Islam melarang bentuk jual beli yang mengandung tindak bahaya bagi yang
lain semacam jika BBM naik, sebagian pedagang menimbun barang sehingga
membuat warga sulit mencari minyak dan hanya bisa diperoleh dengan harga
yang relatif mahal. Begitu pula segala bentuk penipuan dan pengelabuan
dalam jual beli menjadikannya terlarang. Saat ini kita akan melihat
bahasan sebagai tindak lanjut dari tulisan sebelumnya mengenai bentuk
jual beli yang terlarang. Moga bermanfaat.
Jenis Jual Beli yang di Haramkan
Jual beli yang diharamkan dapat diklasifikasikan menjadi dua:
1. Terlarang karena dzatnya langsung
2. Terlarang karena caranya.
Demikianlah klasifikasi ini memudahkan kita untuk mengenal lebih lanjut jual beli yang terlarang dalam syariat islam.
Jual Beli Terlarang karena Dzatnya
Jual beli terlarang karena dzatnya langsung adalah jual beli semua yang
terlarang pemanfaatannya oleh syariat, walaupun terkadang dibolehkan
pemanfaatannya oleh syariat pada kondisi tertentu. Apabila asal
pemanfaatannya terlarang dalam syariat maka jual belinya terlarang juga.
Walaupun barang tersebut kadang diperbolehkan ketika ada hajat mendesak
atau dalam keadaan darurat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
Sesunguhnya Allah apabila telah mengharamkan sesuatu atas satu kaum,
maka mengharamkan juga hasil jual belinya. (HR Abu Dawud no. 2359 dan
dishahihkan al-Albani dalam Shahih Abu Dawud).
Jual beli yang terlarang disebabkan dzat dan pemanfaatannya terlarang ini terbagi menjadi dua;
Terlarang dzat dan pemanfaatannya secara total dan ini dijelaskan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jaabir bin Abdillah
Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ:
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ عَامَ
الفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: «إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ
الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ»، فَقِيلَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ المَيْتَةِ، فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا
السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟
فَقَالَ: «لاَ، هُوَ حَرَامٌ»، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: «قَاتَلَ اللَّهُ اليَهُودَ إِنَّ
اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ، ثُمَّ بَاعُوهُ، فَأَكَلُوا
ثَمَنَهُ»
Dari Jaabir bin Abdillah Rasdhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau mendengar
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun penaklukan
Makkah di kota Makkah: Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah
mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung.
Ada yang bertanya: Wahai rasulullah bagaimana menurut pendapat Engkau
tentang lemak bangkai, karena dapat dimanfaatkan untuk mengecat perahu
dan meminyaki kulit serta menjadi bahan bakar lampu? Maka beliau
menjawab: Tidak boleh! Dia terlarang. Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: Semoga Allah membinasakan orang Yahudi, sungguh
Allah ketika mengharamkan lemah bangkai, mereka cairkan kemudian mereka
jual lalu memakan hasil jual belinya tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi).
Juga hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ»،
Sungguh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli anjing (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari sini nampak jenis ini hanya ada lima saja yaitu: Khamr, Bangkai, Babi, Patung dan anjing.
Dzatnya tidak terlarang pada asal hukumnya dan terkadang pemanfaatannya
yang terlarang. Maksudnya adalah dari sisi hukum asalnya barang tersebut
diperbolehkan pemanfaatannya dan suci, namun dalam keadaan tertentu
sebagaian pemanfaatannya dilrang. Jenis ini terlarang jual belinya
apabila dijual untuk pemanfaat yang terlarang tersebut. Apabila dijual
untuk selainnya maka diperbolehkan.
Sebagai contoh: Sutera. Pada asal hukumnya adalah halal dan boleh.
Apabila dijual kepada seorang lelaki untuk dijadikan pakaiannya maka
jual belinya haram.
Tentang klasifikasi jual beli terlarang dengan sebab dzatnya ini ibnu
al-Qayyim menyatakan ketika mengomentari hadits riwayat Abu dawud
diatas:
وَفِي قَوْلِهِ: ( «إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا أَوْ حَرَّمَ
أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ» ) ، يُرَادُ بِهِ أَمْرَانِ، أَحَدُهُمَا:
مَا هُوَ حَرَامُ الْعَيْنِ وَالِانْتِفَاعِ جُمْلَةً، كَالْخَمْرِ،
وَالْمَيْتَةِ، وَالدَّمِ، وَالْخِنْزِيرِ، وَآلَاتِ الشِّرْكِ، فَهَذِهِ
ثَمَنُهَا حَرَامٌ كَيْفَمَا اتَّفَقَتْ.
وَالثَّانِي: مَا يُبَاحُ الِانْتِفَاعُ بِهِ فِي غَيْرِ الْأَكْلِ،
وَإِنَّمَا يَحْرُمُ أَكْلُهُ كَجِلْدِ الْمَيْتَةِ بَعْدَ الدِّبَاغِ،
وَكَالْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، وَالْبِغَالِ وَنَحْوِهَا مِمَّا يَحْرُمُ
أَكْلُهُ دُونَ الِانْتِفَاعِ بِهِ، فَهَذَا قَدْ يُقَالُ: إِنَّهُ لَا
يَدْخُلُ فِي الْحَدِيثِ، وَإِنَّمَا يَدْخُلُ فِيهِ مَا هُوَ حَرَامٌ
عَلَى الْإِطْلَاقِ. وَقَدْ يُقَالُ: إِنَّهُ دَاخِلٌ فِيهِ، وَيَكُونُ
تَحْرِيمُ ثَمَنِهِ إِذَا بِيعَ لِأَجْلِ الْمَنْفَعَةِ الَّتِي حَرُمَتْ
مِنْهُ، فَإِذَا بِيعَ الْبَغْلُ وَالْحِمَارُ لِأَكْلِهِمَا، حَرُمَ
ثَمَنُهُمَا بِخِلَافِ مَا إِذَا بِيعَا لِلرُّكُوبِ وَغَيْرِهِ، وَإِذَا
بِيعَ جِلْدُ الْمَيْتَةِ لِلِانْتِفَاعِ بِهِ، حَلَّ ثَمَنُهُ. وَإِذَا
بِيعَ لِأَكْلِهِ، حَرُمَ ثَمَنُهُ، وَطَرْدُ هَذَا مَا قَالَهُ جُمْهُورٌ
مِنَ الْفُقَهَاءِ، كأحمد، ومالك وَأَتْبَاعِهِمَا: إِنَّهُ إِذَا بِيعَ
الْعِنَبُ لِمَنْ يَعْصِرُهُ خَمْرًا، حَرُمَ أَكْلُ ثَمَنِهِ. بِخِلَافِ
مَا إِذَا بِيعَ لِمَنْ يَأْكُلُهُ، وَكَذَلِكَ السِّلَاحُ إِذَا بِيعَ
لِمَنْ يُقَاتِلُ بِهِ مُسْلِمًا، حَرُمَ أَكْلُ ثَمَنِهِ، وَإِذَا بِيعَ
لِمَنْ يَغْزُو بِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَثَمَنُهُ مِنَ الطَّيِّبَاتِ،
وَكَذَلِكَ ثِيَابُ الْحَرِيرِ إِذَا بِيعَتْ لِمَنْ يَلْبَسُهَا مِمَّنْ
يَحْرُمُ عَلَيْهِ، حَرُمَ أَكْلُ ثَمَنِهَا بِخِلَافِ بَيْعِهَا مِمَّنْ
يَحِلُّ لَهُ لُبْسُهَا. فَإِنْ قِيلَ: فَهَلْ تُجَوِّزُونَ لِلْمُسْلِمِ
بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ مِنَ الذِّمِّيِّ لِاعْتِقَادِ
الذِّمِّيِّ حِلَّهُمَا، كَمَا جَوَّزْتُمْ بَيْعَهُ الدُّهْنَ
الْمُتَنَجِّسَ إِذَا بَيَّنَ حَالَهُ لِاعْتِقَادِهِ طَهَارَتَهُ
وَحِلَّهُ؟ قِيلَ: لَا يَجُوزُ ذَلِكَ، وَثَمَنُهُ حَرَامٌ، وَالْفَرْقُ
بَيْنَهُمَا: أَنَّ الدُّهْنَ الْمُتَنَجِّسَ عَيْنٌ طَاهِرَةٌ خَالَطَهَا
نَجَاسَةٌ وَيُسَوَّغُ فِيهَا النِّزَاعُ. وَقَدْ ذَهَبَتْ طَائِفَةٌ مِنَ
الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَنْجَسُ إِلَّا بِالتَّغَيُّرِ. وَإِنْ
تَغَيَّرَ، فَذَهَبَ طَائِفَةٌ إِلَى إِمْكَانِ تَطْهِيرِهِ بِالْغَسْلِ،
بِخِلَافِ الْعَيْنِ الَّتِي حَرَّمَهَا اللَّهُ فِي كُلِّ مِلَّةٍ،
وَعَلَى لِسَانِ كُلِّ رَسُولٍ، كَالْمَيْتَةِ، وَالدَّمِ وَالْخِنْزِيرِ،
فَإِنَّ اسْتِبَاحَتَهُ مُخَالِفَةٌ لِمَا أَجْمَعَتِ الرُّسُلُ عَلَى
تَحْرِيمِهِ، وَإِنِ اعْتَقَدَ الْكَافِرُ حِلَّهُ، فَهُوَ كَبَيْعِ
الْأَصْنَامِ لِلْمُشْرِكِينَ، وَهَذَا هُوَ الَّذِي حَرَّمَهُ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ بِعَيْنِهِ، وَإِلَّا فَالْمُسْلِمُ لَا يَشْتَرِي صَنَمًا.
Hadits («إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا أَوْ حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ») diinginkan darinya dua perkata:
Pertama yang haram dzatnya dan pemanfaatannya seacara muthlak,seperti
khamr, bangkai, darah, babi dan alat-alat kesyirikan. Ini semua hasil
jual belinya haram bagaimanapun sepakatnya.
Kedua yang diperbolehkan pemanfaatannya selain untuk dimakan dan hanya
diharamkan memakannya,seperti kulit bangkai yang telah disamak, seperti
keledai, bighal dan sejenisnya yang diharakan memakannya tanpa
pemanfaatan yang lain, maka ini dikatakan tidak masuk dalam (larangan)
hadits dan yang masuk dalam hadits hanyalah yang dilrang secara total.
Dan dapat dikatakan bahwa ini masuk dalam hadits dan pengharaman hasil
jual belinya apabila dijual karena manfaat yang diharamkan tersebut.
Apabila dijual untuk dimakan maka haram jual belinya dan inilah pendapat
mayoritas para ulama fikih seperti Ahmad, Maalik dan pengikut keduanya:
apabila menjual anggor kepada orang yang menjadikannya khamr maka haram
jual belinya berbeda apabila dijual kepada orang yang memakannya.
Demikian juga senjata apabila dijual kepada orang yang menggunakannya
untuk memerangi muskim, maka haram jual belinya dan bila dijual kepada
orang yang menggunakannya berperang dijalan Allah maka hasil jual
belinya termasuk harta yang bagus (ath-Thayyibat). Demikian juga pakaian
sutera apabila dijual kepada orang-orang yang diharamkan
menggunakannya, maka haram hasil jual belinya berbeda bila dijual kepada
orang yang halal menggunakannya.
Apabila ada yang menyatakan: Apakah diperbolehkan bagi seorang muslim
menjual khomr dan Babi kepada ahli dzimmah karena keyakinan ahli dzimmah
itu halal, sebagaimana kalian bolehkan menjual minyak padat yang
tercampur najis apa bila menjelaskan keadaannya karena keyakinannya itu
suci dan halal?
Jawab: Tidak boleh dan hasil jual belinya haram. Perbedaan antara kedua
masalah ini adalah minyak padat yang tercampur najis adalah barang suci
yang tercampur najis dan diperbolehkan pada masakah ini perbedaan
pendapat, Sebagian ulama berpendapat itu tidak najis kecuali ada
perubahan sifat dan bila berubah.
Sebagian lainnya berpendapat bahwa itu bisa disucikan dengan dicuci,
berbeda dengan dzat yang Allah haramkan pada semua agama dan melalui
lisan semua Rasul, seperti bangkai, darah dan babi. Karena
penghalalannya menyelisihi kesepakatan ajaran para Rasul yang
mengharamkannya, walaupun orang kafir berkeyakinan halalnya, maka dia
seperti jual beli patung kepada orang musyrikin. Inilah yang Allah dan
rasulNya haramkan dzatrnya. Dan kalau tidak tetap seorang muslim tidak
boleh membeli patung. (Dzad al-Ma’ad 5/676)
Jual Beli Terlarang karena Caranya.
Jual beli terlarang karena carany terbagi menjadi 3 klasifikasi: 1. Berisi kezhaliman, 2. Berisi al-Gharar dan 3. Riba.
Hal ini dijelaskan oleh ibnu Taimiyah –rahimahullah- dalam Majmu’
al-Fatwa 20/510 dan hampir sama dengan pernyataan ibnu taimiyah ini
adalah pernyataan Ibnul Qayyim -Rahimahullah- :
وَالْأَصْلُ فِي الْعُقُودِ كُلِّهَا إنَّمَا هُوَ الْعَدْلُ الَّذِي
بُعِثَتْ بِهِ الرُّسُلُ وَأُنْزِلَتْ بِهِ الْكُتُبُ، قَالَ – تَعَالَى -:
{لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ
الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ} [الحديد: 25]
وَالشَّارِعُ نَهَى عَنْ الرِّبَا لِمَا فِيهِ مِنْ الظُّلْمِ، وَعَنْ
الْمَيْسِرِ لِمَا فِيهِ مِنْ الظُّلْمِ، وَالْقُرْآنُ جَاءَ بِتَحْرِيمِ
هَذَا وَهَذَا، وَكِلَاهُمَا أَكْلُ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ، وَمَا نَهَى
عَنْهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ
الْمُعَامَلَاتِ – كَبَيْعِ الْغَرَرِ، وَبَيْعِ الثَّمَرِ قَبْلَ بُدُوِّ
صَلَاحِهِ، وَبَيْعِ السِّنِينَ، وَبَيْعِ حَبَلِ الْحُبْلَةِ، وَبَيْعِ
الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُحَاقَلَةِ، وَبَيْعِ الْحَصَاةِ، وَبَيْعِ
الْمَلَاقِيحِ وَالْمَضَامِينِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ – هِيَ دَاخِلَةٌ إمَّا
فِي الرِّبَا وَإِمَّا فِي الْمَيْسِرِ،
Pada asalnya dalam transaksi seluruhnya adalah keadilan yang menjadi
ajaran yang dibawa para rasul dan dijelaskan kitab-kitab suci. Allah
berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al
kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan.(QS. Al-Hadid/57: 25). Syariat melarang riba karena berisi
kezhaliman dan melarang perjudian karena berisi kezhaliman. Al-Qur`an
melarang ini dan itu dan semuanya adalah memakan harta dengan batil.
Semua yang dilarang Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dari muamalat
-seperti jual beli gharar, jual beli buah sebelum layak dikonsumsi, jual
beli as-Siniin, jual belia habalatulhabalah, jual beli al-Muzabanah,
al-Muhaqalah, jual beli al-Hashaah, jual beli al-Malaaqih dan
al-Madhaamin dan sejenisnya- masuk ada kalanya dalam riba dan ada
kalanya dalam perjudian. (I’lamulmuwaqqi’in 1/292).
Oleh karena itu para ulama berbeda dalam pengklasifikasian jual beli
terlarang karena caranya (kasb) dalam beberapa klasifikasi dan kita
mengambil salah satunya saja yaitu pengklasifikasian menjadi beberapa
kategori.
1- Jika akad jual beli itu menyulitkan ibadah, misalnya mengambil waktu shalat.
Seorang pedagang sibuk dengan jual beli sampai terlambat melakukan
shalat jama’ah di masjid, baik tertinggal seluruh shalat atau masbuq.
Berniaga yang sampai melalaikan seperti ini dilarang. Allah berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ فَإِذَا قُضِيَتِ
الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung. [Al Jumu’ah :9-10].
Dalam ayat lain Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian
maka mereka itulah orang-orang yang rugi. [Al Munafiqun:9].
Perhatikanlah firman Allah Azza wa Jalla “maka mereka itulah orang-orang
yang rugi”. Allah menyatakan mereka mengalami kerugian, meskipun mereka
kaya, berhasil mengumpulkan banyak harta dan memiliki banyak anak.
Sesungguhnya harta dan anak-anak mereka tidak akan bisa menggantikan
dzikir yang terlewatkan.
Seorang pedagang akan meraih keuntungan yang hakiki, jika mampu meraih
dua kebaikan, yaitu memadukan antara mencari rezeki dengan ibadah kepada
Allah Azza wa Jalla. Melangsungkan akad jual beli pada waktunya, dan
menghadiri shalat pada waktunya. Allah berfirman :
فَابْتَغُوا عِندَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ
Maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepadaNya. [Al Ankabut :17]
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. [Al Jumu’ah :10].
Jadi, perniagaan itu ada dua, yaitu perniagaan dunia dan akhirat.
Perniagaan dunia menggunakan harta dan usaha. Sedangkan perniagaan akhirat menggunakan amal shalih. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ
تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ يَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
وَأُخْرَىٰ تُحِبُّونَهَا ۖ نَصْرٌ مِّنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِيبٌ ۗ
وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? (Yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu
mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan
kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan
(memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn. Itulah
keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia lain yang kamu sukai,
(yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan
sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. [Ash Shaf
:10-13].
Inilah perniagaan yang menguntungkan, jika ditambah lagi dengan
pernigaan dunia yang diperbolehkan, maka itu berarti kebaikan di atas
kebaikan. Jika seseorang hanya melakukan perdagangan di dunia dan
mengabaikan perdagangan di akhirat, inilah orang yang rugi.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya mereka itulah orang-orang yang
merugi. Seandainya seseorang melakukan ibadah, shalat, dzikir dan
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, niscaya Allah membukakan pintu
rezeki baginya. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat
dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik)
itu adalah bagi orang yang bertaqwa. [Thaha :132].
Shalat yang dianggap oleh sebagian orang sebagai penghalang mencari
rezeki, ternyata sebaliknya, ia bisa membuka pintu rezeki, kemudahan dan
barakah. Jika engkau berdzikir dan beribadah kepada Allah Azza wa
Jalla, maka Allah akan memberikan kemudahan dan membukakan pintu rezeki
buatmu, dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi rezeki. [Al Jumu’ah :11].
Allah Azza wa Jalla menjelaskan sifat-sifat hambaNya yang beriman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ
يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ
تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ
وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ
وَالْأَبْصَارُ
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk
dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu
petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula)
oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan
zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi goncang. [An Nur : 36-37].
Ketika menafsirkan ayat ini, sebagian ulama salaf mengatakan,
orang-orang mukmin itu melakukan akad jual beli. Jika salah seorang di
antara mereka mendengar adzan, sedangkan timbangan masih ada di
tangannya, maka dia akan menurunkan timbangan itu dan pergi mengerjakan
shalat. Kesimpulannya, jika jual beli menghalangi seseorang dari shalat,
maka hal itu termasuk jual beli yang dilarang, bathil dan hasilnya
haram.
2- Di antara jual beli yang dilarang dalam Islam, yaitu menjual barang
yang diharamkan. Jika Allah sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga
mengharamkan hasil penjualannya. Seperti menjual sesuatu yang terlarang
dalam agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
menjual bangkai, khamr, babi, patung. Barangsiapa yang menjual bangkai,
maksudnya daging hewan yang tidak disembelih dengan cara yang syar’i,
ini berarti ia telah menjual bangkai dan memakan hasil yang haram.
Begitu juga hukum menjual khamr. Khamer, maksudnya segala yang bisa
memabukkan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Semua yang memabukkan itu adalah khamr, dan semua khamr itu haram.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat sepuluh orang yang berkaitan dengan khamr.
إن اللَّهَ لَعَنَ الْخَمْرَ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَبَائِعَهَا
وَمُبْتَاعَهَا وَشَارِبَهَا وَآكِلَ ثَمَنِهَا وَحَامِلَهَا
وَالْمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ وَسَاقِيَهَا
Sesungguhnya Allah melaknat khamr, pemerasnya, yang minta diperaskan,
penjualnya, pembelinya, peminum, pemakan hasil penjualannya, pembawanya,
orang yang minta dibawakan serta penuangnya. [HR Tirmidzi dan Ibnu
Majah].
Termasuk dalam masalah ini, bahkan lebih berat lagi hukumnya, yaitu
menjual narkoba, ganja, opium dan jenis obat-obat psikotropika lainnya
yang merebak pada saat ini. Orang yang menjualnya dan orang yang
menawarkannya adalah mujrim (pelaku keriminal). Karena narkoba merupakan
senjata pemusnah bagi manusia. Jadi orang yag menjual narkoba,
melariskannya serta para pendukungnya terkena laknat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hasil penjualannya merupakan harta haram.
Orang yang membuatnya laris berhak dijatuhi hukuman mati, karena ia
termasuk pelaku kerusakan di muka bumi.
Jual beli Khamr diharamkan dan dilarang dalam Islam dengan dalil:
Hadits Jaabir bin Abdillah yang berbunyi:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّهُ:
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ عَامَ
الفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ: «إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ
الخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ وَالخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ»، فَقِيلَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ المَيْتَةِ، فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا
السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟
فَقَالَ: «لاَ، هُوَ حَرَامٌ»، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: «قَاتَلَ اللَّهُ اليَهُودَ إِنَّ
اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ، ثُمَّ بَاعُوهُ، فَأَكَلُوا
ثَمَنَهُ»
Dari Jaabir bin Abdillah Rasdhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau mendengar
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun penaklukan
Makkah di kota Makkah: Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah
mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung. Ada yang
bertanya: Wahai rasulullah bagaimana menurut pendapat Engkau tentang
lemak bangkai, karena dapat dimanfaatkan untuk mengecat perahu dan
meminyaki kulit serta menjadi bahan bakar lampu? Maka beliau menjawab:
Tidak boleh! Dia terlarang. Kemudian beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: Semoga Allah membinasakan orang Yahudi, sungguh Allah ketika
mengharamkan lemah bangkai, mereka cairkan kemudian mereka jual lalu
memakan hasil jual belinya tersebut. (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَعَنَ اللَّهُ
الْخَمْرَ، وَشَارِبَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا،
وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ»
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda: Allah melaknat khamr,
peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya dan yang
pesan diperaskan, orang yang membawanya dan yang meminta untuk
dibawakan. (HR Abu dawud dalam sunannnya no. 3674 dan di shahihkan
al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Dawud).
An Nawawi Asy Syafii mengatakan, "Menjual khamr adalah transaksi yang
tidak sah baik penjualnya adalah muslim ataupun non muslim. Demikian
pula meski penjual dan pembelinya non muslim ataupun seorang muslim
mewakilkan kepada non muslim agar non muslim tersebut membelikan khamr
untuk si muslim. Transaksi jual beli dalam semua kasus di atas adalah
transaksi jual beli yang tidak sah tanpa ada perselisihan di antara para
ulama syafi’iyyah. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan seorang
muslim untuk memberikan mandat kepada non muslim untuk menjualkan atau
membelikan khamr. Pendapat ini jelas pandapat yang keliru karena
menyelisihi banyak hadis shahih yang melarang jual beli khamr.
Jual beli khamr ataupun memproduksinya dan semisalnya adalah suatu hal
yang hukumnya haram dilakukan non muslim sebagaimana haram dilakukan
oleh muslim. Demikianlah Mazhab Syafi’i." (Majmu Syarh Muhadzdzab,
9:227)
3- Jual beli yang mengandung dhoror (bahaya) dan pengelabuan (tindak penipuan)
1. Menjual di atas jualan saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya. Janganlah pula
seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah saudaranya kecuali jika ia
mendapat izin akan hal itu” (HR. Muslim no. 1412)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
“Janganlah seseorang di antara kalian menjual di atas jualan saudaranya” (HR. Bukhari no. 2139).
Yang dimaksud menjual di atas jualan saudaranya semisal seseorang yang
telah membeli sesuatu dan masih dalam tenggang khiyar (bisa memutuskan
melanjutkan transaksi atau membatalkannya), lantas transaksi ini
dibatalkan. Si penjual kedua mengiming-imingi, “Mending kamu batalkan
saja transaksimu dengan penjual pertama tadi. Saya jual barang ini
padamu (sama dengan barang penjual pertama tadi), namun dengan harga
lebih murah.” Si penjual intinya mengiming-imingi dengan harga lebih
menggiurkan atau semisal itu sehingga pembeli pertama membatalkan
transaksi. Jual beli semacam ini jelas haramnya berdasarkan dalil-dalil
di atas karena di dalamnya ada tindakan memudhorotkan saudara muslim
lainnya.
Begitu pula diharamkan membeli di atas belian saudaranya. Contohnya si
pembeli kedua berkata pada si penjual yang masih berada dalam tenggang
khiyar dengan pembeli pertama, “Mending kamu batalkan saja transaksimu
dengan pembeli pertama tadi. Saya bisa beli dengan harga lebih tinggi
dari yang ia beli.” Si pembeli dalam kondisi ini berani membayar dengan
harga lebih tinggi sehingga penjual berani membatalkan transaksi dengan
pembeli pertama. Dua macam transaksi di atas adalah transaksi yang haram
karena menimbulkan mudhorot dan kerusakan bagi kaum muslimin lainnya.
Ibnu Hajar katakan bahwa dua macam transaksi di atas haram berdasarkan
ijma’ (kesepakatan para ulama). Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
”Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian
orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli
suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu
penjual kedua mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual
dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya adalah seorang pembeli
mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan pembeli
pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual beli
semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama” (Fathul Bari, 4:
353).
Konsekuensi dari transaksi ini menunjukkan akan tidak sahnya (Shahih
Fiqh Sunnah, 4: 391). Jual beli macam ini jelas sekali menimbulkan
saling benci, saling hasad (iri) dan saling omong-omongan yang tidak
baik antara satu dan lainnya. Oleh karena itu terlarang.
Ada juga bentuk serupa yang terlarang yang diistilahkan dengan “saum”.
Bentuknya adalah ada dua orang yang tawar menawar, penjual menawarkan
barangnya dengan harga tertentu dan pembeli pertama sudah ridho dengan
harga tersebut kemudian datanglah pembeli kedua, ia pun melakukan
tawaran. Akhirnya, pembeli kedua yang diberi barang dengan harga lebih
atau dengan harga yang sama seperti pembeli pertama. Lantas kenapa
pembeli kedua yang diberi? Karena pembeli kedua adalah orang terpandang.
Sehingga ini yang membuat si penjual menjualkan barangnya pada pembeli
kedua karena ia lebih terpandang. Lihat penjelasan dalam Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah, 9: 216.
Dalam keterangan lain dari Imam Nawawi rahimahullah, “Melakukan saum di
atas saum saudaranya, bentuknya adalah penjual dan pembeli telah sepakat
dan sudah penjual sudah mau menjual barangnya, namun belum terjadi
akad, kemudian datanglah pembeli lainnya dengan berkata, “Saya beli
barang itu yah.” An Nawawi mengatakan bahwa tindakan seperti ini haram
karena sudah ditetapkan harga saat itu. Adapun penawaran terhadap barang
yang telah dijual dengan sistem lelang, maka itu tidaklah haram” (Syarh
An Nawawi ‘ala Muslim, 10: 158).
Dalam keterangan An Nawawi ini menunjukkan bahwa si penjual fix
melakukan akad dengan pembeli yang tidak mesti orang terpandang, artinya
di sini lebih umum pada siapa saja.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَتِهِ
“Janganlah melakukan saum (penawaran) di atas saum (penawaran)
saudaranya. Jangan pula melakukan khitbah di atas khitbah saudaranya”
(HR. Muslim no. 1413).
2. Jual beli najesy
Yang dimaksud adalah seseorang sengaja membuat harga barang naik padahal
ia tidak bermaksud membeli dan dia mendorong yang lain untuk
membelinya, akhirnya pun membeli atau ia memuji barang yang dijual
sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai kenyataan.
Dalil terlarangnya jual beli semacam ini disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبْتَاعُ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ ، وَلاَ تَنَاجَشُوا ، وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya, janganlah
melakukan najesy dan janganlah orang kota menjadi calo untuk menjualkan
barang orang desa” (HR. Bukhari no. 2160 dan Muslim no. 1515).
Najesy berdasarkan hadits di atas dihukumi haram, demikian pendapat
jumhur. Namun jumhur (mayoritas) ulama memandang bahwa jual beli najesy
tetap sah karena najesy dilakukan oleh orang yang ingin menaikkan harga
barang –namun tidak bermaksud untuk membeli- sehingga tidak mempengaruhi
rusaknya akad. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 118-119.
Ulama Hambali berpendapat bahwa jika dalam jual beli najesy terdapat
ghoban (beda harga yang amat jauh dengan harga normal), maka pembeli
punya hak khiyar (pilihan) untuk membatalkan jual beli (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, 40: 119).
Sedangkan jual beli pada sistem lelang (dikenal dengan istilah
“muzayadah”), itu dibolehkan. Jual beli lelang setiap yang menawar ingin
membeli, beda halnya dengan najesy yang cenderung merugikan pihak lain
karena tidak punya niatan untuk membeli.
3. Talaqqil jalab atau talaqqi rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain.
Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki
tunggangan. Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban
adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari tempat lain
dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan harga
yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para
pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka
mengetahui harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُتَلَقَّى الْجَلَبُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil jalab” (HR. Muslim no. 1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ،
فَنَهَانَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى
يُبْلَغَ بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
“Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar, lalu kami membeli
makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang
kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai
di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari no. 2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui
bahwasanya ia menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan
jauh dengan harga normal jika ia berjualan di pasar itu sendiri, maka ia
punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli (Lihat Syarh ‘Umdatul
Fiqh, 2: 805).
Dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ.فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
“Janganlah menyambut para pedagang luar. Barangsiapa yang menyambutnya
lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut masuk pasar
(dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka
ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)” (HR. Muslim
no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak
ada tindak penipuan atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah
saja. Karena hukum itu berkisar antara ada atau tidak adanya ‘illah
(sebab pelarangan).
4. Jual beli hadir lil baad, menjadi calo untuk orang desa (pedalaman)
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo
untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini
mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan
saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan mendapatkan
harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ » . قَالَ
فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ
لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا
“Janganlah menyambut para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan
jangan pula menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa”. Ayah
Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan larangan
jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi
calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 84).
Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang
menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu: Barang yang ia
tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang
banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual
jarang dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan. Jual beli yang
dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar
secara diangsur, maka tidaklah masalah. Orang desa tidak mengetahui
harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu, maka
tidaklah masalah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 9: 83)
5. Menimbun Barang
Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya
barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik. Dengan
pengertian lain adalah pedagang menahan barang tidak menjualnya kepasar
padahal masyarakat membutuhkannya
Para ulama ahli fikih sepakat mengharamkan ihtikar secara umum dan
secara asal hukum dengan dasar hadits Sa’id bin al-Musayyib dari ma’mar
bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَا يَحْتَكِرُ إِلَّا خَاطِئٌ
Dari Ma’mar, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa“. [HR Muslim no. 1605]
Pengertian (خَاطِئٌ) adalah zhalim dan berdosa. Hadits yang mulia ini menunjukkan pengharaman ihtikaar dari sisi asal hukum.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata [sunan 3/567], “Hukum inilah yang berlaku dikalangan
ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama
membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata,
“Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak
(sakhtiyan), dan sebagainya“.
Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah 8/178-179], “Para ulama berbeda
pendapat tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia
berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni
sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia
menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar
dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah
padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”"
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam
Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam
Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan
seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada
bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini
pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat
tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas
wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal
dapat berlabuh di sana“.
Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun barang karena dapat
menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih Muslim, 11:
43).
Artinya di sini jika menimbun barang tidak menyulitkan orang lain maka
tidak ada masalah. Seperti misalnya kita membeli hasil panen di saat
harga murah. Lalu kita simpan kemudian kita menjualnya lagi beberapa
bulan berikutnya ketika harga menarik, maka seperti ini tidak ada
masalah karena jual beli memang wajar seperti itu. Jadi, larangan
memonopoli atau yang disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang
dengan tujuan untuk mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia
membeli barang dalam jumlah besar, sehingga mengakibatkan stok barang di
pasaran menipis atau langka. Akibatnya masyarakat terpaksa
memperebutkan barang tersebut dengan cara menaikkan penawaran atau
terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.
Al Qodhi Iyadh rahimahullah berkata, “Alasan larangan penimbunan adalah
untuk menghindarkan segala hal yang menyusahkan umat Islam secara luas.
Segala hal yang menyusahkan mereka wajib dicegah. Dengan demikian, bila
pembelian suatu barang di suatu negeri menyebabkan harga barang menjadi
mahal dan menyusahkan masyarakat luas, maka itu wajib dicegah, demi
menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah ‘menghindarkan
segala hal yang menyusahkan’ adalah pedoman dalam masalah penimbunan
barang.” (Ikmalul Mu’lim, 5: 161).
Adapun jika menimbun barang sebagai stok untuk beberapa bulan ke depan
seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak grosir, maka itu dibolehkan
jika tidak memudhorotkan orang banyak (Shahih Fiqh Sunnah, 4: 395).
6. Jual beli dengan penipuan atau pengelabuan
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ
فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا
هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ
النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk
makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan
beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini
wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut
terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu
tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya?
Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR.
Muslim no. 102).
Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan
perbuatan tersebut termasuk dosa besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
. “Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang
yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu
Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam
Ash Shahihah no. 1058).
Jual beli yang mengandung penipuan ini di antaranya adalah jual beli
najesy yang sudah dibahas di atas. Contoh bentuk jual beli ini adalah
jual beli yang dilakukan dengan mendiskripsikan barang melalui gambar,
audio atau tulisan dan digambarkan seolah-olah barang tersebut memiliki
harga yang tinggi dan menarik, padahal ini hanyalah trik untuk
mengelabui pembeli. Termasuk pula adalah jual beli dengan menyembunyikan
‘aib barang dan mengatakan barang tersebut bagus dan masih baru,
padahal sudah rusak dan sudah sering jatuh berulang kali. Intinya,
setiap tindak penipuan dalam jual beli menjadi terlarang.
Tentunya masih banyak sekali contoh-contoh atau model jual beli yang
dilarang dalam agama, seperti jual-beli yang menghalangi orang untuk
melakukan sholat, khususnya diwaktu jumat setelah adzan kedua sholat
jumat, juga menjual barang sebelum diterima, kemudian makelar atau calo
yang menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga sekarang.
Itu semua merupakan jual-beli yang dilarang dalam Islam.
Semoga kita semua senantiasa terjaga dalam bermuamalah dengan sesama,
selalu waspada dan berhati-hati dalam bertindak khususnya dalam
berdagang. Mari kita mensuri tauladani Nabi kita Muhammad SAW dalam
berdagang, beliau selalu dipercayai dalam setiap ucapan, dan
perbuatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar