Sebagai seorang Muslim sudah pasti ada pada dirinya perasaan cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam,
Namun kadar rasa cinta tersebut berbeda antara satu dengan yang lain.
Kata cinta bukan hanya hiasan kata-kata di bibir, tetapi harus
dibuktikan dalam tindakan dan perbuatan sehari-hari. Rasa cinta kepada
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam wajib dimiliki oleh setiap
Muslim, bahkan melebihi cinta kepada orang tua, anak dan isteri.
Allah berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
Nabi (itu) lebih utama bagi orang-orang Mukmin daripada diri mereka
sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. [al-Ahzab/33:6]
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari Anas Radhiyallahu anhu ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda Shallallahu ‘alaihi wa sallam:: “Tidaklah beriman
salah seorang kalian sampai aku lebih dicintainya dari orang tuanya,
anaknya dan manusia seluruhnya.” [Muttafaq `alaihi]
Para Ulama menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam terbagi kepada dua tingkatan:
Tingkat Pertama : Cinta yang wajib terdapat pada setiap pribadi Muslim.
Ia merupakan dasar keimanan seseorang. Yaitu keridhaan menerima dengan
sepenuh hati ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam
dengan disertai rasa cinta dan pengagungan, serta tidak mencari
petunjuk di luar petunjuk Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam .
Kemudian menta’ati perintahnya, meninggalkan larangannya, mempercayai
segala beritanya dan membela agamanya sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya.
Tingkat Kedua : Cinta yang melebihi dari tingkat sebelumnya. Yaitu cinta
yang membawa kepada sikap yang menjadikan Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa sallam sebagai satu-satunya figur atau qudwah dalam segala
segi kehidupan. Mulai dari menghidupkan sunnah-sunnah beliau, baik dalam
bentuk kualitas maupun kuantitas. Demikian pula, dalam berakhlak dan
budi pekerti terhadap keluarga, karib-kerabat, tetangga dan masyarakat.
Sampai dalam hal adab-adab sehari-hari lainnya seperti dalam berpakaian,
makanan-minum, buang hajat dan tidur.
Sifat-sifat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam selalu hadir dalam
benaknya dan senantiasa ia jadikan sebagai teladan dalam kehidupannya
sehari-hari, hingga cinta tersebut membuatnya benar-benar rindu ingin
bertemu Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dan bersedia menebus
perjumpaannya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dengan
keluarga dan hartanya.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ -صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ « مِنْ أَشَدِّ أُمَّتِيْ لِيْ حُبًّا
نَاسٌ يَكُونُونَ بَعْدِيْ يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ رَآنِى بِأَهْلِهِ
وَمَالِهِ »
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersabda: “Umatku yang amat sangat mencintaiku adalah manusia
yang datang setelahku, salah seorang mereka berkeinginan seandainya ia
dapat melihatku meskipun dengan (mengorbankan) keluarga dan hartanya”.
Salah seorang mengungkapkan perasaannya di hadapan al-Miqdâd bin al-Aswad, sebagaimana terdapat dalam kisah berikut:
عَنْ جُبَيْرٍ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيْهِ قاَلَ جَلَسْنَا إِلَى
الْمِقْدَادِ بْنِ اْلأَسْوَدِ يَوْماً فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ فَقَالَ:
طُوْبَىْ لِهَاتَيْنِ الْعَيْنَيْنِ اللَّتَيْنِ رَأَتاَرَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللهِ لَوَدَدْناَ أَناَّ رَأَيْناَ
مَا رَأَيْتَ وَشَهِدْناَ مَا شَهِدْتَ
Jubair bin Nufair meriwayatkan dari bapaknya, ia berkata: ” Pada suatu
hari, kami duduk di dekat Miqdâd bin al-Aswad. Lalu seseorang lewat
sambil berkata (kepada al-Miqdâd): “Kebaikanlah bagi dua mata ini yang
melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.” (Jubair menanggapi):
“Demi Allah, kami berkeinginan melihat apa yang engkau lihat, dan
menyaksikan apa yang engkau saksikan”. [HR Bukhâri dalam Adâbul Mufrad]
Barangkali perasaan seperti di atas banyak orang yang mengaku
memilikinya, tetapi sikap dan tingkah lakunya sendiri sangat jauh
berseberangan dengan apa yang diakuinya. Atau amalan-amalannya jauh dari
sunnah, bahkan amat nyata bertolak belakang dengan ajaran yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam, penuh dengan kesyirikan dan
bid’ah. Tentu hal yang demikian sudah pasti menodai cintanya kepada
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam. Karena rasa cinta harus
diiringi dengan amalan yang sesuai dengan tata cara yang dicontohkan dan
diajarakan serta dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam.
Jika tidak demikian, tentu cintanya akan ditolak Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa sallam, sebagaimana beliau nyatakan dalam sabda beliau:
عن عَائِشَةَ رضي الله عنها- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ». رواه البخاري ومسلم.
Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda: “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada
di atasnya perintah kami, maka amalan tersebut ditolak”[Muttafaq
`alaihi]
Maka, jika cinta kita ingin diterima dan tidak ditolak, jalan
satu-satunya adalah beramal sesuai dengan petunjuk Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa shalat, dzikir, dll.
Orang-orang yang benar-benar cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
wa sallam, sekalipun mata kepalanya tidak dapat melihat sifat fisik
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam secara nyata waktu di dunia,
namun sifat-sifat, tuntunan dan ajaran beliau selalu hadir dalam
pandangan mata hatinya; maka Allah k akan mengumpulkan orang tersebut
bersama orang yang dicintainya. Sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَقُولُ فِي رَجُلٍ أَحَبَّ قَوْمًا وَلَمْ
يَلْحَقْ بِهِمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
Dari `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam, lalu ia
bertanya: “Ya Rasulullah! Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang
mencintai suatu kaum dan ia tidak berjumpa dengan mereka?” Jawab
Rasulullah: “Seorang manusia (akan dikumpulkan) bersama orang yang
dicintainya” [Muttafaq `alaihi]
Kadangkala seorang Mukmin yang memiliki rasa cinta dan rindu bertemu
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Allah memberi karunia kepadanya
mimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam waktu di dunia.
Namun, bermimpi bertemu Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sering
disalah-gunakan oleh sebagian orang dalam mencapai maksud dan tujuan
tertentu.
Berbagai warna bentuk penyimpangan dalam masalah bermimpi bertemu
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam sering kita temui dalam
kehidupan kita. Seperti ada yang mengaku mimpi bertemu Nabi dengan
pengakuan dusta sebagai modal untuk mengelabui orang dan mencari
popularitas di kalangan pengikutnya. Padahal, ia sama sekali tidak
bermimpi melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallm.
Sebagian lagi, ada yang mengaku menerima ajaran tertentu atau metode
baru dalam beribadah saat bermimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan sebagian yang lain mengaku mendapat do’a atau dzikir dan
salawatan tertentu dalam mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan ada pula yang bermimpi sekedar melihat seseorang berpakaian
serba putih dan pakai surban, sudah langsung diprediksi bahwa ia
bermimpi melihat Nabi. Dan ada lagi yang melakukan wirid-wirid tertentu
untuk bermimpi bertemu Nabi, padahal tidak pernah ada anjuran atau
tuntunannya dalam syari’at. Atau menganggap orang yang mimpi bertemu
Nabi berhak di klaim sebagai wali, serta dapat memberi berkah. Atau
setelah bermimpi, mengaku bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan terjaga.
Agar kita selamat dari penyimpangan-penyimpangan ini. Maka selayaknya
kita menyimak penjelasan Ulama tentang hal ini? Oleh sebab itu, bahasan
kali ini sengaja mengangkat seputar pembahasan mimpi bertemu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
MUNGKINKAN MIMPI BERTEMU NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM? DAN APA HAKEKATNYA?
Mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu hal yang
mungkin dan bisa dialami oleh seseorang, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits-hadits yang shahîh.
Berikut Hadits-hadits berkenaan dengan mimpi ketemu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : وَمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي حَقًّا فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِي وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam mimpi,
maka sungguh ia telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak
bisa menyerupai bentukku. Barangsiapa yang berdusta atasku secara
sengaja maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka”. [HR Bukhâri
dan Muslim]
Dalam hadits pertama ini terdapat beberapa penjelasan, di antaranya:
a. Seseorang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam
mimpi, maka sesungguhnya ia benar-benar telah melihatnya. Apabila
ciri-ciri sifat fisiknya sesuai dengan gambaran yang terdapat dalam
hadits-hadits shahîh. Jika ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai, para
Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian Ulama berpendapat,
bahwa makna mimpinya perlu ditakwilkan. Hal itu pertanda tentang
kekurangan yang terdapat pada diri orang yang bermimpi tersebut dalam
hal beragama. Atau sebagai pertanda terjadinya kerusakan dalam kehidupan
beragama di tengah-tengah masyarakat. Sebagian Ulama lain berpendapat
bahwa ia tidak melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam karena
ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai dengan ciri-ciri sifat fisik
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam. Tetapi setan berupaya menipunya
dalam mimpi tersebut dengan cara mengaku sebagai Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sekalipun setan tersebut tidak mampu menyerupai
ciri-ciri sifat fisik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab
itu, sebagian para Sahabat dan tabi’în jika ada seseorang mengaku mimpi
bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertanyakan ciri-ciri
sifat fisiknya. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Sirîn dalam ungkapan
beliau: “Apabila ia melihatnya dalam bentuk rupa Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam yang sebenarnya”.
Sebagaimana Ibnu Hajar menyebutkan sebuah riwayat dengan sanad yang
shahîh dari Ibnu Sirîn rahimahullah : “Apabila ada seseorang mengisahkan
kepadanya bahwa ia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam
mimpi), maka Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Sebutkanlah padaku ciri
sifat-sifat orang yang engkau lihat tersebut?” Jika orang tersebut
menyebutkan sifat yang tidak dikenalnya, maka Ibnu Sirin rahimahullah
katakan: “Sesungguhnya engkau tidak melihatnya”.
Berikutnya Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan pula riwayat dari Ibnu
Abbas Radhyallahu anhu yang dengan sanad yang Jayyid; Ibnu Kulaib
berkata: “Aku katakan pada Ibnu Abbâs: “Aku melihat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallamdalam mimpi!” Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata:
“Sebutkanlah ciri sifat-sifatnya padaku!” Ibnu Kulaib berkata : “Aku
sebutkan Hasan bin Ali, lalu aku serupakan dengannya.” Ibnu Abbâs
Radhiyallahu anhu berkata : “Sungguh engkau telah melihatnya” ”.
b. Hadits ini menunjukkan tentang kesempurnaan bentuk sifat fisik
jasmani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang sangat rupawan, sehingga
setan tidak mampu untuk menyerupainya. Kesempurnaan tersebut ditambah
lagi dengan kemulian sifat-sifat rohani beliau. Tentu setan akan semakin
tidak mungkin untuk meniru atau menyerupainya, karena bentuk asli
jasmani setan sangat jelek. Oleh sebab itu, Allah Azza wa Jalla jadikan
sebagai perumpamaan bagi pohon Zaqqum. yang menjadi makannan penduduk
Neraka. Demikian pula asli sifat rohaninya adalah sangat buruk pula,
oleh sebab itu ia diberi nama setan, yang artinya dalam bahasa Arab:
pembangkang/yang amat jauh dari nilai-nilai kebaikan.
c. Penggalan akhir dari hadits di atas terdapat larangan sekaligus
ancaman bagi orang yang berbohong atau berdusta dalam hal mimpi bertemu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam menutup hadits tentang mimpi tersebut
dengan sabda beliau “Barangsiapa yang berdusta atasku secara sengaja
maka ia telah mengambil tempat duduk dalam neraka”
حَدََّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ عَنْ يُونُسَ عَنْ
الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ وَلَا يَتَمَثَّلُ
الشَّيْطَانُ بِي قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ إِذَا
رَآهُ فِي صُورَتِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan telah mengabarkan kepada kami
Abdullah dari Yunus dari Az Zuhri telah menceritakan kepadaku Abu
Salamah, bahwasanya Abu Hurairah mengatakan, aku mendengar Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam
tidur, maka (seakan-akan) ia melihatku ketika terjaga, (karena) setan
tidak bisa menyerupaiku.”. Abu Abdullah mengatakan, Ibnu Sirin
mengatakan; ‘Maksudnya jika melihat Beliau dengan bentuk (asli) Beliau.’
(HR. Bukhari No. 6478, Ibnu Majah No.3895)
حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
مُخْتَارٍ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَخَيَّلُ
بِي وَرُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا
مِنْ النُّبُوَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Mu’allaa bin Asad telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Mukhtar telah menceritakan kepada kami
Tsabit Al Bunani dari Anas radliallahu ‘anhu mengatakan, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Siapa melihatku dalam mimpi,
berarti ia telah melihatku, sebab setan tidak bisa menjelma sepertiku,
dan mimpi seorang mukmin adalah sebagian dari empat puluh enam bagian
kenabian.”. (HR. Bukhari No.6479)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنِي
ابْنُ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَبَّابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
الْخُدْرِيِّ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
مَنْ رَآنِي فَقَدْ رَأَى الْحَقَّ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا
يَتَكَوَّنُنِي
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah menceritakan
kepada kami Al Laits telah menceritakan kepadaku Ibnul Al Had dari
Abdullah bin Khabbab dari Abu Sa’id Al Khudzri, ia mendengar Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa melihatku, berarti
ia telah melihat yang sebenarnya, sebab setan tak bisa menjelma
sepertiku.”. (HR. Bukhari No.6482)
حَدََّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ
حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ زَيْدٍ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ وَهِشَامٌ
عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي
Telah menceritakan kepada kami Abu Ar Rabi’ Sulaiman bin Dawud Al
‘Ataki; Telah menceritakan kepada kami Hammad yaitu Ibnu Zaid; Telah
menceritakan kepada kami Ayyub dan Hisyam dari Muhammad dari Abu
Hurairah dia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda:“Barang siapa bermimpi melihatku dalam tidurnya, maka
sesungguhnya dia benar-benar melihatku; karena setan itu tidak dapat
menyerupai bentukku.”. (HR. Muslim No.4206)
حَدََّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ بِي وَقَالَ ابْنُ فُضَيْلٍ مَرَّةً
يَتَخَيَّلُ بِي فَإِنَّ رُؤْيَا الْعَبْدِ الْمُؤْمِنِ الصَّادِقَةَ
الصَّالِحَةَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail telah menceritakan
kepada kami ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari Abu Hurairah, dia
berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa
melihatku di dalam mimpi sungguh dia telah melihatku (yang sebenarnya),
karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai aku”~Ibnu fidloil
berkata: “menghayalkan aku"~ ,Sesungguhnya mimpi seorang mukmin yang
benar adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian kenabian.”. (HR. Ahmad
No.6871, At-Tirmidzi No.2202).
Menurut al-Baqillani, makna “melihatku” (Rasulullah) dalam hadis di atas
adalah benar adanya, bukan mimpi kosong, juga bukan
penyerupaan-penyerupaan dari syetan.
Menurut Imam al-Ghazali, makna sabda Nabi فَقَدْ رَآنِى maksudnya bukan
berarti seseorang akan melihat jasadnya atau badannya, melainkan
seseorang akan melihat perumpamaan dari makna yang terkandung dalam
mimpi tersebut.
Namun, banyak kaum sufi yang berkeyakinan bahwa seseorang dapat bertemu
Nabi secara langsung, meskipun Nabi Muhammad saw. telah wafat empat
belas abad yang silam. Keyakinan kaum sufi yang seperti ini berdasarkan
hadis riwayat al-Bukhari dari Abû Hurairah:
من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي
“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Dan syetan tidak dapat menyerupai diriku.”
Menurut penafsiran kaum sufi, hadis di atas jelas sekali menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad saw. masih hidup dan bisa ditemui secara langsung
oleh kaum sufi. Apalagi jika didahului mimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad saw., maka bisa dipastikan orang yang mimpi tersebut akan
mengalami pertemuan langsung dengan Nabi Muhammad saw. Munculnya
penafsiran ini, menurut kaum sufi karena dalam hadis terdapat kata يقظة
yang berarti “bertemu secara langsung”. Oleh karena itu, banyak kaum
sufi yang mengklaim pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. secara
langsung dan mendapatkan wirid-wirid tertentu, kitab, ilmu, bahkan
diantara mereka ada yang menyatakan bahwa seluruh ucapannya bersumber
dari mulut Nabi Muhammad saw. Para sufi yang mengklaim pernah bertemu
dengan Nabi Muhammad saw. antara lain adalah al-Tijânî, Abû Hasan
al-Syâdzilî, Ibnu ‘Arabi, Muhammad al-Suhaimi, dan lain-lain.
Untuk dapat menafsirkan hadis riwayat al-Bukhari di atas, perlu
diperhatikan apakah ada hadis-hadis lain yang membicarakan tema yang
sama. Jika ternyata ditemukan adanya riwayat lain, maka tidak boleh
mengabaikan riwayat-riwayat tersebut. Karena seperti halnya ayat
al-Qur’an antara yang satu dengan yang lain bisa saling menafsirkan,
dalam hadis Nabi pun berlaku kaidah demikian, yakni antara satu riwayat
dengan riwayat lainnya dapat saling menafsirkan.
Untuk menjawab pertanyaan bisakah seseorang bertemu langsung dengan Nabi
Muhammad saw., ada riwayat lain yang perlu diteliti dan merupakan kunci
untuk memahami hadis mimpi bertemu Nabi Muhammad saw., yaitu sebuah
hadis riwayat Muslim dan Abû Dâwûd melalui jalur Abû Hurairah ra.
Berikut teks hadis tersebut:
مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِى فِى الْيَقَظَةِ أَوْ
لَكَأَنَّمَا رَآنِى فِى الْيَقَظَةِ لاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِى
“Siapa yang melihatku saat mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan
sadar atau seakan-akan ia telah melihatku. Dan syetan tidak bisa
menyerupai diriku.”
Baik riwayat al-Bukhari maupun riwayat Muslim dan Abû Dâwûd, keduanya
sama-sama melalui jalur Abû Hurairah. Namun riwayat al-Bukhari nampaknya
mempunyai arti yang umum. Riwayat seperti ini membutuhkan riwayat lain
untuk menafsirkannya. Tanpa didukung riwayat lain yang semakna, maka
akan sulit untuk menafsirkannya. Bahkan bisa keliru menafsirkannya dan
merusak makna yang sebenarnya dari hadis tersebut.
Sementara riwayat Muslim dan Abû Dâwûd nampaknya mempunyai arti yang
lebih khusus. Maka tepat sekali jika riwayat Muslim dan Abû Dâwûd
tersebut dijadikan sebagai penafsir dari riwayat al-Bukhari. Dengan
demikian, makna hadis
مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَسَيَرَانِى فِى الْيَقَظَةِ
(Siapa yang bermimpi melihatku, maka ia akan melihatku secara nyata),
tidak seperti pemahaman kaum sufi selama ini yakni benar-benar bertemu
langsung dengan Nabi Muhammad saw., tapi hanya merupakan sebuah
pengandaian saja. Kata kunci untuk menafsirkan hadis tersebut adalah
lafazhلَكَأَنَّمَا yang berarti suatu pangandaian. Jika kedua riwayat
tersebut digabungkan, maka hadis itu bermakna Siapa yang bermimpi
melihatku, maka seakan-akan ia telah bertemu langsung denganku.
Untuk mengetahui penafsiran hadis tersebut secara luas, di sini akan
dikemukakan beberapa pendapat ulama ahli hadis. Menurut al-Nawawi,
maksud lafazhفسيراني في اليقظة mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Bagi orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw. namun tidak
sempat berhijrah, lalu orang tersebut bermimpi melihat Nabi Muhammad
saw. maka Allah akan memberikan taufiq-Nya kepada mereka sehingga bisa
bertemu Nabi Muhammad saw.;
2. Akan bertemu Nabi Muhammad saw. di akhirat sebagai pembenaran
mimpinya, karena di akhirat setiap umat Nabi Muhammad saw. baik yang
pernah bertemu maupun belu, akan mengalami pertemuan langsung dengan
beliau;
3. Melihat Nabi di akhirat secara dekat dan mendapat syafa’atnya.
Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, penafsiran terhadap hadis mimpi bertemu
Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dibagi menjadi enam pendapat,
yaitu:
1. Hadis tersebut harus dipahami secara perumpamaan (tasybîh),
karena diperkuat dengan riwayat lain yang redaksi lafazhnya menunjukkan
arti perumpamaan (لَكَأَنَّمَا).
2. Orang yang mimpi bertemu Nabi akan melihat kebenaran, baik secara nyata maupun hanya ta’bir saja.
3. Hadis tersebut dikhususkan kepada orang-orang yang sezaman dengan
Nabi Muhammad saw. dan bagi orang yang beriman kepada Nabi yang belum
sempat melihatnya.
4. Bahwa orang mimpi tersebut akan melihat Nabi, seperti ketika bercermin, namun hal tersebut sangat mustahil.
5. Maknanya bahwa ia akan melihat Nabi Muhammad saw. pada hari kiamat
dan tidak dikhususkan bagi mereka yang telah mimpi bertemu dengan Nabi
saja.
6. Orang yang mimpi melihat Nabi, ia akan melihatnya secara nyata. Namun pendapat ini masih diperdebatkan.
Sementara itu menurut Yûsuf al-Qardhawi, pengertian hadis mimpi bertemu
Nabi dengan berbagai riwayatnya menunjukkan bahwa Allah memuliakan
Nabi-Nya dan memuliakan umat-Nya dengan mencegah syetan untuk
menampakkan dirinya dalam sosok Nabi Muhammad saw. di dalam mimpi.
Tujuannya agar syetan tidak mempunyai peluang untuk berdusta dengan
lisan Nabi-Nya dan tidak bisa menyesatkan umat manusia. Meskipun Allah
telah memberikan kesanggupan kepada syetan untuk merubah dirinya dalam
sosok apa saja yang diinginkannya, tapi untuk menjelma seperti sosok
Nabi Muhammad saw. syetan tidak sanggup melakukannnya. Oleh karena itu,
siapa saja yang melihat Nabi Muhammad saw. dalam mimpinya, maka orang
tersebut sungguh-sungguh telah melihat Nabi Muhammad saw. dengan benar
atau ia telah melihat kebenaran, sebagaimana dijelaskan dalam hadis. Dan
mimpi melihat Nabi Muhammad saw. tidaklah dikategorikan sebagai mimpi
yang kosong dari makna, dan juga bukan dari godaan syetan.
Berdasarkan penafsiran para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendapat yang mengatakan bahwa seseorang dapat bertemu secara langsung
dengan Nabi Muhammad saw. bukan berasal dari hadis yang shahih, tetapi
merupakan penafsiran kaum sufi. Banyaknya kaum sufi yang mengklaim
pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. seakan-akan dapat dijadikan
dalil kebenaran penafsiran tersebut. Sedangkan untuk membuktikan
kebenaran mimpi bertemu dengan Nabi, langkah yang harus ditempuh adalah
dengan menanyakan kepada orang yang bermimpi tentang sifat Nabi yang
ditemuinya itu. Jika cocok dengan sifat yang telah diterangkan dalam
riwayat-riwayat, maka orang tersebut benar-benar telah melihat Nabi
dalam mimpinya. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka orang tersebut telah
bermimpi. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh ahli tafsir mimpi, Ibnu
Sirin, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni:
إذا قص عليه رجل أنه رأى النبي صلى الله عليه و سلم قال صف لي الذي رأيته فان وصف له صفة لا يعرفها قال لم تره
“Jika seseorang berkata kepada Ibnu Sirrin bahwa ia telah mimpi melihat
Nabi Muhammad saw., maka ia akan bertanya kepadanya: ‘Jelaskanlah sifat
orang yang kamu lihat (mimpikan) itu kepadaku’. Maka jika orang yang
bermimpi tersebut mengisahkan kepadanya denga sifat yang tidak diketahui
oleh Ibnu Sirin, maka Ibnu Sirin berkata: ‘Kamu tidak melihat Nabi
Muhammad saw. dalam mimpimu’.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar