Al-Qur’an memperingatkan adanya fitnah istri, anak-anak dan harta benda
yang bisa menjadi sebab kelalaian dalam mewujudkan ketaatan, dan
terkadang menjerumuskan ke dalam kemaksiatan. Sangat sesuai dengan
konteks ini bila Allah memerintahkan ketakwaan dan infak di jalan Allah,
sebab tindakan tersebut menjadi modal manusia dan jalan untuk
membahagiakan dirinya di dunia dan akhirat, Setiap penyakit memiliki
obatnya, sedangkan obat bagi penyimpangan adalah bersegera mewujudkan
sikap istiqamah dan menetapi jalan lurus amal dan ketaatan. Sebagaimana
dijelaskan oleh ayat-ayat berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ
عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٤) إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ
وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ (١٥)
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لأنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (١٦) إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا
حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
(١٧) عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. Maka bertakwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan
nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu, dan barangsiapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu,
dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. Yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
At-Taghaabun: 14-18).
Firman Allah di atas dengan sangat tegas menandaskan, anak bisa menjadi
fitnah dunia bagi kita. Ibarat permata zamrud yang wajib kita pelihara.
Maka berhati-hatilah, janganlah kita terlena dan tertipu sehingga kita
melanggar perintah Allah Azza wa Jalla dan menodai laranganNya. Jangan
sampai anak kita menjadi penyebab turunnya murka dan bencana Allah Azza
wa Jalla pada diri kita. Allah Azza wa Jalla befirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ
وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ , وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ
أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ
عَظِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan
RasulNya, dan juga janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu padahal kamu mengetahui. Dan Ketahuilah, bahwa
hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya di
sisi Allah-lah pahala yang besar. [Al Anfal:27, 28].
Berkenaan dengan firman Allah Azza wa Jalla di atas, Syaikh Abdurrahman
bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,”Allah Ta’ala memerintahkan
para hambaNya yang beriman, agar mereka menunaikan amanah yang
diembankan kepada mereka, baik berupa perintah-perintahNya maupun
larangan-laranganNya. Sesungguhnya amanah adalah hal yang pernah Allah
tawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya.
Kemudian dipikullah amanat tersebut oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zhalim dan amat bodoh. Maka barangsiapa yang menunaikan amanah
tersebut, ia berhak meraih pahala dan ganjaran dari Allah. Adapun orang
yang menyia-nyiakan amanah tersebut, ia berhak mendapat siksa yang
pedih, dan ia menjadi orang yang berkhianat terhadap Allah dan RasulNya
serta amanahNya. Dia telah menurunkan derajat dirinya sendiri dengan
sifat tercela, yakni khianat. Dan telah telah melenyapkan dari dirinya
kesempurnaan sifat, yaitu sifat amanah.”
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
يَآأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لاَيَجْزِي
وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلاَمَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِ شَيْئًا
إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
وَلاَيَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُورُ
Hai manusia, bertawaqalah kepada Rabb-mu, dan takutilah suatu hari yang
(pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang
anak tidak dapat menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah
adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan
kamu, dan jangan (pula) penipu (syaithan) memperdayakan kamu dalam
(mentaati) Allah. [Luqman:33].
Dalam realita, mungkin kerap kita saksikan, para orang tua bekerja
membanting tulang tak kenal lelah demi sang anak. Mencurahkan segenap
upayanya, semata demi kebahagiaan anak. Dari sini dapat kita fahami,
betapa anak mampu menggelincirkan orang tua dari jalan kebenaran,
melalaikan mereka dari akhirat, jika mereka tidak mendasari segala upaya
tersebut untuk meraih ridha Allah.
Sebagian orang mungkin berasumsi, orang tua yang beruntung adalah yang
berhasil menyekolahkan anaknya sampai meraih gelar doktor, insinyur dan
seabrek titel dan gelar lainnya. Mungkin asumsi ini benar, jika ditilik
dari satu sisi saja. Namun ada satu hal penting yang harus diperhatikan
oleh orang tua, bahwa keberhasilan mendidik anak serta kebahagiaan hidup
tidak hanya terletak pada gelar sarjana dan segala fasilitas dunia
lainnya. Anak juga membutuhkan pendidikan rohani dan bimbingan religi,
agar mereka kelak tumbuh menjadi pribadi yang seimbang, mengerti
tugasnya sebagai hamba Allah Azza wa Jalla, juga memahami kedudukannya
sebagai anak dan fungsinya sebagai bagian dari umat. Alangkah baiknya
jika kita memiliki anak bergelar doktor sekaligus muwahhid. Betapa
bahagianya orang tua yang memiliki anak bergelar arsitek yang mu’min dan
shalih. Sehingga ilmu mereka bisa bermanfaat untuk kemashlahatan umat.
Oleh karena itu, setiap orang tua wajib mengetahui perkara-perkara yang
telah Allah wajibkan kepada mereka berkaitan dengan anak-anak. Sehingga
dapat menjaga amanah yang berharga ini.
Diantara yang bisa menebus dosa akibat fitnah yang ditimbulkan dari anak
adalah puasa, shalat dan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim serta Tirmidzi
dari Hudzaifah dalam hadits yang panjang, beliau berkata,”Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أهْلِهِ وَمَالِهِ وَ وَلَدِهِ وَنَفْسِهِ
وِجَارِهِ يُكَفَّرُهَا: الصِّيَامُ وَالصَّلاَةُ وَالصَّدَقَةُ وَاْلأمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ.
Fitnah seseorang dari keluarganya, hartanya, anaknya, dirinya dan
tetangganya ditebus dengan puasa, shalat, sedekah, dan amar ma’ruf nahi
munkar. [Muttafaqun’alaih]
Anak dan Harta Sebagai Perhiasan Dunia
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini menjelaskan bahwa anak dan harta
merupakan sebuah kesenangan dan perhiasan yang melengkapi kehidupan
seseorang di dunia. Dengannya, dia merasakan kebahagiaan dan ketentraman
dalam hidupnya. Di dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ. قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ
بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ
تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ
مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ وَاللهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga). Katakanlah: ‘Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang
lebih baik dari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa
(kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka
dikaruniai) istri-istri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Ali ‘Imran: 14-15)
Anak merupakan karunia dan hibah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai
penyejuk pandangan mata, kebanggaan orang tua dan sekaligus perhiasan
dunia, serta belahan jiwa yang berjalan di muka bumi. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman.
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi shalah adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik menjadi harapan. [Al Kahfi:46].
Dan diantara bentuk perhiasan dunia adalah bangga dengan banyaknya anak, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبُُ وَلَهْوُُ وَزِينَةٌ
وَتَفَاخُرُُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُُ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. [Al Hadid:20].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penyayang. Karena aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak. [HR Nasa’i].
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ, وَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ
مِنِّيْ تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Nikah adalah sunnahku dan barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku
maka bukan termasuk golonganku. Nikahilah wanita yang banyak anak
(subur) dan penuh kasih sayang. Karena aku bangga dengan jumlah kalian
yang banyak pada hari kiamat. [HR. Nasa’i]
Seorang yang bijak, jika sudah mengetahui bahwa anak merupakan
perhiasan, tentunya ia akan menjaga perhiasan tersebut sebaik-baiknya.
Yakni dengan membekali mereka dengan pendidikan yang baik. Hingga mereka
betul-betul menjadi penyejuk pandangan mata, memiliki keluhuran budi
pekerti, akhlak mulia dan sikap ksatria.
Hal ini adalah perkara yang wajib atas setiap orang tua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. [At Tahrim:6].
Cukuplah sebagai tanda jasa dan pujian bagi pendidik, bahwa seorang
hamba akan meraih balasan pahala yang besar setelah wafatnya dan masa
umurnya habis serta habis masa hidupnya.
Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا مَاتَ اْلإنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ صَدَقَةٌ
جَارِيَةٌ أوْ عِلْمٌ يَنْتَفِعُ بِهِ أوْ وَلَدٌ صَالحٌِ يَدْعُوْ لَهُ.
Jika manusia meninggal, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga
perkara; shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang
mendo’akannya.
Jadi, seorang pendidik akan meraih derajat yang tinggi, pahala berlipat
ganda dan meninggalkan pusaka yang mulia di dunia bagi anak cucunya.
Dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي اْلجَنَّةِ, فَيَقُوْلُ: أَنَّي لِي هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ.
Sesungguhnya seseorang akan diangkat derajatnya di surga, maka ia
berkata,”Dari manakah balasan ini?” Dikatakan,” Dari sebab istighfar
anakmu kepadamu”.
Begitu pula dia akan dikumpulkan di surga bersama para kekasih dan
kerabatnya sebagai karunia dan balasan yang baik dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآأَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن
شَىْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami
tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya. [Ath Thur:21].
Namun demikian, kebahagiaan dengan mendapatkan karunia berupa harta dan
anak tidaklah sempurna, jika tidak dibarengi iman dan amal shalih yang
akan menunjang kehidupan dan kebahagiaan dunia serta akhiratnya. Oleh
karenanya, bagi seorang mukmin, kehidupan akhirat jauh lebih penting dan
lebih utama daripada kehidupan dunia. Sehingga kesenangan yang dia
rasakan di dunia tidak akan menjadi penyebab kelalaiannya untuk mengejar
kehidupan yang lebih kekal dan kebahagiaan yang bersifat abadi di
akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ
الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Asy-Syinqithi rahimahullahu menerangkan: “Yang dimaksud ayat yang mulia
ini adalah peringatan kepada manusia agar senantiasa beramal shalih,
agar mereka tidak tersibukkan dengan perhiasan kehidupan dunia berupa
harta dan anak-anak, dari sesuatu yang memberi manfaat kepada mereka di
akhirat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa amalan-amalan yang
shalih.” (Adhwa`ul Bayan, 4/80, cetakan Darul Hadits, Kairo)
Sehingga pada hakikatnya, di balik kesenangan dan kebahagiaan
mendapatkan harta dan anak, keduanya merupakan ujian yang apabila
seorang hamba tidak memanfaatkannya dengan baik maka dapat menyebabkan
kebinasaan dan kehancuran kehidupan dunia serta akhiratnya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)
Juga firman-Nya:
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.”
(Asy-Syu’ara`: 88-89)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperingatkan umatnya dari
bahaya fitnah (cobaan) harta dan anak. Di antaranya adalah yang
diriwayatkan At-Tirmidzi dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat mempunyai ujian, dan ujian bagi umatku adalah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336,)
Demikian pula tentang anak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ
“Sesungguhnya anak itu penyebab kekikiran dan ketakutan.” (HR. lbnu
Majah no. 3666, Al-Hakim dalam Mustadrak, 3/179, Al-Baihaqi, 10/202,
Ibnu Abi Syaibah 6/378, Ath-Thabarani, 3/32,)
Al-Munawi berkata menjelaskan hadits ini: “Yaitu membawa kedua
orangtuanya untuk berbuat bakhil dan mendorongnya untuk bersifat
demikian sehingga dia menjadi kikir harta karenanya, serta meninggalkan
jihad karenanya.”
Al-Mawardi berkata: “Hadits ini mengabarkan bahwa hendaknya seseorang
berhati-hati terhadap anak, yang dapat menyebabkan munculnya sifat-sifat
ini. Juga akan memunculkan akhlak yang demikian. Ada sebagian kaum yang
membenci untuk meminta dikaruniai anak karena khawatir keadaan yang
tidak mampu dia tolak dari dirinya, sebab menetapnya hal ini (pada diri
manusia) secara alami dan mesti terjadi.” (Faidhul Qadir, 2/403)
Masing-masing Ada Saatnya
Dalam Shahih Muslim (no. 2750), dari sahabat Hanzhalah Al-Usayyidi
radhiyallahu ‘anhu –salah seorang juru tulis Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam– dia berkata: Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu menemuiku
lalu bertanya: “Bagaimana keadaanmu, wahai Hanzhalah?”
Beliau berkata: Aku menjawab: “Hanzhalah telah munafik!”
Abu Bakr berkata: “Subhanallah, apa yang engkau katakan?”
Aku berkata: “Tatkala kami berada di samping Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau mengingatkan kami tentang neraka dan surga,
sehingga seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala. Namun di saat
kami keluar dari sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami
menyibukkan diri bersama istri, anak-anak dan kehidupan, sehingga kami
banyak lupa.”
Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pun berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kami juga merasakan hal seperti ini!”
Akupun berangkat bersama Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu hingga kami masuk
ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata:
“Hanzhalah telah munafik, wahai Rasulullah.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Ada apa?”
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, kami berada di sisimu, engkau
mengingatkan kami dengan neraka dan surga sehingga seakan-akan kami
melihatnya dengan mata kepala. Namun jika kami keluar dari sisimu maka
kamipun sibuk bersama istri, anak-anak, dan kehidupan sehingga kami
banyak lupa.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنْ لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ
عِنْدِي وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلَائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ
وَفِي طُرُقِكُمْ وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً -ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ
“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya kalian
terus-menerus (memiliki keimanan) seperti di saat kalian berada di
sisiku dan selalu berdzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian
di atas tempat-tempat tidur dan di jalan-jalan (yang kalian lalui).
Namun wahai Hanzhalah, masing-masing ada saatnya.” Beliau mengucapkannya
tiga kali.
‘Ali Al-Qari berkata tatkala menjelaskan hadits ini: “Kesimpulan
maknanya adalah: Wahai Hanzhalah, terus-menerus dalam keadaan yang
disebutkan adalah satu kesulitan yang tidak seorang pun mampu
melakukannya, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah membebani
demikian. Namun yang sanggup dilakukan oleh kebanyakan adalah seseorang
mempunyai waktu berada dalam keadaan seperti ini. Tidak ada dosa baginya
menyibukkan dirinya untuk bersenang-senang dengan apa yang disebutkan
di waktu yang lain. Engkau dalam keadaan tetap berada di atas jalan yang
lurus. Tidak terdapat kemunafikan pada dirimu sama sekali seperti yang
engkau sangka. Maka berhentilah dari keyakinanmu itu, karena
sesungguhnya itu termasuk celah bagi setan untuk masuk kepada para ahli
ibadah, yang akan mengubah mereka dari apa yang telah mereka amalkan.
Sehingga mereka akan terus berusaha mengubahnya hingga mereka
meninggalkan amalan tersebut.” (Mirqatul Mafatih, 5/150)
Hadits ini menunjukkan bahwa bukanlah satu hal yang tercela jika
seseorang menyempatkan dirinya untuk bersenda gurau bersama istri dan
anak-anaknya. Juga menyibukkan diri dengan usahanya dalam mencari
nafkah. Asalkan perkara tersebut diberi porsi yang sesuai, tidak
menyebabkannya lalai dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jangan pula sebaliknya, karena istri yang dapat menjadi penyebab fitnah,
justru dijadikan alasan untuk tidak menikah. Atau anak dijadikan alasan
penyebab fitnah, sehingga dia menelantarkan mereka dan tidak
menyempatkan waktu bersamanya. Atau harta yang dapat menjadi penyebab
fitnah sehingga meninggalkan mencari nafkah dan tidak menafkahi
orang-orang yang wajib dia nafkahi. Namun semestinya semua itu
ditempatkan sesuai kedudukannya, sehingga bernilai ibadah di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam sebuah hadits dari jalan ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, dia
berkata: Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan
antara Salman dan Abud Darda`, Salman datang mengunjungi kepada Abud
Darda`. Beliau melihat Ummud Darda` dalam keadaan lusuh. Beliau bertanya
kepadanya: “Ada apa denganmu?” Ia menjawab: “Saudaramu Abud Darda`
tidak punya kebutuhan terhadap dunia.” Lalu datanglah Abud Darda` dan
membuatkan makanan untuknya. Abud Darda` lalu berkata: “Makanlah, karena
sesungguhnya aku berpuasa.” Salman berkata: “Saya tidak akan makan
hingga engkau makan.” “Maka diapun makan bersama Salman. Tatkala di
malam hari Abud Darda` bangkit (untuk shalat), maka Salman berkata:
“Tidurlah.” Lalu dia bangkit, lagi maka Salman berkata: “Tidurlah.”
Sehingga tatkala di akhir malam Salman berkata: “Bangunlah sekarang.”
Lalu keduanya pun shalat. Lalu Salman berkata kepadanya: “Sesungguhnya
atas diri ada hak untuk Rabb-mu, ada hak untuk dirimu, dan ada pula hak
untuk keluargamu. Berikanlah hak tersebut kepada setiap yang memiliki
haknya.” Lalu Abud Darda` datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mengabarkan hal tersebut kepada beliau, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah benar Salman.” (HR. Al-Bukhari, no.
1867)
Demikian pula yang diriwayatkan oleh Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: “Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkhutbah di hadapan kami. Tiba-tiba datang Hasan dan Husain
radhiyallahu ‘anhuma yang keduanya sedang memakai gamis berwarna merah
dan keduanya terjatuh. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
turun dari mimbarnya dan menggendong keduanya, lalu meletakkan keduanya
di hadapannya. Lalu beliau berkata: “Maha benar Allah Subhanahu wa
Ta’ala ketika berfirman: ‘Sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kalian
adalah fitnah (ujian)’. Aku melihat dua anak kecil ini berjalan dan
terjatuh, maka aku tidak bersabar, sehingga aku memutus khutbahku dan
menggendong keduanya.” Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya.
(Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan, Ahmad, Ibnu Hibban dan yang lainnya,)
Demikian pula yang diriwayatkan dari Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu
‘anhu, dia berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berada di atas pundaknya, lalu
beliau bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya maka cintailah
dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3749 dan Muslim no. 2422)
Maka, rasa cinta kepada seorang anak dan harta, seharusnya membawa
dampak yang positif, yang semakin mendekatkan seorang hamba kepada
Rabb-nya. Dengan cara menginfakkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
jika itu berupa harta. Adapun anak adalah dengan mendidiknya dan
membiasakannya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semenjak
kecil.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa membimbing kita dan keluarga
kita agar senantiasa menjadi hamba yang ikhlas, bersabar dan istiqamah
dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhkan kita dari
fitnah serta penyebab jauhnya hamba dari beribadah kepada-Nya.
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar