Zina adalah perbuatan yang terlarang dalam semua agama samawi. Karena
hinanya dosa zina, Islam mengharamkan segala sebab yang bisa
mengantarkan pada perbuatan zina. Salah satunya adalah pacaran. Penyakit
akut yang telah menimpa remaja muslim saat ini. Wajar saja, jika saat
ini banyak gadis SMA dan mahasiswi yang tidak perawan.
Secara umum Al Qur’an menjelaskan bahwa pezina tidak menikahi kecuali
dengan pezina pula atau orang musyrik, dan diharamkan bagi orang beriman
menikahi atau dinikahi mereka.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ
لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ (3)
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan
yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (QS An-Nur
Ayat 3)
Hal ini merupakan suatu berita dari Allah Swt. yang mengatakan bahwa
seorang lelaki pezina tidaklah bersetubuh melainkan hanya dengan
perempuan pezina atau musyrik. Dengan kata lain, tiada seorang wanita
pun yang mau melayani hawa nafsu zina lelaki pezina melainkan hanyalah
wanita pezina lagi durhaka atau wanita musyrik yang tidak menganggap
perbuatan zina itu haram. Demikian pula makna yang dimaksud oleh firman
selanjutnya, yaitu:
{الزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ}
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina. (An-Nur: 3)
Yakni laki-laki durhaka karena perbuatan zinanya.
{أَوْ مُشْرِكٌ}
atau laki-laki yang musyrik. (An-Nur: 3)
yang meyakini bahwa zina itu tidak haram.
Sufyan As-Sauri mengatakan dari Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa'id ibnu
Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina
atau perempuan yang musyrik. (An-Nur: 3) Bahwa yang dimaksud dengan
nikah dalam ayat ini bukanlah kawin, melainkan bersetubuh. Dengan kata
lain, dapat disebutkan bahwa tiada seorang pun yang berzina dengan
perempuan pezina melainkan hanyalah lelaki pezina atau lelaki musyrik.
Sanad riwayat ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas.
Telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas melalui berbagai jalur sehubungan dengan masalah ini.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu
Jubair, Urwah ibnuz Zubair, Ad-Dahhak, Makhul, Muqatil ibnu Hayyan, dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Firman Allah Swt.:
{وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ}
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Maksudnya, diharamkan atas mereka melakukan perbuatan tersebut dan
mengawini pelacur-pelacur, atau mengawinkan wanita-wanita yang
terpelihara kehormatannya dengan laki-laki yang lacur.
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qais,
dari Abu Husain, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3) Yakni Allah mengharamkan perbuatan
zina atas orang-orang mukmin.
Qatadah dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa Allah mengharamkan
orang-orang mukmin mengawini para pelacur, sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Firman Allah Swt. berikut ini, yaitu: dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain,
yaitu:
{مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ}
sedangkan mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina
dan bukan (pula)wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya.
(An-Nisa: 25)
{مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ} الْآيَةَ
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. (Al-Maidah: 5), hingga akhir ayat.
Berangkat dari pengertian ini Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah
berpendapat bahwa tidak sah akad nikah seorang lelaki yang memelihara
diri dari perbuatan zina terhadap wanita tuna susila, selagi wanita yang
bersangkutan masih tetap sebagai pelacur, terkecuali bila ia telah
bertobat. Jika wanita yang bersangkutan telah bertobat, maka akad nikah
terhadapnya dari laki-laki yang memelihara diri hukumnya sah; dan jika
masih belum bertobat, akad nikahnya tetap tidak sah. Demikian pula
halnya kebalikannya, yaitu mengawinkan wanita yang terpelihara
kehormatan dirinya dengan seorang lelaki yang suka melacur, sebelum
lelaki itu bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya, karena
berdasarkan firman Allah Swt. yang mengatakan: dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin.(An-Nur: 3)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Arim, telah
menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa
ayahnya pernah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hadrami,
dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Umar r.a., bahwa pernah
ada seorang lelaki dari kaum mukmin meminta izin kepada Rasulullah Saw.
untuk mengawini seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummu Mahzul.
Mahzul adalah seorang wanita yang suka membeli laki-laki untuk kepuasan
hawa nafsunya dengan memberikan imbalan nafkah kepada lelaki yang
disukainya. Kemudian lelaki itu mengutarakan maksudnya kepada Rasulullah
Saw. atau menyebut-nyebut perihal Ummu Mahzul di hadapannya. Maka
Rasulullah Saw. membacakan firman ini kepadanya, yaitu: Laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Addi,
telah menceritakan kepada kami Al- Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya,
dari Al-Hadrami dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Abdullah ibnu Amr
yang mengatakan bahwa dahulu pernah ada seorang wanita yang dikenal
dengan nama Ummu Mahzul, dia adalah wanita tuna susila. Lalu ada seorang
lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. yang ingin mengawininya.
Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik;
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang yang mukmin. (An-Nur: 3)
Imam Turmuzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abd ibnu Humaid,
telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Ubadah, dari Ubaidillah ibnul
Akhnas, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari
kakeknya yang mengatakan bahwa dahulu ada seorang lelaki bernama Marsad
ibnu Abu Marsad, dia adalah seorang lelaki yang bertugas membawa para
tawanan perang dari Mekah ke Madinah. Perawi (kakek Amr ibnu Syu'aib)
melanjutkan kisahnya, bahwa di Mekah terdapat seorang wanita tuna susila
yang dikenal dengan nama Anaq. Ia kenal baik dengan Anaq. Dan ia pernah
menjanjikan kepada seorang laki-laki dari kalangan para tawanan Mekah
bahwa ia akan membawanya (ke Madinah). Maka ia datang ke Mekah hingga
sampailah di suatu kebun kurma yang ada di Mekah di suatu malam bulan
purnama. Anaq datang dan melihat adanya bayangan hitam di bawah naungan
pohon kurma. Ketika Anaq telah berada di dekat pohon itu, ia mulai
mengenalku dan berkata, "Kamu Marsad?" Maka aku (perawi) berkata, "Ya,
saya Marsad." Ia berkata, "Selamat datang, marilah menginap di rumahku
malam ini." Aku menjawab, "Hai Anaq, Allah telah mengharamkan perbuatan
zina." Anaq berkata, "Hai penduduk perkemahan, lelaki ini akan membawa
tawanan kalian." Ketika aku kembali (bersama orang tersebut yang telah
aku janjikan akan membawanya ke Madinah), maka aku diikuti oleh delapan
orang, lalu aku memasuki sebuah kebun. Dan sampailah aku pada sebuah
gua, lalu aku masuk ke dalamnya, tiba-tiba mereka yang delapan orang itu
datang, kemudian berdiri di dekat kepalaku dan mereka kencing sehingga
air seni mereka mengenai kepalaku, dan Allah menjadikan mereka tidak
dapat melihatku. Setelah itu mereka pulang. Maka aku kembali menemui
temanku dan aku bawa dia di atas kendaraan hewanku; dia adalah seorang
lelaki yang gendut. Ketika aku sampai di tempat yang banyak izkhir-nya,
maka aku lepaskan tali ikatannya; dan aku membawa izkhir itu, sedangkan
tawanan itu membantuku, hingga sampailah aku di Madinah bersamanya. Aku
datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah,
aku mau mengawini Anaq, aku mau mengawini Anaq." Rasulullah Saw. diam,
tidak menjawab sepatah kata pun, hingga turunlah firman Allah Swt. yang
mengatakan: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
(An-Nur: 3); Maka Rasulullah Saw. bersabda: Hai Marsad, seorang lelaki
pezina tidak mengawini kecuali seorang perempuan pezina atau perempuan
musyrik. Karena itu, janganlah kamu mengawininya.
Kemudian Iman Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak
mengenalnya melainkan hanya melalui jalur ini. Imam Abu Daud dan Imam
Nasai telah meriwayatkannya di dalam Kitabun Nikah, bagian dari kitab
sunannya masing-masing melalui hadis Ubaidillah ibnul Akhnas dengan
sanad yang sama.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا مُسَدَّد أَبُو
الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، عَنْ حَبِيبٍ الْمُعَلِّمِ،
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدٍ المَقْبُرِيّ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا
مَثْلَهُ".
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Musaddad Abul Hasan, telah menceritakan kepada
kami Abdul Waris, dari Habib Al-Mu'allim, telah menceritakan kepadaku
Amr ibnu Syu'aib, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang
telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang pezina
yang telah didera tidak mengawini melainkan seseorang yang semisal
dengannya.
Hal yang sama telah diketengahkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab
sunannya melalui Musaddad dan Abu Ma'mar melalui Abdullah ibnu Amr,
keduanya menerima riwayat ini dari Abdul Waris dengan sanad yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنِ
مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ،
عَنْ أَخِيهِ عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَسَارٍ
-مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ -قَالَ: أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ سَالِمًا يَقُولُ:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَنْظُرُ اللَّهُ
إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ
الْمُتَرَجِّلَةُ -الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ -وَالدَّيُّوثُ.
وَثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ:
الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، ومُدْمِن الْخَمْرَ، والمنَّان بِمَا أَعْطَى".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah
menceritakan kepada kami Asim ibnu Muhammad, dari Zaid ibnu Abdullah
ibnu Umar ibnul Khattab, dari saudaranya Umar ibnu Muhammad, dari
Abdullah ibnu Yasarmaula Ibnu Umar yang mengatakan ia bersumpah bahwa
dirinya pernah mendengar Salim mengatakan, "Abdullah ibnu Umar pernah
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: "Ada tiga macam orang
yang tidak dapat masuk surga dan Allah tidak melihat mereka kelak di
hari kiamat, yaitu seseorang yang menyakiti kedua orang tuanya, seorang
wanita yang bertingkah laku kelelaki-lakian lagi mirip dengan laki-laki,
dan seorang germo. Ada tiga macam orang yang Allah tidak mau melihat
mereka kelak di hari kiamat, yaitu seseorang yang menyakiti kedua orang
tuanya, pecandu khamr, dan orang yang suka menyebut-nyebut pemberiannya
'.”
Imam Nasai meriwayatkannya dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Yazid ibnu
Zurai', dari Umar ibnu Muhammad Al-Umra, dari Abdullah ibnu Yasar dengan
sanad yang sama.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ، حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ، عَنْ قَطَن بْنِ وَهْبٍ، عَنْ
عُوَيْمر بْنِ الْأَجْدَعِ، عَمَّنْ حَدَّثَهُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "ثَلَاثَةٌ
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْجَنَّةَ: مُدْمِنُ الْخَمْرِ، وَالْعَاقُّ،
والدَّيُّوث الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ"
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Al-Walid ibnu Kasir, dari Qatn ibnu Wahb, dari Uwaimir ibnul Ajda', dari
seseorang yang menerimanya dari Salim ibnu Abdullah ibnu Umar yang
mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar, bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Ada tiga macam orang yang Allah
mengharamkan surga bagi mereka, yaitu pecandu khamr, orang yang
menyakiti kedua orang tuanya, dan lelaki yang menyetujui perbuatan mesum
istrinya.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
حَدَّثَنِي رَجُلٌ -مِنْ آلِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْف -، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمَّار، عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ دَيُّوث"
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah
menceritakan kepadaku seorang lelaki dari keluarga Sahi ibnu Hanif, dari
Muhammad ibnu Ammar, dari Ammar ibnuYasiryang mengatakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tidak akan "masuk surga seorang lelaki
germo.
Hadis ini merupakan syahid yang menguatkan hadis-hadis sebelumnya.
قَالَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا سَلام
بْنُ سَوَّار، حَدَّثَنَا كَثِير بْنُ سُلَيم، عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ
مُزَاحِم: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم [يَقُولُ]" مَنْ أَرَادَ أَنْ يَلْقَى
اللَّهَ طَاهِرًا مُطَهَّرًا، فليتزوج الحرائر".
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar,
telah menceritakan kepada kami Salam ibni Siwar, telah menceritakan
kepada kami Kasir ibnu Sulaim, dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim; ia pernah
mendengar sahabat Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:Barang siapa yang ingin menjumpai Allah dalam
keadaan suci lagi disucikan, hendaklah ia mengawini wanita-wanita yang
merdeka.
Di dalam sanad hadis ini terdapat ke-daif-an.
Imam Abu Nasr Isma'il ibnu Hammad Al-Jauhari mengatakan di dalam kitab
Sihah (yakni kitab kamus tulisannya) bahwa dayyus adalah seorang lelaki
yang sama sekali tidak mempunyai rasa cemburu.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Abu Abdur Rahman An-Nasai
di dalam Kitabun Nikah, dari kitab sunannya, disebutkan bahwa telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isma'il ibnu Aliyyah, dari Yazid
ibnu Harun, dari Hammad ibnu Salamah dan lain-lainnya, dari Harun ibnu
Rayyab, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Abdul Karim, dari
Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Ibnu Abbas Abdul Karim me-rafa
'-kannya sampai kepada ibnu Abbas, tetapi Harun tidak me-rafa '-kannya.
Keduanya (Abdul Karim dan Harun) mengatakan:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي امْرَأَةً [هِيَ] مِنْ أحبِّ النَّاسِ إِلَيَّ
وَهِيَ لَا تَمْنَعُ يَدَ لامِس قَالَ: "طَلِّقْهَا". قَالَ: لَا صَبْرَ
لِي عَنْهَا قَالَ: "اسْتَمْتِعْ بِهَا"
Bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah Saw., lalu berkata,
"Sesungguhnya saya mempunyai seorang istri yang paling saya cintai,
tetapi ia tidak pernah menolak tangan lelaki yang menyentuhnya." Maka
Nabi Saw. bersabda, "Ceraikanlah dia." Lelaki itu berkata, "Tetapi saya
tidak tahan hidup tanpa dia." Rasulullah Saw. bersabda,
"Bersenang-senanglah dengannya."
Kemudian Imam Nasai mengatakan bahwa hadis ini kurang kuat karena Abdul
Karim predikatnya kurang kuat, padahal Harun predikatnya jauh lebih kuat
daripadanya dan dia me-mursal-kan hadis ini; dia adalah seorang yang
siqah, dan hadisnya lebih utama untuk mendapat nilai kebenaran ketimbang
hadis Abdul Karim.
Menurut saya Abdul Karim adalah Ibnu Abul Mukhariq Al-Basri, seorang
sastrawan lagi seorang tabi'in, tetapi da'if dalam periwayatan hadis.
Harun Ibnu Rayyab berbeda pendapat dengannya, sedangkan Harun adalah
seorang tabi'in yang berpredikat siqah, termasuk salah seorang perawi
Imam Muslim, hadisnya berpredikat mursal lebih utama, seperti yang
dikatakan oleh Imam Nasai.
Akan tetapi, Imam Nasai telah meriwayatkannya pula di dalam Kitabut
Talaq melalui Ishaq ibnu Rahawain, dari An-Nadr ibnu Syamil, dari Hammad
ibnu Salamah, dari Harun ibnu Rayyab, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu
Umair, dari Ibnu Abbas secara musnad, lalu ia mengetengah-kannya dengan
menyebutkan sanad ini. Semua perawinya dengan syarat Imam Muslim. Hanya
Imam Nasai sesudah meriwayatkannya mengatakan bahwa menganggapnya marfu'
adalah keliru, yang benar adalah mursal. Selain An-Nadr telah
meriwayatkannya dengan benar (yakni mursal). Imam Nasai dan Abu Daud
telah meriwayatkannya dari Al-Husain ibnu Hurayyis, bahwa telah
menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, telah menceritakan kepada
kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Imarah ibnu Abu Hafzah, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, dari Nabi Saw. Lalu disebutkanlah hadis ini, dan sanad
yang baru disebutkan berpredikat jayyid (baik).
Para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan predikat hadis ini, ada
yang men-da'if"-kannya, seperti yang telah disebutkan dari Imam Nasai;
ada pula yang menilainya munkar, seperti apa yang dikatakan oleh Imam
Ahmad, bahwa hadis ini berpredikat munkar.
Ibnu Qutaibah mengatakan, sesungguhnya makna yang dimaksud dari hadis
ini tiada lain bahwa istri lelaki tersebut adalah seorang wanita yang
dermawan, tidak pernah menolak tangan orang yang meminta-minta.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai di dalam kitab sunannya
dari sebagian di antara mereka yang mengatakan bahwa menurut suatu
pendapat, wanita tersebut adalah seorang yang dermawan lagi banyak
berderma.
Tetapi alasan ini disanggah, bahwa seandainya makna yang dimaksud adalah
seperti itu, tentulah teks hadis mengatakan Yada Multamisin (tangan
orang yang meminta-minta).
Menurut pendapat yang lain, sesungguhnya watak wanita yang dimaksud
ialah tidak pernah menolak tangan orang yang menyentuhnya. Akan tetapi,
makna yang dimaksud bukanlah menunjukkan bahwa hal tersebut berdasarkan
keinginan wanita itu, dan bahwa wanita itu suka melakukan perbuatan
fahisyah (zina). Karena sesungguhnya Rasulullah Saw. telah melarang
menjadikan seorang wanita yang berkarakter demikian sebagai seorang
istri. Jika seseorang tetap mengawininya, sedangkan watak wanita itu
tetap demikian, berarti laki-laki yang mengawininya adalah seorang
germo. Padahal dalam keterangan yang lalu telah disebutkan suatu ancaman
yang ditujukan terhadap germo. Tetapi karena mengingat bahwa watak
wanita tersebut memang demikian, yakni tidak pernah menolak dan tidak
pula menepiskan tangan lelaki yang menyentuhnya bila tidak ada seorang
pun yang melihat keduanya, maka Rasulullah Saw. menganjurkan kepada
lelaki yang menjadi suaminya itu untuk menceraikannya.
Tetapi sesudah si suami mengungkapkan bahwa dia sangat mencintai
istrinya itu, maka Rasulullah Saw. membolehkan dia tetap menjadikannya
sebagai istri; sebab kecintaannya kepada si istri merupakan suatu hal
yang nyata, sedangkan terjadinya perbuatan fahisyah dari istrinya
merupakan suatu hal yang masih dalam praduga, maka tidaklah boleh
memutuskan vonis secara tergesa-gesa hanya karena rasa curiga belaka.
Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi lebih mengetahui.
Mereka (para ulama) mengatakan bahwa adapun jika wanita tuna susila
benar-benar telah bertobat, maka ia boleh dikawini, seperti yang
dikatakan oleh Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim rahimahullah. Disebutkan
bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah
menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Ibnu Abu Zi-b yang mengatakan
bahwa ia pernah mendengar Syu'bah maula Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa
ia pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan saat ditanya oleh seorang
lelaki yang mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya aku dahulu pernah
berbuat sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt. dengan seorang wanita yang
kusukai, kemudian Allah Swt. memberiku jalan petunjuk untuk bertobat
dari perbuatan tersebut. Sekarang saya ingin mengawininya." Maka
sejumlah orang mengatakan, "Seorang lelaki pezina tidak mengawini
melainkan seorang perempuan pezina atau perempuan yang musyrik." Maka
Ibnu Abbas menjawab, "Bukan itu yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Sekarang kawinilah dia. Jika keputusan ini berdosa, biarlah aku yang
menanggungnya,"
Segolongan ulama lainnya mengatakan bahwa ayat ini telah di-mansukh.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id
Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid, dari Yahya ibnu
Sa'id, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa pernah disebutkan di hadapannya
firman Allah Swt. yang berbunyi: Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki yang musyrik. (An-Nur: 3) Disebutkan bahwa Sa'id
ibnul Musayyab mengatakan bahwa ayat ini di mansukh oleh firman
selanjutnya yang mengatakan: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian
di antara kalian. (An-Nur: 32)
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa yang disebutkan adalah orang-orang yang sendirian dari kalangan kaum muslim.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam di
dalam kitab Nasikh wal Mansukh-nya, dari Sa'id ibnul Musayyab. Hal
tersebut di-nas-kan pula oleh Imam Abu Abdullah ibnu Idris Asy-Syafii.
Bagaimana Hukum Menikah Dengan Orang Yang Pernah Berzina
Tidak saja lelaki, perempuan juga ada yang suka zina; padahal mereka
tahu, ganjarannya dosa; dan muaranya neraka. Malahan ada yang
mengeluarkan uang untuk berzina; mau masuk neraka saja kok mbayar. Perlu
juga disadari, bahwa berzina, termasuk dalam kategori dosa besar; suatu
dosa yang penghapusannya harus melalui pertaubatan. Kenapa tidak
menempuh jalan gratis, untuk, Insya Allah, masuk surga ? Kenapa tidak
yang mudah dan nikmat di dunia dan di akhirat ? Selain itu sangat layak
untuk dibincangkan, dengan siapa seharusnya para pezina ini menikah ?
Dewasa ini, dimana umat islam semakin jauh dari nilai-nilai agama
ditambah lagi dengan kemajuan teknologi yang semakin tak terbendung,
menjadikan manusia bebas melakukan apapun tanpa batas dan tidak
memperhatikan aturan-aturan yang telah Allah tetapkan. Sehingga
kemaksiatan dan kejahatan semakin merajalela dan hubungan antara
laki-laki dan perempuan tidak lagi memiliki batasan antara keduanya.
Dan pergaulan bebas inilah yang kini menjadi trend hidup remaja masa
kini, sehingga banyak kita dapati perempuan-perempuan yang hamil diluar
nikah dan perbuatan zina yang bahkan terang-terangan dilakukan di depan
umum.
Lalu apabila mereka ingin menikah dan bertaubat dari perbuatan maksiat
yang dilakukan, bagaimanakah hukumnya? Adakah larangan syari’at dalam
masalah ini?
Dalam masalah ini, ulama berbeda pendapat terhadap kebolehan dalam
kehalalan pernikahannya. Jumhur ulama membolehkan menikahi wanita yang
pernah berzina walaupun dengan syarat-syarat yang berbeda. Sementara
mazhab Azh-Zhahiriyah melarang menikahi wanita tersebut kecuali jika ia
benar-benar bertaubat. Hal ini berdasarkan pada firman Allh swt dalam
al-qur’an surah an-nuur : 3
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ
لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ (3)
“Laki-laki penzina tidak akan menikah kecuali dengan seorang wanita
penzina. Dan wanita penzina tidak akan menikah kecuali dengan lelaki
penzina. Dan mereka diharamkan bagi orang-orang beriman” (An-Nuur : 3)
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Ulama-ulama mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa boleh menikahi wanita
yang pernah berzina dan dibolehkan juga langsung menggauli istrinya
tanpa harus menunggu masa istibro’ yaitu menunggu sampai diketahui tidak
ada janin dalam rahimnya. Namun, sebagian dari ulama mazhab ini
menghalalkan pernikahannya tetapi memakruhkan suami yang langsung
menggauli istrinya tanpa menunggu masa istibro’.
Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :
وَكَذَا إذَا رَأَى امْرَأَةً تَزْنِي فَتَزَوَّجَهَا حَلَّ لَهُ وَطْؤُهَا
قَبْلَ أَنْ يَسْتَبْرِئَهَا عِنْدَهُمَا. وَقَالَ مُحَمَّدٌ: لَا أُحِبُّ
لَهُ أَنْ يَطَأَهَا مَا لَمْ يَسْتَبْرِئْهَا) وَعِنْدَ زُفَرَ: لَا
يَصِحُّ الْعَقْدُ عَلَيْهَا مَا لَمْ تَحِضْ ثَلَاثَ حِيَضٍ
Begitu juga ketika seorang (laki-laki) melihat perempuan yang sedang
berzina kemudian ia menikahinya, maka dibolehkan baginya untuk
menggaulinya bahkan sebelum diketahui tidak adanya janin dalam rahimnya.
Berbeda dengan pendapat Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani yang mengatakan
bahwa ia tidak menyukai perbuatan tersebut (menggauli istrinya) sampai
jelas bahwa tidak ada janin didalam rahimnya. Sedangkan menurut Zufar :
tidak sah akad (nikahnya) sampai ia mengalami tiga kali masa
haidh.[Fathul Qadir, jilid 3 hal. 246]
Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab
Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :
أَيْ حَلَّ نِكَاحُ الْمَوْطُوءَةِ بِزِنًا حَتَّى لَوْ رَأَى امْرَأَةً
تَزْنِي فَتَزَوَّجَهَا جَازَ وَلَهُ أَنْ يَطَأَهَا وَهَذَا صَرِيحٌ
بِأَنَّ نِكَاحَ الزَّانِيَةِ يَجُوزُ،
Diperbolehkan menikahi seorang wanita yang telah berzina bahkan disaat
seorang laki-laki melihat seorang wanita sedang berzina, kemudian ia
menikahinya maka hal tersebut diperbolehkan. dan dibolehkan baginya
untuk menggaulinya. dan pendapat inilah yang jelas menurut madzhab kami,
yakni dibolehkannya menikahi wanita yang pernah berbuat zina. [Tabyin
Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, jilid 2 hal. 114]
2. Mazhab Al-Malikiyah
Berbeda dengan mazhab Al-Hanafiyah, salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah memakruhkan menikahi wanita yang pernah berzina.
Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :
كَرِهَ مَالِكٌ نِكَاحَ الزَّانِيَةِ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيمٍ
Menurut Imam Malik, hukum menikahi seorang pezina adalah makruh namun
beliau tidak mengharamkannya.[Adz-Dzakhirah, jilid 4 hal.209]
3. Mazhab Asy-Syafi’i
Dalam mazhab Asy-Syafi’iyah, sah hukumnya menikahi wanita yang pernah
berzina namun perbuatan tersebut dibenci oleh ulama mazhab ini.
An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di
dalam kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan sebagai berikut
:
وأما نكاحه لها فقد قال الشافعي رضى الله عنه أكره له ان يتزوجها فإن تزوجها لم أفسخ
Dalam kasus laki-laki yang menikahi wanita yang dizinainya, Imam Syafii
berkata: aku membencinya, tapi jika dia sudah terlanjur menikahinya maka
tidak akan saya fasakh.[Raudhatu At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiyyin, -
Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdab, jilid 12 hal. 219]
Imam Al-Haramain syeikh Al-Juwaini (w. 478 H) salah satu ulama mazhab
Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Nihayatul Mathalib fi Diroyatul Madzahib
menuliskan sebagai berikut :
مذهبنا: أن نكاح الزانية صحيح، ولكنا نكره ذلك
Menurut madzhab kami, menikahi perempuan pezina adalah sah walaupun hukumnya makruh.[Mughni Al-Muhtaj , jilid 12 hal. 219]
4. Mazhab Al-Hanabilah
Ulama mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa tidak diperbolehkan menikahi
wanita yang pernah berzina kecuali sudah benar-benar diketahui tidak
adanya janin dalam rahimnya.
Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
وإذا زنت المرأة، لم يحل لمن يعلم ذلك نكاحها إلا بشرطين؛ أحدهما، انقضاء
عدتها، فإن حملت من الزنى فقضاء عدتها بوضعه، ولا يحل نكاحها قبل وضعه
والشرط الثاني، أن تتوب من الزنا
Apabila seorang wanita berzina, maka bagi siapa yang mengetahui
perbuatannya itu, tidak diperbolehkan untuk menikahinya kecuali dengan
dua syarat ; selesai masa iddahnya, maka bila dia sedang hamil iddahnya
adalah sampai melahirkan. Yang kedua ia harus benar-benar bertaubat
dengan taubatan nashuha.[Al-Mughni, jilid 7 hal. 140]
Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa menuliskan sebagai berikut :
" نِكَاحُ الزَّانِيَةِ " حَرَامٌ حَتَّى تَتُوبَ، سَوَاءٌ كَانَ زَنَى بِهَا هُوَ أَوْ غَيْرُهُ هَذَا هُوَ الصَّوَابُ بِلَا رَيْبٍ
Haram hukumnya menikahi seorang wanita pezina sampai ia benar-benar
bertaubat, bagi laki-laki yang menzinainya atau laki-laki lain.[Majmu'
Fatawa, jilid 3 hal. 176]
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam
kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai
berikut :
(وَتَحْرُمُ الزَّانِيَةُ، حَتَّى تَتُوبَ، وَتَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا) هَذَا
الْمَذْهَبُ مُطْلَقًا. وَعَلَيْهِ جَمَاهِيرُ الْأَصْحَابِ. وَنَصَّ
عَلَيْهِ
وَقَالَ بَعْضُ الْأَصْحَابِ: لَا يَحْرُمُ تَزَوُّجُهَا قَبْلَ
التَّوْبَةِ إنْ نَكَحَهَا غَيْرُ الزَّانِي. ذَكَرَهُ أَبُو يَعْلَى
الصَّغِيرُ.
Pendapat madzhab kami adalah haram hukumnya menikahi wanita pezina
sampai ia bertaubat dan selesai masa iddahnya. Namun sebagian ulama
dalam madzhab kami berbeda pendapat; boleh menikahinya walaupun belum
bertaubat bila ia menikah dengan laki-laki lain (bukan laki-laki yang
pernah berzina dengannya).[Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih min
Al-Khilaf, jilid 8 hal. 132]
5. Mazhab Azh-Zhahiriyah
Mazhab Azh-Zhahiriyah melarang menikahi wanita yang pernah berzina, kecuali ia benar-benar bertaubat dari perbuatannya tersebut.
Ibnu Hazm (w. 456 H) salah satu tokoh mazhab Azh-Zhahiriyah di dalam kitab Al-Muhalla bil Atsar menuliskan sebagai berikut :
وَلَا يَحِلُّ لِلزَّانِيَةِ أَنْ تَنْكِحَ أَحَدًا، لَا زَانِيًا وَلَا
عَفِيفًا حَتَّى تَتُوبَ، فَإِذَا تَابَتْ حَلَّ لَهَا الزَّوَاجُ مِنْ
عَفِيفٍ حِينَئِذٍ.
Tidak dibolehkan bagi seorang wanita yang pernah berzina untuk menikahi
dengan siapapun -tidak dengan seorang lelaki pezina maupun lelaki afif
sampai ia bertobat. dan jika ia sudah bertobat maka dibolehkan baginya
untuk menikah dengan lelaki afif.[Al-Muhalla bil Atsar, jilid 9 hal. 63]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar