Manusia dibekali nafsu birahi dengan tujuan untuk mempertahankan garis
keturunannya. Islam menetapkan lembaga pernikahan sebagai media untuk
menyalurkan nafsunya secara legal. Namun seolah tidak pernah berhenti,
setan selalu saja menggoda manusia dengan menggelitik nafsu birahinya,
sehingga sejak dulu hingga nanti hari kiamat, kasus perzinahan akan
terus terjadi. Bahkan tidak jarang dari tindakan asusila tersebut
melahirkan anak.
Pergaulan bebas yang semakin liar, telah menjadi musibah terbesar di
masyarakat kita. Lebih-lebih ketika lembaga berwenang di tempat
Indonesia melegalkan pernikahan antara wanita hamil dengan lelaki yang
menghamilinya di luar nikah. Keputusan ini membuka peluang besar bagi
para pemuja syahwat untuk menyalurkan hasrat binatangnya atas nama
‘cinta’, ya cinta. Zina dilakukan atas prinsip mau sama mau, suka sama
suka, sehingga tidak ada pihak –secara ‘hukum’ masyarakat– yang berada
pada posisi dirugikan.
Bagi lelaki, adanya aturan semacam itu merupakan kesempatan besar untuk
menyalurkan nafsu binatangnya. Tinggal pihak wanitanya, apakah dia rela
membuka pintu ataukah tidak. Ingat, karena tidak ada unsur paksaan di
sana. Sehingga, kuncinya ada pada pemilik pintu. Karena itulah, ketika
Allah menjelaskan hukum bagi para pezina, Allah mendahulukan penyebutan
zaniyah (pezina wanita). Allah berfirman,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan pezina dan laki-laki pezina, cambuklah masing-masing dari
keduanya seratus kali pukulan, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”
(QS. An-Nur: 2)
Al-Qurthubi mengatakan, “Kata “zaniyah” (wanita pezina) lebih
didahulukan dalam ayat di atas karena aib perzina itu lebih melekat pada
diri wanita. Mengingat mereka seharusnya lebih tertutup dan berusaha
menjaga diri, maka para wanita pezina disebutkan lebih awal sebagai
bentuk peringatan keras dan perhatian besar bagi mereka.” (Al-Jami’ Li
Ahkam Al-Quran, 12: 160)
Karena itu, wahai para wanita mukminah, wahai para wanita yang memiliki
mahkota rasa malu, wahai para pemegang kunci syahwat, peluang terjadinya
zina ada di tangan kalian. Janganlah menjadi wanita murahan, yang mudah
menyerahkan kunci itu. Kita semua yakin, zina tidak mungkin terjadi
sepanjang Anda tidak merelakan kunci itu jatuh ke tangan lelaki buaya.
Mereka tidak akan berani merebut paksa kunci itu, sebelum Anda
menyerahkannya. Karena semua lelaki tidak ingin disebut sebagai
pemerkosa.
Selanjutnya, coba Anda pahami beberapa hukum fikih berikut, semoga ini
membuat Anda semakin merinding dan takut untuk membuka peluang
kesempatan bagi lelaki untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Pertama, anak hasil zina (anak di luar nikah) tidak dinasabkan ke bapak biologis.
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak
mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus
nasabnya dari sisi bapaknya (lihat Al Mughni: 9:123).
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan tentang anak zina,
ولد زنا لأهل أمه من كانوا حرة أو أمة
“Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.”
(HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no.2268
dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud
no.1983)
Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, dinyatakan,
ومن ادعى ولدا من غير رشدة فلا يرث ولا يورث
“Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia
tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.”
(HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2266)
Dalil lain yang menegaskan hal itu adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,
قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ
أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا
يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari
hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina
dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak
mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib
Al-Arnauth).
Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah radhiallahu ’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”
Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ
بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ
الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.
Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini
adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya dizaman Jahiliyah.” Maka
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallammenjawab: “Tidak ada pengakuan
anak dalam islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami
wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki
atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita
tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut
“pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap
anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa
jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh
laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan
kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil
perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim,
An-Nawawi, 10:37)
Berdasarkan keterangan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa anak hasil
zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya. Karena itu, tidak boleh
di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana Jika Di-bin-kan ke Bapaknya?
Hukumnya terlarang bahkan dosa besar. Ini berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan
bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385)
Karena bapak biologis bukan bapaknya maka haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya. Lantas kepada siapa dia di-bin-kan?
Mengingat anak ini tidak punya bapak yang ‘legal’, maka dia di-bin-kan
ke ibunya. Sebagaimana Nabi Isa ‘alaihis salam, yang dengan kuasa Allah,
dia diciptakan tanpa ayah. Karena beliau tidak memiliki bapak, maka
beliau di-bin-kan kepada ibunya, sebagaimana dalam banyak ayat, Allah
menyebut beliau dengan Isa bin Maryam.
Kedua, tidak ada hubungan saling mewarisi.
Anak zina tidak saling mewarisi antara dia dengan bapak zinanya, karena
tiak ada hubungan nasab antara keduanya sama sekali, juga tidak saling
mewarisi antara dia dengan keluarga bapak zinanya. Tidak ada hubungan
saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena
sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya.
Memaksakan diri untuk meminta warisan, statusnya merampas harta yang
bukan haknya. Bahkan hal ini telah ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis, di antaranya:
Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ
اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ
فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا
فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ
مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ
فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ
أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ
عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ
الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ
كَانَ أَوْ أَمَةٍ.
Sungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam ingin memutuskan
permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah
(meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli
warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak
yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan
suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta penasabannya
dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan
sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia
mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila
bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang
tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinahinyanya, maka
anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun
orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina
baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.
Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak
dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke
bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud,
dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).
Jika bapak biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak
biologisnya, ini bisa dilakukan melalu wasiat. Si Bapak bisa menuliskan
wasiat, bahwa si A (anak biologisnya) diberi jatah sekian dari total
hartanya setelah si Bapak meninggal. Karena wasiat boleh diberikan
kepada selain ahli waris.
Anak Zina dengan ibunya
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada
saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain
dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ
ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ
كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ
ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [an-Nisâ`/ 4:
11]
Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan kepada
ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab diantara sebab-sebab
pewarisan. Dalam hal ini status anak zina sama dengan anak mulâ’anah
yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu
yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
memutuskan perkara mulâ’anah. Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu
mengatakan :
فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ وَكَانَتْ
حَامِلاً ، فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ،
ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ فِى الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا ، وَتَرِثَ مِنْهُ
مَا فَرَضَ اللَّهُ لَهَا .
Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulâ’anah
padahal sang wanita tersebut dalam keadaan hamil. Sang suaminya
mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut.
Kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi
harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut
sesuai dengan ketetapan Allah.
Ibnu Quddâmah rahimahullah berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan
mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah
memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan
terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah
ini. Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris
(‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli
waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga
waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak
mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.
Ketiga, siapakah wali nikahnya?
Tidak ada wali nikah, kecuali dari jalur laki-laki. Anak perempuan dari
hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah
bapaknya. Dengan demikian, dia memliki hubungan kekeluargaan dari pihak
bapak biologis. Bapak biologis, kakek, maupun paman dari bapak biologis,
tidak berhak menjadi wali. Karena mereka bukan paman maupun kakeknya.
Lalu siapakah wali nikahnya?
Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah
a. Anak laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak.
b. Hakim (pejabat resmi KUA).
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar