Melihat Allah merupakan kenikmatan yang tertinggi bagi penghuni jannah.
Sedangkan dunia kita ini adalah bukan tempat kenikmatan, akan tetapi
merupakan tempat bersusah payah, bersedih dan tempat pemberian beban
(taklif) atau tempat usaha. Jadi Allah tidak bisa dilihat di dunia
sekarang ini, akan tetapi di akhirat nanti orang-orang beriman akan
melihatNya.
Pernahkah Seseorang Melihat Allah? Apakah manusia pernah melihat Allah sampai saat ini?
Satu-satunya orang yang pernah melihat Allah (swt) adalah Sang Kekasih Nabi Muhammad (saw).
Orang yang telah mendekati Allah yang paling dekat adalah Nabi
Muhammad (saw) yang telah diberikan mukjizat besar; Miraj. Apakah
Rosululloh SAW Melihat Alloh Saat Mi'roj??? Ini Penjelasan nya
Pertama, kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini
yang bisa melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Ad-Darimi dalam Ar-Rad Ala Al-Jahmiyah (hlm. 306),
Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa (6/510), dan Ibn Abil Iz dalam Syarh
Aqidah Thahwiyah (1/222)
Dan terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau menegaskan bahwa manusia apapun tidak mungkin melihat Tuhannya di
dunia. Beliau bersabda,
تعلَّموا أنه لن يرى أحد منكم ربه عز وجل حتى يموت
“Yakini, bahwa seorangpun diantara kalian tidak akan bisa melihat Tuhannya sampai dia mati.” (HR. Muslim 7283, Ahmad dalam Musnadnya 5/433)
Yang menjadi perbedaan ulama adalah apakah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj ataukah tidak?
Kedua, perselisihan semacam adalah perselisihan yang masing-masing bisa
ditoleransi. Karena itu, memilih pendapat apapun yang dipilih dalam
perselisihan ini tidak dihukumi bersalah atau layak divonis memiliki
aqidah menyimpang. Adz-Dzahabi mengatakan, .
ولا نعنف من أثبت الرؤية لنبينا في الدنيا، ولا من نفاها، بل نقول الله
ورسوله أعلم، بل نعنف ونبدع من أنكر الرؤية في الآخرة، إذ رؤية الله في
الآخرة ثبتت بنصوص متوافرة…
Kita tidak boleh bersikap keras terhadap ornag yang berpendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia maupun yang berpendapat sebaliknya. Sikap yang tepat, kita mengatakan, Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Dan kita bersikap keras dan menilai sesat orang yang mengingkari Allah bisa dilihat pada hari kiamat. Karena keterangan bahwa Allah bisa dilihat pada hari kiamat terdapat dalam berbagai dalil yang shahih (Siyar A’lam Nubala’, 10/114).
Ketiga, ada 4 pendapat ulama tentang apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj ataukah tidak.
Pendapat pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika mi’raj
Pendapat mayoritas ulama meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat Allah ketika isra mi’raj. Syaikhul Islam mengatakan,
كان النزاع بين الصحابة في أن محمدا صلى الله عليه وسلم هل رأى ربه ليلة
المعراج؟ فكان ابن عباس رضي الله عنهما وأكثر علماء السنة يقولون: إن محمدا
صلى الله عليه وسلم رأى ربه ليلة المعراج وكانت عائشة رضي الله عنها
وطائفة معها تنكر ذلك
Perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat adalah apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya pada malam isra mi’raj? Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhudan mayoritas ulama ahlus sunah berpendapat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya ketika isra mi’raj. Sementara Aisyah dan beberapa tokoh yang bersamanya, mengingkari aqidah ini. (Majmu’ Fatawa, 3/386).
Beberapa riwayat yang mendukung pendapat ini,
a. Keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang firman Allah di
surat An-Najm, yang artinya, ‘Sesungguhnya Muhammad telah melihat-nya
pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha.’ Ibnu Abbas
menjelaskan tentang ayat ini,
رأى ربه فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى
Beliau melihat Tuhannya dan mendekat. Sehingga jaraknya seperti dua busur atau lebih dekat. (HR. Turmudzi 3280 dan Al-Albani menilai, shahih sampai kepada Ibnu Abbas)
b. Dari Qatadah, bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,
رأى محمدٌ ربَّه
“Nabi Muhammad melihat Tuhannya” (HR. Ibn Abi Ashim dalam As-Sunah no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Bab Tauhid no. 280. Namun riwayat ini dinilai lemah oleh sebagian ulama)
c. Keterangan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau ditanya
oleh Marwan bin Hakam, apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat Tuhannya. Jawab beliau, ‘Ya, beliau telah melihatnya.’
(HR. Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunah no. 218, Al-Lalikai dalam Syarh
Ushul I’tiqad, no. 908).
Pendapat Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan hati
Terdapat satu hadis yang mendukung pendapat ini, namun hadisnya dhaif.
Karena statusnya hadis mursal. Hadis tersebut dari seorang tabiin,
Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya, ‘Apakah anda melihat Tuhan anda?’ jawab beliau,
رأيته بفؤادي، ولم أره بعيني
“Saya melihat dengan mata hatiku dan tidak dengan mata kepalaku.” (HR. At-Thabari 27/46-47, dan Ibnu Abi Hatim no. 18699. Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi tidak berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Diantara riwayat lain yang mendukung pendapat ini adalah keterangan Ibnu Abbas menurut salah satu riwayat dari Abul Aliyah,
أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى ربه بفؤاده مرتين
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya dengan hatinya dua kali. (HR. Muslim no. 176, Ahmad dalam musnad 1/223).
Pendapat Ketiga, Pendapat yang mengingkari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah
Sahabat yang paling dikenal berpendapat demikian adalah Ummul Mukminin,
Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Abu Dzar. Aisyah mengatakan,
من زعم أن محمدًا رأى ربه فقد أعظم الفرية على الله
“Siapa yang meyakini bahwa Muhammad pernah melihat Tuhannya, berarti dia telah membuat kedustaan yang besar atas nama Allah.” (HR. Bukhari 4855, Muslim no. 428, Turmudzi 3068, dan yang lainnya).
Ada dua ayat yang digunakan Aisyah untuk menguatkan pendapatnya, pertama firman Allah di surat Al-An’am: 103,
لا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَار
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan.
Namun sebagian ulama tafsir menilai bahwa mengingkari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan ayat ini adalah pendalilan yang
kurang tepat. Karena yang ditiadakan dalam ayat di atas adalah al-idrak
(meliputi), sementara yang dibahas dalam masalah ini adalah ar-rukyah
(melihat), dan melihat beda dengan meliputi.
Kedua, firman Allah di surat As-Syura,
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْياً أَوْ مِنْ
وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ
إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Kemudian, dalam hadis dari Abu Dzar, beliau pernah bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Nabi melihat Allah ketika isra
mi’raj? Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نور أنى أراه
“Ada cahaya, bagaimana aku melihat-Nya.”
Dalam riwayat lain, “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim 178, Turmudzi 3282, Ahmad 21392, dan yang lainnya).
Pendapat Keempat, tawaqquf (tidak mengambil sikap)
Diantara yang berpendapat demikian adalah Sa’id bin Jubair, ulama tabiin, murid Ibnu Abbas. Said pernah mengatakan,
لا أقول رآه ولا لم يره
“Saya tidak berpendapat Nabi melihat Allah, tidak pula berpendapat beliau tidak melihat Allah.” (HR. Abu Ya’la, simak Masail fi Ushul Ad-Diyanat, hlm. 66)
Al-Qodhi Iyadh – ulama syafi’i – mengatakan,
ووقف بعض مشايخنا في هذا، وقال: ليس عليه دليل واضح، ولكنه جائز أن يكون
Beberapa guru kami tidak mengambil sikap dalam perselisihan ini. Mereka mengatakan, ‘Tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini. Meskipun secara logika itu memungkinkan untuk terjadi.’ (As-Syifa, 1/261)
Selanjutnya mari kita simak keterangan Ibnu Abil Iz sebagai kata
terakhir untuk menyimpulkan perselisihan ini. Setelah menyebutkan
perselisihan apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
Allah ataukah tidak ketika peristiwa isra mi’raj, beliau menyimpulkan,
لكن لم يرد نص بأنه صلى الله عليه وسلم رأى ربَّه بعين رأسه، بل ورد ما يدل
على نفي الرؤية، وهو ما رواه مسلم في صحيحه، عن أبي ذر – رضي الله عنه –
قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم هل رأيت ربك؟ فقال: “نور أنى أراه”
وفي رواية “رأيت نوراً”،
Hanya saja tidak terdapat dalil tegas yang menyatakan, beliau pernah melihat Tuhannya dengan mata kepala beliau. Sebaliknya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau tidak melihat Allah secara langsung. Yaitu hadis yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya, dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah anda melihat Tuhan anda?’ jawab Nabi, ‘Ada cahaya, bagaimana mungkin saya melihatnya.’ Dalam riwayat lain, ‘Saya melihat cahaya.’
وقد روى مسلم – أيضًا – عن أبي موسى الأشعري – رضي الله عنه – أنه قال: قام
فينا رسول الله صلى الله عليه وسلم بخمس كلمات، فقال: “إن الله لا ينام
ولا ينبغي له أن ينام، يخفض القسط ويرفعه، يرفع إليه عمل الليل قبل عمل
النهار، وعمل النهار قبل عمل الليل، حجابه النور ، لو كشفه لأحرقت سُبحات
وجهه ما انتهى إليه بصره من خلقه”
Juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah menyampaikan 5 kalimat,
Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak Allah disifati dengan
tidur, Dia yang menaik-turunkan timbangan, amalan malam hari dilaporkan
kepada-Nya sebelum datang amalan siang, dan amalan siang hari dilaporkan
kepada-Nya sebelum datang amalan malam. Hijab-Nya adalah cahaya.
Andaikan Allah menyingkap cahaya itu, tentu subuhat (pancaran) wajahnya
akan membakar makhluk-Nya sejauh pandangan-Nya. (HR. Ahmad 19597 dan
Muslim 179).
Kemudian Imam Ibnu Abil Iz menyimpulkan dua hadis di atas,
فيكون – والله أعلم – معنى قوله لأبي ذر: “رأيت نوراً” أنه رأى الحجاب، أي:
فكيف أراه والنور حجاب بيني وبينه يمنعني من رؤيته، فهذا صريح في نفي
الرؤية والله أعلم
Karena itu – Allahu a’lam – makna keterangan Abu Dzar, ‘Nabi melihat cahaya’, bahwa beliau melihat hijab. Artinya, bagaimana mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melilhat Allah, sementara ada cahaya yang menjadi hijab antara diri beliau dengan Allah, yang menghalangi beliau untuk melihat Allah. Ini merupakan dalil yang tegas, beliau tidak melihat Allah ketika isra mi’raj.
Kedudukan Hadis “Nabi SAW Melihat Allah SWT Dalam Sebaik-baik Bentuk”
HADITS ‘ABDURRAHMAN BIN ‘AAISY RAHIMAHULLAH
Mu’adz bin Jabal radliyalaahu ‘anhu berkata :
احتبس علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات غداة عن صلاة الصبح حتى كدنا
نتراءى قرن الشمس فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم سريعا فثوب بالصلاة
وصلى وتجوز في صلاته فلما سلم قال كما أنتم على مصافكم ثم أقبل إلينا فقال
انى سأحدثكم ما حبسني عنكم الغداة انى قمت من الليل فصليت ما قدر لي فنعست
في صلاتي حتى استيقظت فإذا انا بربى عز وجل في أحسن صورة فقال يا محمد
أتدري فيم يختصم الملأ الأعلى قلت لا أدري يا رب قال يا محمد فيم يختصم
الملأ الأعلى قلت لا أدري رب فرأيته وضع كفه بين كتفي حتى وجدت برد أنامله
بين صدري فتجلى لي كل شيء وعرفت فقال يا محمد فيم يختصم الملا الأعلى قلت
في الكفارات قال وما الكفارات قلت نقل الاقدام إلى الجمعات وجلوس في
المساجد بعد الصلاة وإسباغ الوضوء عند الكريهات قال وما الدرجات قلت إطعام
الطعام ولين الكلام والصلاة والناس نيام قال سل قلت اللهم انى أسألك فعل
الخيرات وترك المنكرات وحب المساكين وأن تغفر لي وترحمني وإذا أردت فتنة في
قوم فتوفني غير مفتون وأسألك حبك وحب من يحبك وحب عمل يقربنى إلى حبك وقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم انها حق فادرسوها وتعلموها
“Suatu pagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertahan melakukan shalat Shubuh, hingga kami hampir-hampir melihat munculnya matahari. Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan segera lalu mengerjakan shalat sunnah, kemudian melakukan shalat Shubuh, dan beliau melakukan seperlunya dalam shalat. Ketika selesai salam, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Bagaimana keadaan kalian ?”. Lalu beliau menghadap kami dan bersabda : “Sesungguhnya semalam aku bangun dan melakukan shalat sesuai kemampuanku, lalu aku mengantuk dalam shalatku, hingga akhirnya aku terbangun (dalam mimpi). Tiba-tiba aku berjumpa Rabb-ku dalam sebaik-baik bentuk, lalu Dia berfirman : ‘Wahai Muhammad, apakah engkau tahu tentang apa yang diperbantahkan oleh Al-Malaul-A’laa ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak tahu, wahai Rabb-ku’. Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali.Lalu aku melihat Dia meletakkan telapak tangan-Nya di antara dua pundakku, hingga aku merasakan dinginnya jari-jemari-Nya di antara dadaku. Lalu tampaklah bagiku segala sesuatu dan aku mengenalnya. Lalu Dia berfirman : ‘Ya Muhammad, tentang apakah yang diperbantahkan oleh Al-Malaul-A’laa ?’. Aku menjawab : ‘Tentang kaffaaraat. Dia bertanya : ‘Apakah kaffaaraat itu ?’. Aku menjawab : ‘Melangkahkan kaki untuk berjama’ah, duduk di dalam masjid setelah shalat, dan menyempurnakan wudlu pada seluruh anggota badan (yang perlu dibasuh)’. Dia bertanya : Apakah derajat itu ?’. Aku menjawab : ‘Memberi makanan, kata-kata halus, dan melakukan shalat di saat manusia tidur’. Dia berfirman : ‘Mintalah !’. Aku berkata : ‘Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk dapat melakukan berbagai kebaikan, meninggalkan berbagai kemunkaran, mencintai orang-orang miskin, dan agar Engkau mengampuni serta merahmatiku. Dan jika Engkau menghendaki fitnah pada satu kaum, maka wafatkanlah aku tanpa terkena fitnah. Aku meminta kepada-Mu kecintaan-Mu, kecintaan orang yang mencintai-Mu, dan kecintaan kepada amal yang mendekatkanku kepada kecintaan-Mu’. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam bersabda :‘Sesungguhnya hal itu adalah kebenaran, maka pelajarilah dan kuasailah”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 5/243, At-Tirmidzi dalam
As-Sunan no. 3235 dan Al-‘Ilal Al-Kabiir no. 661, Al-Mizziy dalam
Tahdziibul-Kamaal 17/203-205, dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 20/109
no. 616.
At-Tirmidziy (5/286) berkata : “Hadits inihasan shahih. Aku pernah
bertanya kepada Muhammad bin Ismaa’iil (yaitu Al-Bukhariy) tentang
hadits ini, maka ia menjawab : ‘Hadits ini hasan shahih” [selesai].
Kedudukan hadits tersebut memang seperti yang dikatakan oleh At-Tirmidzi dan Al-Bukhariy rahimahumallah.
Sebagian kalangan ada yang men-dla’if-kannya dengan alasan adanya
idlthirab, khususnya bahwa riwayat ini center-nya ada pada‘Abdurrahman
bin ‘Aaisy. Pen-dla’if-an ini tidak benar. Berikut perinciannya –
bi-idznillahi ta’alaa – :
Hadits tentang ini diriwayatkan dalam beberapa jalan dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aayisy secara marfu’.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalamAs-Sunnah no. 467 &
Al-Ahaadul-Matsaaniy no. 2585, Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 533
no. 318, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 3/514 no. 901,
Ad-Daarimiy dalam As-Sunan no. 2195, Ad-Daaruquthniy dalam Ar-Ru’yah no.
236, dan Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyyah 1/31 no. 11;
semuanya dari jalan Al-Waliid bin Muslim, dari ‘Abdurrahman bin Yaziid
bin Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy
secara marfu’.
Al-Waliid bin Muslim mempunyai mutaba’ah dari Al-Auza’iy sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad 3/514 no.
902, dan Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/321 no. 1100. Juga dari
Shadaqah bin Khaalid sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim
dalam As-Sunnah no. 467 & Al-Ahaadul-Matsaaniy no. 2585, dan
Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 4/35-37. Juga dari Muhammad bin Syu’aib
bin Syaabuur sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak
1/520-521.
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Mandah dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 75,
Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir 11/476, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat 2/72-73 no. 644 dari ‘Abdurrahman bin Zaid bin Jaabir dan
Al-Auza’iy, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aayisy
secara marfu’.
Al-Waliid bin Muslim seorang mudallis, namun di sini ia telah
menjelaskan penyimakannya dari ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Jaabir.
‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Jaabir adalah seorang tsiqah masyhur,
termasuk perawi yang dipakai jama’ah (ahli hadits). Shadaqah bin Khaalid
termasuk penduduk negeri Syaam yang tsiqah. Al-Auza’iy adalah seorang
imam tsiqah lagi masyhur. Khaalid bin Al-Lajlaaj; ia telah
di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibbaan. Selain itu, beberapa perawi tsiqah
telah meriwayatkan darinya sehingga riwayatnya dapat dipakai sebagai
hujjah. Ibnu Hajar berkomentar tentangnya dalam At-Taqriib : “Jujur
(shaduuq) lagi faqih”. Adapun ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, para
ulama berselisih pendapat akan status pershahabatannya.
Abu Haatim mengatakan bahwa ia bukan shahabat, namun seorang tabi’iy
[Al-Jarh wat-Ta’diil, 5/262]. Abu Haatim juga membawakan perkataan Abu
Zur’ah bahwa ia tidak dikenal (laisa bi-ma’ruuf). Ibnu ‘Abdil-Barr
berkata : “Tidak benar status pershahabatannya, karena haditsnya goncang
(mudltharib)…” [Usudul-Ghaabah, 3/465]. At-Tirmidziy berkata :
“’Abdurrahman bin ‘Aaisy tidak pernah mendengar (riwayat/hadits) dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Sunan At-Tirmidziy 5/286].
Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata : “Ibnu Hibban berkata : ‘Ia mempunyai
status pershahabatan’. Ibnu Sakan berkata : Dikatakan ia mempunyai
status pershahabatan. Adapun ulama yang menyebutkannya sebagai shahabat
antara lain : Muhammad bin Sa’d, Al-Bukhaariy, Abu Zur’ah Ad-Dimasyqiy,
Abul-Hasan bin Sumai’, Abul-Qaasim, Al-Baghawiy, Abu Zur’ah
Al-Harraaniy, dan yang lainnya [Al-Ishaabah, 6/291]. Perkataan Ibnu
Hajar bahwasannya Al-Bukhari berpendapat ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy
mempunyai status shahabat perlu dicermati kembali, sebab dalam kitab
Al-‘Ilal Al-Kabiir karangan At-Tirmidziy (2/894), Al-Bukhari mengatakan
‘Abdurrahman tidak pernah berjumpa dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam.
Ibnu Qaani’ menyebutkannya dalam Mu’jamush-Shahabah 2/175-176 no. 658.
Begitu pula Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah 4/1862 no. 1886.
Ibnu Khuzaimah – yang kemudian diikuti oleh Ibnu ‘Abdil-Barr – berkata :
“Tidak ada yang mengatakan dalam haditsnya : ‘Aku mendengar Nabi
shallallaahu ‘alaihia wa sallam’ kecuali Al-Waliid bin Muslim”. Namun
perkataan ini disanggah oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishaabah 6/292 :
“Al-Waliid bin Muslim tidaklah bersendirian dalam penegasan penyimakan
itu, namun ia diikuti oleh Hammaad bin Maalik Al-Asyja’iy, Al-Waliid bin
Yaziid Al-Bairuutiy, ‘Ammaarah bin Bisyr, dan yang lainnya”.
‘Abdurrahman adalah perawi yang ma’ruf, bukan majhul (tidak dikenal) !!
Jika ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy ini tetap pershahabatannya dengan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka sanad hadits ini adalah shahih. Dan
jika tidak tetap status pershahabatannya, jadilah ia riwayat mursal.
Kesimpulan terakhir inilah yang raajih.
2. Dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian/salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 4/66 & 5/378 dan Ibnu
‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq 34/464-465, ‘Abdullah bin Ahmad dalam
As-Sunnah hal. 489-490 no. 1121, dan Ibnu Mandah dalam Ar-Radd
‘alal-Jahmiyyah no. 74; dari semuanya dari jalan Abu ‘Aamir, dari Zuhair
bin Muhammad, dari Yaziid bin Yaziid bin Jaabir, dari Khaalid bin
Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari sebagian (beberapa
orang) shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara marfu’.
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 537-538 no. 55
dan Ibnu ‘Asaakir dalam Taarikh Dimasyq 34/464 & 465; semuanya dari
jalan Abu ‘Aamir (kecuali satu riwayat dari Ibnu ‘Asaakir : Dari Sa’iid
bin ‘Aamir), dari Zuhair bin Muhammad, dari Yaziid bin Yaziid bin
Jaabir, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dari
seorang laki-laki dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam secara marfu’.
Sanad hadits ini shahih. Perawi dari Abu ‘Aamir sampai dengan
‘Abdurrahman bin ‘Aaisy adalah tsiqah. Mubham-nya nama shahabat tidak
me-mudlarat-kan hadits ini. Adapun Zuhair bin Muhammad, maka pada
asalnya ia adalah perawi tsiqah, namun kemudian ada masalah pada
hapalannya. Haditsnya yang diriwayatkan oleh penduduk ‘Iraq adalah
shahih, sedangkan yang berasal dari penduduk Syaam adalah dla’iif.
Adapun hadits ini adalah riwayat penduduk ‘Iraq darinya.
Tidak ada pertentangan antara periwayatan dari salah seorang shahabat
dengan sebagian (beberapa orang) shahabat. Hal itu dikarenakan salah
seorang shahabat tadi termasuk dari beberapa orang shahabat yang hadir
di masjid ketika Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang
kesemuanya diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy rahimahullah. Ini
bukan termasuk idlthirab karena dua riwayat tersebut dapat dijamak.
3. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin Jabal secara marfu’.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 5/243, At-Tirmidzi dalam
As-Sunan no. 3235 dan Al-‘Ilal Al-Kabiirno. 661, Al-Mizziy dalam
Tahdziibul-Kamaal 17/203-205, dan Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 20/109
no. 616; dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Zaid bin Abi Salaam, dari Abu
Salaam (Zaid bin Salaam bin Abi Salaam), dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy
Al-Hadlramiy, dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’adz bin Jabal secara
marfuu’.
Sanad hadits ini shahih.
Al-Mizziy berkata : “Diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin ‘Adiy, dari
Al-Fadhl bin Hubaab, dari Al-Khuzaa’iy, kemudian ia berkata : Hadits ini
mempunyai beberapa jalan. Dan aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal
menshahihkan riwayat yang dibawakan oleh Musaa bin Khalaf, dari Yahyaa
bin Abi Katsiir. Ia (Ahmad) berkata : ‘Hadits ini adalah yang paling
shahih” [Tahdziibul-Kamaal, 17/206].
Tiga riwayat dari ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy di atas dapat kita cermati
yang terdiri dari satu riwayat mursal dan dua riwayat muttashil. Riwayat
mursal ‘Abdurrahmaan kita palingkan pada dua riwayat yang lain yang
menyebutkan perantara antara dia dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dari jalan sebagian/salah seorang shahabat Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam; dan dari Maalik bin Yakhaamir, dari Mu’aadz bin
Jabal radliyallaahu ‘anhum.
Dua riwayat ini tidak mudltharib - walau berporos pada ‘Abdurrahman bin
‘Aaisy - karena perawi sebelum dan setelah ‘Abdurrahman berbeda. Ini
menunjukkan ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy menerima hadits dari dua pihak,
yaitu dari Maalik bin Yakhaamir (dari Mu’adz bin Jabal) dan dari salah
seorang/sebagian shahabat Nabi shallalaahu ‘alahi wa sallam, dan
kemudian menyampaikannya pada pihak yang berbeda pula. Semua shahih, no
problemo. Ini sangat memungkinkan.
Contoh seperti ini banyak, misalnya dalam Shahih Muslim no. 1691 :
وحدثني عبدالملك بن شعيب بن الليث بن سعد. حدثني أبي عن جدي. قال: حدثني
عقيل عن ابن شهاب، عن أبي سلمةبن عبدالرحمن بن عوف وسعيد بن المسيب، عن أبي
هريرة؛ أنه قال:
أتى رجل من المسلمين رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو في المسجد. فناداه.
فقال: يا رسول الله! إني زنيت. فأعرض عنه. فتنحى تلقاء وجهه. فقال له: يا
رسول الله! إني زنيت. فأعرض عنه. حتى ثنى ذلك عليه أربع مرات. فلما شهد على
نفسه أربع شهادات، دعاه رسول الله صلى الله عليه وسلم. فقال (أبك جنون؟)
قال: لا. قال (فهل أحصنت؟) قال: نعم. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم
(اذهبوا به فارجموه).
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Laits bin Sa’d : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Uqail, dari Ibnu Syihaab (yaitu Az-Zuhri), dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf dan Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah, ia berkata : “Seorang laki-laki dari kaum muslimin mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Ia pun berseru dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina’. Beliau berpaling dari orang itu dan tidak mau menghadap ke arahnya. Orang itu berkata lagi : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina’. Beliau berpaling lagi, hingga orang itu bersumpah atas dirinya sebanyak empat kali. Setelah ia bersumpah atas dirinya empat kali, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan bertanya : ‘Apakah engkau gila ?’. Ia menjawab : ‘Tidak’. Beliau bertanya lagi : ‘Apakah engkau telah menikah ?’. Ia menjawab : ‘Ya’. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Bawa ia pergi dan rajamlah ia” [selesai].
Kemudian setelah itu Al-Imam Muslim rahimahullah membawakan sanad lain dan berkata :
وحدثني أبو الطاهر وحرملة بن يحيى. قالا: أخبرنا ابن وهب. أخبرني يونس. ح
وحدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا عبدالرزاق. أخبرنا معمر وابن جريج. كلهم
عن الزهري، عنأبي سلمة، عن جابر ابن عبدالله، عن النبي صلى الله عليه وسلم،
نحو رواية عقيل عن الزهري، عن سعيد وأبي سلمة، عن أبي هريرة.
“Telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir dan Harmalah bin Yahyaa, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus - :
Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah
mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah mengkhabarkan kepada
kami Ma’mar dan Ibnu Juraij - :
Mereka semua (Yuunus, Ma’mar, dan Ibnu Juraij) dari Az-Zuhriy, dari Abu
Salamah, dari Jaabir bin ‘Abdillah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam – semisal riwayat ‘Uqail, dari Az-Zuhriy, dari Sa’iid dan Abu
Salamah, dari Abu Hurairah” [selesai].
Perhatikan !! Az-Zuhriy dan/atau Abu Salamah dalam hadits yang sama
membawakan dua riwayat : pertama, dari Abu Hurairah; dan kedua, dari
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhuma. Dua-duanya shahih. Tidak ada
idlthirab.
Kembali ke hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy. Tidak menjadi masalah jika
ia meriwayatkan dari salah seorang shahabat atau sebagian shahabat, dan
di bagian lain ia meriwayatkan dari Maalik bin Yakhaamir (tabi’iy senior
tsiqah – muhdlaram) dari Mu’aadz bin Jabal.
Oleh karena itu, alasan seseorang yang mengatakan :
Hadis Abdurrahman bin Aaisy adalah hadis yang dhaif karena mudhtharib
dan oleh karena ia hanya dikenal melalui hadis yang mudhtharib ini maka
sungguh tidak tsabit sima’nya (pendengarannya) dari Rasulullah SAW.
Pendapat yang benar mengenainya adalah dia bukanlah sahabat Nabi dan ia
sendiri tidak dikenal. Hadis tersebut sangat jelas kedhaifannya. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad hadis no 16672,
22162, 23258 telah menyatakan bahwa hadis Ibnu ‘Aaisy dhaif karena
mudhtharib dan pendapat inilah yang benar.
kita jawab :
Memang benar ‘Abdurrahman bin ‘Aaisy bukan berstatus shahabat, sehingga
hadits yang ia riwayatkan langsung dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dihukumi mursal alias dla’if. Adapun klaim bahwa ‘Abdurrahman bin
‘Aaisy seorang perawi yang tidak dikenal lagi mastur(majhul haal), maka
ini tidak benar. Ibnu Hibbaan telah memberikan tautsiq kepadanya. Juga
Ahmad bin Hanbal dan Al-Bukhariyrahimahumallah yang telah menshahihkan
riwayatnya dimana ini juga merupakan isyarattashhih terhadap sanad
sekaligus perawinya (ta’dil). Apakah Al-Bukhariy dan Ahmad akan
menshahihkan hadits jika di dalamnya terdapat perawi majhul ?
Anggapan adanya idlthiraab juga tidak benar. Setelah diteliti tiga
riwayat yang dibawakan oleh ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy dapat ditarjih dan
dijamak sehingga hilang sifat idlthirab-nya.
Walhasil, hadits ini adalah shahih, insya Allah.
[Selain Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhariy, dan At-Tirmidziy, hadits ini juga
dishahihkan oleh Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya 7/80-81, Ahmad Syaakir
dalam Tafsir Ath-Thabariy 11/476, Al-Albaniy dalam beberapa tempat pada
kitabnya, dan yang lainnya].
HADITS IBNU ‘ABBAS RADLIYALLAAHU ‘ANHUMAA
عن بن عباس ان النبي صلى الله عليه و سلم قال أتاني ربي عز و جل الليلة في
أحسن صورة أحسبه يعني في النوم فقال يا محمد هل تدري فيم يختصم الملأ
الأعلى قال قلت لا قال النبي صلى الله عليه و سلم فوضع يده بين كتفي حتى
وجدت بردها بين ثديي أو قال نحري فعلمت ما في السماوات وما في الأرض ثم قال
يا محمد هل تدري فيم يختصم الملأ الأعلى قال قلت نعم يختصمون في الكفارات
والدرجات قال وما الكفارات والدرجات قال المكث في المساجد والمشي على
الاقدام إلى الجمعات وإبلاغ الوضوء في المكاره ومن فعل ذلك عاش بخير ومات
بخير وكان من خطيئته كيوم ولدته أمه وقل يا محمد إذا صليت اللهم اني أسألك
الخيرات وترك المنكرات وحب المساكين وإذا أردت بعبادك فتنة ان تقبضني إليك
غير مفتون قال والدرجات بذل الطعام وإفشاء السلام والصلاة بالليل والناس
نيام
Dari Ibnu Abbas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Rabbku ‘azza wa jalla datang kepadaku malam tadi dalam sebaik-baik bentuk” – aku mengira maksudnya adalah dalam tidur (kata perawi) -. Lalu Dia berfirman : ‘Wahai Muhammad, apakah kamu tahu mengenai apa Al-Mala’ul A’laa (para malaikat) bertengkar?. Aku berkata : ‘Tidak’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lalu Dia meletakkan tangan-Nya di antara dua pundakku hingga aku dapati dinginnya antara dua dadaku”. Atau beliau bersabda : “Antara tenggorokanku”. Maka tahulah aku apa yang ada di langit dan di bumi. Kemudian Allah berfirman : ‘Wahai Muhammad, apakah kamu tahu mengenai apa Al-Mala’ul-A’laa (para malaikat) bertengkar?’. Aku berkata : ‘Ya , mereka bertengkar mengenai al-kaffaaraat dan ad-darajaat’. Allah bertanya : ‘Apa itu al-kaffaaraat dan ad-darajaat ?”. Nabi menjawab : “Diam di masjid, berjalan kaki untuk berjama’ah, dan menyempurnakan wudlu dalam kondisi tidak menyenangkan. Barangsiapa melakukan hal itu maka ia hidup dengan baik dan mati dengan baik. Dia bersih dari dosa seperti baru dilahirkan ibunya”. Allah berfirman : “Dan katakanlah wahai Muhammad apabila kamu selesai shalat : ‘Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan-kebaikan, meninggalkan hal yang mungkar, dan cinta kepada orang-orang miskin. Dan bila Engkau menginginkan fitnah bagi para hambamu maka cabutlah nyawaku kepada-Mu dengan tanpa fitnah’. Beliau bersabda : “Dan ad-darajaat adalah dengan memberikan makanan, menyebarkan salam dan shalat malam saat manusia tidur”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/368, At-Tirmidziy dalam
As-Sunan no. 3233, Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyyah 1/34-35
no. 14, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Musnad 1/510-511 no. 681, Ibnu
Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 540 no. 320; dari Ma’mar, dari Ayyuub,
dari Abu Qilaabah, dari Ibnu ‘Abbas secara marfuu’.
Mengomentari jalur hadits ini, Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyyah (1/34) berkata :
قد رواه أحمد في مسنده بإسناد حسن.
“Telah diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya dengan sanad hasan” [selesai].
Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 2/320-321 no. 1099
dari ‘Abbaad bin Manshuur, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid
bin Al-Lajlaaj, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’.
Namun yang benar, riwayat ini dla’iif karena adanya inqitha’
(keterputusan) antara Abu Qilaabah dan Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhuma.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam As-Sunan no. 3234, Abu Ya’laa dalam
Al-Musnad no. 2608, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 469, Ibnu
Khuzaimah dalam At-Tauhiid hal. 538-539 no. 319, dan Al-Aajurriy dalam
Asy-Syarii’ah 2/320 no. 1098; dari jalan Mu’aadz bin Hisyaam, dari
ayahnya, dari Qataadah, dari Abu Qilaabah, dari Khaalid bin Al-Lajlaaj,
dari ‘Abdullah bin ‘Abbas secara marfu’.
Riwayat ini pun dla’if karena Qataadah tidak pernah mendengar (hadits)
dari Abu Qilaabah., sebagaimana dikatakan Abu Haatim [lihat
Tahdziibul-Kamaal, 17/203].
Ibnul-Jauziy dalam Al-‘Ilal (1/20) berkata : “Hadits itu keliru. Yang
mahfuudh bahwasannya Khaalid bin Al-Lajlaaj meriwayatkan dari
‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy, dan ‘Abdurrahmaan tidak pernah mendengar
hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [selesai].
Oleh karena itu, nampak bagi kita bahwa sanad hadits di atas saling berselisihan lagi dla’iif.
HADITS MU’ADZ BIN JABAL
Sudah include dalam pembahasan hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Aaisy.
HADITS TSAUBAAN RADLIYALLAAHU ‘ANHU
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن ربي أتاني الليلة في أحسن صورة وفي هذه الأخبار ووضع يده بين كتفي
Dari Tsaubaan, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Sesungguhnya Rabb-ku pernah mendatangiku di satu malam dalam sebaik-baik bentuk”. Dalam khabar ini disebutkan : “Dan Dia meletakkan tangan-Nya di antara dua pundakku”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 470.
Abu Sallaam Al-Aswad Al-Habsyiy, ia seorang tabi’iy tsiqah. Namun ia
tidak pernah mendengar dari Tsaubaan sebagaimana dikatakan Ahmad bin
Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, ‘Aliy bin Al-Madiiniy, dan Abu Haatim [lihat
Al-Maraasil, hal. 215-216]. Dengan kata lain, riwayatnya dari Tsauban
berstatus mursal.
Abu Yaziid, ia adalah Ghailaan bin Anas Al-Kalbiy. Ibnu Hajar berkata :
“Maqbuul”. Ibnu Abi Haatim tidak menyebut padanya jarh ataupun
ta’dil-nya. Beberapa perawi tsiqaat telah meriwayatkan darinya.
Al-Mizziy menyebutkan perawi yang meriwayatkan darinya antara lain :
Syu’aib bin Abi Hamzah, ‘Abdullah bin Al-‘Allaa’ bin Zabr, ‘Abdurrahmaan
bin ‘Amr Al-Auzaa’iy, ‘Isaa bin Musaa Al-Qurasyiy, dan Manshuur
Al-Khaulaaniy [Tahdziibul-Kamaal, 23/127].
Sebagian muhadditsiin berpendapat jika ada sejumlah perawi tsiqah yang
meriwayatkan dari perawi majhuul, maka periwayatan mereka menguatkan
status perawi majhul tersebut. Ibnu Abi Haatim berkata : “Aku pernah
bertanya kepada ayahku mengenai riwayat para perawi tsiqaat dari seorang
yang tidak tsiqah, apakah itu termasuk hal yang menguatkannya ?”.
Ayahku (Abi Haatim) berkata : “Apabila ia dikenal (ma’ruf) dengan
ke-dla’if-annya, maka hal itu tidak dapat menguatkan riwayatnya itu
darinya. Namun jika ia seorang perawi majhul, maka hal itu bermanfaat
(menguatkan) baginya atas riwayat para perawi tsiqat tersebut darinya”
[Al-Jarh wat-Ta’diil, 1/1/36].
Adapun Abu Shaalih, ia adalah sekretaris Al-Laits bin Sa’d. Para ulama
berbeda pendapat tentangnya. ‘Abdul-Malik bin Syu’aib bin Al-Laits,
Yahyaa bin Ma’iin, Abu Zur’ah, dan yang lainnya memberikan pujian
kepadanya. Namun Ahmad bin Hanbal, Abu ‘Aliy Shaalih bin Muhammad, Ahmad
bin Shaalih, An-Nasa’iy, dan yang lainnya memberikan celaan (jarh)
kepadanya. Adapun Abu Haatim memberikan kritik secara secara
proporsonal, yaitu hadits-hadits yang ia riwayatkan di akhir umurnya
adalah diingkari, namun jika selain itu diterima. Perkataan ini senada
dengan Ahmad bin Hanbal dalam satu riwayat.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib memberikan kesimpulan : “Shaduuq (jujur)
namun banyak salahnya. Tsabt dalam kitabnya, dan padanya terdapat
kelalaian (ghaflah)”.
Di sini, riwayat Abu Shaalih diambil dari Mu’aawiyyah bin Shaalih. Al-Mizziy menukil perkataan Ibnu ‘Adiy:
ولعبد الله بن صالح روايات كثيرة، عن صاحبه الليث بن سعد، وعنده عن معاوية بن صالح نسخة كبيرة، .....
“’Abdullah bin Shaalih mempunyai riwayat yang cukup banyak. (Diantaranya) dari shahabatnya Al-Laits bin Sa’d, padanya terdapat tulisan/salinan yang sangat besar/banyak dari Mu’awiyyah bin Shaalih…..” [Tahdziibul-Kamal, 15/107].
Perkataan Ibnu ‘Adiy di atas menunjukkan bahwa riwayat Mu’awiyyah bin
Shaalih dari Abu Shaalih diambil dari kitab. Bukan dari hapalan. Oleh
karena itu, sangat besar kemungkinan riwayatnya dari Mu’awiyyah ini
berderajat shahih, atau minimal hasan.
Kesimpulan status hadits Tsaubaan adalah dla’if dengan sebab
keterputusan antara Abu Sallaam dan Tsaubaan, namun ia menjadi shahih
dengan penguat-penguatnya sebagaimana dituliskan di artikel ini.
HADITS JAABIR BIN SAMURAH RADLIYALLAAHU ‘ANHU
عن جابر بن سمرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله تعالى
تجلى لي في أحسن صورة فسألني فيما يختصم الملأ الأعلى قال قلت ربي لا أعلم
به قال فوضع يده بين كتفي حتى وجدت بردها بين ثديي أو وضعهما بين ثديي حتى
وجدت بردها بين كتفي فما سألني عن شيء إلا علمته
Dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah ta’ala menampakkan diri kepadaku dalam sebaik-baik bentuk. Maka Dia bertanya kepadaku : ‘Apakah yang diperbantahkan oleh Al-Malaul-A’la (para malaikat) ?’ Aku berkata : “Wahai Rabb-ku, aku tidak mengetahuinya’. Maka Dia meletakkan tangan-Nya di antara dua pundakku hingga aku merasakan dinginnya di antara dua dadaku’. Atau : Dia meletakkan dua tangan-Nya di antara dua dadaku hingga aku merasakan dinginnya di antara dua pundakku. Tidaklah Dia bertanya kepadaku tentang sesuatu kecuali aku mengetahuinya”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 465.
Mengomentari hadits ini, Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah berkata :
“Sanadnya hasan. Para perawinya tsiqaat, termasuk rijaal Shahiihain
(Al-Bukhariy dan Muslim) selain Simaak bin Harb. Ia termasuk rijaal
Muslim saja. Di dalamnya terdapat pembicaraan sebagaimana telah lalu
penjelasannya sebelum hadits ini…” [Dhilaalul-Jannah, hal. 203].
Kedudukan hadits tersebut memang seperti yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy rahimahullah.
Sebagian kalangan men-dla’if-kan hadits ini dengan sebab Simaak bin
Harb. Ia dianggap hadisnya mudltharib, hafalannya yang buruk alias tidak
dlabith, dan ia mengalami ikhtilath. Memang benar beberapa ulama
mengkritiknya seperti Syu’bah, Sufyan Ats-Tsauriy, Ahmad bin Hanbal,
An-Nasa’iy, dan yang lainnya. Namun pendla’ifan itu tidak pada semua
riwayat Simaak. Contoh : Walaupun Syu’bah mendla’ifkannya (dan Syu’bah
ini termasuk ulama yang mutasyaddid dalam men-jarh), namun ia sendiri
meriwayatkan hadis darinya dan direkam dalam kitab Shahih.
حدثنا علي بن خشرم أخبرنا عيسى يعني بن يونس عن شعبة عن سماك بن حرب عن
علقمة بن وائل عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا تقولوا الكرم
ولكن قولوا الحبلة يعني العنب
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Khasyram : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Isaa – yaitu Ibnu Yunus - , dari Syu’bah, dari Simaak bin Harb, dari ‘Alqamah bin Waail, dari ayahnya, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau besabda : “Janganlah kalian menyebut ‘karm’. Tapi sebutlah ia dengan ‘hablah’ – yaitu untuk anggur” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 2248].
Contoh lain sangat mudah didapat dalam Shahih Muslim.
Kembali pada hadits ru’yah,… pen-dla’if-an hadits ini berbagai alasan di
atas adalah sangat lemah. Jalur periwayatan dalam hadits ini, yaitu :
mulai Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Yahyaa bin Abi Bukair, dari
Ibraahiim bin Thahmaan, dari Simaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah
merupakan jalur periwayatan yang dipakai Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya
!!
وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا يحيى بن أبي بكير عن إبراهيم بن طهمان
حدثني سماك بن حرب عن جابر بن سمرةقال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
إني لأعرف حجرا بمكة كان يسلم علي قبل أن أبعث إني لأعرفه الآن
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Bukair, dari Ibraahiim bin Thahmaan : Telah menceritakan kepadaku Simaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sungguh aku mengenal batu di Makkah yang dulu pernah mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diutus (sebagai Nabi). Sungguh sekarang aku masih mengenalnya” [Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya no. 2277].
Apakah hadits di atas juga termasuk dla’if (karena anggapan ke-dlaif-an Simaak) ? Jika iya, sungguh, ini perkataan muhdats.
Ia dikritik para ulama terutama dalam periwayatan dari ‘Ikrimah, bukan
dalam semua riwayatannya. Pun anggapan bahwa haditsnya mudltharib,
harus ditunjukkan alasannya dan buktinya. Bertaburan hadits Simaak bin
Harb dalam Shahih Muslim dari Jaabir bin Samurah. Apakah ini juga
dianggap mudltharib ?
Ahmad bin ‘Abdillah Al-‘Ijliy berkata tentangnya : “…..Jaaizul-hadiits,
kecuali dalam periwayatan hadits ‘Ikrimah. Terkadang ia menyambungkan
sesuatu dari Ibnu ‘Abbas, dan terkadang ia berkata : ‘Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Padahal (hadits/riwayat) itu
hanyalah ‘Ikrimah yang menceritakan dari Ibnu ‘Abbas…”.
Ya’quub pernah bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Madiiniy : “Apa pendapatmu
tentang riwayat Simaak dari ‘Ikrimah ?”. Ia menjawab : “Mudltharib”.
Ibnu Hajar dalam At-Taqriib 1/394 menyatakan kalau Simmaak bin Harb
jujur tetapi riwayatnya dari Ikrimah mudltharib, ia mengalami kekacauan
hafalan dan ia menerima riwayat dengan talqiin.
Lagi pula, tidak semua hadits ru’yah itu mudltharib. Jalur periwayatan
Simaak bin Harb dari Jaabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu yang
dibawakan oleh Ibnu Abi ‘Aashim di sini bersih dari idlthirab.
Oleh karena itu, jalur periwayatan Ibraahiim bin Thahmaan, dari Simaak
bin Harb, dari Jaabir (atau lebih didetailkan : Abu Bakr bin Abi
Syaibah, dari Yahyaa bin Abi Bukair, dari Ibraahiim bin Thahmaan, dari
Simaak bin Harb, dari Jaabir bin Samurah) merupakan jalur periwayatan
yang maqbul menurut kesepakatan Ahlus-Sunnah secara umum.
HADITS ABU UMAAMAH RADLIYALLAAHU ‘ANHU
عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : تراءى لي ربي في أحسن الصورة ثم ذكر الحديث
Dari Abu Umaamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Rabb-ku memperlihatkan diri kepadaku dalam sebaik-baik bentuk”. Kemudian beliau menyebutkan hadits.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 466.
Asy-Syaikh Al-Albaniy berkata : “Hadits shahih dengan penguat
hadits-hadits sebelumnya dan setelahnya. Rijal-nya tsiqaat kecuali
Laits, ia adalah Ibnu Abi Sulaim. Ia mengalami ikhtilath(bercampur
hapalannya)” [Dhilaalul-Jannah, hal. 203].
Selain kelemahan yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy, juga ada
keterputusan antara Ibnu Saabith – ia adalah ‘Abdurrahman bin Saabith –
dan Abu Umaamah radliyallaahu ‘anhu; sebagaimana dikatakan oleh Yahyaa
bin Ma’iin dalam riwayat ‘Abbaas Ad-Duuriy dalamAt-Taariikh 2/365.
Kesimpulannya : Hadits Abu Umaamah adalah dla’iif dengan sebab
ke-dla’if-an Laits dan inqitha’ antara Ibnu Saabith dan Abu Umaamah.
Dan ia menjadi shahih dengan penguat beberapa hadits sebelumnya.
HADITS ABU RAAFI’ RADLIYALLAAHU ‘ANHU
عن أبي رافع قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه و سلم مشرق اللون فعرف
السرور في وجهه فقال رأيت ربي في أحسن صورة فقال لي يا محمد أتدري يم يختصم
الملأ الأعلى ؟ فقلت يا رب في الكفارات قال وما الكفارات ؟ قلت إبلاغ
الوضوء أماكنه على الكراهيات والمشي على الأقدام إلى الصلوات وانتظار
الصلاة بعد الصلاة
Dari Abu Raafi’ yang berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
keluar kepada kami dengan wajah yang cerah dan tampak kegembiraan di
wajahnya. Kemudian beliau bersabda : “Aku melihat Rabbku dalam
sebaik-baik bentuk dan Dia berkata kepadaku “Wahai Muhammad apakah kamu
tahu mengenai apa Al-Mala’ul-A’laa (para malaikat) bertengkar?”. Aku
menjawab : “Wahai Rabbku tentang Al-Kafaaraat?”. Dia berfirman “Apa itu
Al-Kafaaraat?” Aku menjawab : “Menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan yang
tidak disukai, berjalan untuk shalat berjama’ah dan menunggu waktu
shalat setelah shalat”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir 1/317 no. 938.
Hadits ini sangat lemah karena keberadaan Ja’far bin Muhammad bin Maalik
Al-Fazariy Al-Kuufiy. Ia adalah guru Ath-Thabaraniy yang dikatakan
dla’iif dan pemalsu hadits sebagaimana yang disebutkan dalam kitab
Taraajum Syuyukh Ath-Thabaraniy no 331.
Al-Haitsamiy berkata tentang hadits di atas : “Diriwayatkan oleh
Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir, padanya ada perawi : ‘Abdullah bin
Ibraahiim bin Al-Husain, dari ayahnya. Aku tidak melihat biografinya”
[Majmu’uz-Zawaaid, 1/237 no. 1222].
Hadits Abu Raafi’ Ini tetap dalam keadaanya (dla’if jidan) dan tidak boleh dipakai sebagai hujjah dari sisi manapun.
KESIMPULAN UMUM
Hadits melihat Allah dalam sebaik-baik bentuk (di waktu tidur/mimpi oleh
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) secara keseluruhan adalah shahih
dari sisi sanad maupun matan (lafadh)-nya tanpa keraguan. Beberapa
hadits saling menguatkan. Sebagian di antaranya shahih, hasan, dan juga
dla’iif. Kalau pun toh masing-masing jalan dianggap dla’if, maka itu
tidak menutup kemungkinan bahwa hadits itu dapat naik status menjadi
hasan li-ghairihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar