ALLAH SWT menciptakan alam semesta dan menentukan fungsi-fungsi dari
setiap elemen alam ini. Mata hari punya fungsi, bumi punya fungsi,
udara punya fungsi, begitulah seterusnya; bintang-bintang, awan, api,
air, tumbuh-tumbuhan dan seterusnya hingga makhluk yang paling kecil
masing-masing memiliki fungsi dalam kehidupan. Pertanyaan kita adalah
apa sebenarnya fungsi manusia dalam pentas kehidupan ini? Apakah sama
fungsinya dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan? atau mempunyai fungsi yang
lebih istimewa ?
Bagi seorang atheis, manusia tak lebih dari fenomena alam seperti
makhluk yang lain. Oleh karena itu, manusia menurut mereka hadir di muka
bumi secara alamiah dan akan hilang secara alamiah. Apa yang dialami
manusia, seperti peperangan dan bencana alam yang menyebabkan banyak
orang mati, adalah tak lebih sebagai peristiwa alam yang tidak perlu
diambil pelajaran atau dihubungkan dengan kejahatan dan dosa, karena
dibalik kehidupan ini tidak ada apa-apa, tidak ada Tuhan yang mengatur,
tidak ada sorga atau neraka, seluruh kehidupan adalah peristiwa alam.
Bagi orang atheis fungsi manusia tak berbeda dengan fungsi hewan atau
tumbuh-tumbuhan, yaitu sebagai bagian dari alam.
Bagi orang yang menganut faham sekuler, manusia adalah pemilik alam yang
boleh mengunakannya sesuai dengan keperluan. Manusia berhak mengatur
tata kehidupan di dunia ini sesuai dengan apa yang dipandang perlu,
dipandang baik dan masuk akal karena manusia memiliki akal yang bisa
mengatur diri sendiri dan memutuskan apa yang dipandang perlu. Mungkin
dunia dan manusia diciptakan oleh Tuhan, tetapi kehidupan dunia adalah
urusan manusia, yang tidak perlu dicampuri oleh agama. Agama adalah
urusan individu setiap orang yang tidak perlu dicampuri oleh orang lain
apa lagi oleh negara.
Agama Islam mengajarkan bahwa manusia memiliki dua predikat, yaitu
sebagai hamba Allah (`abdullah) dan sebagai wakil Allah (khalifatullah)
di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia adalah kecil dan tak memiliki
kekuasaan. Oleh karena itu, tugasnya hanya menyembah kepada-Nya dan
berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi sebagai khalifatullah, manusia diberi
fungsi sangat besar, karena Allah Maha Besar maka manusia sebagai
wakil-Nya di muka bumi memiliki tanggung jawab dan otoritas yang sangat
besar.
Allah menciptakan alam semesta termasuk bumi yang kita huni di dalamnya.
Setelah bumi tercipta lengkap dengan segala tumbuhan dan hewan,
kemudian Allah menciptakan manusia. Tidak hanya sekadar menciptakan,
Allah mengangkat makhluk baru bernama manusia itu sebagai khalifah di
bumi. Sebagai khalifah, manusia memiliki tugas yang sangat berat. Salah
satunya adalah tugas untuk mengolah dan melestarikan bumi ini. Allah
Maha adil. Setelah memberikan tugas sebagai khalifah, Allah memberikan
bekal hidup kepada manusia.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً
قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا
لَا تَعْلَمُونَ (30)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'" Mereka berkata,
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!" Tuhan
berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
(QS Al-Baqarah: 30)
Allah Swt. menceritakan perihal anugerah-Nya kepada Bani Adam, yaitu
sebagai makhluk yang mulia; mereka disebutkan di kalangan makhluk yang
tertinggi —yaitu para malaikat— sebelum mereka diciptakan. Untuk itu,
Allah Swt. berfirman:Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat. (Al-Baqarah: 30)
Makna yang dimaksud ialah 'hai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, dan ceritakanlah hal ini kepada kaummu'.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari salah seorang ahli bahasa Arab —yaitu Abu
Ubaidah— bahwa lafaziz dalam ayat ini merupakan huruf zaidah (tambahan),
dan bentuk lengkap kalimat ialah wa qala rabbuka tanpa memakai iz.
Pendapat tersebut dibantah oleh Ibnu Jarir. Menurut Al-Qurtubi, semua
ahli tafsir pun membantahnya. Hingga Az-Zujaj mengatakan bahwa pendapat
tersebut merupakan suatu tindakan kurang ajar dari Abu Ubaidah.
{إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً}
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30)
Yakni suatu kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain silih
berganti, abad demi abad, dan generasi demi generasi, sebagaimana
pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ
Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi. (Al-An'am: 165)
{وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ}
dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi. (An-Naml: 62)
{وَلَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَا مِنْكُمْ مَلائِكَةً فِي الأرْضِ يَخْلُفُونَ}
Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai ganti kalian
di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun. (Az-Zukhruf: 60)
{فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ}
Maka datanglah sesudah mereka generasi lain. (Al-A'raf: 169)
Menurut qiraah yang syaz dibaca inni ja'ilun fil ardi khalifah
(sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah-khalifah di muka bumi).
Demikianlah diriwayatkan oleh Zamakhsyari dan lain-lainnya.
Al-Qurtubi menukil dari Zaid ibnu Ali, yang dimaksud dengan khalifah
dalam ayat ini bukanlah Nabi Adam a.s. saja seperti yang dikatakan oleh
sejumlah ahli tafsir. Al-Qurtubi menisbatkan pendapat ini kepada Ibnu
Abbas, Ibnu Mas'ud, dan semua ahli takwil. Akan tetapi, apa yang
dikatakan oleh Al-Qurtubi ini masih perlu dipertimbangkan. Bahkan
perselisihan dalam masalah ini banyak, menurut riwayat Ar-Razi dalam
kitab tafsirnya, juga oleh yang lainnya.
Pengertian lahiriah Nabi Adam a.s. saat itu masih belum kelihatan di
alam wujud. Karena jikalau sudah ada, berarti ucapan para malaikat yang
disitir oleh firman-Nya dinilai kurang sesuai, yaitu:Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)
Ungkapan para malaikat bahwa manusia itu makhluq “ yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah” terbantahkan dengan kenyataan
berdasar hadis shahih berikut yang menyatakan bahwa banyak juga manusia
yang berbuat kebaikan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ أَبِي
الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ
مَلَائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلَائِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي
صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا
فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ
تَرَكْتُمْ عِبَادِي فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ
وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ
مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ وَالْمَلَائِكَةُ يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ بِمِثْلِ حَدِيثِ
أَبِي الزِّنَادِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya katanya; aku menyetorkan
hapalan kepada Malik dari Abu Zanad dari Al A’raj dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; Di antara kalian
ada malaikat yang bergantian di waktu malam dan siang, mereka berkumpul
ketika shalat fajar dan shalat ashar, lantas malaikat yang bermalam
naik dan Tuhan mereka menanyai mereka -sekalipun Dia paling tahu
terhadap mereka- bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku? Jawab
mereka; “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami datangi
mereka juga dalam keadaan shalat.” Dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah
menceritakan kepada kami Ma’mar dari Hammam bin Munabbih dari Abu
Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di antara
kalian ada malaikat yang bergantian… seperti hadis Abu Zanad.” HR Muslim
1001
Karena sesungguhnya mereka (para malaikat) bermaksud bahwa di antara
jenis makhluk ini ada orang-orang yang melakukan hal tersebut,
seakan-akan mereka mengetahui hal tersebut melalui ilmu yang khusus,
atau melalui apa yang mereka pahami dari watak manusia. Karena Allah
Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan jenis
makhluk ini dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam. Atau
mereka berpemahaman bahwa yang dimaksud dengan khalifah ialah orang yang
melerai persengketaan di antara manusia, yaitu memutuskan hukum
terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut perkara-perkara
penganiayaan, dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang
diharamkan serta dosa-dosa. Demikianlah menurut Al-Qurtubi. Atau para
malaikat mengkiaskan manusia dengan makhluk sebelumnya, sebagaimana yang
akan kami kemukakan dalam berbagai pendapat ulama tafsir.
Ucapan para malaikat ini bukan dimaksudkan menentang atau memprotes
Allah, bukan pula karena dorongan dengki terhadap manusia, sebagaimana
yang diduga oleh sebagian ulama tafsir. Sesungguhnya Allah Swt.
menyifati para malaikat; mereka tidak pernah mendahului firman Allah
Swt., yakni tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak
diizinkan bagi mereka mengemukakannya.
Dalam ayat ini (dinyatakan bahwa) ketika Allah memberitahukan kepada
mereka bahwa Dia akan menciptakan di bumi suatu makhluk —menurut
Qatadah—, para malaikat telah mengetahui sebelumnya bahwa
makhluk-makhluk tersebut gemar menimbulkan kerusakan padanya (di bumi).
Maka mereka mengatakan: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah? (Al-Baqarah: 30)
Sesungguhnya kalimat ini merupakan pertanyaan meminta informasi dan
pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam penciptaan itu.
Mereka mengatakan, "Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung
dalam penciptaan mereka, padahal di antara mereka ada orang-orang yang
suka membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jikalau yang
dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan
menyucikan Engkau," yakni kami selalu beribadah kepada-Mu, sebagaimana
yang akan disebutkan nanti. Dengan kata lain (seakan-akan para malaikat
mengatakan), "Kami tidak pernah melakukan sesuatu pun dari hal itu
(kerusakan dan mengalirkan darah), maka mengapa Engkau tidak cukup hanya
dengan kami para malaikat saja?"
Allah Swt. berfirman menjawab pertanyaan tersebut:
{إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Dengan kata lain, seakan-akan Allah bermaksud bahwa sesungguhnya Aku
mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui menyangkut kemaslahatan
yang jauh lebih kuat dalam penciptaan jenis makhluk ini daripada
kerusakan-kerusakan yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku akan
menjadikan dari kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul; di antara
mereka ada para siddiqin, para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah,
ahli zuhud, para wali, orang-orang bertakwa, para muqarrabin, para ulama
yang mengamalkan ilmunya, orang-orang yang khusyuk, dan orang-orang
yang cinta kepada Allah Swt. lagi mengikuti jejak rasul-rasul-Nya.
Ditetapkan di dalam hadis sahih bahwa para malaikat itu apabila naik (ke
langit) menghadap kepada Tuhan mereka seraya membawa amal-amal
hamba-hamba-Nya, maka Allah Swt. bertanya kepada mereka (sekalipun Dia
lebih mengetahui), "Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan
hamba-hamba-Ku?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Kami datangi mereka
dalam keadaan sedang salat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan
sedang salat."
Demikian itu karena mereka datang kepada kita secara silih berganti, dan
mereka berkumpul dalam salat Subuh dan salat Asar. Malaikat yang datang
tinggal bersama kita, sedangkan malaikat yang telah menunaikan tugasnya
naik meninggalkan kita seraya membawa amal-amal kita, sebagaimana yang
disebutkan oleh sabda Nabi Saw.:
"يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ النَّهَارِ، وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ اللَّيْلِ"
Dilaporkan kepada-Nya amal perbuatan malam hari sebelum siang hari, dan amal siang hari sebelum malam hari.
Ucapan para malaikat yang mengatakan, "Kami datangi mereka sedang dalam
keadaan salat, dan kami tinggalkan mereka sedang dalam keadaan salat,"
merupakan tafsir dari firman-Nya kepada mereka (para malaikat):
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah:
30)
Menurut pendapat lain, firman-Nya ini merupakan jawaban kepada mereka,
yang artinya, "Sesungguhnya Aku mempunyai hikmah terinci mengenai
penciptaan makhluk ini, sedangkan keadaan yang kalian sebut itu
sebenarnya kalian tidak mengetahuinya."
Menurut pendapat lainnya, firman Allah Swt ini merupakan jawaban ucapan
mereka yang disitir oleh firman-Nya: padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Lalu Allah
Swt. berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian
ketahui. (Al-Baqarah: 30) Maksudnya, keberadaan iblis di antara kalian
dan keadaan penciptaan ini tidaklah sebagaimana yang kalian gambarkan
itu.
Menurut pendapat yang lain, bahkan ucapan para malaikat tersebut disitir
oleh firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan
Engkau. (Al-Baqarah: 30) Ayat ini mengandung makna permintaan mereka
kepada Allah untuk menghuni bumi sebagai ganti dari Bani Adam, lalu
Allah Swt. berfirman kepada mereka:Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Artinya, keberadaan kalian pada
tempatnya lebih maslahat dan lebih layak bagi kalian. Demikian yang
disebut oleh Ar-Razi dalam salah satu jawabannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnul
Hasan, telah menceritakan kepadaku Al-Hajjaj, dari Jarir ibnu Hazim dan
Mubarak, dari Al-Hasan dan Abu Bakar, dari Al-Hasan dan Qatadah. Semua
menceritakan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya
Aku hendak menciptakan khalifah di muka bumi." Firman Allah yang
menyatakan bahwa 'Dia akan melakukan hal tersebut' artinya 'Dia
memberitahukan hal tersebut kepada mereka'.
As-Saddi mengatakan, Allah bermusyawarah dengan para malaikat tentang
penciptaan Adam. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. As-Saddi
mengatakan bahwa hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Qatadah.
Ungkapan ini mengandung sikap gegabah jika tidak dikembalikan kepada
pengertian pemberitahuan. Ungkapan Al-Hasan serta Qatadah dalam riwayat
Ibnu Jarir merupakan ungkapan yang lebih baik.
Sehubungan dengan makna firman-Nya, "Fil ardi," Ibnu Abu Hatim meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ
حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "دُحِيت
الْأَرْضُ مِنْ مَكَّةَ، وَأَوَّلُ مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ الْمَلَائِكَةُ،
فَقَالَ اللَّهُ: إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً، يَعْنِي
مَكَّةَ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Ata ibnus Sa'ib,
dari Abdur Rahman ibnu Sabit, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
Bumi dihamparkan mulai dari Mekah, dan yang mula-mula melakukan tawaf di
Baitullah adalah para malaikai, lalu Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan khalifah di bumi," yakni Mekah.
Hadis ini berpredikat mursal, sedangkan di dalam sanadnya terdapat
kelemahan, dan di dalam hadis ini terdapat madraj (kalimat yang dari
luar hadis), yaitu makna yang dimaksud dengan bumi adalah Mekah. Karena
sesungguhnya menurut pengertian lahiriah, yang dimaksud dengan bumi
lebih umum daripada hal itu (Mekah).
Firman Allah, "Khalifah," menurut As-Saddi di dalam kitab tafsirnya,
dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah,
dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat, disebutkan bahwa Allah Swt
berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi." Mereka bertanya, "Wahai Tuhan kami, siapakah khalifah
tersebut?" Allah berfirman, "Kelak dia mempunyai keturunan yang suka
membuat kerusakan di muka bumi, saling mendengki, dan sebagian mereka
membunuh sebagian yang lain."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut,
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah dari-Ku
yang berkedudukan menggantikan diri-Ku dalam memutuskan hukum secara
adil di kalangan makhluk-Ku." Sesungguhnya khalifah itu adalah Adam dan
orang-orang yang menempati kedudukannya dalam ketaatan kepada Allah dan
memutuskan hukum dengan adil di kalangan makhluk-Nya. Mereka yang suka
menimbulkan kerusakan dan mengalirkan darah tanpa alasan yang
dibenarkan, hal itu bukan berasal dari khalifah-khalifah-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya makna khilafah yang disebut oleh
Allah Swt. tiada lain khilafah satu generasi dari mereka atas generasi
yang lainnya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa khalifah fi'liyyah diambil
dari perkataan khalafa fulanun fulanan fi hazal amri; dikatakan demikian
apabila Fulan pertama menggantikan Fulan yang kedua dalam hal itu
sesudahnya. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam
firman-Nya:
{ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلائِفَ فِي الأرْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ}
Kemudian Kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi
sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat.
(Yunus: 14)
Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan kepada sultan yang terbesar
sebagai khalifah, karena dia berkedudukan menggantikan sultan yang
sebelumnya dalam menjabat urusan-urusannya, maka dikatakanlah dia
sebagai penggantinya.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa Muhammad Ibnu Ishaq mengatakan
sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud ialah
sebagai penghuni dan pembangunnya. Dengan kata lain, yang akan membangun
bumi dan menghuninya adalah makhluk selain kalian (para malaikat).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah
menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada
kami Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan, "Sesungguhnya yang pertama kali menghuni bumi adalah
makhluk jin. Lalu mereka menimbulkan kerusakan di atas bumi dan
mengalirkan banyak darah serta sebagian dari mereka membunuh sebagian
yang lain." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Setelah itu Allah
mengirimkan Iblis untuk memerangi mereka. Akhirnya iblis bersama para
malaikat memerangi jin, hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau
yang ada di berbagai laut dan sampai ke puncak-puncak gunung. Setelah
itu Allah menciptakan Adam, lalu menempatkannya di bumi. Untuk itu Allah
Swt berfirman: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi' (Al-Baqarah: 30)."
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ata ibnus Sa'ib, dari Ibnu Sabit
sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud oleh para
malaikat adalah Bani Adam (manusia).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa Allah berfirman
kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan di muka bumi
makhluk (manusia) dan Aku akan menjadikan seorang khalifah padanya,"
sedangkan saat itu Allah Swt. tidak memiliki makhluk selain malaikat dan
bumi yang masih belum ada makhluknya. Maka para malaikat berkata,
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan?"
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan sebuah riwayat yang
diketengahkan oleh As-Saddi melalui Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, serta
sejumlah sahabat; ketika Allah Swt. memberitahukan kepada para malaikat
tentang apa saja yang akan dilakukan oleh keturunan Adam, maka malaikat
mengatakan hal tersebut.
Dalam keterangan yang lalu disebutkan pula sebuah riwayat yang
diketengahkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa jin menimbulkan
kerusakan di muka bumi sebelum Adam, maka para malaikat mengatakan hal
tersebut; mereka mengkiaskan manusia dengan jin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Ta-nafisi, telah
menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Bukair
ibnul Akhnas, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa
pada mulanya Jin Banul Jan adalah penghuni bumi sebelum Adam diciptakan
dalam tenggang masa dua ribu tahun. Lalu jin menimbulkan kerusakan di
bumi dan mengalirkan darah. Maka Allah mengirimkan bala tentara dari
kalangan para malaikat. Lalu para malaikat memukul (memerangi) mereka
hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan.
Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat:Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30) Lalu Allah
berfirman menjawab mereka: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Razi' ibnu Anas, dari Abul
Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) sampai dengan
firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang
kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Bahwa Allah menciptakan malaikat
pada hari Rabu, menciptakan jin pada hari Kamis, dan menciptakan Adam
pada hari Jumat. Ternyata suatu kaum dari makhluk jin itu kafir, lalu
para malaikat turun ke bumi memerangi mereka karena mereka membangkang
yang sebelumnya diawali dengan kerusakan di muka bumi. Karena itulah
para malaikat berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya, seperti kerusakan
yang dilakukan oleh makhluk jin. dan mengalirkan darah seperti yang
dilakukan oleh mereka?'*
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu
Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu
Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, telah
menceritakan kepada kami Al-Hasan, bahwa Allah Swt. berfirman kepada
para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi," yakni Allah berfirman kepada mereka, "Sesungguhnya Aku
hendak melakukannya." Mereka beriman kepada Tuhannya, lalu Tuhan
mengajarkan kepada mereka suatu ilmu dan menyembunyikan ilmu yang lain
dari mereka yang hanya diketahui-Nya, sedangkan mereka tidak
mengetahuinya. Lalu mereka mengatakan atas dasar ilmu yang mereka
ketahui, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Lalu Allah
menjawab melalui firman-Nya, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kalian ketahui."
Al-Hasan mengatakan, dahulu makhluk jin menimbulkan kerusakan di muka
bumi dan gemar mengalirkan darah. Akan tetapi, Allah menjadikan dalam
hati mereka (para malaikat) bahwa hal tersebut akan terjadi, lalu mereka
mengucapkan kata-kata yang diajarkan-Nya kepada mereka itu.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan
makna firman-Nya:Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya. (Al-Baqarah: 30) Pada
mulanya Allah memberitahukan kepada para malaikat, "Apabila di muka bumi
terdapat makhluk, niscaya makhluk itu akan menimbulkan kerusakan
padanya dan suka mengalirkan darah." Oleh sebab itu mereka mengatakan,
"Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya?"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Hisyam Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami
Ibnul Mubarak, dari orang yang dikenal (yakni Ibnu Kharbuz Al-Makki),
dari seseorang yang pernah mendengar Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali
mengatakan hal berikut: As-Sijl adalah malaikat, teman-temannya antara
lain Harut dan Marut, sedangkan As-Sijl setiap harinya mempunyai
kesempatan melihat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz) sebanyak tiga kali.
Kemudian ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya, maka
ia memandangnya dan ternyata di dalamnya terdapat perihal penciptaan
Adam dan semua perkara yang berkaitan dengannya. Lalu As-Sijl
membisikkan hal tersebut kepada Harut dan Marut yang merupakan pembantu
As-Sijl. Ketika Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka mengatakan, "Mengapa
Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Keduanya mengatakan hal
tersebut dengan maksud ingin melebihi para malaikat lainnya.
Asar ini garib (aneh), seandainya asar ini memang benar dari Abu Ja'far
Muhammad ibnu Ali Ibnul Husain Al-Baqir, maka dia menukilnya dari
kalangan ahli kitab; di dalam kisah ini terkandung kemungkaran yang
mengakibatkan asar ini ditolak. Kesimpulan riwayat ini menyatakan bahwa
malaikat yang mengatakan hal tersebut hanya dua malaikat saja, padahal
pengertian ini bertentangan dengan konteksnya.
Hal yang lebih aneh lagi ialah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu
Hatim yang menyatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Abu Ubaidillah, telah menceritakan
kepadaku Abdullah ibnu Yahya ibnu Abu Kasir yang menceritakan bahwa ia
pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa para malaikat yang mengatakan
seperti apa yang disebut dalam ayat berikut, yaitu firman-Nya: Mengapa
Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30)
Jumlah mereka semuanya ada sepuluh ribu malaikat, kemudian keluarlah api
dari sisi Allah dan membakar mereka. Kisah ini pun merupakan kisah
Israiliat yang mungkar, sama dengan kisah sebelumnya.
Ibnu Juraij mengatakan, sesungguhnya mereka (para malaikat) hanya
mengatakan apa-apa yang telah diajarkan oleh Allah kepada mereka, yaitu
bahwa hal tersebut akan terjadi sejak penciptaan Adam, lalu mereka
berkata, "Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"
Ibnu Jarir mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya para
malaikat mengatakan, "Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"
Karena Allah telah mengizinkan mereka menanyakan hal tersebut sesudah
Allah memberitahukan kepada mereka bahwa hal itu akan terjadi di
kalangan Bani Adam. Lalu para malaikat bertanya kepada Allah Swt. dengan
ungkapan yang mengandung pengertian aneh terhadap hal tersebut,
"Mengapa mereka berbuat durhaka terhadap-Mu, wahai Tuhan, padahal
Engkaulah Yang menciptakan mereka?" Maka Allah menjawab mereka melalui
firman-Nya:Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.
(Al-Baqarah: 30) Dengan kata lain, hal tersebut pasti terjadi di
kalangan mereka, sekalipun kalian tidak diberi tahu mengenainya; dan
sebagian dari apa yang kalian kemukakan kepada-Ku menunjukkan rasa taat
kalian kepada-Ku.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa sebagian ulama mengatakan hal tersebut
diajukan oleh para malaikat untuk meminta petunjuk tentang hal-hal yang
tidak mereka ketahui mengenai hal itu. Seakan-akan mereka-mengatakan,
"Wahai Tuhan, ceritakanlah kepada kami," sebagai ungkapan meminta
penjelasan, bukan sebagai ungkapan protes. Pendapat inilah yang dipilih
oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnu Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna fir-man-Nya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30)
Bahwa para malaikat meminta pendapat tentang penciptaan Adam. Untuk itu
mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Mereka
mengatakan demikian karena mengetahui bahwa tiada suatu perbuatan pun
yang lebih dibenci oleh Allah selain dari mengalirkan darah dan membuat
kerusakan di muka bumi. Lalu para malaikat berkata pula, "Padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau." Allah
Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian
ketahui." Termasuk di antara hal yang hanya ada dalam pengetahuan Allah
Swt. ialah bahwa di antara khalifah tersebut terdapat para nabi, para
rasul, kaum yang saleh, dan para penghuni surga.
Sa'id ibnu Qatadah mengatakan, telah sampai kepada kami, dari Ibnu Abbas
r.a., bahwa dia pernah berkata, "Sesungguhnya ketika Allah Swt. hendak
menciptakan Adam a.s., para malaikat berkata, 'Allah tidak akan
menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih alim di sisi-Nya daripada
kami.' Maka mereka diuji dengan penciptaan Adam." Setiap makhluk
mendapat ujian, seperti langit dan bumi menerima ujian untuk taat kepada
Allah Swt., sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya;
{اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ}
Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa! Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati."(Fushshila:t
11)
Firman Allah Swt.:
{وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ}
Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa tasbih dan taqdis artinya salat.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas,
juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat
sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Menurut mereka,
makna yang dimaksud ialah para malaikat berkata, "Kami senantiasa salat
kepada-Mu."
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kami
senantiasa mengagungkan dan membesarkan Engkau. Sedangkan menurut
Ad-Dahhak, makna taqdis ialah menyucikan. Menurut Muhammad ibnu Ishaq,
makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami tidak pernah berbuat
maksiat terhadap-Mu dan kami tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak
Engkau sukai.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna taqdis ialah mengagungkan dan
menyucikan. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah lafaz subbuhun
quddusun; dimaksudkan dengan ucapan mereka subbuhun artinya
memahasucikan Allah, dan arti quddusun ialah menyucikan dan
mengagungkan Allah. Hal yang sama dikatakan pula terhadap tanah seperti
Tanah Suci, yang dimaksud ialah tanah yang disucikan. Dengan demikian,
berarti makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami senantiasa menyucikan Engkau dan
membersihkan Engkau dari hal-hal yang dinisbatkan oleh orang-orang kafir
kepada-Mu. Dan makna firman-Nya: dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah:
30) Kami nisbatkan Engkau kepada suatu hal dari sifat-sifat-Mu, yaitu
suci dari semua hal yang kotor dan suci dari segala sesuatu yang
disandarkan oleh orang-orang kafir kepada Engkau.
Di dalam sebuah hadis sahih Muslim disebutkan dari Abu Zar r.a. bahwa
Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai kalam (zikir) yang paling utama.
Maka beliau menjawab:
"مَا اصْطَفَى اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ"
Zikir yang dipilih oleh Allah buat para malaikat-Nya yaitu Subhanallah wa bihamdihi (Mahasuci Allah dengan segala puji-Nya).
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Qart, bahwa Rasulullah
Saw. di malam beliau di-isra-kan mendengar suara tasbih di langit yang
tertinggi mengatakan:
"سُبْحَانَ الْعَلِيِّ الْأَعْلَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى"
Subhanal 'aliyyil A’la subhanahu wa ta'ala (Mahasuci Tuhan Yang Maha Tinggi atas segalanya, Mahasuci Dia dan Maha Tinggi).
Firman Allah Swt.:
{قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ}
Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30)
Qatadah mengatakan, tersebut di dalam ilmu Allah bahwa kelak di kalangan
khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul, kaum yang saleh, dan
para penghuni surga. Dalam pembahasan berikut akan disebutkan berbagai
pendapat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, serta sejumlah sahabat dan
tabi'in mengenai hikmah yang terkandung di dalam firman-Nya: Tuhan
berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui."
(Al-Baqarah: 30)
Al-Qurtubi dan lain-lainnya menyimpulkan dalil ayat ini, wajib
mengangkat seorang khalifah untuk memutuskan perkara yang
diperselisihkan di antara manusia, memutuskan persengketaan mereka,
menolong orang-orang yang teraniaya dari perlakuan sewenang-wenang
orang-orang yang zalim dari kalangan mereka, menegakkan hukuman-hukuman
had, dan memperingatkan mereka dari perbuatan-perbuatan keji serta
hal-hal lainnya yang penting dan tidak dapat ditegakkan kecuali dengan
adanya seorang imam, mengingat suatu hal yang merupakan kesempurnaan
bagi perkara yang wajib hukumnya wajib pula. Pengangkatan imam dapat
dilakukan melalui nas seperti yang dikatakan oleh golongan ahli sunnah
sehubungan dengan pengangkatan sahabat Abu Bakar r.a. Atau dengan
penunjukan seperti yang dikatakan oleh golongan lain dari kalangan ahli
sunnah. Atau dengan pengangkatan oleh khalifah yang mendahuluinya,
seperti yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar As-Siddiq terhadap sahabat
Umar ibnul Khattab. Atau pengangkatannya diserahkan kepada
permusyawaratan sejumlah orang-orang yang saleh, seperti yang pernah
dilakukan oleh Khalifah Umar. Atau dengan kesepakatan ahlul hilli wal
'aqdi yang sepakat mem-bai’at-nya.
Atau melalui pem-bai’at-an yang dilakukan oleh salah seorang dari ahlul
hilli wal 'aqdi terhadap seseorang yang di-bai'at-nya. Bila terjadi hal
ini, maka menurut jumhur ulama wajib ditetapkan. Imam Haramain
meriwayatkan adanya kesepakatan ulama terhadap hal ini.
Atau orang yang terkuat di kalangan orang-orang banyak mengangkat
dirinya secara paksa untuk ditaati, maka khilafah wajib diberikan
kepadanya untuk menghindari perpecahan dan perselisihan. Pendapat ini
telah dinaskan oleh Imam Syafii.
Apakah wajib mempersaksikan pengangkatan imam? Hal ini masih
diperselisihkan. Di antara ulama ada yang mengatakan tidak disyaratkan
adanya kesaksian, sedangkan pendapat yang lainnya mengatakan kesaksian
merupakan syarat pengangkatan; hal ini cukup dilakukan oleh dua orang
saksi.
Al-Jiba'i mengatakan bahwa saksi harus dilakukan oleh empat orang selain
dari orang yang mengangkat dan orang yang diangkatnya, seperti yang
pernah dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. Dia menyerahkan pengangkatan
khalifah kepada permusyawaratan di antara enam orang. Yang terpilih
menjadi pengangkat ialah sahabat Abdur Rahman ibnu Auf, dan yang
diangkatnya ialah sahabat Usman, sedangkan hukum wajib saksi empat orang
disimpulkan dari empat orang dari sisanya. Akan tetapi, pendapat ini
masih perlu dipertimbangkan.
Seorang khalifah wajib laki-laki, merdeka, balig, berakal, muslim, adil,
mujtahid, dapat melihat, semua anggota tubuhnya sehat, berpengalaman
dalam masalah pertempuran dan memiliki pendapat; dan dari kalangan
Quraisy menurut pendapat yang sahih. Dalam hal ini tidak disyaratkan
harus seorang Hasyimi, tidak pula orang yang terpelihara dari
kekeliruan; berbeda dengan pendapat kaum militan dari golongan Rafidah.
Seandainya imam berbuat fasik, apakah harus dipecat atau tidak? Masalah
ini masih diperselisihkan. Tetapi menurut pendapat yang sahih, ia tidak
dipecat karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ"
Terkecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan
(dilakukannya) terhadap Allah di antara kalian, sedangkan hal itu ada
buktinya.
Apakah seorang imam boleh mengundurkan diri? Masalah ini masih
diperselisihkan. Al-Hasan ibnu Ali r.a. mengundurkan diri dan
menyerahkan jabatannya kepada Mu'awiyah. Akan tetapi, apa yang
dilakukannya itu mempunyai uzur (alasan)nya tersendiri, ternyata
sikapnya itu terpuji.
Pengangkatan dua orang imam dalam satu negeri atau lebih dari dua orang
hukumnya tidak boleh karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ"
Barang siapa datang kepada kalian, sedangkan perkara kalian telah
bersatu, dia bermaksud memecah belah di antara kalian, maka bunuhlah dia
oleh kalian di mana pun ia berada.
Demikianlah pendapat jumhur ulama, dan menurut suatu riwayat yang bukan
hanya diketengahkan oleh satu orang disebutkan adanya kesepakatan
mengenai hal ini; di antara mereka yang meriwayatkannya adalah Imam
Haramain.
Mazhab Karamiyah mengatakan, diperbolehkan mengangkat dua orang imam,
bahkan lebih, seperti yang terjadi pada Ali dan Mu'awiyah yang keduanya
merupakan imam yang harus ditaati. Mereka mengatakan, apabila
diperbolehkan mengutus dua orang nabi dalam waktu yang sama dan bahkan
lebih dari dua orang, hal ini pun diperbolehkan dalam imamah, karena
kenabian lebih tinggi kedudukannya daripada imamah tanpa ada yang
memperselisihkan.
Imam Haramain meriwayatkan dari Abu Ishaq, diperbolehkan mengangkat dua
orang imam atau lebih apabila letak wilayahnya berjauhan, sedangkan
daerah-daerah di antara keduanya cukup luas. Akan tetapi, Imam Haramain
bersikap ragu dalam hal ini. Menurut kami, pendapat ini mirip dengan
keadaan para Khalifah Bani Abbas di Irak, Khalifah Fatimiyyah di Mesir,
serta Khalifah Umawiyah di Magrib.
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta
untuk kesejahteraan umat manusia, karena alam semesta memang diciptakan
Tuhan untuk manusia. Sebagai wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas
ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi
kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan diberi otoritas untuk
menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, tetapi
sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam
menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia
dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna,
akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi
manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping
juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah
dibanding binatang.
Fungsi Khalifah
Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Alquran terhadap lingkungan
bersumber dari fungi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut
adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap
alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta
pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Dalam
pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah
sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini
berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan
penciptaannya.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang
sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang
demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak
melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap
lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.”
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan
oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki
ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk
menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan
secara wajar dan baik.
Memanfaatkan Segala Potensi
Manusia merupakan khalifah di bumi ini, diciptakan oleh Allah dengan
berbagai kelebihan dan kesempurnaan yang menyertainya. Kita diberi akal
pikiran dan juga hawa nafsu sebagai pelengkapnya. Manusia telah
diberikan berbagai fasilitas di muka bumi sebagai alat pemenuhan
kebutuhan manusia. Semua yang kita perlukan telah terhampar di alam
semesta, manusia hanya perlu mengelolanya saja.
Dalam kelangsungan hidup manusia terjadi berbagai perkembangan di dunia,
semakin kompleksnya kebutuhan manusia, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, dengan terciptanya berbagai mesin-mesin dan berbagai alat
komunikasi yang membantu meringankan kehidupan dan pekerjaan manusia.
Didorong dengan nafsu keserakahannya, manusia hanya berusaha untuk
memenuhi kebutuhannya, negara hanya berpikir untuk memajukan
perekonomian dan pembangunan besar-besaran diberbagai sektor, tanpa
memikirkan dampak lingkungan yang diakibatkan dari apa yang dilakukan
manusia. Termasuk penduduk Indonesia perilakunya juga seperti itu, bisa
dikatakan kepeduliannya sangat kecil terhadap lingkungan, ini tidak
lepas dari tingkat kesadaran masyarakat dan juga desakan ekonomi yang
juga menuntut masyarakat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya tanpa
menghiraukan dampak lingkungan yang diakibatkan.
Kegiatan manusia di dunia ini banyak menimbulkan masalah bagi
lingkungan, erosi tanah, polusi udara, banjir, tanah longsor, tanah yang
hilang kesuburannya, hilangnya spesies-spesies dalam ekosistem,
kekeringan, hilangnya biota-biota laut dan yang paling memprihatinkan
adalah pemanasan suhu global, yaitu peristiwa pemanasan bumi yang
disebabkan oleh peningkatan ERK (Efek Rumah Kaca) yang disebabkan oleh
gas rumah kaca (GRK), seperti CO2, CH4, Sulfur dan lain-lain yang
menyerap sinar panas atau menyebabkan terperangkapnya panas matahari
(sinar infra merah). ERK (greenhouse effect) bukan berarti disebabkan
oleh bangunan-bangunan yang berdinding kaca, tapi hanya merupakan
istilah yang berasal dari para petani di daerah iklim sedang yang
menanam tanaman di rumah kaca.
Global Warming sangat perlu diperhatikan oleh seluruh penduduk dunia,
dan termasuk didalamnya penduduk Indonesia, dengan bersinergi menurunkan
dan memperlambat peningkatangreenhouse effect. Langkah-langkah nyata
harus dilakukan oleh masyarakat, karena sangat besarnya dampak yang
diakibatkan oleh pemanasan global bagi kelangsungan hidup manusia dan
makhluk lain yang hidup di bumi.
Kita ketahui Indonesia merupakan negara maritim. Pemanasan global yang
saat ini terjadi akan memicu naiknya suhu atmosfer bumi, dan akan
menaikkan permukaaan air laut, yang juga didukung oleh pencairan es di
kutub bumi. Hal ini dapat memicu tenggelamnya negara kita, didahului
dengan tenggelamnya ribuan pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia.
Kalau pemanasan global tidak cepat ditanggulangi dan membiarkan
kegiatan-kegiatan manusia yang tidak ramah dengan lingkungan, mungkin
beberapa abad lagi negara kita akan tenggelam dan berakhirlah peradaban
manusia di dunia.
Seiring pertumbuhan penduduk yang cenderung tidak dapat dikendalikan dan
selalu menunjukkan peningkatan. Hal ini juga terjadi di Indonesia, akan
memicu naiknya kebutuhan-kebutuhan manusia seperti pangan, tempat
tinggal, listrik, BBM dan banyak kebutuhan lainnya. Kesemuanya itu akan
meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan-lahan yang digunakan untuk
produksi pertanian, perkebunan, pertambangan, tempat tinggal,
jalan-jalan dan fasilitas umum. Hal ini tidak bisa dipungkiri, dan
akhirnya terjadilah penebangan pohon-pohon dan hutan untuk memenuhi
kebutuhan untuk bahan baku industri tanpa menghiraukan dampak lingkungan
yang akan diderita.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang
sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang
demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak
melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, “Setiap perusakan terhadap
lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.”
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan
oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki
ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk
menyadari bahwa semuanya adalah “umat” Tuhan yang harus diperlakukan
secara wajar dan baik.
Sebagai khalifah, manusia diberi tangung jawab pengelolaan alam semesta
untuk kesejahteraan ummat manusia, karena alam semesta memang diciptakan
Allah untuk manusia. Sebagai hamba manusia adalah kecil, tetapi sebagai
khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam
menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu, manusia
dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna,
akal, hati, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi
manusia untuk menjadi makhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping
juga sangat potensi untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah
dibanding binatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar