Ada beberapa pendapat dalam masalah ini. Secara global adalah
sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary sebagai
berikut :
واختلف الناس في السيف على أربعة أقاويل: فقالت المعتزلة والزيدية
والخوارج وكثير من المرجئة: ذلك أوجب إذا أمكننا أن نزيل بالسيف أهل
البغي ونقيم الحق واعتلوا بقول الله عز وجل: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى}. وبقوله : {فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى
تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ}. واعتلوا بقول الله عز وجل : {قَالَ لا
يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ}. وقالت الروافض بإبطال السيف ولو قتلت حتى
يظهر الإمام فيأمر بذلك. وقال أبو بكر الأصم ومن قال بقوله: السيف إذا
اجتمع على إمام عادل يخرجون معه فيزيل أهل البغي. وقال قائلون: السيف
باطل ولو قتلت الرجال وسبيت الذرية وأن الإمام قد يكون عادلاً ويكون غير
عادل وليس لنا إزالته وإن كان فاسقاً وأنكروا الخروج على السلطان ولم يروه
وهذا قول واخلفوا في إنكار المنكر والأمر بالمعروف بغير السيف: فقال
قائلون: تغير بقلبك فإن أمكنك فبلسانك فإن أمكنك فبيدك وأما السيف فلا
يجوز وقال قائلون: يجوز تغيير ذلك باللسان والقلب فأما باليد فلا.
”Manusia telah berselisih pendapat dalam masalah (mengangkat) pedang menjadi empat pendapat, yaitu :
Telah berkata Mu’tazillah, Zaidiyyah, Khawarij, dan kebanyakan dari
orang-orang Murji’ah : ”Hal itu menjadi wajib apabila dengan pedang
tersebut kita kita bisa menyingkirkan orang yang berbuat aniaya/lalim
(ahlul-baghy) serta menegakkan kebenaran”. Mereka beralasan dengan
firman Allah ’azza wa jalla : ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa”[QS. Al-Maaidah : 2]. ”Maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah” [QS. Al-Hujuraat : 9]. Allah berfirman : "Janji-Ku (ini)
tidak mengenai orang-orang yang lalim" [QS. Al-Baqarah : 124].
Telah berkata Rafidlah (Syi’ah) untuk menggugurkan (mengangkat) pedang
sekalipun harus terbunuh hingga munculnya imam yang menyuruhnya (untuk
mengangkat pedang).
Telah berkata Abu Bakr bin Al-Asham dan orang-orang yang sependapat
dengannya : Bahwasannya (mengangkat) pedang diperbolehkan apabila
orang-orang berkumpul bersama imam yang ’adil dan keluar bersamanya
untuk menyingkirkan orang yang berbuat aniaya/lalim (ahlul-baghyi).
Telah berkata beberapa golongan yang lain : ”(Mengangkat) pedang adalah
bathil meskipun ada beberapa orang yang terbunuh. Imam itu bisa jadi
seorang yang adil atau tidak adil, dan tidak boleh bagi kita untuk
menyingkirkannya walaupun ia seorang yang fasiq”. Mereka mengingkari
tindakan keluar/memberontak kepada sulthan; dan mereka tidak berpendapat
dengan pendapat tersebut (mengangkat pedang kepada sulthan/penguasa).
Pendapat ini menyatakan, mengganti (cara-cara seperti itu) dalam hal
mengingkari kemungkaran dan ajakan kepada yang ma’ruf adalah dengan
(cara-cara) tanpa menggunakan pedang. Sebagian orang berkata : ”Ubahlah
(maksudnya : ingkarilah) dengan hatimu. Jika keadaan memungkinkan, maka
ubahlah dengan lisanmu. Dan jika keadaan lebih memungkinkan lagi, maka
ubahlah dengan tanganmu. Adapun dengan pedang (yang dengan itu terjadi
penumpahan darah), maka tidak diperbolehkan. Sebagian lain mengatakan :
”Diperbolehkan untuk mengubah hal itu dengan lisan dan hati. Namun jika
dengan tangan, maka tidak diperbolehkan” [selesai
–Maqaalatul-Islamiyyin hal. 139; Maktabah Al-Misykah].
Al-Hafidh Ibnu Hajar menambahkan keterangan :
وقال الطبري اختلف السلف في الأمر بالمعروف فقالت طائفة يجب مطلقا واحتجوا
بحديث طارق بن شهاب رفعه أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر وبعموم قوله
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده الحديث وقال بعضهم يجب إنكار المنكر لكن
شرطه الا يلحق المنكر بلاء لا قبل له من قتل ونحوه وقال آخرون ينكر بقلبه
لحديث أم سلمة مرفوعا يستعمل عليكم أمراء بعدي فمن كره فقد بريء ومن أنكر
فقد سلم ولكن من رضي وتابع الحديث
"Telah berkata Ath-Thabari : ’Orang-orang salaf saling berbeda pendapat
dalam perkara menyuruh perbuatan yang baik (al-amru bil-ma’ruf).
Sebagian orang berkata : Wajib secara mutlak, dengan dasar hadits dari
jalan Ibnu Syihab secara marfu’ : ”Seutama-utama jihad adalah kalimat
yang haq di sisi sulthan/penguasa yang jahat”. Dan juga dari keumuman
hadits : Siapa saja diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubahlah
dengan tanganmu (al-hadits). Sebagian yang lain berkata : Wajib
mengingkari kemungkaran, tapi dengan syarat bahwa orang tersebut tidak
menimbulkan kekacauan, seperti munculnya tindakan pembunuhan atau yang
semisal. Dan berkata sebagian yang lain lagi : Ia ingkari dengan hatinya
berdasarkan hadits Ummu Salamah secara marfu’ : Akan diangkat penguasa
untuk kalian setelahku. Barangsiapa yang membencinya, maka ia telah
berlepas diri. Dan barangsiapa yang mengingkarinya, maka ia telah
selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh
terhadap pemimpin tersebut (al-hadits)” [selesai – lihat Fathul-Bari juz
13 penjelasan hadits no. 6685; Maktabah Sahab].
Berdasarkan paparan di atas, maka kita dapat merangkum dalam dua pendapat inti, yaitu :
1. Pendapat yang menyatakan kebolehan memerangi pemimpin yang dhalim dan fasiq.
2. Pendapat yang menyatakan keharaman memerangi pemimpin yang dhalim dan fasiq.
Pendapat yang Menyatakan Kebolehan Memerangi Pemimpin yang Dhalim dan Fasiq
Pendapat yang menyatakan tentang kebolehan memerangi penguasa yang
dhalim dan fasiq merupakan pendapat sebagian (kecil) ulama Ahlus-Sunnah
serta seluruhgolongan Mu’tazillah, Khawarij, dan Zaidiyyah. Bahkan
mereka mewajibkannya dalam kondisi-kondisi tertentu. Al-Imam Ibnu Hazm
menisbatkan pendapat ini pada semua shahabat yang terlibat di masa
fitnah pada kekhalifahan ’Ali, Mu’awiyyah, dan setelah itu sepertiwa
terjadinya peristiwa Al-Harrah [lihat Al-Fashlu fil-Milal wan-Nihaal juz
5 hal. 20]. Mereka berhujjah dengan keumuman ayat sebagaimana telah
disebutkan dalam perkataan Imam Abul-Hasan Al-Asy’ary di atas. Sebagian
penulis kontemporer juga turut andil dalam menguatkan pendapat ini dalam
berbagai tulisannya. Dalam membangun pendapatnya, mereka juga berhujah
dengan beberapa riwayat sebagai berikut :
عن أبي سعيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا
فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
Dari Abu Sa’id Al-Khudri : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam bersabda : “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran,
hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan
lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah iman yang
paling lemah” [HR. Muslim no. 49, Abu Dawud no. 1140, Ahmad no. 11088,
dan yang lainnya].
عن عبد الله بن مسعود أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما من نبي بعثه
الله في أمة قبلي إلا كان له من أمته حواريون وأصحاب يأخذون بسنته ويقتدون
بأمره ثم إنها تخلف من بعدهم خلوف يقولون مالا يفعلون ويفعلون مالا يؤمرون
فمن جاهدهم بيده فهو مؤمن ومن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن ومن جاهدهم بقلبه فهو
مؤمن وليس وراء ذلك من الإيمان حبة خردل
Dari Abdillah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Tidak ada seorang Nabi
pun yang diutus Allah sebelumku melainkan dia mempunyai murid-murid
setia (hawariyyun) dan para shahabat yang mengambil sunnahnya dan
mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka, muncul para penerus yang
mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mereka mengerjakan
sesuatu yang tidak diperintahkan kepada mereka. Barangsiapa yang melawan
mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang
melawan mereka dengan lisannya, maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa
yang melawan mereka dengan hatinya, maka ia pun seorang mukmin. Tidak
ada sesuatu setelah hal itu dari iman, walau seberat biji sawi” [HR.
Muslim no. 50]
عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال على المرء المسلم السمع
والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
bahwasannya beliau bersabda : “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar
dan taat (kepada penguasa/umaraa’ ) pada apa-apa yang ia sukai atau ia
benci, kecuali apabila ia menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia
menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak
boleh taat” (HR. Bukhari no. 2796; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707;
Ibnu Majah no. 2864; dan lain-lain].
عن ثوبان قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما أخاف على أمتي الأئمة المضلين
Dari Tsauban radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam : “Sesungguhnya hal yang paling aku
takutkan dari umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan” [HR.
Tirmidzi no. 2229 dan Ahmad no. 22447; shahih].
Pendapat yang Menyatakan Keharaman Memerangi Pemimpin yang Dhalim dan Fasiq
Para ulama yang menyatakan pendapat ini berhujjah dengan banyak dalil sebagai berikut :
Dari ’Ubaidah bin Ash-Shamit radliyallaahu ’anhu ia berkata :
بايعنا رسول الله صلى الله عليه وسلم على السمع والطاعة في المنشط والمكره
وأن لا ننازع الأمر أهله وأن نقوم أو نقول بالحق حيثما كنا لا نخاف في الله
لومه لائم
”Kami berbai’at kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam untuk
mendengar dan taat baik dalam keadaan senang ataupun benci; tidak
melepaskan perkara (kekuasaan) dari ahlinya; dan agar kami selalu
berbuat dan berkata dengan kebenaran dimanapun kami berada tanpa takut
celaan dan hinaan dalam menjalankan perintah Allah” [HR. Bukhari no.
6774 dan Muslim no. 1709; ini adalah lafadh Bukhari].
Dari ‘Auf bin Malik radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وآله وسلم يقول: خيار أئمتكم الذين
تحبونهم ويحبونكم وتصلون عليهم ويصلون عليكم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم
ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قالوا قلنا يا رسول الله أفلا ننابذهم عند
ذلك قال لا ما أقاموا فيكم الصلاة لا ما أقاموا فيكم الصلاة ألا من ولي
عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا
ينزعن يدا من طاعة
Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
“Sebaik-baik pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu cintai dan ia pun
mencintaimu. Kamu mendoakannya, dan ia pun mendoakanmu. Adapun
seburuk-buruk pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu benci dan ia pun
membencimu. Kamu melaknatnya dan ia pun melaknatmu”. Kami (para
shahabat) bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka
dengan pedang (memberontak) atas hal itu ?”. Beliau shallallaahu
’alaihi wasallam pun menjawab : ”Jangan, selagi ia masih menegakkan
shalat bersamamu” (dua kali). Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh
seorang pemimpin, kemudian ia melihat pemimpin tersebut melakukan
kemaksiatan kepada Allah, maka bencilah kemaksiatan tersebut, dan jangan
melepaskan tangan dari ketaatan kepadanya” [HR. Muslim no. 1855].
Dari Salamah bin Yaziid Al-Ju’fi, ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
يا نبي الله أرأيت إن قامت علينا أمراء يسألونا حقهم ويمنعونا حقنا فما
تأمرنا فأعرض عنه ثم سأله فأعرض عنه ثم سأله في الثانية أو في الثالثة
فجذبه الأشعث بن قيس وقال اسمعوا وأطيعوا فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما
حملتم
“Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya amir (dimana
mereka) meminta haknya dari kami akan tetapi mereka menahan hak kami?”.
Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, dan
kemudian ia (Salamah) bertanya kembali dan beliau berpaling, sampai hal
tersebut terulang dua kali atau tiga kali. Asy’ats bin Qais pun kemudian
menarik Salamah. Maka beliaupun menjawab : “(Hendaklah kalian) dengar
dan taati mereka, karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat,
dan atas kalian apa yang kalian perbuat” [HR. Muslim no. 1846].
Dari Ummu Salamah radliyallaahu ’anhu bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم
ولكن من رضي وتابع قالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا أي من
كره بقلبه وأنكر بقلبه
”Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan
kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat).
Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang
mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya
dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para
shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya
?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat, yaitu
barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” [HR. Muslim
no. 1854].
Dari ’Adi bin Hatim radliyallaahu ’anhu ia berkata :
قلنا يا رسول الله لا نسألك عن طاعة من اتقى ولكن من فعل وفعل فذكر الشر فقال اتقوا الله واسمعوا وأطيعوا
Kami bertanya : ”Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan
kepada orang (pemimpin) yang bertaqwa. Akan tetapi (kami bertanya
tentang) orang yang telah berbuat begini dan begitu” – maka ia
menyebutkan kejelekan. Maka beliau shallallaahu ’alaihi wasallam
bersabda : ”Bertaqwalah kepada Allah, dengar dan taatlah kalian
(kepadanya)” [HR. Ibnu Abi ’Ashim no. 1069; shahih].
Dari Abu Dzar Al-Ghiffari radliyallaahu ’anhu ia berkata :
أتاني رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا في مسجد المدينة فضربني برجله
وقال ألا أراك نائما فيه فقلت يا رسول الله غلبني عيني قال كيف تصنع إذا
أخرجت منه فقلت إني أرضى الشام الأرض المقدسة المباركة قال كيف تصنع إذا
أخرجت منه قال ما أصنع أضرب بسيفي يا رسول الله وقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم ألا أدلك على خير من ذلك وأقرب رشدا قالها مرتين تسمع وتطيع
وتساق كيف ساقوك
”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mendatangiku ketika aku berada
di masjid Madinah. Beliau menyentuh kakiku dan bersabda :“Apakah kamu
sedang tidur di tempat ini ?”. Aku menjawab : “Wahai Rasulullah, mataku
mengalahkanku”. Beliau bertanya : “Bagaimana jika kamu diusir dari sini
?”. Maka aku menjawab : “Sungguh, aku akan memilih bumi Syam yang suci
lagi diberkahi”. Beliau bertanya lagi :”Bagaimana jika kamu diusir dari
Syam ?”. Aku berkata : ”Apa yang seharusnya aku perbuat ? Apakah aku
harus melawannya dengan pedangku wahai Rasulullah ?”. Beliau berkata
:”Maukah engkau aku tunjukkan jalan yang lebih baik daripada tindakan
itu dan lebih dekat kepada petunjuk ?” – beliau mengatakannya dua kali -
.yaitu kamu dengar dan kamu taati. Kamu akan digiring kemana saja
mereka akan menggiringmu” [HR. Ibnu Abi ’Ashim no. 1074; shahih].
Dari Hudzaifah bin Al-Yaman berkata : Telah bersabda Rasululah shallallaahu ’alaihi wasallam :
يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم
قلوب الشياطين في جثمان إنس قال قلت كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك
قال تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil
petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula
di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan
dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku
lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab :“(Hendaknya) kalian
mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan
merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847]
Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
”Memaki seorang muslim itu adalah kefasiqan, dan memeranginya adalah kekufuran" [HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64].
Dari Abu Musa radliyallaahu ’anhu dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda :
ان بين يدي الساعة الهرج قالوا وما الهرج قال القتل قالوا أكثر مما نقتل
انا لنقتل في العام الواحد أكثر من سبعين ألفا قال انه ليس بقتلكم المشركين
ولكن قتل بعضكم بعضا قالوا ومعنا عقولنا يومئذ قال انه لينزع عقول أكثر
أهل ذلك الزمان ويخلف له هباء من الناس يحسب أكثرهم انه على شيء وليسوا على
شيء
”Sesungguhnya sebelum datangnya hari kiamat akan terjadi kerusuhan”.
Para shahabat bertanya : ”Kerusuhan apakah itu wahai Rasulullah ”. Maka
beliau menjawab : ”Pembunuhan”.Mereka bertanya kembali : ”Apakah lebih
banyak daripada pembunuhan yang kami lakukan ? Sesungguhnya kami pernah
membunuh tujuh puluh ribu orang lebih dalam setahun”. Beliau menjawab :
”Bukan kamu membunuh musyrikin, akan tetapi yang akan terjadi adalah
sebagian kamu akan membunuh sebagian yang lain (sesama kaum muslimin)”.
Mereka berkata : ”Bukankah kami mempunyai akal pada waktu itu ?”. Beliau
berkata : ”Kebanyakan manusia pada waktu itu hilang pertimbangan
akalnya dan digantikan oleh manusia-manusia debu yang kebanyakan mereka
menyangka berpegang pada kebenaran, padahal tidak sama sekali”[HR.
Ahmad 4/414 no. 19732, Ibnu Majah no. 3949, dan yang lainnya; shahih].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang
tidak memenuhi hak rakyat ).Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di
haudl” [HR. Bukhari no. 6648 dan Muslim no. 1845].
إنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَة وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا
يَا رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ
تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ
لَكُمْ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada “atsarah” dan banyak perkara yang
kalian ingkari dari mereka”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah,
apa yang engkau perintahkan kepada kami yang menemuinya ?”. Beliau
menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas
kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [HR. Muslim no. 1843].
Adanya dalil-dalil yang menunjukkan larangan memerangi para penguasa
fasiq dan dhalim adalah karena mempertimbangkan tujuan-tujuan syari’at.
Allah telah mengutus Rasul-Nya untuk menciptakan berbagai kemaslahatan
dan kesempurnaan untuk melenyapkan kerusakan dan meminimalisasinya,
serta menolak dua macam kerusakan dengan memilih kerusakan yang paling
sedikit di antara keduanya. Jika amar-ma’ruf merupakan kewajiban dan
perintah yang paling besar, maka kemaslahatan di dalamnya harus lebih
dominan daripada kerusakannya. Adapun melawan dan memberontak kepada
penguasa yang dhalim, selama ia tidak kafir, berdasarkan nash dan
realitas sejarah yang ada, maka kemudlaratannya lebih besar daripada
maslahatnya. Rusaknya dunia dan seisinya masih lebih baik daripada harus
menumpahkan darah seorang muslim akibat fitnah. Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam bersabda :
لزوال الدنيا أهون عند الله من قتل رجل مسلم
”Lenyapnya/hancurnya dunia lebih rendah kedudukannya di sisi Allah
daripada terbunuhnya seorang muslim” [HR. Nasa’i dalam Ash-Shughraa no.
3987; shahih].
Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma berkata ketika ia melihat Ka’bah :
ما أعظمك وأعظم حرمتك والمؤمن أعظم حرمة عند الله منك
”Alangkah agung engkau dan alangkah agung kehormatanmu (wahai Ka’bah).
Namun, kehormatan seorang muslim lebih agung di sisi Allah daripada
engkau" [HR. Tirmidzi no. 2032; hasan shahih].
Inilah pendapat jumhur ulama Ahlus-Sunnah menyatakan pengharaman
memerangi pemimpin yang dhalim, fasiq, dan aniaya dengan menggunakan
pedang, selagi kedhalimannya tersebut tidak sampai pada batas kekufuran.
Ini juga merupakan pendapat segolongan shahabat seperti Sa’ad bin Abi
Waqqash, Usamah bin Zaid, Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Maslamah, dan
lain-lain. Inilah pendapat para ahli hadits secara umum [lihat Al-Fashlu
fil-Milal wan-Nihaloleh Ibnu Hazm juz 4 no. 19; Tafsir Al-Qurthubi QS.
Al-Hujurat : 9].
Bahkan segolongan ulama ada yang menyatakan ijma’ atas pendapat ini. An-Nawawi berkata :
وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ , وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ
”Adapun keluar dari ketaatan terhadap para pemimpin/penguasa serta
memeranginya, maka hukumnya adalah haram menurutkesepakat kaum muslimin.
Walaupun pemimpin tersebut adalah dhalim lagi fasiq” [Syarah Shahih
Muslim lin-Nawawi 1/229].
Al-Hafidh Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Baththal sebagai berikut :
قال بن بطال في الحديث حجة في ترك الخروج على السلطان ولو جار وقد أجمع
الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من
الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء وحجتهم هذا الخبر
وغيره مما يساعده ولم يستثنوا من ذلك إلا إذا وقع من السلطان الكفر الصريح
”Telah berkata Ibnu Baththal dalam hadits yang menjadi hujjah untuk
meninggalkan sikap keluar dari ketaatan kepada sulthan/penguasa walaupun
ia seorang yang jahat : ’Para fuqahaa telah bersepakat atas wajibnya
taat kepada sulthan yang terpilih dan jihad bersamanya. Hal itu
dikarenakan ketaatan kepadanya lebih baik daripada keluar dari ketaatan
(membangkang/memberontak), yang dengan itu bisa memelihara darah dan
menenangkan orang banyak. Tidak ada pengecualian atas hal itu, kecuali
bila sulthan melakukan kekufuran yang nyata” [Fathul-Bari juz 13 syarah
hadits no. 6646. Lihat juga Syarh Ibni Baththal ’alaa Shahih Al-Bukhari
juz 19 hal. 7].
Al-Kirmany berkata : ”Para fuqahaa telahbersepakat bahwa penguasa
terpilih harus ditaati selagi dia menegakkan shalat berjama’ah dan jihad
kecuali jika dia melakukan kekufuran yang nyata. Sehingga tidak ada
lagi ketaatan kepadanya. Bahkan wajib memeranginya bagi orang yang
mampu” [Syarh Shahih Al-Bukhari juz 10 hal. 169].
Asy-Syarqawi berkata : ”Pengharaman memerangi penguasa yang dhalim dan
fasiq diambilkan dari ijma’ para ulama dari kalangan tabi’in” [Hasyiyah
Asy-Syarqawi juz 2 hal. 398].
Adanya pernyataan ijma’ ini merupakan sikap Ahlus-Sunnah setelah melihat
berbagai fitnah yang timbul pada masa Al-Husain bin ’Ali, Abdullah bin
Zubair, Abdullah bin Muthi’, Abdullah bin Handhalah, dan penduduk
Madinah ketika menentang Khilafah Bani Umayyah. Inilah yang mendorong
sebagian ulama untuk berkata bahwa perbedaan pendapat ini hanya muncul
permulaannya, kemudian ada ijma’ mengenai larangan memerangi penguasa.
Dan inilah yang lebih sesuai dengan sunnah (dengan melihat dalil-dalil
yang ada – sebagaimana di atas).
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya (Kitaabul-Imarah) menyebutkan sebuah
kisah, yaitu ketika Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma datang
kepada Abdullah bin Muthi’ radliyallaahu ’anhu ketika telah terjadi
peristiwa Al-Harrah pada jaman Yazid bin Mu’awiyyah. Abdullah bin Muthi’
berkata : ”Berikan bantal kepada Abu ’Abdirrahman (yaitu Ibnu ’Umar
radliyallaahu ’anhuma)”. Kemudian Ibnu ’Umar berkata :
إني لم آتك لأجلس أتيتك لأحدثك حديثا سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقوله سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من خلع يدا من طاعة لقي الله
يوم القيامة لا حجة له ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
”Bahwasannya aku tidak datang kepadamu untuk duduk. Akan tetapi aku
datang kepadamu untuk menyampaikan sebuah hadits yang aku dengar dari
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, yaitu beliau bersabda :
’Barangsiapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada penguasa),
maka dia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak
mempunyai hujjah (alasan) untuk membela diri. Dan barangsiapa yang mati,
sedangkan tidak ada (ikatan) baiat di lehernya, maka ia mati seperti
mati dalam keadaan jahiliyyah” [HR. Muslim no. 1851].
Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma mengingkari perbuatan Abdullah bin
Muthi’ (yang bergabung dengan Abdullah bin Zubair radliyallaahu 'anhuma)
ketika keluar dari ketaatan Yazid bin Mu’awiyyah (karena ia adalah
seorang pemimpin yang fajir).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya sebagai berikut :
عن نافع قال : لما خلع الناس يزيد بن معاوية جمع بن عمر بنيه وأهله ثم تشهد
ثم قال أما بعد فإنا قد بايعنا هذا الرجل على بيع الله ورسوله وإني سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن الغادر ينصب له لواء يوم القيامة
يقال هذه غدرة فلان وإن من أعظم الغدر أن لا يكون الإشراك بالله تعالى أن
يبايع رجل رجلا على بيع الله ورسوله صلى الله عليه وسلم ثم ينكث بيعته فلا
يخلعن أحد منكم يزيد ولا يشرفن أحد منكم في هذا الأمر فيكون صيلم بيني
وبينه
Dari Nafi’ ia berkata : Ketika manusia melepaskan ketaatan kepada Yazid
bin Mu’awiyyah, maka Ibnu ‘Umar mengumpulkan anak-anak dan keluarganya
kemudian bertasyahud dan berkata : “Amma ba’du, sesungguhnya kita telah
membai’at orang ini (yaitu Yazid bin Mu’awiyyah) di atas bai’at Allah
dan Rasul-Nya. Dan sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya bagi seorang pengkhianat akan
ditancapkan baginya bendera pada hari kiamat dan akan dikatakan
kepadanya : ‘Inilah (bendera) pengkhianatan si Fulan’. Dan sesungguhnya
pengkhianatan yang paling besar bila tidak ada pengkhianatan lain yang
lebih besar dari perbuatan syirik kepada Allah, adalah : Seseorang yang
berbaiat kepada orang lain dalam rangka bai’at (taat) kepada Allah dan
Rasul-Nya lalu ia mengkhianati bai’atnya itu. Maka janganlah ada
diantara kalian yang melepaskan bai’at kepada Yazid, dan janganlah ada
di antara kalian yang berlebih-lebihan dalam perkara ini yang dengan itu
dapat memisahkan hubungan antara aku dengannya” [HR. Ahmad juz 2 hal.
48 no. 5088; shahih].
Tentang Abdullah bin Muthi’, Ibnu Hibban menjelaskan :
عبد الله بن مطيع بن الأسود بن المطلب بن أسد القرشي له صحبة ولد في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم ومات في فتنة بن الزبير
”Abdullah bin Muthi’ bin Al-Aswad bin Al-Muthallib bin Asad Al-Qurasyi.
Ia adalah seorang shahabat. Dilahirkan ketika Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam masih hidup. Meninggal ketika masa fitnah di jaman Ibnu
Zubair” [Ats-Tsiqaat juz 3 no. 721; Maktabah Sahab].
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
....وكان رأس قريش يوم الحرة وأمره بن الزبير على الكوفة ثم قتل معه سنة ثلاث وسبعين
”...Ia merupakan salah seorang pemimpin Quraisy pada peristiwa
Al-Harrah. Ibnu Zubair memerintahkannya untuk memimpin Kuffah, kemudian
ia terbunuh bersama Ibnu Zubair (di Makkah) pada tahun 73 Hijriyah”
[Taqribut-Tahdzib no. 3626; Maktabah Sahab].
Adz-Dzahabi berkata ketika menyebutkan kejadian tahun 63 H :
كانت وقعة الحرة، وذلك أن أهل المدينة خرجوا على يزيد لقلة دينه فجهز لحربهم جيشاً عليهم مسلم بن عقبة
”Pada tahun itulah terjadi peristiwa Al-Harrah. Yaitu peristiwa dimana
penduduk Madinah keluar/memberontak kepada Yazid (bin Mu’awiyyah) karena
kekurangan dalam agamanya. Lalu Yazid menyiapkan pasukan untuk
memerangi mereka yang dipimpin oleh Muslim bin ’Uqbah” [Al-’Ibarjuz 1
hal. 67].
Al-Hafidh Ibnu Katsir menjelaskan bagaimana sikap Ahlus-Sunnah dalam
mengambil ’ibrah (pelajaran) atas peristiwa fitnah Al-Harrah (di jaman
Ibnu Zubair, Ibnu Muthi’, dan Ibnu Handhalah radliyallaahu ’anhum)
sebagai berikut :
ولما خرج أهل المدينة عن طاعته – أي: يزيد -، وولوا عليهم بن مطيع، وابن
حنظلة، لم يذكروا عنه – وهم أشد الناس عداوة له – إلا ما ذكروه عنه من شرب
الخمر وإتيانه بعض القاذورات... بل قد كان فاسقاً، والفاسق لا يجوز خلعه،
لأجل ما يثور بسبب ذلك من الفتنة ووقوع الهرج – كما وقع في زمن الحرة –
”Ketika penduduk Madinah keluar dari ketaatan (memberontak) kepada
Yazid, mereka menjadikan Ibnu Muthi’ dan Ibnu Handhalah sebagai pemimpin
mereka. Mereka – sebagai orang yang paling keras memusuhinya – tidak
mengadukan kepada Ibnu Muthi’ dan Ibnu Handhalah tentang Yazid selain
perbuatan-perbuatannya yang menyimpang seperti meminum khamr dan
mendatangi sebagian perkara yang kotor…… Memang ia (Yazid) adalah
seorang yang fasiq, akan tetapi orang yang fasiq tetap tidak
diperbolehkan untuk diberontak/dicopot kedudukannya. Karena hal itu
hanya akan menimbulkan fitnah dan banyak pembunuhan (darah yang
tertumpah), sebagaimana telah terjadi pada peristiwa Al-Harrah”
[Al-Bidayah wan-Nihayah juz 8 hal. 232; cet. As-Sa’adah].
Imam Ibnul-‘Araby Al-Maliki berkata :
وقد قال ابن الخياط إن بيعة عبد الله لزيد كانت كرها، وأين يزيد من ابن عمر
؟ ولكن رأى بدينه وعلمه التسليم لأمر الله، والفرار من التعرض لفتنة فيها
من ذهاب الأموال والأنفس ما لا يفي بخلع يزيد، لو تحقق أن الأمر يعود في
نصابه، فكيف ولا يعلم ذلك ؟
”Ibnu Khayyath telah berkata bahwasannya bai’atnya Abdullah bin ’Umar
kepada Yazid adalah karena terpaksa. Dimana kedudukan Yazid bisa
diperbandingkan dengan kedudukan Ibnu ‘Umar (sehingga ia membai’at Yazid
karena terpaksa) ? (Perkataan Ibnu Khayyath tidaklah benar). Akan
tetapi karena kedudukan agama dan ilmunya, maka Ibnu ‘Umar tunduk
(taslim) terhadap perintah Allah (untuk tidak membatalkan bai’at) dan
menghindarkan diri dari timbulnya fitnah. Yaitu fitnah (bencana) yang
terjadi pada harta dan jiwa. Maka melepaskan kekuasaan dari tangan
Yazid, walau seandainya bisa dipastikan bahwa kekuasan itu akan kembali
kepada asalnya yang lebih berhak (yaitu kembali kepada penguasa yang
’adil), itupun tetap menimbulkan fitnah/kekacauan yang dahsyat. Lantas
bagaimana halnya jika kepastian itu tidak bisa diketahui ?”
[lihatAl-I’tisham oleh Imam Asy-Syathibi juz 2 hal. 107; Maktabah
Al-Misykah].
Telah masyhur pengingkaran Muhammad bin Al-Hanafiyyah (salah satu anak
dari ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu) ketika ia diajak bergabung
oleh Ibnul-Muthi’ untuk memberontak kepada Yazid bin Mu’awiyyah.
Itulah sedikit di antara banyak perkataan ulama ketika mengomentari
peristiwa Al-Harrah. Maka sungguh aneh jika ada sebagian orang yang
menjadikan dalil peristiwa Al-Harrah dan rentetan peristiwa fitnah
setelahnya ini sebagai kebolehan untuk memberontak/melawan penguasa yang
dhalim. Apa yang dilakukan oleh Ibnu Zubair, Ibnu Muthi’, Ibnu
Handhalah, dan yang lainnya dalam peristiwa fitnah itu adalah satu
kesalahan dari ijtihad mereka yang tidak boleh ditiru oleh generasi
selanjutnya. Sama halnya dengan berperangnya ’Aisyah bersama para
shahabat lain dalam Perang Jamal. Padahal tidak syakk bahwa kebenaran
berada di pihak ’Ali bin Abi Thalib.
Adapun yang menguatkan pernyataan kesepakatan haramnya mengangkat pedang
terhadap penguasa dhalim setelah terjadinya berbagai macam fitnah dan
pembunuhan di awal Islam, maka jika kita lihat dalam kitab-kitab
biografi, rijal, atau al-jarh wat-ta’dil niscaya kita akan temui celaan
para ulama Ahlus-Sunnah pada orang-orang yang membolehkan mengangkat
pedang terhadap penguasa. Saya ambil contoh : Al-Hasan bin Shalih bin
Shalih bin Hay. Ibnu Hajar dalam At-Taqrib (no. 1250) mengatakan tentang
status dirinya :tsiqatun, faqihun, ’aabidun (seorang yang tsiqah,
faqih, dan ahli ibadah). Namun Al-Hasan bin Shalih menjadi sangat
tercela di mata ulama karena ia berpandangan membolehkan mengangkat
pedang/senjata. Ibnu Hajar mengisahkan lebih lanjut tentang Al-Hasan ini
di kitab beliau yang lain (At-Tahdzib) :
وقال أبو نعيم دخل الثوري يوم الجمعة فإذا الحسن بن صالح يصلي فقال نعوذ
بالله من خشوع النفاق وأخذ نعليه فتحول وقال أيضا عن الثوري ذاك رجل يرى
السيف على الأمة ......... وقال بشر بن الحارث كان زائدة يجلس في المسجد
يحذر الناس من بن حي وأصحابه قال وكانوا يرون ........وقال خلف بن تميم كان
زائدة يستتيب من الحسن بن حي وقال علي بن الجعد حدثت رائدة بحديث عن الحسن
فغضب وقال لا حدثتك أبدا
”Berkata Abu Nu’aim : Ats-Tsauri (yaitu Sufyan Ats-Tsauri – seorang
dimana umat bersepakat tentang keimaman beliau) masuk (ke masjid) pada
hari Jum’at, ternyata Al-Hasan bin Shalih sedang shalat di dalamnya.
Maka ia berkata : “Na’uudzubillah min khusyuu’in-nifaaq (aku berlindung
kepada Allah dari khusyu’ nifaq) !!”. Kemudian ia bergegas mengambil
sandalnya dan pindah (ke masjid lain). Abu Nu’aim meriwayatkan dari
Sufyan Ats-Tsauri bahwa ia berkata : ”Ia (Al-Hasan bin Shalih) adalah
seorang laki-laki yang berpendapat bolehnya mengangkat pedang terhadap
umat”......................... Bisyr bin Al-Harits berkata : ”Zaidah bin
Qudamah duduk di masjid untuk memperingatkan manusia dari Ibnu Hay
(Al-Hasan bin Shalih) dan teman-temannya. Zaidah berkata : ’Mereka
adalah orang yang mempunyai pendapat tentang bolehnya mengangkat pedang
(atas umat)”. Khalaf bin Tamim berkata : ”Dulu Zaidah meminta siapa saja
yang pernah datang menemui Al-Hasan bin Shalih bin Hay untuk bertaubat.
Pernah satu ketika ’Ali bin Ja’d menyampaikan hadits kepada Zaidah dari
Al-Hasan (bin Shalih bin Hay), maka ia pun marah dan berkata : ”Aku
tidak akan memberimu hadits selamanya” [Tahdzibut-Tahdzib juz 2 no.
516].
Dan akhirnya Al-Hafidh memberikan sebuah kesimpulan mengenai pandangan
Al-Hasan bin Shalih dan orang-orang yang sependapat dengannya dalam
sebuah perkataan yang sangat bagus :
كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على أئمة الجور وهذا مذهب للسلف
قديم لكن أستقر الأمر على ترك ذلك لما رأوه قد أفضى إلى أشد منه ففي وقعة
الحرة ووقعة بن الأشعث وغيرهما عظة لمن تدبر
”Pendapat mereka menyatakan bolehnya keluar mengangkat pedang/senjata
terhadap para pemimpin yang jahat/dhalim. Maka, ini adalah madzhab
(sebagian) orang-orang salaf dahulu (sebagaian shahabat dan tabi’in).
Akan tetapi kemudian ada sebuah ketetapan untuk meninggalkan hal itu,
karena justru menimbulkan dampak yang lebih fatal. Apa yang terjadi
dalam peristiwa Al-Harrah dan Ibnul-Asy’ats menjadi pelajaran yang baik
bagi orang yang mau mengambil pelajaran”.
Perhatikanlah perkataan indah dari ahlust-tsughuur wal-mujahid Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berikut :
ففي الجملة أهل السنة يجتهدون في طاعة الله ورسوله بحسب الإمكان كما قال
تعالى فاتقوا الله ما استطعتم وقال النبي صلى الله عليه وسلم إذا أمرتكم
بأمر فأتوا منه ما استطعتم ويعلمون أن الله تعالى بعث محمدا صلى الله عليه
وسلم بصلاح العباد في المعاش والمعاد وأنه أمر بالصلاح ونهى عن الفساد فإذا
كان الفعل فيه صلاح وفساد رجحوا الراجح منهما فإذا كان صلاحه أكثر من
فساده رجحوا فعله وإن كان فساده أكثر من صلاحه رجحوا تركه فإن الله تعالى
بعث رسوله صلى الله عليه وسلم بتحصيل المصالح وتكميلها وتعطيل المفاسد
وتقليلها فإذا تولى خليفة من الخلفاء كيزيد وعبد الملك والمنصور وغيرهم
فإما أن يقال يجب منعه من الولاية وقتاله حتى يولى غيره كما يفعله من يرى
السيف فهذا رأى فاسد فإن مفسدة هذا أعظم من مصلحته وقل من خرج على إمام ذي
سلطان إلا كانما تولد على فعله من الشر أعظم مما تولد من الخير كالذين
خرجوا على يزيد بالمدينة وكابن الأشعث الذي خرج على عبد الملك بالعراق
وكابن المهلب الذي خرج على ابنه بخراسان وكأبي مسلم صاحب الدعوة الذي خرد
عليهم بخراسان أيضا وكالذين خرجوا على المنصور بالمدينة والبصرة وأمثال
هؤلاء وغاية هؤلاء إما أن يغلبوا وإما أن يغلبوا ثم يزول ملكهم فلا يكون
لهم عاقبة فإن عبد الله بن علي وأبا مسلم هما اللذان قتلا خلقا كثيرا
وكلاهما قتله أبو دعفر المنصور وأما أهل الحرة وابن الأشعث واب المهلب
وغيرهم فهزموا وهزم أصحابهم فلا أقاموا دينا ولا أبقوا دنيا والله تعالى لا
يأمر بأمر لا يحصل به صلاح الدين ولا صلاح الدنيا وإن كان فاعل ذلك من
أولياء الله المتقين ومن أهل الجنة فليسوا أفضل من علي وعائشة وطلحة
والزبير وغيرهم ومع هذا لم يحمدوا ما فعلوه من القتال وهم أعظم قدرا عند
الله وأحسن نية من غيرهم وكذلك أهل الحرة كان فيهم من أهل العلم والدين خلق
وكذلك أصحاب ابن الأشعث كان فيهم خلق من أهلالعلم والدين والله يغفر لهم
كلهم وقد قيل للشعبي في فتنة ابن الأشعث أين كنت يا عامر قال كنت حيث يقول
الشاعر فاستأنست بالذئب إذ عوى وصوت إنسان فكدت أطير أصابتنا فتنة لم نكن
فيها بررة أتقياءولا فجرة أقوياء وكان الحسن البصري يقول إن الحجاج عذاب
الله فلا تدفعوا عذاب الله بأيديكم ولكن عليكم بالاستكانة والتضرع فإن الله
تعالى يقول ولقد أخذناهم بالعذاب فما استكانوا لربهم وما يتضرعون وكان طلق
بن حبيب يقول اتقوا الفتنة بالتقوى فقيل له أجمل لنا التقوى فقال أن تعمل
بطاعة الله على نور من الله ترجو رحمة الله وأن تترك معصية الله على نور من
الله تخاف عذاب الله رواه أحمد وابن أبي الدنيا وكان أفاضل المسلمين ينهون
عن الخروج والقتال في الفتنة كما كان عبد الله بن عمر وسعيد بن المسيب
وعلي بن الحسين وغيرهم ينهون عام الحرة عن الخروج على يزيد وكما كان الحسن
البصري ومجاهد وغيرهما ينهون عن الخروج في فتنة ابن الأشعث ولهذا استقر أمر
أهل السنة على ترك القتال في الفتنة للأحاديث الصحيحة الثابته عن النبي
صلى الله عليه وسلم وصاروا يذكرون هذا فيعقائدهم ويأمرون بالصبر على
جورالأئمة وترك قتالهم وإن كان قد قاتل في الفتنة خلق كثير من أهل العلم
والدين وباب قتال أهل البغي والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر يشتبه
بالقتال في الفتنة وليس هذا موضع بسطه ومن تأمل الأحاديث الصحيحة الثابته
عن النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الباب واعتبر أيضا اعتبار أولى الأبصار
علم أن الذي جاءت به النصوص النبوية خير الأمور ولهذا لما أراد الحسين رضي
الله عنه أن يخرج إلى أهل العراق لما كاتبوه كتبا كثيرة أشار عليه أفاضل
أهل العلم والدين كابن عمر وابن عباس وأبي بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن
هشام أن لا يخرج وغلب على ظنهم أنه يقتل حتى إن بعضهم قال أستودعك الله من
قتيل وقال بعضهم لولا الشفاعة لأمسكتك ومصلحة المسلمين والله ورسوله إنما
يأمر بالصلاح لا بالفساد لكن الرأي يصيب تارة ويخطيء أخرى فتبين أن الأمر
على ما قاله أولئك ولم يكن في الخروج لا مصلحة دين ولا مصلحة دنيا بل تمكن
أولئك الظلمة الطغاة من سبط رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى قتلوه مظلوما
شهيدا وكان في خروجه وقتله من الفساد ما لم يكن حصل لو قعد في بلده فإن ما
قصده من تحصيل الخير ودفع الشر لم يحصل منه شيء بل زاد الشر بخروجه وقتله
ونقص الخير بذلك وصار ذلك سببا لشر عظيم وكان قتل الحسين مما أوجب الفتن
كما كان قتل عثمان مما أوجب الفتن وهذا كله مما يبين أن ما أمر به النبي
صلى الله عليه وسلم من الصبر على جور الأئمة وترك قتلاهم والخروج عليهم هو
أصلح الأمور للعباد في المعاش والمعاد وأن من خالف ذلك متعمدا أو مخطئا لم
يحصل بفعله صلاح بل فساد ولهذا أثنى النبي صلى الله عليه وسلم على الحسن
بقوله إن ابني هذا سيد وسيصلح الله به بين فئتين عظيمتين من المسلمين ولم
يثن على أحد لا بقتال في فتنة ولا بخروج على الأئمة ولا نزع يد من طاعة ولا
مفارقة للجماعة
“Secara global Ahlus sunnah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam
menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan kemampuan
mereka, sebagaimana firman Allah : {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ}“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” [QS. At
Taghabun : 16]. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : {إِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ}“Jika aku
memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah semampu
kalian.” [Muttafaqun ‘alaih]. Dan mereka (Ahlus Sunnah) meyakini bahwa
Allah Ta’ala mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
membawa kebaikan bagi para hamba baik dalam kehidupan mereka di dunia
ataupun di akhirat, dan beliau memerintahkan kebaikan dan melarang
kerusakan. Jika ada suatu perbuatan yang padanya terdapat kebaikan dan
kerusakan, maka mereka (Ahlus Sunnah) lebih mendahulukan yang lebih
besar kadarnya. Jika kebaikannya lebih banyak daripada kerusakannya,
maka mereka mendahulukan untuk mengerjakan perbuatan tersebut. Dan jika
kerusakan (mafsadahnya) lebih besar daripada kebaikannya maka mereka
mendahulukan untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Karena sesungguhnya
Allah ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
mewujudkan segala kebaikan serta menyempurnakannya dan menghilangkan
segala mafsadah serta menguranginya.
Sehingga jika seorang khalifah telah berkuasa, misalnya Yaziid (bin
Mu’awiyah), Abdul Malik (bin Marwan), (Abu Ja’far) Al-Manshur, dan yang
lainnya; maka kalau tidak dikatakan bahwasanya wajib untuk
menghalanginya dari tampuk kepemimpinan dan memeranginya hingga dikuasai
oleh selain dia –sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang
membolehkan angkat pedang (melawan penguasa -pen)-, maka ini adalah
pemikiran (pendapat) yang rusak karena mafsadahnya lebih besar daripada
kemaslahatannya. Dan hampir seluruh orang yang memberontak kepada
seorang penguasa yang telah berkuasa melainkan perbuatannya tersebut
akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar daripada kebaikan yang
berhasil ia peroleh. Sebagaimana orang-orang di kota Madinah yang
memberontak kepada Yaziid, seperti Ibnul-Asy’ats di Irak memberontak
terhadap Abdul Malik, Ibnul-Muhallab di Khurasan yang memberontak
terhadap putra (Abdul Malik), Abu Muslim – penggalang kekuatan dinasti
‘Abbasiyyah - di Khurasaan yang memberontak terhadap mereka (khilafah
Umawiyyah), dan orang-orang yang memberontak terhadap Al-Manshur di
Madinah dan di Bashrah, serta yang semisal dengan mereka.
Hasil terakhir yang dapat diraih adalah : Mereka kalah perang atau
mereka menang kemudian (tak berapa lama) lenyap kekuasaan mereka, maka
tidak ada hasil (yang baik) bagi mereka. Abdullah bin Ali dan Abu
Muslim, mereka berdualah yang telah membunuh banyak orang namun keduanya
(akhirnya) dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Manshur.
Adapun Ahlul-Harrah, Ibnul-Asy’ats, Ibnul-Muhallab, dan yang lainnya
maka mereka kalah dan teman-teman mereka pun juga kalah. Mereka tidak
bisa menegakkan agama; dan dunia mereka pun tidak tersisa. Padahal Allah
ta’ala tidaklah memerintah dengan suatu perintah yang tidak
menghasilkan kemaslahatan baik kemaslahatan agama maupun dunia, meskipun
pelaku pemberontakan tersebut termasuk wali-wali Allah yang bertakwa
dan termasuk penduduk surga. Maka tidaklah mereka lebih baik dari ’Ali,
’Aisyah, Thalhah, Az-Zubair, dan yang lainnya. Meskipun demikian,
Ahlus-Sunnah tidak memuji peperangan yang telah mereka lakukan, padahal
kedudukan mereka lebih mulia di sisi Allah dan niat mereka lebih baik
daripada selain mereka. Demikian juga Ahlul-Harrah, diantara mereka
banyak ahli ilmu dan ahlud-diin (orang-orang yang bertakwa), demikian
juga teman-teman (pengikut) Ibnul-Asy’ats diantara mereka banyak ulama’
dan ahli ibadah. Semoga Allah mengampuni mereka semua.
Sungguh telah dikatakan kepada Asy-Sya’bi tatkala fitnah Ibnul-Asy’ats,
“Dimanakah engkau wahai ‘Aamir (Asy-Sya’bi)?”. Maka beliau (Asy-Sya’bi)
berkata, “Sebagaimana perkataan seorang penyair :
عَوَى الذِّئْبُ فَاسْتَأْنَسْتُ بِالذِّئْبِ إِذْ عَوَى وَصَوَّتَ إِنْسَانٌ فَكِدْتُ أَطِيْرُ
“Serigala menggonggong maka aku pun merasa senang dengan serigala tatkala ia menggonggong
Dan tatkala aku mendengar suara seseorang maka hampir-hampir saja aku terbang (karena kegirangan)”
Kami ditimpa fitnah, sedangkan kami bukanlah orang-orang yang baik lagi
bertakwa (sehingga ikut tenggelam bersama fitnah tersebut) dan bukan
pula orang-orang fajir yang kuat (yang membabi buta menuruti fitnah
tersebut).
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata, “Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah wujud
dari adzab Allah, maka janganlah kalian melawan adzab Allah dengan
tangan-tangan kalian akan tetapi wajib bagi kalian untuk tunduk dan
memohon dengan merendah diri karena sesungguhnya Allah telah berfirman :
{وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُم بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ
وَمَا يَتَضَرَّعُونَ} “Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan
azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan
(juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.” [QS. Al
Mukminun : 76].
Thalq bin Habiib berkata, “Lindungilah dirimu dari fitnah dengan
ketakwaan”. Maka dikatakan kepadanya, “Simpulkanlah untuk kami apa itu
ketakwaan?” Beliau berkata, “Yaitu engkau beramal dengan ketaatan kepada
Allah dengan cahaya dari Allah dengan berharap rahmat Allah. Dan engkau
meninggalkan kemaksiatan kepada Allah dengan cahaya dari Allah karena
takut akan adzab Allah.” [Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abid-Dunya].
Dahulu pemuka/tokoh-tokoh kaum muslimin tatkala terjadi fitnah melarang
pemberontakan kepada penguasa dan melarang dari peperangan. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar, Sa’iid bin Al-Musayyib, Ali bin
Al-Husain, dan yang lainnya. Mereka melarang pemberontakan kepada Yaziid
tatkala peristiwa Al-Harrah; sebagaimana juga Al-Hasan Al-Bashri,
Mujahid, dan selain mereka berdua melarang pemberontakan tatkala
peristiwa fitnah Ibnul Asy’ats. Oleh karena itu pendapat Ahlus-Sunnah
telah bulat/tetap untuk meninggalkan peperangan tatkala terjadi fitnah
berdasarkan hadits-hadits yang shahih lagi tetap dari Nabi. Dan kemudian
mereka menyebutkan hal ini dalam aqidah-aqidah mereka serta mereka
memerintahkan untuk bersabar atas kedhaliman para penguasa dan untuk
meninggalkan sikap memerangi mereka meskipun banyak dari kalangan ulama’
dan ahli ibadah yang telah berperang disaat terjadi fitnah. Dan hukum
memerangi para bughat (pemberontak), dan amar ma’ruf nahi mungkar
serupa dengan hukum berperang tatkala terjadi fitnah, akan tetapi bukan
di sini tempat penjelasannya secara panjang lebar.
Barangsiapa yang mengamati hadits-hadits shahih dari Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam tentang pembahasan ini dan sekalian juga mengambil
pelajaran sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu,
niscaya dia akan mengetahui bahwasanya apa (perintah) yang datang dalam
hadits-hadits Nabi merupakan perkara yang terbaik. Oleh karena itu
tatkala Al-Husain ingin keluar bergabung dengan penduduk Irak tatkala
mereka (penduduk Irak) mengirim banyak surat kepada beliau, maka para
ulama’ dan ahli ibadah seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Bakar bin
Abdirrahman bin Al-Harits bin Hisyaam mengisyaratkan kepada Al-Husain
agar tidak berangkat (mengurungkan keberangkatannya) dan mereka
berpraduga kuat bahwasanya ia akan terbunuh. Sampai-sampai sebagian
mereka berkata (kepada Al-Husain) : {أَسْتَوْدِعُكَ اللهَ مِنْ قَتِيْلٍ }
“Aku titipkan engkau kepada Allah, wahai orang yang terbunuh”, dan yang
lainnya juga berkata: {لَوْلاَ الشَّفَاعَةُ لأَمْسَكْتُكَ ومنعتك من
الخروج} “Seandainya kalau bukan karena (aku beriman akan adanya) As
Syafa’at, niscaya aku akan memegangmu dan menahanmu agar tidak
berangkat.”
Mereka semua melakukan hal ini dengan tujuan menasehati beliau dan
mengupayakan kemaslahatannya dan juga kemaslahatan umat islam secara
umum. Allah dan Rasul-Nya hanyalah memerintahkan dengan kemaslahatan dan
tidak memerintahkan dengan kemafsadahan (kerusakan), akan tetapi
pendapat seseorang terkadang benar dan terkadang keliru. Kemudian
terbukti bahwa urusannya seperti yang dikatakan oleh mereka (yaitu
akhirnya Al-Husain terbunuh), dan tidak ada kemaslahatan yang diperoleh
dari pemberontakan Al Husain, baik maslahat agama maupun dunia. Bahkan
orang-orang yang dhalim lagi melampaui batas tersebut berhasil
mengalahkan cucu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam hingga
akhirnya mereka pun membunuhnya dalam keadaan terdzolimi dan mati
syahid. Dan akibat pemberontakan Al-Husain dan terbunuhnya dia timbullah
kerusakan yang tidak akan terjadi bila seandainya ia tetap berdiam diri
di negerinya. Cita-cita yang hendak beliau capai dari pemberontakan
yaitu untuk mewujudkan kebaikan dan menumpas keburukan akhirnya sama
sekali tidak tercapai. Bahkan akibat pemberontakan dan terbunuhnya
beliau, keburukan semakin bertambah dan sebaliknya kebaikan semakin
berkurang. Dan tragedi ini menjadi penyebab timbulnya petaka yang amat
besar. Peristiwa terbunuhnya Al-Husain menimbulkan fitnah sebagaimana
terbunuhnya Utsmaan menjadi penyebab timbulnya fitnah.
Ini semua menjelaskan bahwa syari’at yang diperintahkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersabar atas kedhaliman para
penguasa dan meninggalkan sikap memerangi dan memberontak kepada mereka
adalah perkara yang terbaik bagi para hamba dalam kehidupan mereka (di
dunia) dan di akhirat. dan barangsiapa yang menyelisihi hal ini baik
secara sengaja atau tidak sengaja maka perbuatannya tersebut tidak akan
mendatangkan kebaikan, bahkan mengakibatkan kerusakan. Oleh karena itu
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memuji Al-Hasan (cucu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan sabdanya : {إنَّ ابني هذا سيد
وسيصلح الله به بين فئتين عظيمتين من المسلمين} “Sesungguhnya cucuku ini
adalah pemimpin dan dengan perantaranya Allah akan mendamaikan dua
kelompok besar dari kaum muslimin.” [HR. Bukhari]. Dan Nabi tidak memuji
seorang pun dengan keikutsertaannya dalam peperangan di saat terjadi
fitnah atau pemberontakan terhadap para penguasa atau perlawanan
terhadap penguasa atau pemisahan diri dari jama’ah (kesatuan kaum
muslimin)… [selesai – lihatMinhajus-Sunnah juz 4 hal. 527-530].
Imam Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata :
والله لا يستقيم الدين إلا بهم، وإن جاروا وظلموا والله لما يصلح الله بهم
أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم – والله – لغبطة وأن فرقتهم لكفر
”Demi Allah, agama tidak akan tegak kecuali dengan mendengar dan taat
kepada mereka (penguasa), walaupun mereka memerintah dengan bengis dan
kejam (dhalim). Demi Allah, kebaikan yang Allah limpahkan dengan adanya
mereka lebih besar daripada kerusakan yang mereka lakukan. Bahkan dengan
ketaatan kepada mereka – demi Allah – adalah kebahagiaan dan memisahkan
diri dari mereka (memberontak) merupakan kekufuran” [Adabul-Hasan
Al-Bashri oleh Ibnul-Jauzi hal. 121. Perkataan ini juga bisa dilihat
dalam Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195-196 dan
As-Sunnaholeh Abu Bakr Al-Khallal hal. 133. Perkataan beliau :
“merupakan kekufuran” maknanya adalah kufur ashghar yang tidak
mengeluarkan dari Islam].
Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata :
عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا
المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكمو انظروا في عاقبة أمركم،
واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من
طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Hendaknya kalian mengingkari kemungkaran tersebut dengan menggunakan
hati kalian. Dan jangan sekali-kali kalian mencabut tangan kalian dari
ketaatan, jangan kalian mematahkan tongkat persatuan kaum muslimin, dan
jangan pula kalian menumpahkan darah-darah kalian sendiri dan
darah-darah kaum muslimin. Pertimbangkan akibat dari tindakan kalian
tersebut dan sabarlah kalian sampai orang-orang yang baik meninggal
dunia atau sebaliknya pimpinan yang dhalim itulah yang meninggal dunia.”
[Al-Adabusy-Syar’iyyaholeh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196].
Mari kita cermati sejarah yang telah lewat dengan benar. Bagaimana sikap
tokoh tabi’in seperti Ibnul-Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirrin,
Ibrahim At-Taimi, dan yang lainnya ketika menemui jaman Al-Hajjaj bin
Yusuf Ats-Tsaqafi (yang khalifahnya kala itu adalah Abdul-Malik bin
Marwan) ? Apakah mereka memerintahkan untuk melawan dan mengangkat
senjata ? Mereka tetap memerintahkan untuk taat kepada Allah dan
Rasul-Nya serta berjihad bersama pemerintah (penguasa) yang ’adil maupun
yang fajir dan tidak menganjurkan umat untuk memberontak kepada mereka.
Demikian pula setelah era Bani Umayyah berlalu yang digantikan oleh
Bani ’Abbas. Mereka mengatur negara-negara kaum muslimin dengan
menggunakan pedang. Tidak ada seorang pun ahli ilmu dan agama yang ada
di sisi mereka. Mereka membunuh sejumlah besar Bani Umayyah, para
penguasa, dan pejabat-pejabat mereka. Mereka membunuh Ibnu Hubairah yang
menjabat Gubernur ’Iraq dan membunuh Khalifah Marwan. Sampai
diceritakan bahwa para algojo mereka membunuh delapan puluh orang Bani
Umayyah setiap harinya, membentangkan permadani di atas mayat-mayat
mereka, serta duduk di atasnya sambil makan-makan dan minum-minum.
Meskipun demikian, sejarah para imam seperti Al-Auza’i, Az-Zuhri,
Al-Laits bin Sa’d, dan ’Atha’ bin Abi Rabbah dalam menyikapi para
penguasa Bani ’Abbasiyyah ini tidaklah samar bagi kalangan yang
melakukan kajian keilmuan dan penelaahan (kitab-kitab). Kemudian
generasi Ahli Ilmu yang kedua seperti Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin
Isma’il, Muhammad bin Idris, Ahmad bin Nuh, Ishaq bin Rahawaih, dan
saudara-saudara mereka dari kalangan ahli ilmu yang lain......dimana
pada jaman mereka muncul pemerintahan yang tenggelam dalam bid’ah-bid’ah
besar, pengingkaran sifat-sifat Allah, dan para imam tersebut diajak
untuk mengakuinya, disiksa agar mengikuti penyimpangan tersebut, bahkan
sampai dibunuh; seperti Muhammad bin Nashr. Meskipun demikian,
sebagaimana diketahui tidak ada seorang pun dari para imam (ulama)
tersebut yang mencabut ketaatan dari pemerintah itu. Tidak pula ada yang
berpendapat bolehnya memberontak pada mereka... [Ad-Durarus-Saniyyah
fii Ajwibatin-Najdiyyah juz 8 hal. 177-178].
Dari sini nampaklah bahwa apa yang menjadi pendirian/'aqidah
Ahlus-Sunnah sangat jelas. Nash-nashnya pun juga sedemikian jelas.
Adapun pendapat Ibnu Hazm yang menyatakan bahwa nash-nash larangan
memerangi penguasa yang dhalim adalah mansukh, maka ini tertolak. Sudah
tetap dalam ushul bahwa anggapan adanya mansukh tidak dapat diterima
kecuali jika sudah tidak memungkinkan dilakukan pengkompromian
(al-jam’u) di antara beberapa dalil. Sementara itu, pengkompromian
dalam nash-nash ini adalah terlalu mudah di sini. Alasannya, antara
dalil-dalil pengharaman memerangi pemimpin yang dhalim dengan perintah
amar ma’ruf nahi munkar merupakan dalil-dalil yang bersifat khusus dan
umum. Ditambah lagi, nash-nash tentang amar ma’ruf nahi munkar tersebut
sangat terkait dengan istitha’ah (kemampuan). Dan kaidah istitha’ah
sangat terkait dengan pertimbangan kemaslahatan (dan juga kemudlaratan).
Pendapat yang mengharamkan melawan penguasa yang fasiq dan dhalim
adalah pendapat yang sangat kuat.
Sanggahan terhadap Dalil-Dalil yang Digunakan oleh Pihak yang Membolehkan
Sanggahan umum terhadap dalil tersebut adalah sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa dalil-dalil pengharaman memerangi pemimpin
yang dhalim dengan perintah amar ma’ruf nahi munkarmerupakan dalil-dalil
yang bersifat khusus dan umum yang memungkinkan untuk dikompromikan.
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :
Tentang firman Allah : ”Maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [QS. Al-Hujuraat :
9]
Jawabannya adalah :
Pertama, perintah dalam ayat adalah untuk memerangi golongan yang
aniaya. Sementara itu, di sisi lain, terdapat dalil yang menegaskan
larangan memerangi pemimpin yang dhalim. Artinya, larangan memerangi
pemimpin yang dhalim merupakan takhshish dari keumuman ayat, sehingga
memerangi pemimpin yang dhalim itu sendiri merupakan klasifikasi
perbuatan aniaya. Pembatasan perbuatan aniaya harus didasarkan pada nash
syari’at, bukan sekedar dugaan semata.
Kedua, di dalam ayat ini tidak ada petunjuk bahwa sekedar keberadaan
perbuatan aniaya mengharuskan adanya penyerangan. Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah menjelaskan :
ومن أصول هذا الموضع أن مجرد وجود البغى من إمام أو طائفة لا يوجب قتالهم
بل لا يبيحه بل من الأصول التي دلت عليها النصوص أن الإمام الجائر الظالم
يؤمر الناس بالصبر على جوره وظلمه وبغيه ولا يقاتلونه كما أمر النبي ص بذلك
في غير حديث فلم يأذن في دفع البغي مطلقا بالقتال بل إذا كانت فيه فتنة
نهى عن دفع البغي به وأمر بالصبر
”Dan yang merupakan asas dari permasalahan ini, yaitu bahwa sekedar
keberadaan perbuatan aniaya yang dilakukan pemimpin atau golongan
tertentu, tidak mengharuskan penyerangan terhadap mereka. Bahkan
berdasarkan dasar-dasar yang dikuatkan berbagai nash menunjukkan
orang-orang diperintahkan untuk bersabar ketika menghadapi pemimpin yang
dhalim dan berbuat aniaya, tidak harus memeranginya, sebagaimana
perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang tidak hanya disebutkan
dalam satu hadits. Beliau tidak mengijinkan penolakan perbuatan aniaya
secara mutlak dengan peperangan. Jika kemudian muncul fitnah, maka
beliau melarang menolak perbuatan aniaya dengan cara peperangan dan
memerintahkan untuk bersabar” [Al-Istiqamah hal. 15-16; Maktabah
Al-Misykah].
Tentang firman Allah : "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim" [QS. Al-Baqarah : 124].
Jawabannya adalah :
Di dalamnya juga tidak ada bukti tentang diperbolehkannya memerangi
pemimpin/penguasa. Pembuktian ayat ini hanya berupa penetapan bahwa dari
keturunan Ibrahim tidak akan muncul seorang pemimpin dhalim yang
diikuti. Al-Hafidh Ibnu Katsir berkata :
واختار ابن جرير أن هذه الاَية وإِن كانت ظاهرة في الخبر, أنه لا ينال عهد
الله بالإِمامة ظالماً, ففيها إِعلام من الله لإِبراهيم الخليل عليه
السلام, أنه سيوجد من ذريتك من هو ظالم لنفسه كما تقدم عن مجاهد وغيره.
”Ibnu Jarir (Ath-Thabari) memilih pendapat bahwasannya ayat ini meskipun
secara lahiriyah merupakan berita bahwa janji Allah untuk mengangkat
pemimpin, tidak akan mencakup orang dhalim. Namun ayat ini juga
mengandung pemberitahuan dari Allah ta’ala bagi Ibrahim Al-Khalil
’alaihis-salam bahwasannya akan ada di antara keturunannya itu orang
yang dhalim kepada dirinya sendiri, sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya dari Mujahid dan lain-lain” [Tafsir Ibnu Katsir QS.
Al-Baqarah : 124].
Tentang firman Allah : ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa”[QS. Al-Maaidah : 2].
Jawabannya adalah :
Sasaran yang hendak dituju oleh ayat ini adalah pengharaman
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan maksiat bersama pemimpin/penguasa
atau orang yang lainnya. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini
terkandung kewajiban tolong-menolong untuk memerangi pemimpin – dengan
pertimbangan bahwa perbuatan itu termasuk kebajikan – maka sama sekali
tidak dapat dibenarkan. Hal itu disebabkan bahwa telah tetap nash-nash
larangan dan keharaman memerangi pemimpin yang dhalim. Dan telah
disebutkan sebelumnya bahwa memerangi pemimpin dhalim itu merupakan
tindakan aniaya (karena melanggar nash). Justru ayat ini menjadi hujjah
bagi kami, bukan hujjah atas kami (hujjatun lanaa walaa ’alainaa).
Tentang hadits-hadits amar ma’ruf nahi munkar (riwayat Hasyim, Abu
Sa’id, dan Abdullah bin Mas’ud di atas), maka dalil-dalil ini bersifat
umum, yang kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits larangan.
Asy-Syaukani berkata :
وقد استدل القائلون بوجوب الخروج على الظلمة ومنابذتهم السيف ومكافحتهم
بالقتال بعمومات من الكتاب والسنة في وجوب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
ولا شك ولا ريب أن الأحاديث التي ذكرها المصنف في هذا الباب وذكرناها أخص
من تلك العمومات مطلقاً وهي متواترة المعنى كما يعرف ذلك من له أنسة بعلم
السنة
”Sebagian orang telah beristidlal tentang wajibnya keluar dan melawannya
dengan pedang serta menghadapinya dengan peperangan berdasarkan
keumuman nash dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tentang wajibnya melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar. Tidak diragukan lagi bahwasannya
hadits-hadits yang disebutkan Mushannif dalam bab ini – dan juga telah
kami sebutkan – lebih khusus dibandingkan dengan dalil yang bersifat
umum dan muthlaq tersebut, yang maknanya bercabang-cabang. Hal itu tentu
diketahui oleh siapapun yang mendalami ilmu As-Sunnah” [Nailul-Authaar
juz 1 hal. 199].
Tentang hadits : “Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat
(kepada penguasa/umaraa’ ) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci,
kecuali apabila ia menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia
menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak
boleh taat”.
Jawabannya adalah :
Sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu
bahwa yang gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun
ketaatan secara umum kepadanya (dalam hal yang sifatnyamubah dan ma’ruf)
masih tetap ada dan wajib dilakukan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
ألا من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة
“Ketahuilah, barangsiapa dipimpin atasnya (oleh) seorang wali
(imam/pemimpin), kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan)
kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan
kepada Allah (yang dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh
baginya melepaskan tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].
Perhatikanlah hadits di atas ! Pensifatan adanya kemaksiatan yang ada
pada pemimpin/penguasa tidak menyebabkan gugurnya ketaatan secara umum.
Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan menukil perkataan dari
sejumlah ulama salaf :
وإن أمرك السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه حقه
“Jika sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu perkara
kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya.
Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan
haknya” [Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal. 401].
Hal yang sama juga dipraktekkan dalam sendi-sendi kehidupan yang lain.
Misalnya, jika ada seorang ayah atau suami memerintahkan satu maksiat,
apakah dengan itu kita atau para istri boleh melakukan kedurhakaan pada
perintah-perintahnya yang lain ? Tentu tidak bukan ? Ketidaktaatan
terhadap perintah ayah atau suami itu sebatas pada hal yang maksiat
saja. Adapun yang lain, maka tetap wajib taat dan dilarang untuk
melakukan kedurhakaan.
Tentang hadits : “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan dari umatku
adalah para pemimpin yang menyesatkan”; maka jawabannya tidaklah berbeda
dengan jawaban sebelumnya. Hadits ini semakna dengan : “Akan ada
sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan
tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di
tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam
wujud manusia”.
Tidak diragukan lagi bahwa pemipin yang tidak mengambil petunjuk dan
sunnah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam adalah pemimpin yang
menyesatkan. Tapi apa yang beliau perintahkan ? Melawannya ? Ternyata
tidak. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada
amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah
mendengar dan taat”.
Akhirnya dalam paparan ini harus dikatakan :HARAM hukumnya keluar dari
ketaatan atau memberontak dari penguasa yang dhalim. Inilah ’aqidah yang
telah tetap dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar