Sebenarnya Islam telah memberikan solusi dari beragam problema karena
Islam diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia dalam mengarungi
kehidupan dimayapada. Coba renungkan sabda panutan kita Rasululloh
Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam yang telah bersabda:
عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيراله وإن أصابته ضراء صبر فكان خيراله
“Sangat menakjubkan perkara orang mukmin itu. Semua perkaranya adalah
baik. Hal ini tidak didapati kecuali pada orang mukmin. Yaitu jika
menerima nikmat dia bersyukur maka ini baik baginya dan jika tertimpa
musibah bersabar dan ini juga baik baginya.” (HR. Muslim: 2999)
Kewajiban lain bagi seorang mukmin ketika menghadapi kesulitan hidup
adalah tawakal kepada Alloh Azza wa Jalla. Berbekal tawakal ini seorang
mukmin mampu menghadapi kehidupan dengan optimisme tinggi dan akan
mendapatkan kemudahan dari Alloh Yang Maha Pemurah.
Dalil tentang tawakkal
وَمَنْ يَّتَوَ كَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ
أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْئٍ قَدْرًا (الطلاق : 3)
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan
yang(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan bagi tiap-tiap
sesuatu.”(QS.At-Thalaq:3).
Hadist Nabi, artinya:
...لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ
لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ
بِطَانًا (رواه الترمذي)
“Jikalau kamu tawakal kepada Allah dan berserah diri sepenuhnya, maka
kamu akan mendapat rizki seperti rizki burung-burung yang diwaktu pagi
berada dalam keadaan lapar dan kembali sore dengan perut
kenyang.”(HR.Turmuzi).
Alloh SWT Berfirman
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Ali Imran (3): 159).
Allah SWT berfirman,
قَالَ رَجُلانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا
ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ
غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ٢٣
Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang
Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan
melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya
kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal,
jika kamu benar-benar orang yang beriman". (Al-Maidah (5): 23).
Banyak orang yang menyangka bahwa tawakal itu adalah pasrah secara
keseluruhan, maka ini adalah anggapan yang tidak benar. Akan tetapi
seorang mukmin jika beribadah kepada Allah mereka bertawakal, tetapi
tidak seperti yang dipahami oleh orang-orang yang bodoh yakni tawakal
adalah sekedar ucapan di bibir tanpa dipahami akal, membuang
sebab-sebab, tidak mau kerja, merasa puas dengan kehinaan dibawah
bendera tawakal kepada Allah ta’ala, dan ridlho dengan takdiryang
terjadi padanya. Bahkan seorang mukmin memahami bahwa tawakal itu
merupakan bagian dari imannya dan aqidah ialah ta’at kepada Allah dengan
menghadirkan semua sebab yang diperlukan dalam semua perbuatan yang
hendak ia kerjakan. Ia tidak berambisi kepada buah tanpa memberikan
sebab sebabnya. Perhatikan dalil-dalil berikut
Ada beberapa perkara yang berkaitan dengan tawakal kepada Allah, yaitu:
Pertama: Tawakal berkaitan dengan masalah akidah. Yaitu meyakini Sang
Pencipta, yaitu Allah, yang dijadikan tempat bersandar oleh setiap
muslim ketika mencari kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Orang yang
mengingkari perkara ini berarti dia kafir.
Kedua: Setiap hamba wajib bertawakal kepada Allah dalam segala
urusannya. Tawakal ini termasuk aktivitas hati, sehingga jika seorang
hamba mengucapkannya tapi tidak meyakini dengan hatinya, maka ia tidak
dipandang sebagai orang yang bertawakal.
Ketiga: Jika seorang hamba mengingkari dalil-dalil wajibnya tawakal yang qath’i (pasti), maka ia telah menjadi orang kafir.
Keempat: Tawakal kepada Allah bukan mengambil hukum kausalitas ketika
beramal (al-akhdzu bil asbab). Keduanya adalah dua masalah yang berbeda.
Dalil-dalilnya pun berbeda. Buktinya Rasulullah saw. senantiasa
bertawakal kepada Allah dan pada saat yang sama beliau beramal dengan
berpegang pada hukum kausalitas. Beliau telah memerintahkan para sahabat
agar melakukan kedua perkara tersebut, baik yang ada dalam Al-Quran
atau Al-Hadits. Beliau telah menyiapkan kekuatan yang mampu dilakukan
seperti menggali sumu-sumur pada saat perang Badar, menggali parit pada
saat perang Khandak. Beliau pernah meminjam baju besi dari Sofwan untuk
berperang. Beliau menyebarkan mata-mata, memutuskan air dari Khaibar,
dan mencari informasi tentang kaum Quraisy ketika melakukan perjalanan
untuk menakhlukkan Makah. Beliau masuk Makah dengan muncul di antara dua
perisai. Beliau pun pernah mengangkat beberapa sahabat sebagai pengawal
beliau sebelum turunnya Firman Allah:
وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
Dan Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (TQS. Al-Maidah [5]: 67)
Begitu pula aktivitas-aktivitas beliau lainnya ketika berada di Madinah
setelah berdirinya Daulah. Adapun ketika di Makah, beliau telah
memerintahkan para sahabat untuk hijrah ke Habsyah. Beliau menerima
perlindungan dari pamannya, Abu Thalib. Beliau tinggal di Syi’ib
(lembah) selama masa pemboikotan. Pada malam hijrah, beliau memeritahkan
Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidur beliau. Beliau tidur di
gua Tsur selama tiga hari. Beliau pun menyewa penunjuk jalan dari Bani
Dail. Semua itu menunjukkan bahwa beliau telah melakukan amal sesuai
kaidah kausalitas. Tapi pada saat yang sama beliau pun tidak menafikan
tawakal. Karena tidak ada hubungan antara tawakal dengan menggunakan
kaidah kausalitas ketika beramal. Mencampur-adukkan antara keduanya akan
menjadikan tawakal hanya sekedar formalitas belaka yang tidak ada
dampaknya dalam kehidupan.
Dalil-dalil tentang kewajiban bertawakal antara lain;
Allah SWT berfirman,
لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ
يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ٨٩
89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
(Al-Maidah (5): 89).
Tawakkal juga dikaitkan dengan Ar-Rahman dimana rahmat-Nya yang maha
luas tidak akan menyia-nyiakan siapapun yang bertawakkal kepada-Nya:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ
فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka
ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada
mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah
sebaik-baik Pelindung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 173)
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لاَ يَمُوتُ
Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati… (TQS. Al-Furqan [25]: 58)
وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (TQS. At-Taubah [9]: 51)
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. (TQS. Ali ‘Imran [3]: 159)
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.(TQS. At-Thalaq [65]: 3)
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
Maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. (TQS. Hud [11]: 123)
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, “Cukuplah Allah
bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan
Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung”.(TQS. At Taubah [9]:
129)
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَإِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Barangsiapa yang tawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (TQS. Al-Anfal [8]: 40)
Dan masih banyak ayat-ayat yang lainnya yang menunjukkan wajibnya bertawakal.
Dari Ibnu Abbas ra., dalam hadits yang menceritakan tujuh puluh ribu
golongan yang akan masuk surga tanpa dihisab dan tanpa disiksa terlebih
dahulu, Rasulullah saw. bersabda:
«هُمْ الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ»
Mereka adalah orang-orang yang tidak suka membaca jampi-jampi dan minta
dijampi. Mereka tidak menyandarkan keuntungan dan kerugian kepada suatu
perkara pun (tathayyur) dan meraka senantiasa bertawakal kepada
Tuhan-nya. ( Mutafaq ‘alaih)
Dari Ibnu Abbas ra., sesungguhnya Rasulullah saw. ketika bangun malam untuk bertahajjud suka membaca:
«…اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ…»
….Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakal. (Mutafaq ‘alaih).
Dari Abu Bakar ra., ia berkata; ketika kami berdua sedang ada di gua
Tsur, aku melihat kaki-kaki kaum Musyrik, dan mereka ada di atas kami.
Aku berkata, “Wahai Rasululullah, jika salah seorang dari mereka melihat
ke bawah kakinya, maka pasti ia akan melihat kita.” Kemudian Rasulullah
bersabda:
«مَا ظَنُّكَ يَا أَبَا بَكْرٍ بِاثْنَيْنِ اللهُ ثَالِثُهُمَا»
Wahai Abu Bakar, apa dugaanmu terhadap dua orang manusia, sementara
Allah adalah yang ketiganya (untuk melindunginya, penj.). (Mutafaq
‘alaih)
Dari Ummi Salmah ra., sesungguhnya Nabi saw. ketika akan keluar dari rumah, beliau suka membaca:
«بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ…»
Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah… (HR.
At-Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan shahih. Iman nawawi dalam
riyadhussalihin berkata, Hadits ini shahih).
Dari Anas bin Malik sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
Jika seseorang akan keluar dari rumahnya kemudian membaca:
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ باِللهِ
(Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan kekuasaan Allah). Maka akan dikatakan kepadanya,
“Cukup bagimu, engkau sungguh telah diberi kecukupan, engkau pasti akan
diberi petunjuk dan engkau pasti dipelihara.” Kemudian ada dua syaitan
yang bertemu dan berkata salah satunya kepada yang lain, “Bagaimana
engkau bisa menggoda seorang manusia yang telah diberi kecukupan,
dipelihara, dan diberi petunjuk.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab
shahihnya. Ia berkata dalam Al-Mukhtarah, hadits ini telah ditakhrij
oleh Abu Daud dan An-Nasai; Isnadnya shahih)
Dari Umar bin Khathab bahwa Rasulullah saw. bersabda:
«لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ
لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ
بِطَانًا»
Jika kamu benar-benar bertawakal kepada Allah, pasti Allah akan
memeberikan rizki kepadamu, sebagimana Allah telah memberikan rizki
kepada burung. Burung itu pergi dengan perut kosong dan kembali ke
sarangnya dengan perut penuh makanan.(HR. Al-Hakim; Ia berkata, hadits
ini shahih isnadnya, dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, dan
dishahihkan oleh oleh Al-Maqdisi dalam Al-Mukhtarah).
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata:
عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ إِنْ كُنْتَ غَافِلاً
يَأْتِيْكَ بِالْأَرْزَاقِ مِنْ حَيْثُ لاَتَدْرِيْ
فَكَيْف تَخَافُ الْفَقْرَ وَاللهُ رَازِقً
فَقَدْ رَزَقَ الطَّيْرَ وَالْحُوْتَ فِى الْبَحْرِ
وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ الرِّزْقَ يَأْتِيْ بِقُوَّةٍ
مَا أَكَلَ الْعُصْفُوْرُ شَيْئًا مَعَ النَّسْرِ
تَزُوْلُ عَنِ الدُّنْيَا فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِيْ
إِذَا جَنَّ عَلَيْكَ اللَّيْلُ هَلْ تَعِيْشُ إِلَى الْفَجْرِ
فَكَمْ مِنْ صَحِيْحٍ مَاتَ مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ
وَكَمْ مِنْ سَقِيْمٍ عَاشَ حِيْنًا مِنَ الدَّهْرِ
وَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا
وَأَكْفَانُهُ فِى الْغَيْبِ تُنْسَجُ وَهْوَ لاَ يَدْرِيْ
فَمَنْ عَاشَ أَلْفًا وَأَلْفَيْن
فَلاَ بُدَّ مِنْ يَوْمٍ يَسِيْرُ إِلَى الْقَبْرِ
ديوان للامام الشافعي " التوكل في الرزق"
Bertakwalah kepada Allah jika kamu lalai
Niscaya Dia memberimu rezeki dengan cara yang tak kau ketahui
Bagaimana kamu takut kefakiran sedangkan Allah pemberi rezeki
Dia memberi rezeki kepada burung, ikan di laut bahari
Barangsiapa menyangka bahwa dg kekuatannya penyebab rezeki
Tentu burung pipit tiada makanan saat elang ada disisi
Engkau akan sirna dari dunia di waktu yg tak kau ketahui
Jika malam telah tiba siapa jamin hidupmu hingga fajar nanti
Begitu banyak orang sehat tanpa sakit mendadak mati
banyak orang sakit namun ia hidup bertahun-tahun ia lalui
Berapa banyak anak muda tertawa-tawa ketika sore dan pagi Sedangkan kafannya ditenun di alam ghaib tanpa ia sadari
Barangsiapa mampu hidup seribu atau dua ribu tahun lagi
Pasti ia masuk kubur yang siap menanti
Al Qusyayri menjelaskan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan
pekerjaan batin. Perbuatan lahiriah yang berbentuk usaha dan ikhtiar
tidaklah menanggalkan tawakal seseorang yang ada dalam hatinya, manakala
seseorang hamba telah yakin bahwa takdir itu datangnya dari Allah SWT.
Karena itu jika usahanya tidak tercapai maka dia melihat begitulah
ketentuan takdir yang berlaku padanya, dan jikalau dia berhasil itu
adalah takdir, yang berbentuk rahmat pertolongan dari Allah SWT.
Dikatakan bahwa tawakal itu merupakan pekerjaan hati manusia dan
merupakan puncak tertinggi keimanan seseorang. Sifat ini akan datang
dengan sendirinya manakala Iman seseorang sudah kuat dan matang.
Imam Al Ghazali menilai bahwa pendapat yang mengatakan tawakal adalah
meninggalkan usaha- usaha badaniah dan tadbir (memutuskan) dengan hati
merupakan pendapat yang tak paham agama. Hal tersebut haram di dalam
syariat. Syariat memuji orang yang bertawakal yang disertai dengan
usaha. Karena itu Hujjatul Islam tersebut menjelaskan bahwa amal
orang-orang yang bertawakkal terbagi empat bagian : (1) Berusaha
memperoleh sesuatu yang dapat memberi manfaat kepadanya, (2) Berusaha
memelihara sesuatu yang dimilikinya dari hal-hal yang bermanfaat itu,
(3) Berusaha menolak dan menghindarkan diri dari hal-hal yang akan
menimbulkan mudharat (bencana), dan (4) Berusaha menghilangkan mudharat
yang menimpa dirinya.
Manfaat Tawakkal ditinjau dari Sabda Rosululloh
Orang yang bertawakal hanya kepada Allah, akan masuk ke dalam surga tanpa hisab.
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ
الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ
لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ
أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا
سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ الآخَرِ فَإِذَا
سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ
أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ ثُمَّ
نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ
فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا
فِي الإِسْلاَمِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ
فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمْ
الَّذِينَ لاَ يَرْقُونَ وَلاَ يَسْتَرْقُونَ وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى
رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ
اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ
رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ
سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: Telah ditunjukkan
kepadaku keadaan umat yang dahulu, hingga saya melihat seorang nabi
dengan rombongan yang kecil, dan ada nabi yang mempunyai penigkut satu
dua orang, bahkan ada nabi yang tiada pengikutnya. Mendadak telihat
padaku rombongan yang besar (yang banyak sekali), saya kira itu adalah
umatku, namun diberitahukan kepadaku bahwa itu adalah nabi Musa as
beserta kaumnya. Kemudian dikatakan kepadaku, lihatlah ke ufuk kanan dan
kirimu, tiba-tiba di sana saya melihat rombongan yang besar sekali.
Lalu dikatakan kepadaku, Itulah umatmu, dan di samping mereka ada tujuh
puluh ribu yang masuk surga tanpa perhingungan (hisab). Setelah itu nabi
bangun dan masuk ke rumahnya, sehingga orang-orang banyak yang
membicarakan mengenai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab itu. Ada
yang berpendapat; mungkin mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW.
Ada pula yang berpendapat, mungkin mereka yang lahir dalam Islam dan
tidak pernah mempersekutukan Allah, dan ada juga pendapt-pendapat lain
yang mereka sebut. Kemudian Rasulullah SAW keluar menemui mereka dan
bertanya, ‘apakah yang sedang kalian bicarakan?’. Mereka memberiktahukan
segala pembicaraan mereka. Beliau bersabda, ‘ Mereka tidak pernah
menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan
burung, dan hanya kepada Rab nya lah, mereka bertawakal.” Lalu
bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, ‘Ya Rasulullah SAW doakanlah
aku supaya masuk dalam golongan mereka.’ Rasulullah SAW menjawab,
‘Engkau termasuk golongan mereka.’ Kemudian berdiri pula orang lain, dan
berkata, ‘doakan saja juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari
mereka.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Engkau telah didahului oleh
Ukasyah.” (HR. Bukhari & Muslim).
Tawakal merupakan sunnah Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW sendiri senantiasa menggantungkan tawakalnya kepada Allah
SWT. Salah satu contohnya adalah bahwa beliau selalu mengucapkan
doa-doa mengenai ketawakalan dirinya kepada Allah SWT:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ
وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ اللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي
أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ
(رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW senantiasa berdoa, ‘Ya Allah
hanya kepada-Mulah aku menyerahkan diri, hanya kepada-Mulah aku beriman,
hanya kepada-Mulah aku bertawakal, hanya kepada-Mulah aku bertaubat,
hanya karena-Mulah aku (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah aku berlindung
dengan kemulyaan-Mu di mana tiada tuhan selain Engkau janganlah Engkau
menyesatkanku. Engkau Maha Hidup dan tidak pernah mati, sendangkan jin
dan manusia mati. (HR. Muslim)
Allah merupakan sebaik-baik tempat untuk bertawakal.
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ قَالَهَا
إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَقَالَهَا
مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَالُوا إِنَّ النَّاسَ
قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas ra, “Hasbunallah wani’mal Wakil’ kalimat yang dibaca
oleh Nabi Ibrahim as ketika dilempar ke dalam ap, dan juga telah dibaca
oleh Nabi Muhammad SAW ketika diprovokasi oleh orang kafir, supaya takut
kepada mereka ; ‘sesungguhnya manusia telah mengumpulkan segala
kekuatannya untuk menghancurkan kalian, maka takutlah kamu dan janganlah
melawan, tapi orang-orang beriman bertambah imannya dan membaca,
Hasbunallah wa ni’mal Wakil (cukuplah Allah yang mencukupi kami dan
cukuplah Allah sebagai tempat kami bertawakal.” (HR. Bukhari)
Tawakal akan mendatangkan nasrullah.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits no 5, dalam kitab Riyadhus
Shalihin. Dimana dikisahkan pada saat perang Dzatur riqa’, ketika
Rasulullah SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan
pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang
musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat
melindungimu dariku?. Namun dengan sangat tenang Rasulullah SAW menjawab
Allah. Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya
jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya bertanya,
sekarang siapakah yang dapat melindungimu dari ku?
Tawakal yang benar tidak akan menjadikan seseorang kelaparan.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى
اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو
خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا (رواه الترمذي)
Dari Umar ra, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,’sekiranya kalian
bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, pastilah
Allah akan memberikan rizki kepada kalian sebagaimana Allah memberi
rizki pada seekor burung. Pergi pagi hari dalam keadaan perut kosong,
dan pulang sore hari dalam keadaan perut kenyang. (HR. Tirmidzi)
Tawakal harus didasarkan kepada tauhid. Adapun tauhid itu ada beberapa tingkatan. Diantaranya.
[1]. Hati harus membenarkan wahdaniyah, yang kemudian diterjemahkan
lewat kata-kata la ilaha illallahu wahdahu la syarika lahu lahul-mulku
wa lahul-hamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir. Jika dia membenarkan
lafazh ini, namun tidak mengetahui dalilnya, berarti itu merupakan
keyakinan orang awam.
[2]. Hamba melihat berbagai macam benda yang berbeda-beda, lalu
melihatnya berasal dari satu sumber. Ini kedudukan orang-orang yang
taqarub.
[3]. Hamba melihat dari mata hatinya bahwa tidak ada yang bisa berbuat
kecuali Allah dan dia tidak memandang kepada selain Allah. KepadaNya dia
takut dan kepada-Nya pula dia berharap serta bertawakal. Karena pada
hakekatnya Allahlah satu-satunya yang bisa berbuat. Dengan
kemahasucian-Nya semua tunduk kepadaNya. Dia tidak mengandalkan hujan
agar tanaman bisa tumbuh, tidak mengandalkan kepada mendung agar hujan
turun, tidak mengandalkan kepada angin untuk menjalankan perahu.
Bersandar kepada semua ini merupakan ketidaktahuan terhadap hakekat
segala urusan. Siapa yang bisa menyibak berbagai hakikat tentu akan
mengetahui bahwa angin tidak berhembus dengan sendirinya. Angin itu
harus ada yang menggerakkannya. Seseorang yang melihat angin sebagai
penyelamat, serupa dengan orang yang ditangkap untuk dipenggal lehernya.
Lalu setelah dilaporkan kepada raja, ternyata raja mengeluarkan
lembaran catatan yang isinya memaafkan kesalahannya. Lalu dia banyak
bercerita tentang tulisan dalam catatan itu, bukan melihat kepada siapa
yang menggerakkan pulpen dan menuliskan catatan itu. Tentu saja ini
suatu kebodohan. Siapa yang tahu bahwa pulpen tidak mempunyai kekuasaan
hukum, tentu dia akan berterima kasih kepada orang orang yang telah
menggunakan pulpen itu, bukan kepada pulpennya. Semua makhluk di dalam
kekuasaan Khaliq, lebih nyata daripada sekedar pulpen di tangan orang
yang menggunakannya. Allahlah yang menciptakan segala sebab dan berkuasa
untuk berbuat apa pun menurut kehendakNya.
Beberapa Gambaran Keadaan Tawakal
Ketahuilah bahwa tawakal itu terbentuk dari kata al-wakalah. Jika
dikatakan, "Wakkala Fulan amruhu ila Fulan ", artinya Fulan yang pertama
menyerahkan urusannya kepada Fulan yang kedua serta bersandar kepadanya
dalam urusan ini.
Tawakal merupakan ungkapan tentang penyandaran hati kepada yang
diwakilkan. Manusia tidak bisa disebut tawakal kepada selainnya kecuali
setelah dia bersandar kepadanya dalam beberapa hal, yaitu dalam masalah
simpati, kekuatan dan petunjuk. Jika engkau sudah mengetahui hal ini,
maka bandingkanlah dengan tawakal kepada Allah. Jika hatimu sudah merasa
mantap bahwa tidak ada yang bisa berbuat kecuali Allah semata, jika
engkau sudah yakin bahwa ilmu, kekuasaan dan rahmat-Nya sempurna, di
belakang kekuasaan-Nya tidak kekuasaan lain, dibelakang ilmu-Nya tidak
ada ilmu lain, di belakang rahmat-Nya tidak ada rahmat lain, berarti
hatimu sudah bertawakal hanya kepada-Nya semata dan tidak menengok
kepada selain-Nya. Jika engkau tidak mendapatkan keadaan yang seperti
ini di dalam dirimu, maka ada satu di antara dua sebab, entah karena
lemahnya keyakinan terhadap hal-hal ini, entah karena ketakutan hati
yang disebabkan kegelisahan dan kebimbangan yang menguasainya. Hati
menjadi gelisah tak menentu karena adanya kebimbangan, sekalipun masih
tetap ada keyakinan. Siapa yang menerima madu lalu ia membayangkan yang
tidak-tidak tentang madu itu, tentu dia akan menolak untuk menerimanya.
Jika seseorang dipaksa untuk tidur di samping mayat di liang kuburan
atau ditempat tidur atau di dalam rumah, tabiat dirinya tentu akan
menolak hal itu, sekalipun dia yakin bahwa mayat itu adalah sesuatu yang
tidak bisa bergerak dan mati. Tapi tabiat dirinya tidak membuatnya lari
dari benda-benda mati lainnya. Yang demikian ini karena adanya
ketakutan di dalam hati. Ini termasuk jenis kelemahan dan jarang sekali
oang yang terbebas darinya. Bahkan terkadang ketakutan ini
berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan penyakit, seperti takut berada di
rumah sendirian, sekalipun semua pintu sudah ditutup rapat-rapat.
Jadi, tawakal tidak menjadi sempurna kecuali dengan disertai kekuatan
hati dan kekuatan keyakinan secara menyeluruh. Jika engkau sudah tahu
makna tawakal dan engkau juga sudah tahu keadaan yang disebut dengan
tawakal, maka ketahuilah bahwa keadaan itu ada tiga tingkatan jika
dilihat dari segi kekuatan dan kelemahan
[1]. Keadaan benar-benar yakin terhadap penyerahannya kepada Allah dan
pertolongan-Nya, seperti keadaannya yang yakin terhadap orang yang dia
tunjuk sebagai wakilnya.
[2]. Tingkatan ini lebih kuat lagi, yaitu keadaannya bersama Allah
seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Anak itu tidak melihat orang
selain ibunya dan tidak akan mau bergabung dengan selain ibunya serta
tidak mau bersandar kecuali kepada ibunya sendiri. Jika dia menghadapi
suatu masalah, maka yang pertama kali terlintas di dalam hatinya dan
yang pertama kali terlontar dari lidahnya adalah ucapan, "Ibu..!" Siapa
yang pasrah kepada Allah, memandang dan bersandar kepada-Nya, maka
keadaannya seperti keadaan anak kecil dengan ibunya. Jadi dia
benar-benar pasrah kepada-Nya. Perbedaan tingkatan ini dengan tingkatan
yang pertama, tingkatan yang kedua ini adalah orang yang bertawakal,
yang tawakalnya murni dari tawakal yang lain, tidak menengok kepada
selain yang ditawakali dan di hatinya tidak ada tempat untuk selainnya.
Sedangkan yang pertama adalah orang yang bertwakal karena dipaksa dan
karena mencari, tidak murni dalam tawakalnya, yang berarti masih bisa
bertwakal kepada yang lain. Tentu saja hal ini bisa mengalihkan
pandangannya untuk tidak melihat satu-satunya yang mesti ditawakali.
[3]. Ini tingkatan yang paling tinggi, bahwa dia di hadapan Allah
seperti mayit di tangan orang-orang yang memandikannya. Dia tidak
berpisah dengan Allah melainkan dia melihat dirinya seperti orang mati.
Keadaan seperti anak kecil yang hendak dipisahkan dengan ibunya, lalu
secepat itu pula dia akan berpegang kepada ujung baju ibunya.
Keadaan-keadaan seperti ini memang ada pada diri manusia. Hanya saja
jarang yang bertahan terus, terlebih lagi tingkatan yang ketiga.
Tindakan Orang-Orang Yang Bertawakal
Sebagian manusia ada yang beranggapan bahwa makna tawakal adalah tidak
perlu berusaha dengan badan, tidak perlu mempertimbangkan dangan hati
dan cukup menjatuhkan ke tanah seperti orang bodoh atau seperti daging
yang diletakkan di atas papan pencincang. Tentu saja ini merupakan
anggapan yang bodoh dan hal ini haram dalam syariat.
Syariat memuji orang-orang yang bertawakal. Pengaruh tawakal akan tampak
dalam gerakan hamba dan usahanya untuk menggapai tujuan. Usaha hamba
itu bisa berupa mendatangkan manfaat yang belum di dapat seperti mencari
penghidupan, ataupun menjaga apa yang sudah ada, seperti menyimpan.
Usaha itu juga bisa untuk mengantisipasi bahaya yang datang, seperti
menghindari serangan, atau bisa juga menyingkirkan bahaya yang sudah
datang seperti berobat saat sakit. Aktivitas hamba tidak lepas dari
empat gambaran berikut ini:
Gambaran Pertama
Mendatangkan Manfaat : Adapun sebab-sebab yang bisa mendatangkan manfaat ada tiga tingkatan.
[1]. Sebab yang pasti, seperti sebab-sebab yang berkaitan dengan
penyebab yang memang sudah ditakdirkan Allah dan berdasarkan
kehendak-Nya, dengan suatu kaitan yang tidak mungkin ditolak dan di
salahi. Misalnya, jika ada makanan di hadapanmu, sementara engkaupun
dalam keadaan lapar, lalu engkau tidak mau mengulurkan tangan ke makan
itu seraya berkata, "Aku orang yang bertawakal. Syarat tawakal adalah
meninggalkan usaha. Sementara mengulurkan tangan ke makan adalah usaha,
begitu pula mengunyah dan menelannya". Tentu saja ini merupakan
ketololan yang nyata dan sama sekali bukan termasuk tawakal. Jika engkau
menunggu Allah menciptakan rasa kenyang tanpa menyantap makanan sedikit
pun, atau Dia menciptakan makanan yang dapat bergerak sendiri ke
mulutmu, atau Dia menundukkan malaikat untuk mengunyah dan memasukkan ke
dalam perutmu, berarti engkau adalah orang tidak tahu Sunnatullah.
Begitu pula jika engkau tidak mau menanam, lalu engkau berharap agar
Allah menciptakan tanaman tanpa menyemai benih, atau seorang istri dapat
melahirkan tanpa berjima', maka semua tiu adalah harapan yang konyol.
Tawakal dalam kedudukan ini bukan dengan meninggalkan amal, tetapi
tawakal ialah dengan ilmu dan melihat keadaaan. Maksudnya dengan ilmu ,
hendaknya engkau mengetahui bahwa Allahlah yang menciptakan makanan,
tangan, berbagai sebab, kekuatan untuk bergerak, dan Dialah yang
memberimu makan dan minum. Maksud mengetahui keadaan, hendaknya hati dan
penyandaranmu hanya kepada karunia Allah, bukan kepada tangan dan
makanan. Karena boleh jadi tanganmu menjadi lumpuh sehingga engkau tidak
bisa bergerak atau boleh jadi Allah menjadikan orang lain merebut
makananmu. Jadi mengulurkan tangan ke makanan tidak menafikan tawakal.
[2]. Sebab-sebab yang tidak meyakinkan, tetapi biasanya penyebabnya
tidak berasal dari yang lain dan sudah bisa diantisipasi. Misalnya orang
yang meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi sebagai musafir melewati
lembah-lembah yang jarang sekali dilewati manusia. Dia berangkat tanpa
membawa bekal yang memadai. Orang seprti ini sama dengan orang yang
hendak mencoba Allah. Tindakannya dilarang dan dia diperintahkan untuk
membawa bekal. Jika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bepergian,
maka beliau membawa bekal dan juga mengupah penunjuk jalan tatkala
hijrah ke Madinah.
[3]. Menyamarkan sebab-sebab yang diperkirakan akan menyeret kepada
penyebab, tanpa disertai keyakinan yang riel, seperti orang yang membuat
pertimbangan secara terinci dan teliti dalam suatu usaha. Selagi
tujuannya benar dan tidak keluar dari batasan syariat, maka hal ini
tidak mengeluarkannya dari tawakal. Tapi dia bisa dikatagorikan
orang-orang yang ambisius jika maksudnya untuk mencari kehidupan yang
melimpah. Namun meninggalkan perencanaan sama sekali bukan termasuk
tawakal, tetapi ini merupakan pekerjaan para penganggur yang ingin hidup
santai, lalu beralasan dengan sebutan tawakal. Umar Radhiyallahu Anhu
berkata, "Orang yang bertawakal ialah yang menyemai benih di tanah lalu
bertawakal kepada Allah."
Gambaran Kedua:
Mempertimbangkan Sebab Dengan Menyimpan Barang : Siapa yang mendapatkan
makanan pokok yang halal, yang andaikan dia bekerja untuk mendapatkan
yang serupa akan membuatnya sibuk, maka menyimpan makanan pokok itu
tidak mengeluarkannya dari tawakal, terlebih lagi jika dia mempunyai
tanggungan orang yang harus diberi nafkah.
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Umar bin Al-Khaththab
Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallalhu alaihi wa sallam pernah menjual
kebun korma Bani Nadhir, lalu menyimpan hasil penjualannya untuk makanan
pokok keluarganya selama satu tahun.
Jika ada yang bertanya, "Bagaimana dengan tindakan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam yang melarang Bilal untuk menyimpan harta?"
Jawabnya : Orang-orang fakir dari kalangan shahabat di sisi Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam tak ubahnya tamu. Buat apa mereka menyimpan
harta jika dijamin tidak akan lapar? Bahkan bisa dijawab sebagai
berikut: Keadaan Bilal dan orang-orang yang semacam dia dari
Ahlush-Shuffah (orang-orang yang ada di emperan) memang tidak selayaknya
untuk menyimpan harta. Jika mereka tidak terima, maka celaan tertuju
pada sikap mereka yang mendustakan keadaan mereka sendiri, bukan pada
masalah menyimpan harta yang halal.
Gambaran Ketiga.
Mencari Sebab Langsung Untuk Menyingkirkan Mudharat. Bukan termasuk
syarat tawakal jika meninggalkan sebab-sebab yang dapat menyingkirkan
mudharat. Misalnya, tidak boleh tidur di sarang binatang buas, di tempat
aliran air, di bawah tembok yang akan runtuh. Semua ini dilarang.
Tawakal juga tidak berkurang karena mengenakan baju besi saat
pertempuran, menutup pintu pada malam hari dan mengikat onta dengan
tali. Allah berfirman.
"Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata." [An-Nisa' : 102]
Ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat ontaku dan
bertawakal , ataukah aku melepasnya dan bertawakal?" Beliau menjawab,
"Ikatlah dan bertawakallah." [Diriwayatkan At-Tirmidzy]
Bertawakal dalam hal-hal ini adalah yang berkaitan dengan penyebab dan
bukan pada sebab serta ridha terhadap apapun yang ditakdirkan Allah.
Jika barang-barangnya dicuri orang, padahal andaikata ia waspada dan
hati-hati tidak akan tercuri, lalu dia pun mengeluh setelah itu, maka
nyatalah keadaannya yang jauh dari tawakal.
Ketahuilah bahwa takdir itu seperti dokter. Jika ada makanan yang
datang, maka dia gembira dan berkata, "Kalau bukan karena takdir itu
tahu bahwa makanan adalah bermanfaat bagiku, tentu ia tidak akan
datang." Kalau pun makan itu pun tidak ada, maka dia tetap gembira dan
berkata, "Kalau tidak karena takdir itu tahu bahwa makanan itu membuatku
tersiksa, tentu ia tidak akan terhalang dariku."
Siapa yang tidak yakin terhadap karunia Allah, seperti keyakinan orang
sakit terhadap dokter yang handal, maka tawakalnya belum dikatakan
benar. Jika barang-barangnya di curi, maka dia ridha terhadap qadha' dan
menghalalkan barang-barangnya bagi orang yang mengambilnya, karena
kasih sayangnya terhadap orang lain, yang boleh jadi adalah orang
Muslim. Sebagian orang ada yang mengadu kepada seorang ulama, karena dia
dirampok di tengah jalan dan semua hartanya dirampas. Maka ulama itu
berkata, "Jika engkau lebih sedih memikirkan hartamu yang dirampok itu
daripada memikirkan apa yang sedang terjadi di kalangan orang-orang
Muslim, lalu nasehat macam apa lagi yang bisa kuberikan kepada
orang-orang Muslim?"
Gambaran Keempat.
Usaha menyingkirkan mudharat, seperti mengobati penyakit yang berjangkit
dan lain-lainnya. Sebab-sebab yang bisa menyingkirkan mudharat bisa
dibagi menjadi tiga macam.
[1]. Yang pasti, seperti air yang menghilangkan dahaga, roti yang
menghilangkan lapar. Meninggalkan sebab ini sema sekali bukan termasuk
tawakal.
[2]. Yang disangkakan, seperti operasi, berbekam, minum urus-urus dan
lain-lainnya. Hal ini juga tidak mengurangi makna tawakal. Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam pernah berobat dan menganjurkan untuk
berobat. Banyak orang-orang Muslim juga melakukannya, namun ada pula di
antara mereka yang tidak mau berobat karena alasan tawakal, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, tatkala
dia ditanya, "Bagaimana jika kamu memanggilkan tabib untuk mengobatimu?"
Dia menjawab, "Tabib sudah melihatku.", "Apa katanya?", tanya orang
itu. Abu Bakar menjawab, "Katanya, 'Aku dapat berbuat apa pun yang
kukehendaki'." Al-Mushannif Rahimahullah berkata, "Yang perlu kami
tegaskan bahwa berobat adalah lebih baik. Keadaan Abu Bakar itu bisa
ditafsiri bahwa sebenarnya dia sudah berobat, dan tidak mau berobat lagi
karena sudah yakin dengan obat yang diterimanya, atau mungkin dia sudah
merasa ajalnya yang sudah dekat, yang dia tangkap dari tanda-tanda
tertentu." Yang perlu diketahui, bahwa berbagai macam obat telah
dihamparkan Allah di bumi ini.
[3]. Sebabnya hanya sekedar kira-kira, seperti menyundut dengan api. Hal
ini termasuk sesuatu yang keluar dari tawakal. Sebab Rasullulah
Sahallahu alaihi wa sallam mensifati orang-orang yang bertawakal sebagai
orang-orang yang tidak suka menyundut dengan api. Sebagian ulama ada
yang menakwili, bahwa yang dimaksudkan menyundut dalam sabda beliau,
"Tidak menyundut dengan api", ialah cara yang biasa dilakukan semasa
Jahiliyyah, yaitu orang-orang biasa menyundut dengan api dan membaca
lafazh-lafazh tertentu selagi dalam keadaan sehat agar tidak jatuh
sakit. Sesungguhnya Nabi Shallaluhu alaihi wa sallam tidak membaca
ruqyah kecuali setelah ada penyakit yang berjangkit. Sebab beliau juga
pernah menyundut As'ad bin Zararah Radhiyallahu anhu. Sedangkan mengeluh
sakit termasuk tindakan yang mengeluarkan dari tawakal. Orang-orang
salaf sangat membenci rintihan orang yang sakit, karena rintihan itu
menerjemahkan keluhan. Al-Fudhail berkata, "Aku suka sakit jika tidak
ada yang menjengukku." Seseorang pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad,
"Bagaiman keadaanmu?" Al-Iman Ahmad berjawab, "Baik-baik." "Apakah
semalam engkau demam?" tanya orang itu. Al-Imam Ahmad berkata, "Jika
sudah kukatakan kepadamu bahwa aku dalam keadaan baik, janganlah engkau
mendorongku kepada sesuatu yang kubenci." Jika orang sakit menyebutkan
apa yang dia rasakan kepada tabib, maka hal itu diperbolehkan. Sebagian
orang-orang salaf juga melakukan hal ini. Di antara mereka berkata, "Aku
hanya sekedar mensifati kekuasaan Allah pada diriku." Jadi dia
menyebutkan penyakitnya seperti menyebutkan suatu nikmat, sebagai rasa
syukur atas penyakti itu, dan itu bukan merupakan keluhan. Kami
meriwayatkan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda.
"Aku sakit demam seperti dua orang di antara kalian yang sakit demam." [Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim]
Tawakal yang merupakan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW, jika
dilakukan dengan baik dan benar, insya Allah tidak akan menjadikan
seorang hamba menjadi hina dan tidak memiliki apa-apa. Karena tawakal
tidak identik dengan kepasrahan yang tidak beralasan. Namun tawakal
harus terlebih dahulu didahului dengan adanya usaha yang maksiman.
Hilangnya usaha, berarti hilanglah hakekat dari tawakal itu.
Oleh kerananya, marilah kita meningkatkan rasa tawakal kita kepada
Allah, dengan memperbanyak unsur-unsur yang merupakan derajat dalam
ketawkalan ke dalam diri kita. Sehingga kitapun dapat masuk ke dalam
surga Allah tanpa adanya hisab, sebagaimana yang dikisahkan dalam hadits
di atas. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar