Dewasa ini kita selalu dihadapkan dengan sebuah pernyataan dan
kenyataan, bahwa bangsa ini sedang menghadapi krisis Multi Dimensional.
Begitu parah krisis yang dihadapi, sehingga susah mengambil benang
merahnya sisi mana yang lebih dominan dan mana yang harus didahulukan,
bahkan belum ditemukan solusi yang jitu dalam penyelesaiannya, akhirnya
bangsa ini tidak jelas jati dirinya di mata dunia.
اِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُوْلُه وَ الَّذِيْنَ امَنُوا الَّذِيْنَ
يُقِيْمُوْنَ الصَّلوةَ وَ يُؤْتُوْنَ الزَّكوةَ وَ هُمْ رَاكِعُوْنَ
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan tunduk
kepada Allah. [QS. Al-Maidah : 55]
وَ مَنْ يَّتَوَلَّ اللهَ وَ رَسُوْلَه وَ الَّذِيْنَ امَنُوْا فَاِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ اْلغلِبُوْنَ
Dan barangsiapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah
itulah yang pasti menang. [QS. Al-Maidah : 56]
Padahal kalau kita berkaca kepada krisis yang dihadapi oleh Nabi
Muhammad SAW pada masanya, justru dengan mudah beliau menyelesaikannya,
nyaris penyelesaiannya tanpa kekerasan dan pemaksaan, justru hanya
dengan penerapan akhlakul karimah sebagai andalannya. Strategi yang
dilakukan oleh Rasulullah, sesuai dengan sabdanya 'Ibda' Binafsik yang
artinya "Mulailah dari diri anda".
Jika dilihat makna Ibda' binafsik secara terminologi sosial, maka kata
'diri' (anfus, nafs), mengingatkan kita pada 'individu'. (bahwa),
"perubahan struktural tak akan pernah terjadi tanpa didahului perubahan
kultural, dan perubahan kultural tak akan pernah terjadi tanpa perubahan
inidividual," sehingga dapat dikatakan perubahan individual itu adalah
induk dari segalanya.
Melihat akan keberhasilan Nabi Muhammad SAW dalam mengatasi krisis Multi
dimensial, sudah saatnya kita menteladaninya karena beliau adalah
contoh teladan terbaik dan tipologi ideal paling prima. Hal ini
digambarkan oleh al-Quran surat Al-Ahzab, 33: 21 yang berbunyi:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
"Sesunggunya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi
mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat
serta banyak berzikir kepada Allah."
Tidak ada teladan sebaik Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wassalam .
Barangsiapa meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , niscaya
ia akan menjadi teladan Seribu empat ratus tahun yang silam, siapa yang
tidak mengenal sosok Abu Bakar, khalifah pertama pengganti Rasulullah
sebagai imam umatnya. Dialah pribadi paling mulia di antara umat
Muhammad. Siapa pula yang tidak mengenal Umar bin Khaththab, orang
terbaik setelah Abu Bakar. Demikian juga dengan Utsman bin ‘Affan, orang
terbaik setelah Umar, serta Ali bin Abu Thalib, yang merupakan orang
terbaik setelah Utsman.
Semuanya merupakan keutamaan Allah Subhanahu wa ta’ala , di mana Ia
telah memilih mereka menjadi orang-orang terbaik dari umat Rasulullah
ShallAllahu ‘alaihi wassalam . Mereka menjadi teladan generasi setelah
mereka dikarenakan mereka menjadikan Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi
wassalam sebagai suri teladan dalam seluruh aspek kehidupannya.
Keberadaan Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wassalam di tengah-tengah
mereka, telah mewarnai kehidupan mereka yang penuh kemuliaan, kebaikan,
kebahagiaan, ketentraman, ketenangan, kenyamanan, kejayaan, dan
sebagainya. Tidak hanya itu, mereka bahkan berada di akhir kehidupan dan
mengakhiri perjuangannya dengan keberhasilan yang gemilang, yaitu
membuka pintu segala kenikmatan yang ada di sisi Allah di dalam
surga-Nya.
Rasulullah telah menjadi teladan para shahabatnya, serta menjadi panutan
dalam melangkah dan mengarungi samudera yang dahsyat dengan
gelombangnya. Ini merupakan sinyalemen keberhasilan mereka dalam
menjadikan dan mempraktikkan bimbingan Allah di dalam Al Qur’an:
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ
يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (21)
وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَمَا زَادَهُمْ إِلا
إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا (22)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan)hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Dan tatkala
orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka
berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan
benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidak menambah
kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS Al-Ahzab Ayat 21-22)
Ayat yang mulia ini merupakan dalil pokok yang paling besar, yang
menganjurkan kepada kita agar meniru Rasulullah Saw. dalam semua ucapan,
perbuatan, dan sepak terjangnya. Karena itulah Allah Swt. memerintahkan
kepada kaum mukmin agar meniru sikap Nabi Saw. dalam Perang Ahzab,
yaitu dalam hal kesabaran, keteguhan hati, kesiagaan, dan perjuangannya,
serta tetap menanti jalan keluar dari Allah Swt. Semoga salawat dan
salam-Nya terlimpahkan kepada beliau sampai hari kiamat.
Melalui ayat ini Allah Swt. berfirman kepada orang-orang yang merasa
khawatir, gelisah, dan guncang dalam menghadapi urusan mereka dalam
Perang Ahzab:
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ}
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (Al-Ahzab: 21)
Yakni mengapa kalian tidak meniru dan mengikuti jejak sifat-sifatnya?
Keteladanan Rasulullah
Keteladanan Rasulullah telah dinobatkan sendiri oleh Allah di dalam Al
Qur’an. Ini menunjukkan kesempurnaan Rasulullah dari semua sisi
kemanusiaan yang tidak dimiliki oleh selainnya, dahulu maupun sekarang.
Strategi Ibda' Binafsik ( memulai dari sendiri ) yang dilakukan oleh Rasulullah, didukung oleh beberapa faktor penting:
Pertama , kualitas moral-personal yang prima, yang dapat disederhanakan menjadi empat sebagai sifat wajib bagi Rasul, yakni:
siddiq, amanah, tabligh, dan fahtanah: jujur, dapat dipercaya,
menyampaikan apa adanya, dan cerdas. Keempat sifat ini membentuk dasar
keyakinan umat Islam tentang kepribadian Rasul saw.
Kehidupan Muhammad sejak awal hingga akhir memang senantiasa dihiasi
oleh sifat-sifat mulia ini. Bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, ia
telah memperoleh gelar al-Amin (yang sangat dipercaya) dari masyarakat
pagan Makkah.
Kedua , Integritas. Integritas juga menjadi bagian penting dari
kepribadian Rasul Saw. yang telah membuatnya berhasil dalam mencapai
tujuan risalahnya. Integritas personalnya sedemikian kuat sehingga tak
ada yang bisa mengalihkannya dari apapun yang menjadi tujuannya.
Ketiga, kesamaan di depan hukum. Prinsip kesetaraan di depan hukum merupakan salah satu dasar terpenting
Keempat , Penerapan pola hubungan egaliter dan akrab. Salah satu fakta
menarik tentang nilai-nilai manajerial kepemimpinan Rasul saw. adalah
penggunaan konsep sahabat (bukan murid, staff, pembantu, anak buah,
anggota, rakyat, atau hamba) untuk menggambarkan pola hubungan antara
beliau sebagai pemimpin dengan orang-orang yang berada di bawah
kepemimpinannya. Sahabat dengan jelas mengandung makna kedekatan dan
keakraban serta kesetaraan.
Kelima , kecakapan membaca kondisi dan merancang strategi. Keberhasilan
Muhammad saw. sebagai seorang pemimpin tak lepas dari kecakapannya
membaca situasi dan kondisi yang dihadapinya, serta merancang strategi
yang sesuai untuk diterapkan. Model dakwah rahasia yang diterapkan
selama periode Makkah kemudian dirubah menjadi model terbuka setelah di
Madinah, mengikuti keadaan lapangan. Keberhasilan Rasul saw. dan para
sahabatnya dalam perang Badr jelas-jelas berkaitan dengan penerapan
sebuah strategi yang jitu.
Keenam , tidak mengambil kesempatan dari kedudukan. Rasul Saw. wafat
tanpa meninggalkan warisan material. Sebuah riwayat malah menyatakan
bahwa beliau berdoa untuk mati dan berbangkit di akhirat bersama dengan
orang-orang miskin. Jabatan sebagai pemimpin bukanlah sebuah mesin untuk
memperkaya diri. Sikap inilah yang membuat para sahabat rela memberikan
semuanya untuk perjuangan tanpa perduli dengan kekayaannya, sebab
mereka tidak pernah melihat Rasul saw. mencoba memperkaya diri.
Kesederhanaan menjadi trade mark kepemimpinan Rasul saw. yang
mengingatkan kita pada sebuah kisah tentang Umar ibn al-Khattab.
Seseorang dari Mesir datang ke Madinah ingin bertemu dan mengadukan
persoalan kepada khalifah Umar ra. Orang tersebut benar-benar terkejut
ketika menjumpai sang khalifah duduk dengan santai di bawah sebatang
kurma.
Ketujuh, visioner futuristic. Sejumlah hadits menunjukkan bahwa Rasul
SAW. adalah seorang pemimpin yang visioner, berfikir demi masa depan
(sustainable). Meski tidak mungkin merumuskan alur argumentasi yang
digunakan olehnya, tetapi banyak hadits Rasul saw. yang dimulai dengan
kata "akan datang suatu masa", lalu diikuti sebuah deskripsi berkenaan
dengan persoalan tertentu. Kini, setelah sekian abad berlalu, banyak
dari deskripsi hadits tersebut yang telah mulai terlihat dalam realitas
nyata.
Kedelapan, menjadi prototipe bagi seluruh prinsip dan ajarannya. Pribadi
Rasul Saw. benar-benar mengandung cita-cita dan sekaligus proses
panjang upaya pencapaian cita-cita tersebut. Beliau adalah personifikasi
dari misinya. Terkadang kita lupa bahwa kegagalan sangat mudah terjadi
manakala kehidupan seorang pemimpin tidak mencerminkan cita-cita yang
diikrarkannya. Sebagaimana sudah disebut di atas, Rasul saw. selalu
menjadi contoh bagi apa pun yang ia anjurkan kepada orang-orang di
sekitarnya.
Selaku umat Islam, merupakan kewajiban bagi kita untuk mengikuti,
mencontoh dan menteladani semua perilaku terpuji rasulullah yang lebih
dikenal dengan istilah akhlakul karimah. Akhlakul karimah tersebut dapat
kita temui dalam berbagai literatur baik berupa sirah nabawiyah,
riwayat-riwayat sahabat beliau, maupun firman Allah yang termaktub dalam
Al-Qur'an yang Rasullau selalu memulainya dari diri belia sendiri.
Sebagai Orang tua ketika menyuruh anaknya untuk tidak merokok atau
mengkonsumsi narkoba maka seharusnya kita memulai diri berkomitmen untuk
tidak melakukan hal yang sama (merokok dan mengkonsumsi narkoba).
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Asshaf : 2.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?" (QS 61 :2)
Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Al Fawaid hal. 172 mengatakan: “Tatkala
Rasulullah menampakkan sangat butuhnya beliau kepada Allah (beribadah),
yang demikian itu menjadikan sangat butuhnya manusia kepadanya baik di
dunia dan di akhirat. Kebutuhan mereka (manusia) di dunia (terhadap
Rasulullah) jauh lebih penting dibandingkan dengan kebutuhan mereka
terhadap makanan dan minuman, serta ruh yang merupakan kehidupan jasad.
Adapun kebutuhan manusia kepada Rasulullah di akhirat yaitu ketika
seluruh manusia di saat itu meminta kepada semua Rasul agar meminta
kepada Allah syafa’at yang akan membebaskannya dari kedahsyatan hidup.
Semua nabi di saat itu tidak sanggup untuk melakukan demikian. Lalu
beliau -memberikan syafa’at kepada mereka dan dialah yang meminta agar
dibukakan bagi mereka pintu surga.”
Mushthofa Al ‘Adawi dalam kitab beliau Fiqhul Akhlak 1/7 mengatakan:
“Dan telah terhimpun pada diri Rasulullah sifat-sifat yang terpuji
seperti malu, dermawan, pemberani, berwibawa, sambutan yang baik, lemah
lembut, memuliakan anak yatim, baik batinnya, jujur dalam ucapan,
menjaga diri dari perkara yang mendatangkan maksiat, suci, bersih, suci
dirinya dan segala sifat-sifat yang baik”.
Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau menjawab: “Akhlaknya adalah Al Qur’an.” (HR. Muslim no. 746)
Inilah jawaban dari seorang shahabiyah yang faqih dan mengetahui secara
jelas di hadapan matanya bagaimana Rasulullah berkata, berbuat, dan
bertingkah laku, dikarenakan beliau adalah isteri Rasulullah. Jawaban
yang sangat singkat dan mencakup segala perkara kebaikan di dalam agama
ini.
Tentang keteladanan bermurah hati, maka Rasulullah saw. selalu memberi
tanpa takut terhadap kekurangan dan kemiskinan. Beliau lebih murah hati
daripada angin yang berhembus, terlebih lagi jika pada bulan Ramadhan.
Al-Hafizh Abu Syaikh meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Ia berkata:
لَمْ يُسْأَلْ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ
عَلَى الإِسْلاَمِ إِلاَّ أَعْطَاهُ، وَأَنَّ رَجُلاً أَتَاهُ فَسَأَلَهُ،
فَأَعْطَاهُ غَنَمًا بَيْنَ جَبَلَيْنِ ، فَرَجَعَ إِلَى قَوْمِهِ ،
فَقَالَ ׃ أَسْلِمُوا ، فَإِنَّ مُحَمَّدًا يُعْطِيْ عَطَاءَ مَنْ لاَ
يَخْشَىَ الْفَاقَةَ٠
Rasulullah saw. tidak pernah diminta - sesuatu dalam Islam kecuali
beliau memberinya. Sesungguhnya ada seorang laki- laki yang datang
kepadanya dan meminta, maka Rasulullah saw. memberi kambing antara dua
gunung, maka laki-laki tersebut pulang ke kaumnya, dan berkata kepada
mereka, "Masuklah kalian agama Islam. Karena sesungguhnya Muhammad
memberikan pemberian tanpa merasa khawatir menjadi sengsara".
Dan dari Anas diriwayatkan:
مَاسُئِلَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ ٬ قَالَ ׃ لاَ
Rasulullah saw, tidak pernah dimintai sesuatu dan berkata “tidak”
(menolak). Tentang keteladanan zuhud, Abdullah bin Mas’ud berkata:
دَخَلْتُ عَلَى الرَّسُوْلِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ قَامَ
عَلَى حَصِيْرٍ٬ لَقَدْ أَثَّرَ فِى جَنْبِهِ الشَّرِيْفِ٬ فَقُلْتُ ׃ يَا
رَسُوْلَ اﷲِ٬ لَوِاتَّخَْذْنَا لَكَ وِطَاءً تَجْعَلَهُ بَيْنَكَ وَبَيْنَ
الْْحَصِيْرِيَقِييْكَ مِنْهُ فَقَالَ ׃ مَالِى وَلِلدُُّنْيَا ٬ مَاأَنَا
وَالدُُّنْيَا إِلاَّكَرَاكِبٍ اِسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ
وَتَرَكَهَا٬ وَهُوَ الْقَائِلُ ׃ اَللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ
مُحَمَّدٍ كَفَافًا
Aku menemui Rasulullah saw. ketika beliau baru bangun dari sebuah tikar
yang telah memberi bekas pada punggungnya yang mulia. Maka aku berkata,
"Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku buatkan untukmu alas yang
melindungi tubuhmu dari tikar tersebut?" Rasulullah saw. bersabda,
"Apalah aku dengan dunia ini. Apalah arti dunia bagiku. Hidup di dunia
ini semata-mata hanya seperti seorang pengembara yang berteduh di bawah
pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkan pohon tersebut". Beliau adalah
yang berkata, "Ya Allah, jadikanlah rizki keluarga Muhammad
pas-pasan".
Ibnu Jarir meriwayatkan dari ‘Aisyah ra. Bahwa ia berkata:
مَاشَبَعَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ خُبْرِبُرٍّ
﴿حِنْطَةٍ﴾ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ تِبَاعًا مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ
حَتَّى مَضَى لِسَبِيْلِهِ
Rasulullah saw. tidak pernah kenyang dengan roti gandum tiga hari
berturut-turut sejak datang ke Madinah hingga berlalu untuk jalannya
(beliau wafat). Ahmad meriwayatkan dari Anas ra.:
إِنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اﷲُ عَنْهَانَا وَلَتِ النَّبِيِّ صَلَّى اﷲُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِسْرَةً مِنْ خُبْزِ الشَّعِيْرِ٬ فَقَالَ لَهَا
عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ ׃ هَذَا أَوَّلُ طَعَامٍ أَكَلَهُ
أَبُوْكَ مُنْذُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
Sesungguhnya Fatimah ra. memberi Rasulullah saw. sekerat roti gandum,
maka Rasulullah saw. berkata kepada putrinya itu, "Ini adalah makanan
yang pertama kali ayahmu makan sejak tiga hari".
Bagaimana Rasulullah saw. tidak menjadi teladan yang tinggi dalam zuhud,
sedang beliau adalah pelaksana apa yang diinginkan Allah, yang
berfirman kepadanya:
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan
dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah
lebih baik dan lebih kekal. (Q.S. 20:131)
Hendaklah kita tidak mempunyai pengertian bahwa Rasulullah saw. berzuhud
karena beliau fakir atau sedikit makanan. Jika beliau menginginkan
kehidupan yang melimpah ruah, bersenang-senang dengan bunga kehidupan
dunia, maka dunia akan tunduk kepadanya untuk memberikan segala apa yang
beliau ingini. Tetapi dari zuhudnya itu beliau menginginkan beberapa
masalah, yang di bawah ini penyusun sebutkan beberapa yang paling
penting:
Beliau hendak mengajarkan kepada generasi Muslim dengan zuhudnya itu
akan arti tolong-menolong, pengurbanan dan mendahulukan orang lain.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Aisyah ra. bahwa ia berkata:
مَاشَبَعَ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ
مُتَوَاِلَيْةٍ وَلَوْشِئْنَا شَبَّعْنَا وَلَكِنَّهُ يُؤَثِرُ عَلَى
نَفْسِهِ
Selama tiga hari berturut-turut, Rasulullah saw. tidak merasa kenyang.
Dan jika kami inginkan, kami dapat mengenyangkan beliau, tetapi beliau
lebih mengutamakan kepentingan orang lain. Dan telah kita sebutkan.
bahwa Rasulullah saw. memberi pemberian dengan tidak merasa khawatir
akan ditimpa kemiskinan.
Beliau menginginkan agar generasi Muslim meneladani hidup dengan
kecukupan yang memuaskan, karena dikhawatirkan mereka akan terbuai oleh
bunga kehidupan dunia yang memalingkan mereka dari kewajiban dakwah dan
meninggikan kalimah Allah. Juga dikhawatirkan akan tenggelam dalam
kehidupan dunia, sehingga membinasakan mereka sebagaimana orang-orang
terdahulu.
Beliau menginginkan untuk memberikan pemahaman kepada orang yang hatinya
diliputi berbagai macam penyakit, seperti kaum munafik dan kafir, bahwa
dari dakwah yang beliau serukan kepada umat manusia tidak menginginkan
harta dan kesenangan fana, palsu, bukan pula kemewahan dan kenikmatan
duniawi, bukan mengejar dunia dengan mengatasnamakan agama. Tetapi yang
beliau inginkan adalah mendapatkan pahala Allah semata. Syi'amya, adalah
syi'ar para Nabi sebelumnya:
Hai hambaku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruahku. Upahku hanyalah dari Allah. (Q.S. 11:29)
Tentang teladan Kerendahan hati, adalah beliau yang selalu mengucapkan
salam kepada para sahabatnya, memperhatikan secara serius terhadap
pembicaraan mereka, baik kecil maupun besar. Jika beliau bersalaman,
maka tidak akan menarik tangannya sebelum orang yang disalaminya
melepaskan. Beliau selalu menghadiri pertemuan para sahabatnya hingga
usai. Beliau pergi ke pasar, membawa barang-barangnya sendiri dan
berkata, "Aku adalah yang lebih berhak untuk membawanya". Beliau tidak
merendahkan pekerjaan buruh, baik sewaktu membangun masjidnya yang mulia
maupun sewaktu menggali parit. Beliau selalu memenuhi undangan orang
merdeka, budak maupun hamba perempuan, menerima udzur orang yang
berudzur, menambal bajunya dan memperbaiki sandalnya, bahkan tidak segan
melakukan tugas ibu rumah tangga. Beliau juga menambatkan untanya,
makan bersama Khadam, memenuhi hajat orang lemah dan sengsara. Beliau
pun duduk di atas tanah ...
Bagaimana Rasulullah saw. tidak memiliki kerendahan hati ini, sedang Allah berfirman kepadanya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (Q.S. 26:215)
Dalam firman selanjutnya disebutkan:
{لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab: 21)
Selanjutnya Allah Swt. menyebutkan perihal hamba-hamba-Nya yang beriman
yang membenarkan janji Allah kepada mereka, yang pada akhirnya Allah
akan menjadikan kesudahan yang baik di dunia dan akhirat bagi mereka.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الأحْزَابَ قَالُوا هَذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ}
Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu
itu, mereka berkata, "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada
kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 22)
Menurut Ibnu Abbas dan Qatadah, ayat inilah yang dimaksudkan oleh Allah Swt. dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya:
{أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ
الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ
وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى
نَصْرُ اللَّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ}
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang
kepadamu (cobaan)sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu.
Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan
(dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang
yang beriman bersamanya, "Bilakah datangnya pertolongan Allah?”
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.(Al-Baqarah:
214)
Inilah yang dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita, yakni
cobaan dan ujian yang berakhir dengan kemenangan yang dekat. Karena itu,
dalam firman berikutnya disebutkan:
{وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ}
Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. (Al-Ahzab: 22)
Adapun firman Allah Swt.:
{وَمَا زَادَهُمْ إِلا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا}
Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (Al-Ahzab: 22)
Hal ini menunjukkan bertambahnya iman dan kekuatan mereka bila
dibandingkan dengan orang lain dan keadaannya, sebagaimana yang
dikatakan oleh sebagian besar para imam yang mengatakan bahwa iman itu
dapat bertambah dan berkurang.
Makna firman Allah Swt.: Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada
mereka. (Al-Ahzab: 22) Yakni kesempitan, keadaan gawat, dan situasi yang
demikian itu tidaklah menambah kepada mereka. kecuali iman dan
ketundukan. (Al-Ahzab: 22) Maksudnya, iman kepada Allah, tunduk kepada
perintah-perintah-Nya, serta taat kepada Rasul-Nya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar