
melanggarnya. Hal yang sama diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.
Imam Abu Daud mengatakan di dalam Bab "Sumpah dalam Keadaan Emosi":
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمِنْهَالِ، أَنْبَأَنَا يَزِيدُ بْنُ
زُرَيْعٍ، حَدَّثَنَا حَبِيبٌ الْمُعَلِّمُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ،
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ: أَنَّ أَخَوَيْنِ مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَ
بَيْنَهُمَا مِيرَاثٌ، فَسَأَلَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ الْقِسْمَةَ
فَقَالَ: إِنْ عُدْتَ تَسْأَلُنِي عَنِ الْقِسْمَةِ، فَكُلُّ مَالِي فِي
رِتَاجِ الْكَعْبَةِ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: إِنَّ الْكَعْبَةَ غَنِيَّةٌ
عَنْ مَالِكَ، كَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَكَلِّمْ أَخَاكَ، سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "لَا يَمِينَ
عَلَيْكَ، وَلَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ الرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا فِي
قَطِيعَةِ الرَّحِمِ، وَلَا فِيمَا لَا تَمْلِكُ".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Minhal, telah menceritakan
kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami
Habib Al-Mu'allim, dari Amr ibnu Syu'aib, dari Sa'id ibnul
Musayyab, bahwa ada dua orang bersaudara dari kalangan Ansar, keduanya
mempunyai bagian warisan. Lalu salah seorang meminta bagian dirinya
kepada saudaranya, kemudian saudaranya berkata, "Jika kamu kembali
meminta bagian kepadaku, maka semua hartaku disedekahkan untuk Ka'bah."
Maka Khalifah Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya Ka'bah tidak memerlukan
hartamu. Maka bayarlah kifarat sumpahmu itu dan berbicaralah dengan
saudaramu. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
'Tiada sumpah atas dirimu dan tiada pula nazar dalam maksiat terhadap
Allah Swt., tiada pula dalam memutuskan silaturahmi, serta tiada pula
dalam apa yang tidak kamu miliki'."
Adapun firman Allah Swt.:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ}
tetapi Allah menghukum kalian disebabkan (sumpah kalian) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hati kalian. (Al-Baqarah: 225)
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid serta lainnya yang bukan hanya seorang,
yang dimaksud ialah bila seseorang bersumpah atas sesuatu, sedangkan ia
mengetahui bahwa dirinya berdusta dalam sumpahnya itu.
Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna ayat ini sama dengan firman-Nya:
{وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ}
tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah yang kalian sengaja. (Al-Maidah: 89), hingga akhir ayat.
Firman Allah Swt.:
{وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ}
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah: 225)
Allah Ta’ala berfirman:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا
تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن
لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ
أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan pertengahan yang biasa kalian berikan kepada
keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan
seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukannya, maka
hendaknya dia berpuasa selama tiga hari. Itulah kaffarat sumpah-sumpah
kalian bila kalian bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah
sumpah-sumpah kalian. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian
ayat-ayatNya agar kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89)
Yang dimaksud dengan makanan pertengahan adalah makanan yang terbaik dan ada yang mengatakan yang pertengahan mutunya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ
“Barangsiapa yang bersumpah kemudian dia melihat selainnya lebih baik
daripada apa yang dia bersumpah atasnya maka hendaklah dia melakukan hal
yang lain itu dan dia membayar kafarah atas (pembatalan) sumpahnya”.
(HR. Muslim no. 1649)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
وَاللَّهِ لَأَنْ يَلِجَّ أَحَدُكُمْ بِيَمِينِهِ فِي أَهْلِهِ آثَمُ لَهُ
عِنْدَ اللَّهِ مِنْ أَنْ يُعْطِيَ كَفَّارَتَهُ الَّتِي افْتَرَضَ اللَّهُ
عَلَيْهِ
“Demi Allah, sungguh, orang yang berkeras hati untuk tetap melaksanakan
sumpahnya, padahal sumpah tersebut dapat membahayakan keluarganya, maka
dosanya lebih besar di sisi Allah daripada dia membayar kaffarah yang
diwajibkan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 6625 dan Muslim no. 1655)
Di antara ibadah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
adalah bahwa ketika seorang muslim ingin menekankan suatu perkara dengan
menggunakan sumpah, maka hendaknya mereka bersumpah dengan menggunakan
nama-nama Allah Ta’ala. Dan syariat sumpah dengan nama Allah ini telah
ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan juga telah disepakati oleh
kaum muslimin. Di antara dalilnya adalah hadits Abdullah bin Umar secara
marfu’:
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang mau bersumpah maka hendaknya dia bersumpah dengan nama
Allah atau dia diam saja.” (HR. Al-Bukhari no. 2482 dan Muslim no.
3105)
Catatan:
Termasuk bersumpah dengan nama Allah adalah bersumpah dengan menggunakan
sifat Allah. Karenanya dibenarkan bersumpah dengan Al-Qur`an karena
Al-Qur`an adalah firman Allah dan firman Allah merupakan sifat Allah.
Ini adalah pendapat sahabat Abdullah bin Mas’ud, Al-Hasan Al-Bashri,
Qatadah, Malik, Asy-Syafi’i, Abu Tsaur, dan selainnya.
Adapun bersumpah dengan mushaf, jika yang dia maksudkan adalah mushafnya
(yang terdiri dari lembaran kertas dan tinta) maka tidak boleh
bersumpah dengannya, karena mushaf dalam artian ini adalah makhluk. Tapi
jika yang dia maksudkan adalah apa yang tertulis dalam mushaf berupa
ayat-ayat Al-Qur`an, maka ini sama hukumnya bersumpah dengan Al-Qur`an.
Ini adalah pendapat Qatadah, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, dan selainnya.
Hukum Sumpah
Hukum sumpah berbeda-beda disesuaikan dengan hukum masalah yang dia bersumpah untuknya. Karenanya hukum sumpah ada lima:
1. Wajib. Jika sumpahnya bertujuan untuk menyelamatkan atau menghindarkan dirinya atau muslim lainnya dari kebinasaan
2. Sunnah. Jika sumpahnya bertujuan untuk mendamaikan dua pihak yang
bertikai atau untuk menghilangkan kedengkian dari seseorang atau untuk
menghindarkan kaum muslimin dari kejelekan.
3. Mubah. Misalnya dia bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu amalan yang hukumnya mubah.
4. Makruh. Jika dia bersumpah untuk melakukan hal yang makruh atau
meninggalkan amalan yang sunnah. Misalnya sumpah dalam jual beli karena
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah:
الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu memang bisa melariskan dagangan akan tetapi menghapuskan berkahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1945)
5. Haram. Bersumpah untuk suatu kedustaan atau dia berdusta dalam
sumpahnya. Termasuk juga di dalamnya bersumpah dengan selain nama dan
sifat Allah, karena itu adalah kesyirikan. Diriwayatkan dari Nabi
shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda dalam hadits Ibnu
Umar:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa yang bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah maka
sungguh dia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Abu Daud no. 2829 dan
At-Tirmizi no. 1455)
Termasuk di dalam kesyirikan ini adalah bersumpah dengan menggunakan nama Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Dalam hal apakah ada kaffaratnya, sumpah terbagi menjadi tiga jenis:
1. Sumpah yang tidak butuh kaffarat jika dilanggar.
Yaitu sumpah yang diucapkan secara tidak sengaja, semisal dia
mengatakan: Tidak demi Allah, betul demi Allah. Termasuk juga di
dalamnya orang yang bersumpah atas sesuatu yang dia kira seperti yang
dia pikirkan akan tetapi ternyata tidak demikian kenyataannya.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah tidak menghukum kalian
disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian
sengaja.” (QS. Al-Maidah: 89)
2. Sumpah yang tidak bisa ditebus dengan kaffarat.
Yaitu sumpah dusta dimana dia bersumpah atas sesuatu padahal dia tahu
bahwa itu adalah dusta. Misalnya dia mengatakan, “Demi Allah saya tidak
melakukannya,” padahal dia telah melakukannya. Demikian pula sebaliknya.
Termasuk di dalamnya bersumpah dengan menggunakan selain nama Allah.
Karena sumpahnya tidak syah, maka tidak ada kewajiban kaffarat atasnya.
Yang ada hanyalah bertaubat dari syirik asghar yang telah diperbuatnya
dan mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
مَنْ حَلَفَ فَقَالَ فِي حَلِفِهِ وَاللَّاتِ وَالْعُزَّى فَلْيَقُلْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَمَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ
فَلْيَتَصَدَّقْ
“Barangsiapa yang bersumpah dan berkata dalam sumpahnya, “Demi Laata dan
Uzza,” maka hendaknya dia mengatakan, “Laa Ilaaha Illallaah.” Dan
barangsiapa yang berkata kepada temannya, “Ayo kita taruhan,” maka
hendaknya dia bersedekah.”(HR. Al-Bukhari no. 4482)
3. Sumpah yang bisa ditebus dengan kaffarat.
Yaitu dia bersumpah dengan menggunakan nama atau sifat Allah untuk
sesuatu yang akan datang tapi ternyata kenyataan yang terjadi tidak
demikian. Misalnya dia mengatakan dengan jujur, “Demi Allah aku akan
melakukannya,” kemudian ternyata dia tidak jadi melakukannya. Atau
sebaliknya dia mengatakan, “Demi Allah aku tidak akan melakukannya,”
lalu di kemudian hari dia melakukannya. Ibnu Qudamah dan Ibnu Al-Mundzir
menukil kesepakatan ulama akan wajibnya membayar kaffarat atas sumpah
jenis ini.
Istitsna` (pengecualian) dalam sumpah.
Yang dimaksud dengan istitsna` di sini adalah dia menambahkan kalimat
‘insya Allah’ pada sumpahnya.” Misalnya dia mengatakan, “Demi Allah aku
akan melakukannya insya Allah.”
Jika dia membatalkan sumpahnya yang mengandung istitsna` maka tidak ada
kaffarat atasnya, karena pada dasarnya istitsna` itu merupakan pemutus
sumpahnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits:
من حلف وقال: إن شاء الله، فقد حنث
“Barangsiapa yang bersumpah dan dia mengatakan dalam sumpahnya, “Insya Allah,” maka dia telah memutuskan sumpahnya.”
Dalam hadits Ibnu Umar secara marfu’:
مَنْ حَلَفَ فَاسْتَثْنَى فَإِنْ شَاءَ مَضَى وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ غَيْرَ حَنِثٍ
“Barangsiapa yang bersumpah tapi dia melakukan istitsna`, maka jika dia
mau maka dia boleh tetap melanjutkan sumpahnya, dan jika dia mau maka
dia boleh meninggalkan sumpahnya tanpa ada dosa.”(HR. Abu Daud no. 2839
dan An-Nasai no. 3733 -dan ini adalah lafazhnya-)
Al-Qurthubi berkata, “Jika sumpah telah syah diucapkan maka dia bisa
diputuskan dengan membayar kaffarat atau melakukan istitsna`.” Ini
adalah mazhab para fuqaha` dan inilah pendapat yang dinyatakan kuat oleh
Ibnul Araby. Hanya saja Ibnul Araby mengatakan, “Dipersyaratkan untuk
keabsahan istitsna` ini adalah dia terlafazhkan dan bersambung dengan
sumpahnya dalam pengucapan.”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika ini (istitsna`) syah, maka
dipersyaratkan pada istitsna` dia harus bersambung dengan sumpahnya,
tidak dipisahkan dari kalimat sumpahnya oleh ucapan lain dan tidak juga
diselingi oleh diam yang lamanya memungkinkan dia berbicara saat itu.
Adapun jika istitsna`nya terputus dari kalimat sumpahnya akibat dia
menarik nafas, atau suaranya habis, karena dia sakit, atau ada gangguang
tiba-tiba, atau karena bersin, atau sesuatu yang lain, maka semua itu
tidak membuat istitsna`nya tidak syah, akan tetapi hukumnya syah. Ini
adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ats-Tsauri, Abu Ubaid, Ishaq, dan
Ashhab Ar-Ra’yi.” Kemudian beliau berkata selanjutnya, “Dipersyaratkan
untuk keabsahan istitsna` dia harus mengucapkannya, tidak ada manfaatnya
melakukan istitsna` dengan hatinya. Ini adalah pendapat sejumlah ulama,
di antaranya: Al-Hasan, An-Nakhai, Malik, Ats-Tsauri, Al-Auzai,
Al-Laits, Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur, Abu Hanifah, Ibnul Mundzir, dan
kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
masalah ini.”
Mengganti sumpah dengan yang lain
Barangsiapa yang bersumpah untuk melakukan sesuatu yang haram atau yang
makruh atau yang mubah, kemudian dia menilai ada amalan lain yang lebih
baik darinya maka wajib atasnya untuk melakukan yang lebih baik itu dan
membatalkan sumpahnya dengan membayar kaffarat. Ini berdasarkan hadits
Abu Hurairah yang pertama di atas.
Kaffarat pembatalan sumpah
Telah dijelaskan di atas sumpah jenis bagaimana yang bisa ditebus dengan
kaffarat. Adapun kaffaratnya maka sebagaimana yang tersebut dalam surah
Al-Maidah di atas:
1. Kaffarat pertama berisi 3 perkara yang harus dipilih salah
satunya: Memberikan makan 10 orang miskin, atau memberikan pakaian 10
orang miskin, atau membebaskan seorang budak.
2. Jika dia tidak sanggup ketiganya maka barulah dia beranjak ke kaffarat yang kedua, yaitu berpuasa selama 3 hari.
Berikut rinciannya:
a. Memberi makan 10 orang miskin.
Makanan yang diberikan sebanyak 1 sha (dua telapak tangan lelaki
dewasa). Orang miskin di sini selain dari kerabat yang dia wajib
memberikan nafkah kepadanya misalnya anaknya atau orang tuanya atau
istrinya atau kerabat lain yang berada di bawah tanggungannya. Ini
adalah pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan selain keduanya.
Tidak boleh memberikan makan kepada satu orang sebanyak 10 kali
sebagaimana tidak boleh mengganti makanan dengan uang, karena semua ini
bertentangan dengan nash ayat di atas.
Apakah boleh memberikannya kepada orang miskin yang kafir? Ada silang pendapat di kalangan ulama.
b. Memberikan pakaian 10 orang miskin.
Sama seperti di atas tidak boleh memberikan 10 baju kepada satu orang
miskin atau mengganti baju dengan uang. Adapun ukuran bajunya, maka ada
silang pendapat di kalangan ulama. Hanya saja Ibnu Qudamah berkata,
“Pakaian bagi lelaki adalah satu pakaian yang bisa menutupi seluruh
tubuhnya. Adapun bagi wanita, maka ukuran minimalnya adalah pakaian yang
mereka bisa pakai dalam shalat.” Wallahu a’lam
c. Membebaskan budak.
Pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dalam hal ini adalah,
dipersyaratkan budaknya harus seorang muslim. Berdasarkan hadits Muawiah
bin Al-Hakam As-Sulami tentang ‘dimana Allah’, di dalamnya disebutkan
bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam membebaskan budak wanita Muawiah
setelah beliau menguji keislamanannya. Maka hadits ini menunjukkan
bahwa semua kaffarat dosa yang sifatnya pembebasan budak, maka
dipersyaratkan haruslah budak yang muslim.
d. Berpuasa 3 hari.
Dia tidak boleh berpuasa 3 hari kecuali jika dia sudah tidak sanggup
melakukan salah satu dari ketiga kaffarat di atas. Apakah dipersyaratkan
dalam keabsahannya harus puasa 3 hari berturut-turut? Ada silang
pendapat di kalangan ulama, hanya saja tidak diragukan bahwa
mengerjakannya secara berurut jauh lebih utama.
Faidah:
1. Apakah boleh membayar kaffarat sebelum sumpah dibatalkan?
Banyak ulama yang membolehkannya, di antara mereka adalah:
Dari kalangan sahabat ada Umar, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Salman Al-Farisi, Maslamah bin Makhlad radhiallahu anhum.
Dari kalangan tabi’in: Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Rabiah bin Abdirrahman, Abdurrahman Al-Auzai, dan selainnya.
Dari kalangan imam: Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah bin Al-Mubarak, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan selainnya.
2. Jika dia meninggal sebelum sempat membayar kaffarat maka diambil
dari hartanya sebelum warisan dibagikan. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i
dan Abu Tsaur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar